Anda di halaman 1dari 18

VITILIGO

1. DEFINISI
Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik, didapat ditandai dengan adanya makula putih
yang dapat meluas. Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit,
misalnya rambut dan mata.1

2. EPIDEMIOLOGI
Vitiligo ditemukan pada 0,1-2,9% populasi penduduk dunia, di usia berapapun,
tersering pada usia 10-40 tahun, dengan dominasi pada perempuan. Di Amerika, sekitar 2 juta
orang menderita vitiligo. Di Eropa Utara dialami 1 dari 200 orang. Di Eropa, sekitar 0,5%
populasi menderita vitiligo. Di India, angkanya mencapai 4%. Prevalensi vitiligo di China
sekitar 0,19%. Sebagian besar kasus terjadi sporadis, sekitar 10-38% penderita memiliki
riwayat keluarga dan pola pewarisannya konsisten dengan trait poligenik. 2 Umumnya vitiligo
muncul setelah kelahiran, dapat berkembang di masa anak-anak, onset usia rata-ratanya adalah
20 tahun. Sementara ahli berpendapat vitiligo dijumpai baik pada pria maupun wanita, tidak
berbeda signifikan dalam hal tipe kulit atau ras tertentu. 3 Pada 25% kasus, dimulai pada usia 14
tahun; sekitar separuh penderita vitiligo muncul sebelum berusia 20 tahun.

3. ETIOPATOGENESIS
Etiopatogenesis vitiligo multifaktorial. Misalnya: faktor defek genetik (pola
poligenetik, multifactorial inheritance), berbagai jenis stres (stres emosional, stres oksidatif
dengan akumulasi radikal bebas), kerusakan melanosit karena mekanisme autoimmunity
(kekebalan tubuh), self-destructive, sitotoksik (keracunan tingkat seluler), ketidakseimbangan
kalsium, peningkatan ROS (reactive oxygen species), oksidan-antioksidan,
autotoksik/metabolik, penyakit autoimun, dan mekanisme biokimiawi yang diperantarai
saraf.4 Vitiligo tidak hanya memengaruhi kulit, melainkan juga terkait dengan beragam
abnormalitas metabolik, termasuk intoleransi glukosa dan abnormalitas lemak, yang
memperkuat sifat sistemik vitiligo. Melanosit, terutama yang dijumpai di jaringan adipose,
karena mampu mengurangi inflamasi dan kerusakan oksidatif, dapat juga mencegah sindrom
metabolik.5
Hipotesis genetik
Secara genetik vitiligo telah menunjukkan keterkaitan dengan dua sinyal asosiasi
independen (rs11966200 dan rs9468925) di dalam major histocompatibility comlex (MHC)
dengan kerentanan HLA (terkait dengan HLA-A3001, HLA-B1302, HLA-C0602 dan
HLADRB1 * 0701 alel). Berbagai lokus yang berisiko pada genetik seperti 3p13 meliputi
FOXP1 (rs17008723), 6q27 meliputi CCR6 (rs6902119), (rs2236313 dan RNASET2,
FGFR1OP dan c6orf10-BTNL2 (rs7758128) telah dicurigai dalam vitiligo.6
Bukti eksperimen menunjukkan bahwa tumor necrosis factor (TNF)-alpha berperan
pada patogenesis vitiligo nonsegmental. Di masa depan, pewarnaan TNF-alpha pada lesi
penderita vitiligo berpotensi sebagai biomarker untuk terapi potensial anti TNF-alpha pada
kasus vitiligo nonsegmental yang refrakter terhadap terapi konvensional.7

Ketidakseimbangan melanosit
Penyebab lain antara lain: gangguan homeostasis melanosit (lemahnya kalsium
intraseluler dan ekstraseluler), rusaknya melanosit karena produk metabolik sintesis melanin
atau mediator neurokimiawi tertentu, akumulasi prekursor melanin yang toksik di melanosit
(seperti: DOPA dopachrome, 5, 6-dihydroxyindole). Stres oksidatif berperan penting pada
proses degradasi melanosit, juga paparan bahan kimia, seperti: monobenzileterhidrokinon
pada sarung-tangan atau detergen yang mengandung fenol.5
Hipotesis biokimia
Hipotesis biokimiawi menyatakan terjadi peningkatan sintesis hydrobiopterin, suatu
kofaktor hidroksilase tirosin yang menghasilkan peningkatan katekolamin dan reactive
oxygen species (ROS) toksik untuk melanosit. Penurunan kadar katalase dan peningkatan
konsentrasi H2O2 pada kulit penderita vitiligo memperkuat hipotesis biokimiawi. Riset dasar
biokimiawi menemukan bahwa pada penderita vitiligo terjadi akumulasi H2O2, kadar
catalase di seluruh epidermis menurun, ekspresi catalase mRNA tetap tidak berubah.
Uniknya, limfosit darah tepi pada penderita vitiligo juga memiliki kadar catalase yang rendah
dan sel-sel ini rentan terhadap tekanan (stress) H2O2. H2O2 dapat memodulasi respons sel-
sel Langerhans epidermis pada vitiligo. Didapatkan hubungan langsung antara tekanan H2O2
dan kerusakan sel serta onset respons imun seluler adaptif.8
Hipotesis virus
Beberapa virus, seperti cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr virus (EBV),
pernah terdeteksi di epidermis penderita vitiligo di California tahun 1996 dan 1999, dengan
teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Keberadaan DNA CMV pada specimen biopsi
kulit penderita vitiligo menunjukkan potensi kerusakan yang diinduksi virus pada melanosit.
Infeksi virus dapat memicu respons autoimun karena molecular mimicry dari sekuens peptide
virus mengaktivasi subset T-cells. Keterlibatan virus lainnya, seperti: hepatitis C, HIV, dan
virus Epstein-Barr juga pernah dilaporkan.9

