Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV

DIABETES MILITUS ( DM)

OLEH :
KELOMPOK III/A2C

MUHAMAD NANDA APRILIANTO (171200211)


NI KADEK RIA ANJANI (171200212)
NI KADEK RINA YULINDA DEWI (171200213)
NI KADEK SULISTYA DEWI (171200214)
NI KOMANG SRI HANDAYANI (171200215)
NI LUH MIA JASMIANTINI (171200216)
NI LUH NOPI LARASATI (171200217)
NI LUH NYOMAN SRI EKA WEDANTI (171200218)

JURUSAN FARMASI PROGRAM STUDI


FARMASI KLINIS
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
2020
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi penyakit DM
2. Mengetahui klasifikasi penyakit DM

3. Mengetahui patofisiologi penyakit DM


4. Mengetahui tatalaksana penyakit DM (Farmakologi & Non-
Farmakologi)
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit gangguan tiroid secara mandiri
denganmenggunakan metode SOAP.

II. DASAR TEOR


2.1 Definisi DM
Diabetes Mellitus adalah istilah kedokteran untuk sebutan penyakit yang di
Indonesia dikenal dengan nama penyakit gula atau kencing manis. Istilah ini berasal
dari bahasa Yunani, dimana Diabetes berarti mengalir terus dan Mellitus artinya
madu atau manis. Jadi, istilah ini menunjukkan tentang keadaan tubuh penderita
yaitu terdapat cairan manis yang terus mengalir di dalam tubuh penderita penyakit
Diabetes Mellitus (Dalimartha, 2007).
Subroto (2006) mendefinisikan bahwa Diabetes Mellitus sebagai suatu kelainan
metabolik kronik dimana konsentrasi glukosa dalam darah secara kronis lebih tinggi
dari pada nilai normal (Hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin atau fungsi
insulin tidak efektif. Adam (1999) menambahkan, keadaan hiperglikemi yang kronik
pada penderita Diabetes Mellitus dapat mengakibatkan komplikasi kronik beberapa
organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantug dan pembuluh darah.
2.2 Faktor Resiko
DM ditandai oleh kurangnya insulin, seorang kerabat kekurangan insulin, atau
resistensi insulin serta gangguan lainnya hormon. Cacat ini menyebabkan
ketidakmampuan menggunakan glukosa untuk energi. Meningkatnya prevalensi DM
sebagian disebabkan oleh tiga pengaruh: gaya hidup, etnis, dan usia (Burn et al,
2016)
a. Usia
Faktor ketiga yang berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi DM
tipe 2 (T2DM) adalah usia. Pada tahun 2012, 11,2 juta orang di Amerika Serikat
yang berusia 65 tahun atau lebih tua menderita diabetes dibandingkan dengan
hanya 208.000 lebih muda dari usia 20 tahun.1 Seiring bertambahnya usia
penduduk, insiden T2DM diperkirakan akan meningkat. Beberapa faktor risiko
diabetes melitus tipe 2 antara lain berusia ≥ 40 tahun, memiliki riwayat
prediabetes ( A1C 6,0 % - 6,4 % ), memiliki riwayat diabetes melitus gestasional,
memiliki riwayat penyakit vaskuler, timbulnya kerusakan organ karena adanya
komplikasi, penggunaan obat seperti glukokortikoid, dan dipicu oleh penyakit
seperti HIV serta populasi yang berisiko tinggi terkena diabetes melitus seperti
penduduk Aborigin, Afrika, dan Asia (Ekoe et al., 2013).
ADA menyarankan bahwa orang dewasa tanpa faktor risiko harus
dipantau mulai usia 45. Pngecekan berkala harus dilakukan setiap 3 tahun.
Seseorang juga dapat terkena penyakit diabetes mellitus jika:kelebihan berat
badan (indeks massa tubuh [BMI] ≥25 kg/m 2) dan memiliki satu atau lebih faktor
risiko. Pada anak asimtomatik yang berusia 10 tahun atau yang mengalami
permulaan pubertas sebelum usia 10 tahun harus diskrining setiap 2 tahun untuk
diabetes tipe 2 jika mereka kelebihan berat badan dan memiliki dua atau lebih
faktor risiko pada gambar 2 (Kroon, L.A & Williams, C., 2013)

