Anda di halaman 1dari 11

Nama : Elsa Irnandari

NIM : 188114130
Pertemuan VI: Farmakoterapi Aritmia

Tugas Individu:
1. Sebutkan jenis-jenis aritmia!
Jawab: Klasifikasi FA Hal 11-14
 Ada yang terlalu cepat atau ada yang terlalu lambat (Atropin, epinefrin)
 Hiperkalemia, AV block  aritmia karena pengaruh elektrolit Pace-makers
 AV block antrikuler maurit 1  pemberian timolol dipake secara kronis akan
masuk ke pembuluh darah lewat vena konjungtiva terabsorbsi secara sistemik.
Langsung ke pembuluh darah tidak lewat hati  atropine, Pace-makers (dipacu
listrik supaya nadinya kembali ke normal).
 Hipertiroid  aritmia, beta blocker untuk menghentikan artimianya, PTU
1) Aritmia Supraventrikular  bagian atrium
a. Atrial fibrilasi (AF) dan Atrial flutter
Atrial fibrilasi (AF), gangguan irama jantung yang ditandai dengan denyut
jantung yang cepat (400 hingga 600 denyut atrium/menit) dan aktivasi atrium
yang tidak beraturan. Terjadi kehilangan kontraksi atrial (atrial kick), dan
impuls supraventrikular yang menembus sistem konduksi atrioventrikular
(AV) ke derajat variabel, mengakibatkan aktivasi ventrikel tidak teratur dan
denyut nadi tidak teratur (120-180 kali/menit). Atrial flutter adalah gangguan
ritme yang ditandai dengan frekuensi atrium 270-330 denyut atrial/ menit
namun aktivasi atrium teratur. Respon ventrikel biasanya memiliki pola
teratur dan denyut nadi 300 kali / menit.
b. Takikardia supraventricular paroksimal (PSVT) yang disebabkan oleh
reentry
Takikardia supraventricular paroksimal (PSVT) yang disebabkan oleh reentry.
Gangguan ini disebabkan oleh masuk kembali (reentry) nodal
atrioventrikel(AV), reentry nodal sinoatrial(SA), dan reentry intraatrial. Re-
entry yang dimaksud adalah konsep yang melibatkan penyebaran impuls yang
tidak terbatas dan aktivasi jaringan refraktori sebelumnya

2) Aritmia Ventricular
a. Premature Ventricular Complexes (PVC)
PVC merupakan gangguan irama ventrikel umum yang terjadi pada pasien
dengan atau tanpa penyakit jantung dan kemungkinan ditimbulkan secara
eksperimental oleh otomatisasi abnormal, aktivitas yang memicu, atau
mekanisme masuk kembali (reentry). Sebagian besar kontraksi premature
merupakan akibat fokus ektopik di dalam jantung, yang mengeluarkan impuls
abnormal pada waktu tertentu selama irama jantung. Penyebab focus ektopik
antara lain daerah iskemia local, Plak klasifikasi kecil di berbagai bagian
jantung, yang menekan otot jantung di dekatnya sehingga beberapa serat
menjadi teriritasi, Iritasi toksik pada nodus A-V, sistem purkinje, atau
miokardium disebabkan oleh obat-obatan, nikotin, atau kafein.
b. Takikardia ventricular
Takikardia ventricular dapat didefinisikan sebagai tiga atau lebih PVC
berulang yang terjadi dengan kecepatan lebih dari 100 denyut/menit. Pasien
akut ditandai dengan infark miokard (MI) akut. Penyebab lainnya adalah
kelainan elektrolit yang parah seperti hipokalemia, hipoksemia dan digitalis
toksisitas. Bentuk gangguan kronis biasanya didasari dengan penyakit jantung
bawaan seperti cardiomiopati idiopatik terdilatasi atau aneurisma ventrikel kiri
(LV).
c. Proaritmia ventricular
Proaritmia vetrikular ini dapat terjadi antara lain perubahan substrat yang
mendasarinya karena agen antiaritmia. Proaritmia mengacu pada
perkembangan aritmia baru yang signifikan seperti takikardia ventrikel,
fibrilasi ventrikel, torsade de pointes, atau memperparah aritmia yang sudah
ada pada pasien. TdP adalah bentuk VT polimorfik cepat yang berhubungan
dengan bukti repolarisasi ventrikel yang tertunda karena konduktansi kalium
yang terblokir.
d. Fibrilasi ventricular (VF)
Aktivitas VF ditandai dengan depolarisasi sel yang tidak beraturan melalui
otot jantung ventrikel yang menghasilkan tidak ada pengeluaran darah dari
jantung (cardiac output) dan gangguan pada kardiovaskular. Fibrilasi ventrikel
terjadi karena impuls jantung yang terdapat di dalam massa otot ventrikel
timbul tidak terkendali. Impuls tersebut akan merangsang salah satu otot
ventrikel, kemudian merangsang bagian yang lain, kemudian yang lain lagi
dan akhirnya kembali ke tempat semula dan merangsang kembali otot
ventrikel yang sama berulang-ulang kali dan tidak berhenti. Apabila hal ini
terjadi, maka banyak bagian otot ventrikel yang kecil akan berkontraksi pada
waktu bersamaan, sementara itu, banyak bagian lain dalam jumlah sama juga
akan berelaksasi, Jadi, tidak pernah ada kontraksi terkoordinasi dari semua
otot ventrikel pada saat bersamaan yang diperlukan dalam siklus pompa
jantung.VF sering muncul pada pasien dengan CAD atau disfungsi ventrikuler
kiri