Hipotesis neurogenik
Menurut teori neurogenik, gangguan pelepasan katekolamin dari ujung saraf otonom
berperan penting dalam perkembangan vitiligo melalui produksi partikel toksik di
microenvironment melanosit area yang terkena; melalui aksi sitotoksik langsung dari
katekolamin; atau metabolite (produk–metabolisme)-nya. Peningkatan konsentrasi
katekolamin juga menjadi fenomena sekunder karena stress yang berhubungan dengan
vitiligo. Vitiligo melibatkan interaksi kompleks berbagai faktor lingkungan dan genetik yang
pada akhirnya berkontribusi terhadap destruksi melanosit. Selain hilangnya fungsi melanosit,
keratinosit dan sel-sel Langerhans juga terganggu pada penderita vitiligo. Peningkatan kadar
neuropeptide Y juga dijumpai pada kulit penderita vitiligo. Hilangnya epidermal melanocytes
memang merupakan tanda khas (hallmark) vitiligo. Meskipun demikian, mekanisme dasar
kehilangan melanosit atau bagaimana melanosit kehilangan fungsi dan viability pada vitiligo,
serta terbatasnya repigmentasi folikuler atau marginal masih belum jelas, sehingga peluang
riset tetap terbuka dan menjanjikan.
Lymphocyte Mediated
Ekspresi berlebih dari B lymphocyte activating factor (BAF) dapat menghancurkan
toleransi sistem imun diri sendiri pada vitiligo. BAF mengaktifkan sel-sel B yang reaktif
untuk menghasilkan auto-antibodi terhadap melanosit, meningkatkan efek CD4+ T-helper
pada aktivasi CD8+ T cells dan mempresentasikan antigen melanosit langsung ke CD8+ T
cells. Antibodi untuk Lamin A (VIT75, melanocyte membrane antigen) juga meningkat pada
vitiligo autoimun. Peningkatan Th1 / Th2 dan rasio IL-2 / IL-4, ketergantungan kuat
terhadap IFN-γ dan CXCR3 dengan peningkatan signifikan IL-17 dan penurunan TGF-β,
polimorfisme gen dari cluster / reseptor IL19 dan IL20RB semuanya telah tercatat dalam
vitiligo. Sel T CD8 + melanosit spesifik (sel CD8 + / CD45RO +) dan hilangnya melanosit
pada vitiligo berkorelasi dengan aktivitas penyakit.
Transplantasi organ dikenal sebagai faktor risiko vitiligo melalui peningkatan
penghancuran melanosit yang disebabkan oleh reaksi autoimun yang dipicu oleh graft-
versus-host-disease (GVHD) kronik. Dalam sebuah studi, enam kasus vitiligo generalista
terjadi setelah transplantasi sel hematopoietik alogenik / allogeneic hematopoietic cell
transplantation (AHCT). Laporan kasus lain menunjukkan vitiligo pasca transplantasi hati &
ginjal yang terduga sebagai penyebab kehancuran melanosit oleh sitotoksik alloreactive T-
limfosit yang diturunkan donor atau antibodi yang ditransfer selama transplantasi. Seorang
pasien dengan penyakit sickle-cell, yang menerima HCT alogenik dari HLA vitiligo identik
nya, dapat terkena vitiligo.
Melanin / tirosinase Associated
Karakteristik depigmentasi diproduksi oleh haptogenic ortho-quinones yang mengikat
tirosinase (enzim yang menghasilkan melanin) atau protein melanosomal lainnya dengan
menghasilkan neo-antigen yang bertanggung jawab untuk hipersensitivitas tipe IV pada
melanosit tertentu. Melanocyte-MART-1 (melanoma antigen yang dikenali oleh T-sel)
ditemukan berkorelasi dengan mekanisme autoimun pada anak-anak dengan vitiligo. Di
antara mediator melanogenic, stem cell factor (SCF) dan endothelin-1 (ET-1) mRNA secara
signifikan berkurang pada lesi bila dibandingkan dengan epidermis di sekitar lesi. Melanin,
hidrasi stratum korneum, dan indeks eritema telah terbukti secara signifikan rendah pada
vitiligo dan pemulihan epidermal barrier juga tertunda.
Stres oksidatif
Antioksidasi oleh 5,6-Dihydroxyindole-2-carboxylic-acid (DHICA) memainkan peran
penting dalam pemeliharaan respon rendah imun terhadap protein melanosomal. Pada
keratinosit dari kulit di sekitar lesi vitiligo kadar tinggi p38 activated, NF-kB p65 subunit,
p53, dan Smac / DIABLO protein dan rendahnya kadar ERK fosforilasi menunjukkan peran
stres oksidatif dalam vitiligo. Terdapat bukti bahwa kadar superoxide dismutase (SOD) dan
malondialdehid (MDA) secara signifikan lebih tinggi dan kadar katalase (CAT) dan glukosa
dehidrogenase 6-fosfat (G6PD) signifikan lebih rendah pada vitiligo. Sintesis abnormal dan
pengolahan tyrosinase-related protein (TRP-1) dan interaksinya dengan calnexin
menghasilkan peningkatan sensitivitas melanosit vitiligo terhadap stres oksidatif dan
kematian sel.
Disfungsi mitokondria
Mitokondria telah diusulkan menjadi target stimuli, seperti pembangkit spesies
oksigen reaktif, produksi sitokin, pelepasan katekolamin, perubahan metabolisme kalsium,
yang semuanya mampu merangsang degenerasi melanosit. Pengurangan kadar cardiolipin
dalam membran dalam mitokondria, peningkatan ekspresi HMGCoA reduktase dan kadar
kolesterol, ekspresi subunit rantai transport elektron dan perubahan potensial transmembran
mitokondria telah dicatat dalam vitiligo.
Hubungan dengan Tiroid
Bukti kuat menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara vitiligo
dengan disfungsi tiroid. Dalam sebuah studi, insiden yang lebih tinggi pada disfungsi tiroid
ditemukan pada orang-orang dengan vitiligo non-segmental dibandingkan dengan kontrol
(11,8% vs 4,3%). Insiden antibodi anti-TPO dalam vitiligo juga tercatat tinggi. Vitiligo
seringkali bermanifestasi sebelum perkembangan penyakit tiroid, maka itu skrining untuk
fungsi tiroid dan kadar antibodi bermanfaat penting.

