Disusun Oleh:
i
KATA PENGANTAR
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan.................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan.................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................
B. Saran...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
3
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi HIV/AIDS ( Human immuno Deficiency Virus / Acquired Immune Deficiency
Syndrom ) pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1981 pada orang dewasa
homoseksual, sedangkan pada anak tahun 1983. enam tahun kemudian ( 1989 ), AIDS
sudah termasuk penyakit yang mengancam anak di amerika. Di seluruh dunia, AIDS
menyebabkan kematian pada lebih dari 8000 orang setiap hari saat ini, yang berarti 1
orang setiap 10 detik, karena itu infeksi HIV dianggap sebagai penyebab kematian
tertinggi akibat satu jenis agen infeksius.
AIDS pada anak pertama kali dilaporkan oleh Oleske, Rubbinstein dan Amman pada
tahun 1983 di Amerika serikat. Sejak itu laporan jumlah AIDS pada anak di Amerika
makin lama makin meningkat. Pada bulan Desember di Amerika dilaporkan 1995
maupun pada anak yang berumur kurang dari 13 tahun menderita HIV dan pada bulan
Maret 1993 terdapat 4480 kasus. Jumlah ini merupakan 1,5 % dan seluruh jumlah kasus
AIDS yang dilaporkan di Amerika. Di Eropa sampai tahun 1988 terdapat 356 anak
dengan AIDS. Kasus infeksi HIV terbanyak pada orang dewasa maupun pada anak – anak
tertinggi didunia adalah di Afrika.
Sejak dimulainya epidemi HIV/ AIDS, telah mematikan lebih dan 25 juta orang, lebih
dan 14 juta anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya karena AIDS. Setiap
tahun juga diperkirakan 3 juta orang meninggal karena AIDS, 500 000 diantaranya adalah
anak usia dibawah 15 tahun. Setiap tahun pula terjadi infeksi baru pada 5 juta orang
terutama di negara terbelakang atau berkembang, dengan angka transmisi sebesar ini
maka dari 37,8 juta orang pengidap infeksi HIV/AIDS pada tahun 2005, terdapat 2,1 juta
anak-anak dibawah 15 tahun.(WHO)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar AIDS/HIV pada anak?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan HIV/AIDS?
3. Bagaimana konsep dasar SLE pada anak?
4. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan SLE?
5
C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa dapat memahami tentang konsep dasar AIDS/HIV pada anak
2. Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada anak dengan HIV/AIDS
3. Mahasiswa dapat memahami konsep dasar SLE pada anak
4. Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada anak dengan SLE
D. Manfaat Penulisan
Mahasiswa mengetahuibagaimana konsep Asuhan Keperawatan Anak Dengan Aids Dan
Sle, kemudian mahasiswa mau dan mampu untuk memahami teori tersebut dalam
penyelesain masalah-masalah kesehatan yang ditemui ketika dilapangan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Etiologi HIV/AIDS
Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang masuk dalam kelompok
retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh
manusia. Penyakit ini dapat ditularkan melalui penularan seksual, kontaminasi
patogen di dalam darah, dan penularan masa perinatal.
1. faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah :
7
a) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual,
b) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti,
c) bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat intravena,
d) bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah berulang,
e) anak yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual (perlakuan salah
seksual), dan
f) anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan.
2. Cara Penularan
Penularan HIV dari ibu kepada bayinya dapat melalui:
a) Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum)
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang
dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal.
Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada
waktu bayi terpapar dengan darah ibu.
b) Selama persalinan (intrapartum)
Selama persalinan bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang
mengandung HIV melalui paparan trakeobronkial atau tertelan pada jalan
lahir.
c) Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi
Pada ibu yang terinfeksi HIV, ditemukan virus pada cairan vagina 21%,
cairan aspirasi lambung pada bayi yang dilahirkan. Besarnya paparan pada
jalan lahir sangat dipengaruhi dengan adanya kadar HIV pada cairan vagina
ibu, cara persalinan, ulkus serviks atau vagina, perlukaan dinding vagina,
infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini, persalinan prematur, penggunaan
elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forsep, episiotomi dan
rendahnya kadar CD4 pada ibu.Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum
persalinan akan meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali
lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan.
d) Bayi tertular melalui pemberian ASI
Transmisi pasca persalinan sering terjadi melalui pemberian ASI (Air susu
ibu). ASI diketahui banyak mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak.
Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang tenderita HIV
adalah 1 per 10 4 sel, partikel virus ini dapat ditemukan pada componen sel
dan non sel ASI. Berbagai factor yang dapat mempengaruhi resiko tranmisi
8
HIV melalui ASI antara lain mastitis atau luka di puting, lesi di mucosa mulut
bayi, prematuritas dan respon imun bayi. Penularan HIV melalui ASI
diketahui merupakan faktor penting penularan paska persalinan dan
meningkatkan resiko tranmisi dua kali lipat.
3. Manisfestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai
penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur
muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari
ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82%
berumur <3 tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara
vertikal belum memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.Gejala klinis yang
terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang ada di lingkungan
anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi nonspesifik berupa :
a. gagal tumbuh
b. berat badan menurun,
c. anemia,
d. panas berulang,
e. limfadenopati, dan
f. hepatosplenomegali
Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi
oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang
lazimnya tidak memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya
penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit
bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta
sering berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat
menyebar ke esofagus, radang paru karenaPneumocystis carinii, radang paru
karena mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak
terserang Mycobacterium tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan
kelainan luas pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare berulang.
4. Patofisiologi HIV/AIDS
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,
yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga
9
meperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit.
Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,
yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga
memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit.
Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti,
meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis
melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen; penghancuran sel
yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan kematian atau
disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar getah bening.
HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit.
Infeksi HIV pada monosit, tidak seperti infeksi pada limfosit CD4, tidak
menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi dapat berperang sebagai
reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat membawa virus ke organ,
terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi memperlihatkan asam
nukleat viral pada sel-sel kromafin mukosa usus, epitel glomerular dan tubular dan
astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus yang paling konsisten adalah dari otak,
hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun sering sulit
untuk mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan oleh infeksi virus local atau
komplikasi infeksi lain atau autoimun.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun “
priode inkubasi “ atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum
lebih singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama
fase ini, gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes, terutama berkenaan
dengan fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan produksi antibody nonfungsional
lebih universal diantara anak-anak yang terinfeksi HIV dari pada dewasa, sering
meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan.
Ketidakmampuan untuk berespon terhadap antigen baru ini dengan produksi
imunoglobulin secara klinis mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen sebelumnya,
berperang pada infeksi dan keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada infeksi
HIV pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan mungkin
tidak berkorelasi dengan status simtomatik. Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV
sering memiliki jumlah limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS periatrik
10
mungkin memiliki resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang
berkembang untuk beberapa alasan menderita imunopatologi yang berbeda dengan
dewasa, dan kerentanan perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi
relatif ensefalopati yang terjadi pada infeksi HIV anak.
5. Penatalaksanaan Medis
Belum ada penyembuhan untuk AIDS jadi yang dilakukan adalah pencegahan seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya. Tapi apabila terinfeksi HIV maka terapinya yaitu :
a. Pengendalian infeksi oportunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi oportuniti,
nosokomial, atau sepsis, tindakan ini harus dipertahankan bagi pasien di
lingkungan perawatan yang kritis.
b. Terapi AZT (Azitomidin)
Obat ini menghambat replikasi antiviral HIV dengan menghambat enzim
pembalik transcriptase.
c. Terapi antiviral baru
Untuk meningkatkan aktivitas sistem immun dengan menghambat replikasi virus
atau memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obatan ini adalah:
didanosina, ribavirin, diedoxycytidine, recombinant CD4 dapat larut.
d. Menghindari infeksi lain, karena infeksi dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat replikasi HIV.
e. Rehabilitasi bertujuan untuk memberi dukungan mental-psikologis, membantu
megubah perilaku resiko tinggi menjadi perilaku kurang berisiko atau tidak
berisiko, mengingatkan cara hidup sehat dan mempertahankan kondisi hidup
sehat.
f. Pendidikan untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan makanan yang
sehat, hindari sters, gizi yang kurang, obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
Edukasi ini juga bertujuan untuk mendidik keluarga pasien bagaimana
menghadapi kenyataan ketika anak mengidap AIDS dan kemungkinan isolasi dari
masyarakat.