3) Bradikardia
Bradiaritmia terjadi akibat penurunan cardiac output. Dikarenakan cardiac
output menurun saat denyut jantung menurun (sampai titik tertentu), pasien
dengan bradiaritmia mungkin mengalami gejala yang berhubungan dengan
hipotensi, seperti pusing, sinkop, kelelahan, dan kebingungan. Bradiaritmia sinus
(denyut jantung <60 denyut/menit) sering terjadi terutama pada individu yang
masih muda dan aktif dan biasanya asimtomatik dan tidak memerlukan intervensi.
Disfungsi node sinoatrial biasanya merupakan gambaran penyakit konduksi difus
yang dapat disertai blok atrioventrikular dan takikardia paroksismal seperti
fibrilasi atrium. Dalam hal ini, fibrilasi atrium terkadang muncul dengan respons
ventrikel yang agak lambat (dengan tidak adanya obat penghambat nodus fibrilasi
atrium) karena penyakit konduksi difus. Bradiaritmia dan takiaritmia bergantian
disebut sebagai sindrom taki-bradi.

2. Apakah terapi Ablasi frekuensi radio itu? apa indikasi bagi terapi aritmia?
Jawab: Hal 55-56
 AFR merupakan terapi ablasi atrium kiri yang direkomendasikan pada pasien
FA yang masih simtomatik meskipun telah dilakukan terapi medikamentosa
optimal atau pasien memilih strategi kendali irama karena menolak mengonsumsi
obat antiaritmia seumur hidup. Ablasi frekuensi radio direkomendasikan pada
pasien dengan FA simtomatik yang refrakter atau intoleran dengan ≥1 obat
antiaritmia golongan 3 (amiodaron).
 Indikasi bagi terapi artimia: Ostium VP yang terletak di atrium kiri merupakan
sumber fokus ektopik yang mempunyai peranan penting dalam inisiasi dan
mekanisme terjadinya FA. Ablasi frekuensi-radio pada focus ektopik tersebut
dapat mengeliminasi episode FA. Strategi AFR yang direkomendasikan adalah
isolasi elektrik pada antrum VP dan AFR fokus ektopik

3. Apa fungsi Monitor Holter?


Jawab: Hal 26
Monitor Holter atau event recording dapat berguna untuk menegakkan diagnosis FA
paroksismal, dimana pada saat presentasi, FA tidak terekam pada EKG. Selain itu, alat ini
juga dapat digunakan untuk mengevaluasi dosis obat dalam kendali laju atau kendali
irama. Evaluasi Monitor Holter dapat dilakukan untuk menilai terapi dan memantau ada
tidaknya bradikardia.