4. KLASIFIKASI
Lesi pada vitiligo dikelompokkan berdasarkan distribusi dan perluasan pada kulit.
Secara umum Vitiligo dapat dibagi atas.10
Tipe lokalisata
- Fokal : Satu atau beberapa Makula depigmentasi yang tersebar pada satu daerah.
Terutama terdapat pada daerah menurut distribusi N. Trigeminus, Leher dan trunkus.
- Segmental : Persebaran makula depigmentasi menurut distribusi dermatomal yang
unilateral. Peptida neural biasanya terlibat dalam patogenesis vitiligo tipe ini. Anak-
anak merupakan kelompok utama penderita.
- Mukosal : Makula depigmentasi hanya terdapat pada membran mukosa.
Tipe Generalisata
Tipe yang sering dijumpai, tersebar luas di bagian tubuh dan biasanya memiliki pola
yang simetris dan bilateral.
- Akrofasial : Makula depigmentasi yang terdapat pada distal ekstremitas dan wajah.
- Vulgaris : Makula depigmetasi yang menyebar luas.
- Campuran : Campuran antara akrofasial dan Vulgaris
Tipe Universalis
Proses depigmentasi yang hampir mengenai seluruh tubuh dan hanya sedikit yang
mengalami pigmentasi normal. Tipe ini jarang ditemukan. Menurut klasifikasi Nardlund,
dikatakan sebagai vitiligo universal apabila lesi >80% permukaan kulit tubuh.10