11
Keluhan utama dapat berupa :
12
Anak remaja yang berhubungan seksual yang berganti-ganti pasangan
Gambaran klinis pada anak nonspesifik seperti :
Gagal tumbuh
Berat badan menurun
Anemia
Panas berulang
Limpadenopati
Hepatosplenomegali
Adanya infeksi oportunitis yang merupakan infeksi oleh kuman, parasit, jamur
atau protozoa yang menurunkan fungsi immun pada immunitas selular seperti
adanya kandidiasis pada mulut yang dapat menyebar ke esofagus, adanya
keradangan paru, encelofati dll
2. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Mata
Adanya cotton wool spot ( bercak katun wol ) pada retina
Retinitis sitomegalovirus
Khoroiditis toksoplasma
Perivaskulitis pada retina
Infeksi pada tepi kelopak mata.
Mata merah, perih, gatal, berair, banyak sekret, serta berkerak
Lesi pada retina dengan gambaran bercak / eksudat kekuningan, tunggal / multiple
2. Pemeriksaan Mulut
Adanya stomatitis gangrenosa
Peridontitis
Sarkoma kaposi pada mulut dimulai sebagai bercak merah datar kemudian menjadi
biru dan sering pada platum (Bates Barbara 1998 )
3. Pemeriksaan Telinga
Adanya otitis media
Adanya nyeri
Kehilangan pendengaran
4. Sistem pernafasan
Adanya batuk yang lama dengan atau tanpa sputum
13
Sesak nafas
Tachipnea
Hipoksia
Nyeri dada
Nafas pendek waktu istirahat
Gagal nafas
5. Pemeriksaan Sistem Pencernaan
Berat badan menurun
Anoreksia
Nyeri pada saat menelan
Kesulitan menelan
Bercak putih kekuningan pada mukosa mulut
Faringitis
Kandidiasis esofagus
Kandidiasis mulut
Selaput lendir kering
Hepatomegali
Mual dan muntah
Kolitis akibat dan diare kronis
Pembesaran limfa
6. Pemeriksaan Sistem Kardiovaskular
Suhu tubuh meningkat
Nadi cepat, tekanan darah meningkat
Gejala gagal jantung kongestiv sekuder akibat kardiomiopatikarena HIV
7. Pemeriksaan Sistem Integumen
Adanya varicela ( lesi yang sangat luas vesikel yang besar )
Haemorargie
Herpes zoster
Nyeri panas serta malaise
Aczematoid gingrenosum
Skabies
8. Pemeriksaan sistem perkemihan
Didapatkan air seni yang berkurang
Annuria
14
Proteinuria
Adanya pembesaran kelenjar parotis
Limfadenopati
9. Pemeriksaan Sistem Neurologi
Adanya sakit kepala
Somnolen
Sukar berkonsentrasi
Perubahan perilaku
Nyeri otot
Kejang-kejang
Encelopati
Gangguan psikomotor
Penururnan kesadaran
Delirium
Meningitis
Keterlambatan perkembangan
10. Pemeriksaan Sistem Muskuluskeletal
Nyeri persendian
Letih, gangguan gerak
Nyeri otot
3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Kemudian pada pemeriksaan diagnostik atau laboratorium didapatkan adanya
anemia, leukositopenia, trombositopenia, jumlah sel T4 menurun bila T4 dibawah
200, fase AIDS normal 1000-2000 permikrositer., tes anti body anti-HIV ( tes Ellisa )
menunjukan terinfeksi HIV atau tidak, atau dengan menguji antibodi anti HIV. Tes ini
meliputi tes Elisa, Lateks, Agglutination,dan western blot. Penilaian elisa dan latex
menunjukan orang terinfeksi HIV atau tidak, apabila dikatakan positif harus
dibuktikan dengan tes western blot.
Tes lain adalah dengan menguji antigen HIV yaitu tes antigen P24 ( dengan
polymerase chain reaction - PCR ). Kulit dideteksi dengan tes antibody ( biasanya
digunakan pada bayi lahir dengan ibu terjangkit HIV ).
4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
15
Diagnosis atau masalah keperawatan yang terjadi pada anak dengan HIV / AIDS
antara lain :
a. Resiko infeksi
b. Kurang nutrisi
c. Kurangnya volume cairan
d. Gangguan intregitas kulit
e. Perubahan atau gangguan membran mukosa
f. Ketidakefektifan koping keluarga
g. Kurangnya pengetahuan keluarga
16
Nutrisi kurang dan kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, diare, nyeri
o Tujuan :
Kebutuhan nutrisi dan pasien terpenuhi
o Rencana tindakan keperawatan :
1) Kaji status perubahan nutrisi dengan menimbang berat badan setiap hari
2) Monitor asupan dan keluaran setiap 8 jam sekali dan turgor kulit
3) Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
4) Rencanakan makanan enternal dan parenteral
17
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,sedangkan
erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus
erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu
penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi auto anti bodi dan kompleks
imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.( Lamont, David E, DO ;2006 )
SLE (Sistemisc lupus erythematosus)adalah suatu penyakit komplek yang bersifat
genetis dan di duga lebih dari satu gen menentukan seseorang akan terkena atau tidak
(Moore Sharoon, 2008).