4. Sebutkan ada berapa jenis antikoagulan!


Jawab: Jenis antikoagulan Hal 34-37
a. Antagonis vitamin K (AVK)
Antagonis vitamin K (warfarin atau coumadin) adalah obat antikoagulan yang paling
banyak digunakan untuk pencegahan stroke pada FA. Bukti tambahan menunjukkan
bahwa pencegahan stroke oleh AVK hanya efektif bila time in therapeutic range
(TTR) baik yaitu >70%. TTR adalah proporsi waktu ketika INR 2-3 tercapai
dibandingkan keseluruhan lama waktu mengkonsumsi AVK. Oleh karena itu, upaya
pengaturan dosis yang terus-menerus harus dilakukan untuk memperoleh nilai target
INR 2-3. Kesulitan pemakaian AVK di Indonesia ialah tidak tersedianya fasilitas
pemeriksaan INR di daerah-daerah perifer. Dalam kaitan ini perlu juga diperhatikan
adanya faktor genetik pada etnis Indonesia yang berkaitan dengan sensitivitas
individu terhadap warfarin.
b. Antikoagulan Baru (AKB) (Hal 35-37)
Saat ini terdapat 3 jenis AKB yang bukan merupakan AVK di pasaran Indonesia,
yaitu dabigatran, rivaroxaban, dan apixaban. Dabigatran bekerja dengan cara
menghambat langsung trombin sedangkan rivaroxaban dan apixaban keduanya
bekerja dengan cara menghambat faktor Xa (salah satu faktor koagulasi).
 Rivaroxaban
Rivaroxaban merupakan obat antikoagulan golongan penghambat faktor Xa
oral pertama yang mampu mencegah terjadinya trombogenesis tanpa bantuan
kofaktor antitrombin untuk pencegahan stroke pada FA nonvalvular.
Rivaroxaban ditoleransi dengan baik pada pasien dewasa yang sehat, dan
mampu diperkirakan efek antikoagulannya terjadi pada kisaran dosis 5- 80 mg
(Nursalim dan Setiabudi, 2012). Pada pasien dengan FA, rivaroxaban
digunakan 20 mg sekali sehari dan dikonsumsi bersamaan dengan makanan.
Karena obat dieliminasi secara parsial di ginjal, sehingga dosis harus
dikurangi menjadi 15 mg satu kali sehari pada pasien dengan CrCl 15-50
mL/menit (Yakobus, 2017).
 Dabigatran
Dabigatran adalah antikoagulan oral golongan penghambat thrombin (protein
lain yang membantu proses pembekuan darah). Dabigatran eteksilat segera
dihidrolisasi pada pemberian secara oral yang menjadi bentuk aktifnya yakni
dabigatran. Setelah diabsorpsi di saluran gastrointestinal (GI) kemudian
konsentrasi plasma tertinggi dicapai dalam waktu 0,5-2 jam, kemudian obat
ini akan dibuang lewat ginjal. Waktu paruh dabigatran adalah antara 12-17
jam sehingga obat ini perlu dikonsumsi dua kali dalam sehari. Mula kerja
dabigatran relatif cepat, adanya interaksi dengan makanan dan dengan obat
lain terjadi lebih sedikit dibandingkan dengan warfarin, serta obat ini tidak
memerlukan monitoring laboratorium secara intensif seperti warfarin (Tran, et
al., 2011).
 Apixaban
Apixaban adalah inhibitor faktor Xa yang cepat diserap dan memiliki waktu
paruh 12 jam. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik obat ini dapat
diramalkan sehingga tidak diperlukan pemantauan berkala seperti warfarin.
Namun apixaban berinteraksi dengan berbagai obat lain karena di
metabolisme oleh CYP450 3A4 (Nursalim dan Setiabudi, 2012). Pada pasien
dengan FA, dianjurkan penggunaan dosis apixaban 5 mg dua kali sehari.
Dosis yang dikurangi menjadi 2,5 mg sebanyak dua kali sehari dianjurkan
pada pasien dengan dua atau lebih kriteria berikut: usia 80 tahun atau lebih,
berat badan 60 kg atau kurang, dan tingkat CrCl 1,5 mg/dL atau lebih tinggi
(Yakobus, 2017).
 Edoxaban
Edoxaban merupakan obat antagonis non-vitamin K yang bersifat cepat dan
selektif. Edoxaban dapat digunakan sekali sehari secara oral. Pada subyek
yang sehat, dosis tunggal edoxaban menghasilkan konsentrasi plasma puncak
dalam waktu pemberian 1-2 jam. Penggunaan dosis edoxaban untuk dosis
sekali sehari sebesar 15-150 mg. Edoxaban sebagian besar diserap di saluran
pencernaan bagian atas, dan bioavailabilitas oralnya sekitar 62%. Makanan
tidak mempengaruhi total paparan dari edoxaban. Waktu paruh eliminasi
terminal pada subyek sehat berkisar antara 10-14 jam, dengan akumulasi
minimal setelah pengulangan dosis sekali sehari hingga dosis 120 mg.
Mekanisme klirensnya melibatkan jalur ginjal dan non-ginjal. Faktor intrinsik
seperti usia, jenis kelamin dan ras, tidak mempengaruhi farmakokinetik
edoxaban setelah mempertimbangkan fungsi ginjal (Yakobus, 2017).
Obat antikoagulan baru terbukti non-inferior dibanding warfarin dengan tingkat
keamanan yang lebih baik. Atas dasar ini AKB lebih disarankan daripada warfarin pada
mayoritas pasien FA nonvalvular. Karena belum ada perbandingan langsung antar
berbagai AKB maka sulit untuk mengatakan mana yang paling baik.