5. GEJALA KLINIS

Bentuk yang paling umum dari vitiligo yaitu makula amelanosis yang dilapisi kulit
normal. Makula-makula tersebut memiliki warna yang seragam yaitu putih susu atau
layaknya seperti warna kapur. Berbatas tegas dan berbentuk konveks dengan perbatasan kulit
normal seakan-akan menginvasi kulit normal. Memiliki ukuran bundar atau linear, ukuran
beberapa millimeter sampai centimeter. Lesi biasanya meluas secara sentrifugal.
Lesi yang ada biasanya asimptomatik atau tidak disertai gejala yang biasanya
menyertai lesi kulit lainnya seperti gatal dan nyeri. Walaupun kadang pada lesi yang sering
terpapar matahari dapat merasakan nyeri akibat luka bakar.
Vitiligo dapat mengenai seluruh bagian tubuh tanpa pengecualian, namun daerah yang
sering mengalami trauma atau mendapat paparan sinar matahari lebih rentan menjadi tempat
predileksi. Tempat predileksi vitiligo diantaranya muka, bagian dorsum manus, axilla, nipple,
umbilicus, sacrum , inguinal maupun daerah anogenital.
Depigmentasi juga dapat terjadi pada rambut pada kulit kepala yang ditandai dengan
perubahan warna pada rambut menjadi warna putih atau abu-abu. Pada awalnya hanya
sebagian kecil rambut yang mengalami depigmentasi. Perubahan warna tersebut juga dapat
terjadi pada rambut pada alis, bulu mata, ketiak dan pubis. Oleh karena itu rambut putih yang
lebih dini muncul yaitu dibawah usia dekade ketiga mengindikasikan vitiligo. Pada kasus ini
tidak terjadi repigmentasi spontan.10
Berikut merupakan variasi klinis pada vitiligo :

 Trichrome vitiligo
Vitiligo dengan lesi kulit depigmentasi dan hipopigmentasi. Lesi hipopigmentasi
cenderung akan menjadi depigmentasi total.
 Quadricrhome vitiligo
Terdapat makula perifollikular atau batas hiperpigmentasi pada daerah yang
mengalami proses repigmentasi.
 Inflammatory vitiligo
Eritema pada tepi lesi makula depigmentasi.10

Gambar 1. Vitiligo11
6. HISTOPATOLOGI

Gambar 2. Anak panah menunjukkan batas yang memisahkan kulit yang mempunyai pigmen
melanin (kiri) dan tidak (kanan).12

Pada lesi kulit depigmentasi dilakukan biopsi di sekitar pinggir lesi dan diperiksa
dengan bantuan mikroskop cahaya. Hasilnya menunjukkan hilangnya sebagian atau seluruh
melanosit pada epidermis dan pada batas epidermis terdapat dendrit yang besar dan panjang.
Histokimia dengan menggunakan pewarnaan DOPA untuk mendeteksi adanya enzim
tyrosinase yang merupakan enzim khusus pada melanosit, serta pewarnaan Fontana mason
untuk mendeteksi melanin. Pada pemeriksaan mikroskop elektron, penemuan sel langerhans
lebih banyak terdapat pada daerah basal epidermis dibandingkan dengan daerah tengah
epidermis.

7. DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis vitiligo berdasarkan lesi kulit yang khas, yaitu makula
depigmentasi berupa bercak putih dengan batas tegas serta distribusi yang jelas. Umur
penderita saat lesi mulai muncul penting untuk menyingkirkan kausa kongenital. Pada
keadaan kulit penderita yang berwarna putih sehingga sulit dibedakan antara vitiligo dengan
kulit yang normal, dapat dilakukan pemeriksaan sinar wood yang akan memberikan hasil
berupa makula amelanosis yang putih berkilau. Pemeriksaan histopatologi sangat penting
untuk membedakan dengan kelainan depigmentasi lainnya.

Gambar 3. Pemeriksaan dengan menggunakan Lampu Wood.13


Lampu Wood merupakan alat pencahayaan yang menggunakan sinar ultraviolet A yang dipancarkan pada gelombang 365nm. Pemeriksaan
ini dilakukan didalam ruang yang gelap. Pemeriksa dibiarkan beradaptasi dengan ruangan gelap selama 30s sebelum memulakan
pemeriksaan. Lampu Wood memberi kesan putih berkilau pada lesi hipopigmentasi (Gambar A) berbanding pada pencahayaan
menggunakan sinar normal (Gambar B)

Skor Vitiligo disease activity (VIDA) digunakan untuk mengetahui derajat keparahan
vitiligo dan keperluan terapi. Cara memberi skor VIDA adalah sebagai berikut:

Skor VIDA Aktivitas penyakit


+4 Aktif 6 minggu yang lalu
+3 Aktif 3 bulan yang lalu
+2 Aktif 6 bulan yang lalu
+1 Aktif di tahun yang lalu
0 Tetap, stabil, atau tak berubah sekurangnya satu tahun
-1 Repigmentasi (terbentuk pigmen) secara spontan
Yang dimaksud “aktif”: penampakan lesi baru atau meluasnya lesi yang sudah ada
Tabel 1. Skor VIDA14