Gambar 2. Faktor resiko diabetes mellitus tipe


b. Gaya hidup
Gaya hidup yang tidak aktif ditambah dengan konsumsi makanan tinggi
lemak, tinggi karbohidrat, dan ukuran porsi yang lebih besar telah
mengakibatkan meningkatnya tingkat orang yang mengalami obesitas. Perkiraan
saat ini menunjukkan bahwa 34,9% dari populasi AS mengalami obesitas ketika
obesitas didefinisikan sebagai indeks massa tubuh (BMI) lebih besar dari 30 kg
/ m2.2 Dalam survei 2008, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC)
menemukan bahwa 25,4% orang dewasa Amerika menghabiskan tidak ada
waktu luang mereka secara fisik aktif.
c. Etnis
Selain tren gaya hidup saat ini dan peningkatan berat badan, kelompok
etnis tertentu berada pada risiko tinggi yang tidak proporsional untuk
mengembangkan DM. Risiko diabetes adalah 18% lebih tinggi di antara orang
Amerika Asia, 68% lebih tinggi di antara orang Hispanik, dan 74% lebih tinggi
di antara orang kulit hitam non-Hispanik dibandingkan dengan orang dewasa
kulit putih non-Hispanik. 1 Kasus baru DM didiagnosis pada tingkat yang lebih
tinggi di antara minoritas Amerika Serikat. populasi dari pada kulit putih non-
Hispanik.
d. Riwayat keluarga
Menurut Hugeng dan Santos (2017), riwayat keluarga atau faktor
keturunan merupakan unit informasi pembawa sifat yang berada di dalam
kromosom sehingga mempengaruhi perilaku. Adanya kemiripan tentang
penyakit DM yang di derita keluarga dan kecenderungan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan adalah contoh pengaruh genetik.
Responden yang memiliki keluarga dengan DM harus waspada. Resiko
menderita DM bila salah satu orang tuanya menderita DM adalah sebesar 15%.
Jika kedua orang-tuanya memiliki DM adalah 75% (Diabetes UK, 2010).

2.3 Etiologi
a. Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas
yang diperantarai berbagai faktor. Faktor genetik dan dipicu oleh faktor
lingkungan diduga sebagai penyebab terjadinya proses autoimun yang
menyebabkan destruksi sel beta pankreas. Onset diabetes melitus tipe 1 biasanya
terjadi sebeum usia 25-30 tahun. Beberapa faktor lingkungan yang diduga
memicu terjadinya diabetes melitus tipe 1 antara lain infeksi virus (rubela
kongenital, mumps, dan sitomegalovirus), radiasi, ataupun makanan (Rustama
dkk., 2010).
b. Diabetes Melitus Tipe 2
Kombinasi antara faktor genetik, faktor lingkungan, insulin dan
gangguan sekresi insulin merupakan penyebab DM tipe 2. Faktor lingkungan
yang berpengaruh seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik, stres, dan
pertambahan umur (KAKU, 2010). Faktor risiko juga berpengaruh terhadap
terjadinya DM tipe 2. Beberapa faktor risiko diabetes melitus tipe 2 antara lain
berusia> 40 tahun, memiliki riwayat prediabetes ( AIC 6,0 % - 6,4 % ), memiliki
riwayat diabetes melitus gestasional, memiliki riwayat penyakit vaskuler,
timbulnya kerusakan organ karena adanya komplikasi, penggunaan obat seperti
glukokortikoid, dan dipicu oleh penyakit seperti HIV serta populasi yang
berisiko tinggi terkena diabetes melitus seperti penduduk Aborigin, Afrika, dan
Asia (Ekoe et al., 2013).
c. Diabetes Melitus Gestasional
Selama kehamilan, peningkatan kadar hormon tertentu dibuat dalam
plasenta (organ yang menghubungkan bayi dengan tali pusat ke rahim) nutrisi
membantu pergeseran dari ibu ke janin. Hormon lain yang diproduksi oleh
plasenta untuk membantu mencegah ibu dari meng embangkan gula darah
rendah. Selama kehamilan, hormon ini menyebabkan terganggunya into leransi
glukosa progresif (kadar gula darah yang lebih tinggi). Untuk mencoba
menurunkan kadar gula darah, tubuh membuat insulin lebih banyak supaya sel
mendapat glukosa bagi memproduksi sumber energi. Biasanya pankreas ibu
mampu memproduksi insulin lebih (sekitar tiga kali jumlah normal) untuk
mengatasi efek hormon kehamilan pada tingkat gula darah. Namun, jika
pankreas tidak dapat memproduksi insulin yang cukup untuk mengatasi efek dari
peningkatan hormon selama kehamilan, kadar gula darah akan naik,
mengakibatkan GDM.