5. Pemeriksaan laboratorium apa yang diperlukan dalam monitoring terapi antikoagulan?


Jawab: Jurnal
 Penggunaan warfarin dapat dimonitor berdasarkan efek farmakodinamik dari
prothrombin time (PT) melalui nilai international normalized ratio (INR)
dari plasma promtombin ten. Akan tetapi, INR memiliki beberapa keterbatasan
dalam mendeteksi faktorfaktor yang mempengaruhi efek antikoagulan, seperti
kepatuhan pasien, resistensi terhadap antikoagulan, interaksi obat dan makanan,
dan lain-lain. Pemantauan kadar warfarin dalam darah dapat membantu
mendiagnosa dan memberikan terapi yang efektif pada intoksikasi berat. Selain
itu, memantau kadar warfarin dalam darah juga membantu dalam menentukan
ketidakpatuhan pasien dan resistensi antikoagulan (Sun et al., 2006). Orang
normal INR 0,9-1,2.
 Therapeutic drug monitoring (TDM) penting untuk dilakukan terutama
untuk obat-obat dengan indeks terapi sempit seperti warfarin. Akan tetapi
pelaksanaan TDM di Indonesia masih sangat jarang dan mahal. Perkiraan kadar
obat dalam darah bisa dihitung dengan model farmakokinetika (Usman, 2007).

6. Apa risiko yang harus dipertimbangkan bila memberi antikoagulan?


Jawab: Jurnal
 Peningkatan faktor risiko pendarahan dari penggunaan warfarin dipengaruhi
oleh waktu dan durasi pemakaian dari warfarin (Touchette, 2008).
 Efek antikoagulasi yang tidak adekuat atau berlebihan dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi tromboemboli atau perdarahan
(Sun et al., 2006).
 Warfarin termasuk obat antagonis vitamin K, memiliki beberapa kekurangan,
di antaranya onset yang kerja lambat, berinteraksi banyak dengan obat serta
makanan, memerlukan pemantauan kontinu, risiko perdarahan pada dosis berlebih
dan risiko kejadian trombosis pada dosis suboptimal, sehingga diperlukan
monitoring laboratorium secara berkala.