Skor lain yang juga dapat dipakai adalah Vitiligo European Task Force (VETF) dan
Vitiligo Area Scoring Index (VASI). VASI merupakan skor objektif kuantitatif. VASI dan
VETF menawarkan pengukuran yang lebih akurat dibandingkan fotografi klinis (bahkan jika
dikombinasikan dengan computerized morphometry) sebaiknya dipakai pada riset. Penilaian
VETF menambahkan dua parameter, yaitu: severity (staging) dan progression (spreading).15
8. DIAGNOSIS BANDING
Berikut beberapa penyakit yang memiliki lesi seperti vitiligo.10

 Piebaldism
Merupakan bercak kulit yang tidak mengandung pigmen yang ditemukan sejak lahir dan
menetap seumur hidup. Penyakit ini diturunkan secara dominan autosomal, akibat
diferensiasi dan mungkin migrasi melanoblas. Gejala klinis berupa bercak kulit yang tidak
mengandung pigmen terdapat di dahi, median atau paramedian, disertai pula rambut yang
putih. Bercak putih tersebut kadang-kadang ditemukan pula di dada bagian atas, perut, dan
tungkai. Pulau dengan warna kulit normal atau hipermelanosis terdapat di daerah yang
hipermelanosis

 Tinea Vesicolor
Merupakan infeksi kronik oleh Malassezia furfur, yang tampak sebagai hiperpigmentasi
atau yang lebih umum yaitu makula hipopigmentasi dan bersisik. Biasanya menyerang usia
muda antara 15- 35 tahun, dengan lesi terlokalisasi pada dada, leher, lengan atas dan
punggung. Pada neonates dan anak-anak, beberapa kasus menyerang pada bagian muka
dengan transmisi dari orangtua yang terinfeksi. Pemeriksaannya yaitu menggunakan
Wood’s lamp atau pemeriksaan KOH dengan hasilnya tampak hifa dan spora

 Pytiriasis Alba
Bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya. Ditandai dengan
adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan menghilang serta meninggalkan
area yang depigmentasi. Diduga adanya infeksi Streptococcus, tetapi belum dapat
dibuktikan. Sering dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun. Wanita dan pria sama banyak.
Lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah muda atau sesuai
warna kulit dengan skuama halus.

 Nevus depigmentosus
Merupakan bercak hipopigmentasi yang besar, dijumpai pada semua umur, tidak
mengalami depigmentasi dan biasnaya tidak berkembang. Pada pemerikaan histologi
dijumpai melanosit dan melanin tetapi dengan jumlah sel dan pigmen yang berkurang
dibandingkan pada kulit yang normal.

 Post inflammatory Hypopigmentation

9. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan pada vitiligo yaitu repigmentasi dan menstabilkan proses
depigmentasi.16 Proses repigmentasi yang dimaksud yaitu membentuk cadangan baru
melanosit yang diharapkan akan tumbuh dalam kulit dan menghasilkan pigmen melanin. Ada
banyak pilihan terapi yang dapat memberikan hasil cukup memuaskan pada sebagian besar
pasien. Walaupun begitu, pengobatan vitiligo membutuhkan waktu, karena sel yang baru
terbentuk akan berproliferasi dan bermigrasi ke daerah yang mengalami depigmentasi. Oleh
karenanya 3 bulan merupakan waktu minimal untuk melihat derajat respon terhadap
pengobatan yang diberikan.16
Metode pengobatan vitiligo dapat dibagi atas:
Pengobatan secara umum
 Memberikan keterangan mengenai penyakit, pengobatan yang diberikan dan menjelaskan
perkembangan penyakit selanjutnya kepada penderita maupun orang tua.10
 Penggunaan tabir surya (SPF12-30) pada daerah yang terpapar sinar matahari. Melanosit
merupakan pelindung alami terhadap sinar matahari yang tidak dijumpai pada penderita
vitiligo. Penggunaan tabir surya mempunyai beberapa alasan yaitu:
 Kulit yang mengalami depigmentasi lebih rentan terhadap sinar matahari (sunburn) dan
dapat mengakibatkan timbulnya kanker kulit
 Trauma yang diakibatkan sinar matahari (sunburn) selanjutnya dapat memperluas daerah
depigmentasi (Koebner phenomenon)
 Pengaruh sinar matahari dapat mengakibatkan daerah kulit normal menjadi lebih gelap.
Dianjurkan menghindari aktivitas diluar rumah pada tengah hari dan menggunakan tabir
surya yang dapat melindungi dari sinar UVA dan UVB.16

Kamuflase kosmetik
Tujuan penggunaan kosmetik yaitu menyamarkan bercak putih sehingga tidak terlalu
kelihatan. Yang biasa digunakan adalah Covermark dan Dermablend.10