2.4 Patofisiologi DM
Diabetes Melitus terkait erat dengan proses pangaturan glukosa dalamdarah.
Glukosa merupakan monosakarida paling utama yang memilikiperan penting dalam
proses kimia kehidupan. Dalam proses yang dikenal sebagairespirasi se lular, sel-sel
mengekstraksi energi yang tersimpan dalam molekulglukosa. Molekul glukosa yang
tidak segera digunakan dengan cara ini umumnyadisimpan sebagai monomer yang
bergabung membentuk disakarida ataupolisakarida misalnya pati dan glikogen
(Campbell, 2002).
Metabolisme glukosa didalam tubuh dipengaruhi oleh hormone insulin.
Hormon insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5700 yang terdiri dari
atas 2 rantai polipeptida, A dan B yang saling berhubungan melalui dua
jembatandifusidaa. Insulin disintesis oleh sel-sel B atau β pada pancreas dalam bentuk
precursor yang tidak aktif (yang disebut proinsulin). Zat ini disimpan dalam granula sel-
sel β dari jaringan pulau Langerhans sampai datangnya isyarat untuk sekresi, yang
kemudian proinsulin diubah menjadi insulin aktif (Lehninger, 1982).
Pulau-pulau Langerhands merupakan suatu kumpulan sel-sel endokrin yang
mensekresi 2 hormon secara langsung ke dalam sistem sirkulas. Masing-masing pulau
mempunyai populasi sel-sel alfa, yang mensekresikan hormone peptide glucagon dan
populasi sel-sel β yang mensekresi hormone insulin. Insulin dan glucagon adalah
hormone yang bekerja secara antagonis dalam mengatur glukosa dalam darah. Hal ini
merupakan suatu fungsi bioenergetik dan homeostasis yang sangat penting, karena
glukosa merupakan bahan utama untuk respirasi seluler dan sumber kunci kerangka
karbon untuk sintesis senyawa organic lainnya. Keseimbangan metabolisme tergantung
pada pemeliharaan glukosa darah pada konsentrasi yang dekat dengan titik pasang, y aitu
sekitar 90mg/100ml pada manusia. Ketika glukosa darah melebihi kadar tersebut insulin
dilepaskan dan bekerja menurunkan konsentrasi glukosa. Ketika glukosa darah turun di
bawah titik pasang, glucagon meningkatkan konsentrasiglukosa melalui umpan balik
negative, konsensentrasi glukosa darah menentukan jumlah relative insulin dan glucagon
yang disekresi oleh sel-sel pulau Langerhands (Campbell, 2004).
Insulin meningkatkan masuknya glukosa ke dalam sel dengan meningkatkan
laju transport terbantu dari glukosa melintasi membrane sel. Begitu glukosa telah masuk
sel, segera difosforilasi untuk menjaganya keluar tanpa control. Glukosa dimetabolisasi
atau diubah menjadi glikogen untuk disimpan dalam otot, sedangkan dalam sel hati,
insulin meningkatkan penyimpanan energy melalui stimulasi glikogenesis dan
lipogenesis (Soewolo, 2000).
Glukosa agak menyimpang ketika mekanisme homeostasis, terdapat frekuensi
yang serius diabetes mellitus, kemungkinan merupakan gangguan endokrin yang
disebabkan oleh defisiensi insulin atau hilangnya respon terhadap insulin pada jaringan
target. Kondisi ini menyebabkan kadar glukosa darah menjadi tinggi, sehingga ginjal
penderita diabetes mellitus mensekresi glukosa. Defisiensi insulin juga menyebabkan
glukosa menjadi tidak tersedia bagi sebagian besar sel tubuh sebagai sumber bahan bakar
utama maka lemak harus berfungsi sebagai substrat utama untu k respirasi seluler
(Campbell, 2004).
Kadar glikogen yang tinggi dan kadar insulin yang rendah menyebabkan terjadi
penguraian protein otot, sehingga dihasilkan asam amino yang digunakan oleh hati untuk
gluconeogenesis, untuk memfasilitasi penggunaan asam amino dan sintesis lipid, dengan
demikian pelepasan asam lemak dari jaringan adipose meningkat, sehingga
meningkatkan kadar asam lemak dalam darah. Asam lemak akan digunakan untuk sel
otot sebagai sumber energy alternative. Glikogen yang tersimpan dalam h ati dan otot
dibongkar, protein otot diurai dan asam amino digunakan untuk gluconeogenesis dalam
hati dan simpanan trigliserida dalam jaringan adipose diurai (Susilowati, 2006).
Defisiensi insulin dapat menyebabkan hiperglikemia yang berbahaya,
glokosuria (Glukosa keluar bersama kencing) mengurangi kemampuan metabolism
karbohidrat atau konveksi karbohidrat menjadi lemak, dan kehilangan protein yang di
bongkar untuk energy pengganti glukosa (Soewolo, 2000).