7. Apa yang dimaksud skor HAS-BLED?


Jawab: Hal 32-33
Skor HAS-BLED (Hypertension, Abnormal renal or liver function, history of Stroke,
history of Bleeding, Labile INR value, Elderly, dan antithrombotic Drugs and alcohol)
merupakan skor yang digunakan dalam mempertimbangkan pemberian tromboprofilaksis
(Antikoagulan AKB atau AVK) karena adanya risiko pendarahan akibat antikoagulan,
khususnya perdarahan intraknial yang bersifat fatal atau menimbulkan disabilitas.
Skor HAS-BLED telah divalidasi pada banyak studi kohor berkorelasi baik dengan
perdarahan intrakranial. Evaluasi risiko perdarahan pada setiap pasien FA harus
dilakukan dan jika skor HAS-BLED ≥3 maka perlu perhatian khusus, pengawasan
berkala dan upaya untuk mengoreksi faktor-faktor risiko yang dapat diubah. Skor HAS-
BLED tidak digunakan untuk melakukan eksklusi pemakaian antikoagulan tetapi sebagai
panduan sistematis dalam menaksir risiko perdarahan dan memikirkan faktor-faktor
risiko yang dapat dikoreksi seperti tekanan darah yang belum terkontrol, penggunaan
aspirin atau non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAIDs), dsb. Hal yang penting untuk
diperhatikan bahwa pada skor HAS-BLED yang sama, risiko perdarahan intrakranial dan
perdarahan mayor lain dengan pemberian aspirin atau warfarin sama saja.

8. Sebutkan tatalaksana Fibrilasi atrium fase akut!


Jawab: Tata laksana Fibrilasi Atrium Fase Akut
a. Kendali laju fase akut (Hal 44-45)
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat mengontrol
respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal kalsium non-
dihidropiridin oral dapat digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil.
Antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin hanya boleh dipakai pada pasien dengan
fungsi sistolik ventrikel yang masih baik. Obat intravena mempunyai respon yang
lebih cepat untuk mengontrol respon irama ventrikel. Digoksin atau amiodaron
direkomendasikan untuk mengontrol laju ventrikel pada pasien dengan FA dan gagal
jantung atau adanya hipotensi. Namun pada FA dengan preeksitasi obat terpilih
adalah antiaritmia kelas I (propafenon, disopiramid, mexiletine) atau amiodaron. Obat
yang menghambat NAV tidak boleh digunakan pada kondisi FA dengan preeksitasi
karena dapat menyebabkan aritmia letal. Pada fase akut, target laju jantung adalah
80-100 kpm.
b. Kendali Irama Fase Akut Hal 46
Respon irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasien FA. Pasien yang mengalami hemodinamik tidak stabil
akibat FA harus segera dilakukan kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama
sinus. Pasien yang masih simtomatik dengan gangguan hemodinamik meskipun
strategi kendali laju telah optimal, dapat dilakukan kardioversi farmakologis dengan
obat antiaritmia intravena atau kardioversi elektrik. Saat pemberian obat antiaritmia
intravena pasien harus dimonitor untuk kemungkinan kejadian proaritmia akibat obat,
disfungsi nodus sinoatrial (henti sinus atau jeda sinus) atau blok atrioventrikular. Obat
intravena untuk kardioversi farmakologis yang tersedia di Indonesia adalah
amiodaron. Kardioversi dengan amiodaron terjadi beberapa jam kemudian setelah
pemberian.
c. Terapi Pil dalam Saku (pildaku) Hal 47
Pemberian propafenon oral (450-600 mg) dapat mengonversi irama FA menjadi
irama sinus. Efektivitas propafenon oral tersebut mencapai 45% dalam 3 jam.
Strategi terapi ini dapat dipilih pada pasien dengan simtom yang berat dan FA jarang
(sekali dalam sebulan). Oleh karena itu, propafenon (450-600 mg) dapat dibawa
dalam saku untuk dipergunakan sewaktu-waktu pasien memerlukan (pil dalam
saku – pildaku).