Gambar 4. Koebner phenomenon

Repigmentasi vitiligo
Dapat dilakukan dengan berbagai cara dan melihat usia penderita yaitu:
 PUVA sistemik
Indikasi penggunaan sistemik psoralen dengan pemaparan UV-A yaitu pada vitiligo
tipe generalisata. Obat yang digunakan yaitu Methoxsalen (8-MOP, Oxsolaren), bekerja
dengan cara menghambat mitosis yaitu dengan berikatan secara kovalen pada dasar pyrimidin
dari DNA yang difotoaktivasi dengan UV-A. dosis yang diberikan 0,2 – 0,4 mg/kg/BB/oral,
diminum 2 jam sebelum pemaparan. Pemaparan menggunakan UV-A yang berspektrum 320-
400 nm. Dosis awal pemberian UV-A yaitu 4 joule. Pada setiap pngobatan dosis UV-A dapat
ditingkatkan 2-3 joule sehingga lesi yang depigmentasi akan berubah menjadi merah jambu
muda. Dosis tersebut akan dipertahankan pada level yang konstan pada kunjungan yang
berikutnya, sehingga terjadi repigmentasi pada kulit. Pemaparan dapat juga menggunakan
sinar matahari. Lamanya pemaparan pada awal pengobatan selama 5 menit, pada pengobatan
berikutnya dapat ditambahkan 5 menit sehingga dicapai eritema ringan dan maksimum 30
menit. Terapi ini biasanya diberikan satu atau dua kali seminggu tetapi tidak dilakukan 2 hari
berturut-turut.
Efek samping yang dapat timbul yaitu mual, muntah, sakit kepala, kulit terbakar dan
meningkatnya resiko terjadinya kanker kulit. Penderita mendapat pengobatan dengan
psoralen secara sistemik, sebaiknya sewaktu dilakukan pemaparan menggunakan kacamata
pelindung terhadap sinar matahari hingga sore hari, untuk menghindari terjadinya toksisitas
pada mata. Terapi dilanjutkan minimum 3 bulan untuk menilai respon pengobatan.10

 NB-UVB
Terapi lain yakni dengan NB-UVB, yaitu: narrowband ultraviolet B (NB-UVB) light
(311+/-2e), biasa digunakan untuk vitiligo lokalisata. Ada tiga pilihan NB-UVB: nonfocused
NB-UVB, microphototherapy, NB excimer light. Beberapa keuntungan NB-UVB yaitu dapat
mencegah efek samping psoralen, mengurangi dosis kumulatif radiasi. Juga dapat digunakan
untuk wanita hamil dan anak-anak tanpa efek fototoksik atau atrofi epidermis, dengan sedikit
erythema dibandingkan dengan fototerapi lain. Masalah yang mungkin timbul adalah
timbulnya kemerahan sementara (transient erythema), dengan deskuamasi.
Fototerapi NB-UVB direkomendasikan untuk vitiligo generalisata. Baru-baru ini,
fototerapi NB-UVB telah dikombinasikan dengan suatu antioxidant pool yang mengandung
alpha-lipoic acid, vitamin C, vitamin E, dan polyunsaturated fatty acids, atau Polypodium
leucotomos, suatu ekstrak tumbuhan yang berefek antioxidative dan immunomodulator,
dengan perbaikan respons yang objektif. Selain itu, ekstrak tanaman, dari Cucumis melo,
memiliki properti antioksidan (menunjukkan aktivitas super-oxide dismutase dan
catalaselike) yang berhubungan dengan focused NBUVB treatment.17

 Kortikosteroid topikal
Obat golongan kortikosteroid, seperti: triamcinolone, hydrocortisone, atau prednisone,
dipakai untuk menghentikan penyebaran vitiligo dan menyempurnakan pembentukan
kembali pigmen kulit. Jika merupakan reaksi autoimun, maka dapat diberi kortikosteroid
fluorinasi kuat.18
Problem penggunaan kortikosteroid topical yang umum adalah: jerawat dan erupsi
acneiform, rosasea, atrofi kulit, gatal, erythema, teleangectasias, striae distensae,
hypertrichosis, blistering dan berisi cairan (vesciculation), bengkak, terbakar dan reaksi mirip
terbakar sinar surya, photoaging, meningkatnya risiko berkembang menjadi kanker kulit
nonmelanoma.

 Imunomodulator topikal
Pimecrolimus menghambat aktivasi T-cell, sehingga secara teoretis lebih efektif pada
lesi yang aktif daripada di lesi yang stabil. Efek terapeutik pimecrolimus mirip dengan
glukokortikosteroid topikal potensi sedang dan kuat. Repigmentasi awal dengan
kortikosteroid topikal terlihat dari 2 minggu hingga 4 bulan setelah terapi dimulai. Untuk
kasus vitiligo di wajah yang diterapi dengan tacrolimus, diperlukan waktu 6 minggu untuk
repigmentasi. Namun dari segi efektivitas, pimecrolimus topikal 1% lebih aman
dibandingkan dengan clobetasol propionate 0,05%.