2.5 Klasifikasi DM
Klasifikasi diabetes mellitus menurut American Diabetes Association (2018),
terbagi atas 4 (empat) yaitu :
a. Diabetes tipe 1 (karena kerusakan sel β-sel autoimun, biasanya menyebabkan defisiensi
insulin absolut).
Diabetes dimediasi oleh imun, bentuk diabetes ini menyumbang hanya 5-10%
dari kasus diabetes. Diabetes tipe 1 merupakan hasil dari destruksi autoimun seluler
dari sel-β pankreas. Penanda kerusakan kekebalan sel β termasuk autoantibodi sel
islet, autoantibodi terhadap insulin, autoantibodi ke GAD (GAD65), dan autoantibodi
ke tirosin fosfatase IA-2 dan IA-2β. Satu dan biasanya lebih dari autoantibodi ini
hadir di 85-90% dari individu ketika hiperglikemia puasa pada awalnya
terdeteksi. Juga, penyakit ini memiliki asosiasi HLA yang kuat, dengan keterkaitan
dengan gen DQA dan DQB, dan itu dipengaruhi oleh gen DRB. Alel HLA-DR / DQ
ini dapat menjadi predisposisi atau pelindung. Pasien-pasien yang rentan terhadap
gangguan autoimun lain seperti penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto, penyakit
Addison, vitiligo, celiac sprue, hepatitis autoimun, myasthenia gravis, dan anemia
pernisiosa (American Diabetes Association, 2010).
Diabetes idiopatik, beberapa bentuk diabetes tipe 1 tidak memiliki etiologi yang
diketahui. Beberapa dari pasien ini memiliki insulinopenia permanen dan rentan
terhadap ketoasidosis, tetapi tidak memiliki bukti autoimunitas. Meskipun hanya
sebagian kecil pasien dengan diabetes tipe 1 jatuh ke dalam kategori ini, dari mereka
yang melakukan, sebagian besar adalah keturunan Afrika atau Asia. Individu dengan
bentuk diabetes ini menderita ketoasidosis episodik dan menunjukkan berbagai
tingkat kekurangan insulin di antara episode. Bentuk diabetes ini sangat d iwariskan,
tidak memiliki bukti imunologi untuk autoimunitas β-sel, dan tidak terkait dengan
HLA (American Diabetes Association, 2010).