9. Apa terapi pilihan Fibrilasi atrium pada keadaan gagal jantung atau pasien dengan
riwayat infark miokard?
Jawab: Hal 59-60
 Penyekat beta direkomendasikan sebagai terapi pilihan pertama pada pasien FA
dengan gagal jantung dan fraksi ejeksi yang rendah atau pasien dengan riwayat
infark miokard, karena beta blocker menurunkan kebutuhan okisgen otot jantung
sehingga kerja jantung tidak terlalu keras, jika belum maksimal bisa
dipertimbangkan penambahan digoksin. Apabila monoterapi tidak cukup, dapat
ditambahkan digoksin untuk kendali laju. Digoksin tidak dianjurkan untuk
terapi awal pada pasien FA yang aktif, dan sebaiknya hanya diberikan pada pasien
gagal jantung sistolik yang tidak memiliki aktivitas tinggi. Hal ini disebabkan
karena digoksin hanya bekerja pada parasimpatis. Amiodaron untuk kendali laju
hanya diberikan apabila obat lain tidak optimal untuk pasien.
 Untuk kendali laju jantung pada FA sebaiknya menggunakan obat penyekat beta
dan bila perlu dapat ditambahkan digitalis. Amiodaron adalah satu-satunya obat
kendali irama yang dapat digunakan untuk pengobatan jangka panjang pada
pasien dengan gagal jantung kelas fungsional III dan IV. Pada kondisi gagal
jantung akut, pilihan terapinya adalah kendali laju dengan pemberian digitalisasi
cepat berupa digoksin 0,25-0,5 mg intravena (0,01-0,03 mg/kgBB/hari).
Pemberian dengan bolus selama 2 menit yang diencerkan dalam 10 cc larutan
isotonis. Bila laju jantung belum terkontrol, bolus digoksin dapat diulang 4 jam
setelah pemberian pertama dengan dosis maksimal 1,5 mg per 24 jam.
 Digoksin atau amiodaron direkomendasikan untuk mengontrol laju ventrikel pada
pasien dengan FA dan gagal jantung atau adanya hipotensi.
 Penghambat EKA dan penyekat reseptor angiotensin sebaiknya digunakan
pada pasien dengan FA yang baru saja terjadi pada pasien gagal jantung dengan
penurunan fraksi ejeksi.
10. Bagaimana pilihan terapi pada fibrilasi atrium dengan penyakit penyerta PPOK penyakit
paru obstruktif kronik
Jawab: Hal 73-74
Takikardi atrium multifokal banyak ditemukan pada kasus PPOK dan sering
disalahartikan. Fibrilasi atrium pada pasien penyakit paru kronik dapat menyebabkan
eksaserbasi akut yang berhubungan dengan hipoksia. Terapi terhadap penyebab kelainan
paru dan koreksi gangguan elektrolit harus menjadi perhatian utama karena sebagai FA
Obat-obat yang dapat meredakan bronkospasme seperti teofilin dan agonis beta dapat
mencetuskan FA sehingga kendali laju menjadi sulit. Golongan obat penyekat beta non-
selektif, propafenon dan adenosin merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
bronkospasme. Penggunaan sotalol, antiaritmia golongan III yang juga merupakan
penyekat beta harus diberikan dengan hati-hati pada bronkospasme. Pada keadaan ini
kalsium antagonis merupakan pilihan yang lebih baik, contohnya: . Penyekat beta
selektif (sebagai contoh bisoprolol) pada dosis kecil sering dapat ditoleransi dan cukup
efektif. Pada kasus FA yang resisten, ablasi NAV dan pemasangan pacu jantung
ventrikel mungkin dibutuhkan untuk kendali laju ventrikel.

NOTE: BACA JUGA DIPIRO!!!!

Anda mungkin juga menyukai