 Analog vitamin D
Kombinasi topical calcipotriene (analog vitamin D3 atau analog vitamin D topikal)
dan terapi NB-UVB, juga antara analog vitamin D topikal dan terapi PUVA sebaiknya tidak
digunakan sebagai terapi vitiligo. Begitu pula dexametason oral tidak direkomendasikan
untuk menahan laju atau progresivitas vitiligo. Inhibitor calcineurin topikal umumnya lebih
disukai untuk lesi wajah dan leher karena tidak menyebabkan atrofi kulit dan dapat
meningkatkan repigmentasi tanpa penekanan respon/sistem kekebalan alamiah tubuh.19

 Pembedahan
Pasien dengan area vitiligo yang tidak luas dan aktivitasnya stabil, dapat dilakukan
transplantasi secara bedah. Tekniknya dapat secara punchgraft, minigraft, suction-blister,
autologouscultures dan autologous-melanocytes-grafts, micropigmentation, split thickness
graft. Kini minigraft tidak lagi direkomendasikan karena tingginya efek samping dan hasil
kosmetik yang jelek, termasuk cobblestone appearance dan polka dot appearance. Teknik
yang memiliki nilai rata-rata sukses tertinggi adalah split skin grafting dan epidermal blister
grafting.18
1. Autologous skin graft
Sering dilakukan pada pasien dengan bercak depigmentasi yang tidak luas. Tehnik ini
menggunakan jaringan graft yang berasal dari pasien itu sendiri dengan pigmen yang
normal, yang kemudian akan dipindahkan ke area depigmentasi pada tubuh pasien itu
sendiri. Repigmentasi akan menyebar dalam waktu 4-6 minggu setelah dilakukan graft.
Komplikasi yang dapat terjadi pada tempat donor yang resipien yaitu infeksi, parut,
cobblestone appearance ataupun dijumpainya bercak-bercak pigmentasi atau tidak terjadi
samasekali repigmentasi.
2. Suction Blister
Prosedur tekhnik ini yaitu dibentuknya bulla pada kulit yang pigmentasinya normal
menggunakan vakum suction dengan tekanan 150 Hg ataupun menggunakan alat
pembekuan. Kemudian atap bula yang terbentuk dipotong dan dipindahkan ke daerah
depigmentasi. Komplikasi tekhnik ini adalah timbulnya jaringan parut, cobble stone
appearance ataupun terjadi repigmentasi yang tidak sempurna. Tetapi dengan tekhnik ini,
resiko timbulnya jaringan parut lebih sedikit dibandingkan prosedur graft yang lain.10

Efek samping pembedahan pada vitiligo antara lain: infeksi (reaktivasi herpes
simpleks), hiperpigmentasi pasca-inflamasi, repigmentasi tak merata, jaringan parut berupa
skar hipertrofik, thick grafts, dan permukaan tak teratur. Pembedahan boleh dilakukan pada
area yang sensitif secara kosmetik jika tidak ada lesi baru, tidak ada fenomena Koebner, tidak
ada perluasan lesi dalam 12 bulan sebelumnya.

 Depigmentasi
Terapi ini merupakan pilihan pada pasien yang gagal terapi PUVA atau pada vitiligo
yang luas dimana melibatkan lebih dari 50% area permukaan tubuh atau mendekati tipe
vitiligo universal. Pengobatan ini menggunakan bahan pemutih seperti 20% monobenzyl
ether dari hydroquinone (benzoquin 20%), yang dioleskan pada daerah normal (dijumpai
adanya melanosit). Dilakukan sekali atau dua kali sehari. Efek samping yang utama adalah
timbulnya iritasi lokal berupa kemerahan ataupun timbul rasa gatal. Oleh karena itu
dilakukan test pengolesan hanya pada satu lengan bawah yang dioleskan sehari sekali.
Apabila dalam 2 minggu tidak terjadi iritasi selanjutnya cream dapat dioleskan sehari 2 kali.
Kemudian setelah 2 minggu pengolesan tidak terjadi iritasi maka krim tersebut dapat
dioleskan pada tempat dimana saja pada tubuh. Bahan ini bersifat sitotoksik terhadap
melanosit dan menghancurkan melanosit. Depigmentasi bersifat permanen dan irreversibel.
Kulit penderita akan menjadi albinoid dan membutuhkan tabir surya.

 Tato (mikropigmentasi)
Tato merupakan pigmen yang ditanamkan dengan menggunakan peralatan khusus
yang bersifat permanen. Teknik ini memberikan respon yang terbaik pada daerah bibir dan
pada daerah yang berkulit gelap.