b. Diabetes tipe 2 (karena kehilangan progresif sekresi insulin β-sel sering pada latar belakang
resistensi insulin).
Bentuk diabetes ini menyumbang ∼90-95% dari kasus diabetes, sebelumnya disebut
sebagai diabetes tergantung non-insulin, meliputi individu yang memiliki resistensi insulin
dan biasanya memiliki relatif (daripada absolut) kekurangan insulin. Setidaknya pada
awalnya, dan seringkali sepanjang hidup mereka, individu-individu ini tidak memerlukan
perawatan insulin untuk bertahan hidup. Mungkin ada banyak penyebab berbeda dari bentuk
diabetes ini. Meskipun etiologi spesifik tidak diketahui, destruksi β-sel autoimun tidak
terjadi, dan pasien tidak memiliki salah satu penyebab lain diabetes yang tercantum di atas
atau di bawah. Sebagian besar pasien dengan diabetes jenis ini mengalami obesitas, sehingga
menyebabkan beberapa derajat resistensi insulin. Bentuk diabetes ini sering tidak
terdiagnosis selama bertahun-tahun karena hiperglikemia berkembang secara bertahap dan
pada tahap awal sering tidak cukup parah bagi pasien untuk melihat salah satu gejala klasik
diabetes. Namun demikian, pasien tersebut memiliki peningkatan risiko mengembangkan
komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Sekresi insulin rusak dan tidak cukup untuk
mengimbangi resistensi insulin. Resistensi insulin dapat meningkat dengan penurunan berat
badan dan/atau terapi farmakologi hiperglikemia tetapi jarang dikembalikan ke normal.
Risiko mengembangkan bentuk diabetes ini meningkat seiring bertambahnya usia,
kegemukan, dan kurangnya aktivitas fisik (American Diabetes Association, 2010).
c. Gestational diabetes mellitus (GDM) (diabetes didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga
kehamilan yang tidak jelas diabetes sebelum kehamilan).
- Cacat genetik dari sel β, abnormalitas pada enam lokus genetik pada kromosom
yang berbeda telah diidentifikasi hingga saat ini. Bentuk yang paling umum
dikaitkan dengan mutasi pada kromosom 12 dalam faktor transkripsi hati
disebut sebagai faktor nuklir hepatosit (HNF)-1α. Bentuk kedua dikaitkan
dengan mutasi pada gen glucokinase pada kromosom 7p dan menghasilkan
molekul glukokinase yang rusak. Glukokinase mengubah glukosa menjadi
glukosa-6-fosfat, metabolisme yang, pada gilirannya, merangsang sekresi
insulin oleh β-sel. Glukokinase berfungsi sebagai "sensor glukosa" untuk β-sel,