2. Etiologi SLE
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor
yangpaling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.Berikut ini beberapa
faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita
SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5%
anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot,
risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang
memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan
pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas
II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen
merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE.
Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita
SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur
komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
18
b. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen PresentingCell)
akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapareseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada
struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T
akan salah mengenali perintah dari sel T. b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
2) Kelainan antibody
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat
antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu
limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap
di jaringan.
c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi
dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut
terdiri dari:
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE.
Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV),
bakteriStreptococcus dan Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
19
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal
ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga
terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh
darah.
3. Tanda dan Gejala SLE
20
4. Patofisiologi SLE
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh
awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan
(cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di
samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat
senyawa kimia atauobat-obatan.Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi
antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang
kembali.
5. Penatalaksanaan Medis
a. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang
efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan
secara hati-hati karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan
darah dan merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat
meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. (Djoerban, 2002).
b. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian
lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk pengendalian penyakit,
namun kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam
waktu terlalu lama. Steroid dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes
dan memiliki efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada
meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis tinggi meningkatkan
risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada pada dosis yang lebih rendah
jika digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup
umum pada lupus dan tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral
dosis tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki banyak efek
samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang berperan penting dalam
pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu, pengaturan dosis yang tepat
merupakan kunci pengobatan yang baik (Djoerban, 2002).
21
c. Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding kloroquin
karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah. Obat ini memiliki
manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat
mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada kehamilan
(Djoerban, 2002).
d. Immunosupresan
Azathioprine Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan:
mengurangi biosintesis purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel
termasuk sel sistem kekebalan tubuh.
Mycophenolate mofetil Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat
sintesis purin, proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi.
Methotrexate Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang
diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki banyak
efek pada sel-sel sistem kekebalan tubuh termasuk modulasi produksi sitokin
Cyclosporin Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan
penurunan fungsi efektor limfosit T.
Cyclophosphamide Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus
yang mengenai organ internal dalam empat dekade terakhir. Obat ini juga
banyak digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan
penyakit paru berat.
Rituximab Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial
dalam perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan kombinasi
dengan methotrexate
22
c. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
d. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
e. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum
durum.
f. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
g. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
h. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
i. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.
2. Diagnosa keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan cairan pada pleura
b. Nyeri kronik berhubungan dengan imflamasi / kerusakan jaringan
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik
serta fisiologis yang di akibatkan penyakit kronik.
e. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan tekana vena
central
f. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri,
tidur/aktivitas yang tidak memadai, nutrisi yang tidak memadai dan depresi/stres
emosional.
23
g. pengetahuan b/d keterbatasan kognitif dan salah intrprestasi informasi
3. Intervensi keperawatan
Diagnosa
Tujuan Intervensi
keperawatan
Pola nafas tidak Setelahdilakukan 1. Buka jalan nafas
efektif berhubungan tindakan keperawatan gunakan teknik chin lift
denganekspansi selama 1 x 24 jam atau jaw thrust bila perlu
tidak adekuat dan diharapkan pola nafas 2. Posisikan pasien untuk
efusi pleura efektif dengan kriteria memaksimalkan
hasil : ventilasi
1. Mendemonstrasikan 3. Lakukan fisioterapi dada
batuk efektif dan jika perlu
suara nafas yang 4. Keluarkan sekret dengan
bersih, tidak ada batuk atau suction
sianosis dan dypsnea 5. Auskultasi suara nafas
(mampumengeluark catat adanya suara
an sputum,mampu tambahan
bernafas dengan
mudah, tidak ada
purpes lips).