10. PROGNOSIS
Perkembangan penyakit vitiligo sulit diramalkan, dimana lesi depigmentasi dapat
menetap, meluas atau bahkan mengalami repigmentasi. Biasanya perkembangan penyakit
vitiligo bertahap dan pengobatan dapat mencegah menetapnya lesi seumur hidup pada
penderita. Perkembangan lesi depigmentasi sering kali responsif pada masa awal
pengobatan. Repigmentasi spontan terjadi pada 10-20% penderita walaupun secara
kosmetik hasilnya kurang memuaskan.19
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardiman L. Vitiligo. In: Kelainan Pigmen. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2010.p296.
2. Howitz J, Brodthagen H, Schwartz M, Thomsen K. Prevalence of vitiligo.
Epidemiological survey on the Isle of Bornholm, Denmark. Arch Dermatol 1977;113:47-52.
3. Xu YY, Ye DQ, Tong ZC, et al. An epidemiological survey on four skin
diseases in Anhui. Chin J Dermatol 2002;35:406-7.
4. Schallreuter KU, Bahadoran P, Picardo M, Slominski A, Elassiuty YE,
Kemp EH, Giachino C, Liu JB, Luiten RM, Lambe T, Le Poole IC, Dammak I, Onay H,
Zmijewski MA, Dell’Anna ML, Zeegers MP, Cornall RJ, Paus R, Ortonne JP, Westerhof W.
Vitiligo pathogenesis: autoimmune disease, genetic defect, excessive reactive oxygen
species, calcium imbalance, or what else? Exp Dermatol 2008;17(2):139-40.
5. Dell’Anna ML, Picardo M. A review and a new hypothesis for non-
immunological pathogenetic mechanisms in vitiligo. Pigment Cell Res 2006;19(5):406-11.
6. Spritz RA, Gowan K, Bennett DC, Fain PR. Novel vitiligo susceptibility loci
on chromosomes 7 (AIS2) and 8 (AIS3), conWrmation of SLEV1 on chromosome 17, and
their roles in an autoimmune diathesis. Am J Hum Genet 2004;74:188-91.
7. Kim NH, Torchia D, Rouhani P, Roberts B, Romanelli P. Tumor necrosis
factor-a in vitiligo: direct correlation between tissue levels and clinical parameters. Sep
2011;30(3):225-7 (doi:10.3109/15569527.2011.560913). Cited from:
http://informahealthcare.com/doi/abs/10.3109/15569527.2011.560913
8. Schallreuter K, Moore J, Wood JM, et al. In vivo and in vitro evidence for
hydrogen peroxide accumulation in the epidermis of patients with vitiligo and its successful
removal by a UVBactivated pseudocatalase. J Invest Dermatol 1999;4:91.
9. Grimes PE, Sevall JS, Vojdani A. Cytomegalovirus DNA identifi ed in skin
biopsy specimens of patients with vitiligo. J Am Acad Dermatol 1996;35:21-6.
10. Boissy RE, Nordlund JJ,. Vitiligo. In: 20 Common Medicine and Surgery.
Vol 2, W.B. Saunders Company, 1996; 1210-16
11. Vitiligo. Available at:
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/vitiligo/multimedia/vitiligo/img-20007404
12. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1109642-
overviewmedicine
13. Available at: http://content.nejm.org/cgi/ content/full/360/2/160
14. Njoo MD, Das PK, Bos JD, Westerhof W. Association of the Kobner
phenomenon with disease activity and therapeutic responsiveness in vitiligo vulgaris. Arch
Dermatol 1999;135:407-13.
15. Hamzavi I, Shapiro J. Parametric modelling of narrow band UV-B
phototherapy for vitiligo using a novel quantitative tool. Arch Dermatol 2004;140:677-83.
16. Lamerson C, Nordlund JJ. Vitiligo. In: Harper J, Oranje A, Prose N (Eds).
Textbook of Pediatric Dermatology. Volume 1. Blackwell Science. 2000:880-88.
17. Anbar TS, Westerhof W, Abdel-Rahman AT, El-Khayyat MA. Evaluation of
the eff ects of NB-UVB in both segmental and non-segmental vitiligo aff ecting diff erent
body sites. Photodermatol Photoimmunol Photomed 2006;22:157-63.
18. Gawkrodger DJ, Ormerod AD, Shaw L, Mauri-Sole I, Whitton ME, Watts
MJ, Anstey AV, Ingham J, Young K. Vitiligo: concise evidence based guidelines on
diagnosis and management.Postgrad Med J 2010;86:466-71
19. Gawkrodger DJ. Vitiligo: what general physicians need to know. Clinical
Medicine 2009;9(5):408-9.

Anda mungkin juga menyukai