karena cacat pada gen glucokinase, peningkatan kadar glukosa plasma
diperlukan untuk mendapatkan tingkat normal sekresi insulin. Bentuk yang
kurang umum dihasilkan dari mutasi pada faktor transkripsi lainnya, termasuk
HNF-4α, HNF-1β, faktor promotor insulin (IPF) -1, dan NeuroD1 (American
Diabetes Association, 2010).
- Penyakit pankreas eksokrin, proses yang didapat termasuk pankreatitis,
trauma, infeksi, pancreatectomy, dan karsinoma pankreas. Dengan
pengecualian yang disebabkan oleh kanker, kerusakan pankreas harus
luas untuk diabetes terjadi; adrenocarcinomas yang melibatkan hanya
sebagian kecil dari pankreas telah dikaitkan dengan diabetes. Suatu
mekanisme selain pengurangan sederhana dalam massa sel-β. Jika cukup
luas, cystic fibrosis dan hemochromatosis juga akan merusak sel-sel β dan
merusak sekresi insulin (American Diabetes Association, 2010).
- Endokrinopati, beberapa hormon (misalnya, hormon pertumbuhan,
kortisol, glukagon, epinefrin) bertentangan dengan aksi insulin. Jumlah
berlebihan dari hormon-hormon ini (misalnya, akromegali, sindrom
Cushing, glucagonoma, pheochromocytoma, masing-masing) dapat
menyebabkan diabetes. Umumnya terjadi pada individu dengan defek
yang sudah ada dalam sekresi insulin, dan hiperglikemia biasanya hilang
ketika kelebihan hormon diselesaikan. Somatostatinoma dan
aldosteronoma-diinduksi hipokalemia dapat menyebabkan diabetes,
setidaknya sebagian, dengan menghambat sekresi insulin (American
Diabetes Association, 2010).
- Diabetes yang diinduksi obat atau kimia, racun tertentu seperti Vacor
(racun tikus) dan pentamidin intravena dapat secara permanen
menghancurkan sel β pankreas. Reaksi obat seperti itu untungnya jarang.
Ada juga banyak obat dan hormon yang dapat merusak kerja insulin.
Contohnya termasuk asam nikotinat dan glukokortikoid. Pasien yang
menerima α-interferon telah dilaporkan mengembangkan diabetes yang
terkait dengan antibodi sel islet dan defisiensi insulin berat (American
Diabetes Association, 2010).
d. Jenis diabetes khusus karena penyebab lain, misalnya sindrom diabetes monogenik
(seperti diabetes neonatal dan diabetes onset usia lanjut pada wanita muda [MODY]),
penyakit pankreas eksokrin (seperti fibrosis kistik dan pankreatitis), dan obat-obatan-
atau diabetes yang diinduksi kimia (seperti dengan penggunaan glukokortikoid,
dalam pengobatan HIV/AIDS, atau setelah transplantasi organ).