2. Menunjukkan jalan
nafas yang paten
(klien tidak merasa
tercekik, irama
nafas, frekuensi
pernafasan dalam
rentang normal
1. Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Tutup luka sesegera
berhubungan tindakan keperawatan mungkin kecuali
dengan nyeri tekan selama 1 x 30 menit perawatan luka bakar
dan rasa nyeri diharapkan pasien metode pemajanan pada
ketika bergerak, dapat : udara terbuka.
pembengkakan 1. Mengungkapkan 2. Pertahankan suhu
sendi keluhan hilangnya lingkungan nyaman,
24
atau berkurangnya berikan lampu
nyeri penghangat, penutup
2. Menunjukkan tubuh hangat.
posisi/ekspresi wajah 3. Kaji keluhan nyeri.
rileks Perhatikan
3. Dapat beristirahat dan lokasi/karakter dan
mendapatkan pola intensitas (skala 0-10).
tidur yang adekuat. 4. Lakukan penggantian
balutan dan debridemen
setelah pasien di beri
obat dan/atau pada
hidroterapi
5. Dorong ekspresi
perasaan tentang nyeri.
6. Dorong penggunaan
teknik manajemen stress,
contoh relaksasi
progresif, napas dalam,
bimbingan imajinasi dan
visualisasi.
7. Berikan aktivitas
terapeutik tepat untuk
usia/kondisi.
25
1. Menjaga kebersihan dengan berhati-hati dan
di daerah lesi melakukan masase
2. Memakai alat dengan menggunakan
pelindung kulit yang lotion atau krim.
dapat menyebabkan 3. Gunting kuku secara
iritasi atau infeksi teratur.
berulang. 4. Tutupi luka tekan yang
terbuka dengan pembalut
yang steril atau barrier
protektif, mis, duoderm,
sesuai petunjuk.
5. Kolaborasi
gunakan/berikan obat-
obatan topical sesuai
indikasi.
26
penurunan kontraksi 3. Tidak ada edem 3. Monitor status
jantung. paru, perifer dan pernafasan yang
3. tidak ada asites menandakan gagal
4. Tidak ada jantung
penurunan 4. Kolaborasi dengan tim
kesadaran medis lain dalam
pemberian terapi
4. Keletihan Setelah dilakukan 1. Monitor nutrisi dan
berhubungan tindakkan keperawatan sumber energi yang
dengan kegagalan selama 1 x 24 jam adekuat
sum-sum tulang diharapkan keletihan 2. Kaji tingkat kecemasan
membentuk sel teratasi dengan kriteria pasien
darah merah dan hasil: 3. Monitoring pola tidur
anemia. dan lamanya tidur/
1. Glukosa darah
istirahat pasien
adekuat
2. Kecemasan menurun
3. Istirahat cukup
27
dijelaskan secara yang tepat
benar 5. Intruksikan keluarga
3. Pasien dan keluarga pasien mengenai tanda
mampu menjelaskan dan gejala untuk
kembali apa yang melaporkan pada tim
dijelaskan perawat kesehatan (perawat)
dan tim kesehatan lain
BAB III
28
PENUTUP
A. Kesimpulan
AIDS (Aquired immuno deficiency syndrom ) merupakan kumpulan gejala akibat
melemahnya daya tahan tubuh sebagai akibat dari infeksi virus HIV. Virus ini
mempunyai sistem kerja menyerang jenis sel darah putih yang menangkal infeksi.
Sehingga pada ornag yang mengidap HIV/AIDS akan mudah terserang infeksi atau virus
dari luar. SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial yang
melibatkan interaksi kompleks antar faktor genetik, dan faktor lingkungan, yang
semuanya dianggap ikut memainkan peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel B,
sehingga menghasilkan pembuatan berbagai auto antibody polispesifik.
B. Saran
Makalah mengenai konsep asuhan keperawatan anak dengan AIDS dan SLE. Namun
meskipun demikian mungkin di mata pembaca masih terdapat kekeliruan atau kekurangan
yang tampak, oleh karenanya kami senantiasa menerima segala bentuk kritik atau saran
yang membangun yang InsyaaALLAH nantinya akan menjadikan kami lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
29
Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Administrator. 2010. Pencegahan dan Penatalaksanaan Infeksi HIV (AIDS) pada kehamilan.
http://www.mkb-online.org/.
https://www.academia.edu/34042189/ASKEP_LUPUS_ERIMATOSUS_SISTEMATIK_LE
S_1_
https://id.scribd.com/document/337773724/Asekp-SLE-Anak
https://id.scribd.com/document/350699613-Asuhan-Keperawatan-Sle-Anak2
30