Gambar 1. Perbedaan insulin tipe 1 dan 2


2.6 Tatalaksana Farmakologi Diabetes Melitus
1. Tujuan tatalaksana terapi diabetes mellitus
Tujuan keseluruhan dari manajemen diabetes adalah untuk mencegah
komplikasi akut dan kronis. Penilaian periodik dari A1C dikombinasikan dengan
pengukuran kadar glukosa puasa, preprandial, dan postprandial rutin harus digunakan
untuk menilai terapi. Usahakan agar pasien bebas dari gejala yang berhubungan
dengan hiperglikemia (poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, kelelahan, infeksi
berulang, ketoasidosis) atau hipoglikemia (rasa lapar, kecemasan, palpitasi, keringat).
Meminimalkan faktor risiko kardiovaskular (obesitas, hipertensi, penggunaan
tembakau, hiperlipidemia) (Kroon, L.A & Williams, C., 2013).
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas diabetes mellitus, yang secara spesifik ditujukan untuk
mencapai 2 target utama, yaitu (Muchid, A., et al. 2005):
a. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal
b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.

Gambar 1. Target ADA untuk dewasa dengan diabetes melitus

2. Terapi Farmakologi
a. Diabetes mellitus tipe 1
Insulin adalah terapi utama diabetes tipe 1. Insulin mempunyai peran yang
sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme. Insulin yang
disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan langsung diinfusikan ke dalam hati
melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh tub uh melalui
peredaran darah. Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu
transpor glukosa dari darah ke dalam sel. Disamping fungsinya membantu
transport glukosa masuk ke dalam sel, insulin mempunyai pengaruh yang sangat
luas terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun
metabolisme protein dan mineral. Insulin akan meningkatkan lipogenesis,
menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel.
Insulin juga mempunyai peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan
replikasi sel (Muchid, A., et al. 2005).
Dosis awal insulin didasarkan pada berat badan, dengan dosis mulai dari 0,4
hingga 1,0 unit/kg/hari dari total insulin dengan jumlah yang lebih tinggi yang
diperlukan selama masa pubertas. American Diabetes Association/JDRF Diabetes
Tipe 1 Sourcebook 0,5 unit/kg/hari sebagai dosis awal yang khas pada pasien
dengan diabetes tipe 1 yang metabolik stabil, dengan tinggi dosis berdasarkan berat
badan diperlukan presentasi segera setelah dengan ketoasidosis, dan memberikan
informasi rinci tentang intensifikasi terapi untuk memenuhi kebutuhan individual
(American Diabetes Association, 2018). Ada berbagai jenis sediaan insulin yang
tersedia, yang terutama berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya
(duration). Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan menjadi 4 kelompok,
yaitu (Muchid, A., et al. 2005):
- Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin), disebut juga insulin
reguler
- Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)
- Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat
- Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin)
Tabel 2. Penggolongan sediaan insulin berdasarkan mula dan masa kerja (Muchid, A., et al.
2005)
Jenis sediaan insulin Mulai kerja Puncak Massa kerja
(jam) (jam) (jam)
Masa kerja Singkat 0,5 1-4 6-8
(Shortacting/
Insulin), disebut juga
insulin reguler
Masa kerja Sedang 1-2 6-12 18-24
Masa kerja Sedang, mulai 0,5 4-15 18-24
kerja cepat
Masa kerja panjang 4-6 14-20 24-36

Pramlintide
Pramlintide (analog amylin) adalah agen yang menunda pengosongan lambung,
menumpulkan sekresi pankreas glukagon. Analog amylin ini disetujui FDA untuk
digunakan pada orang dewasa dengan diabetes tipe 1. Telah terbukti menyebabkan
penurunan berat badan dan menurunkan dosis insulin. Pengurangan dosis insulin prandial
bersamaan diperlukan untuk mengurangi risiko hipoglikemia berat.
b. Diabetes mellitus tipe 2
Gambar 2. Terapi antihiperglikemik pada dewasa dengan diabetes tipe 2
Gambar 3. Penatalaksanaan diabetes tipe 2 di Indonesia
Gambar 3. Penatalaksanaan diabetes tipe 2 di Indonesia
Gambar 3. Penatalaksanaan diabetes tipe 2 di Indonesia
Gambar 4. Terapi kombinasi injeksi pada diabetes tipe 2

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan (Soelistijo,
S.A., et al. 2015).

Terapi awal : Monoterapi metformin harus dimulai pada diagnosis diabetes tipe 2 kecuali ada
kontraindikasi. Metformin efektif dan aman, tidak mahal, dan dapat mengurangi risiko kejadian
kardiovaskular dan kematian, dibandingkan dengan sulfonilurea, metformin sebagai terapi lini
pertama memiliki efek menguntungkan pada A1C, berat badan, dan mortalitas
kardiovaskular. Metformin dapat digunakan dengan aman pada pasien dengan perkiraan laju
filtrasi glomerulus (eGFR) serendah 30 mL/menit/1,73 m2, dan FDA baru-baru ini merevisi label
untuk metformin untuk mencerminkan keamanannya pada pasien dengan eGFR ≥30
mL/min/1,73 m2. Pada pasien dengan kontraindikasi metformin atau intoleransi, pertimbangkan
obat awal dari kelas lain. Ketika A1C adalah ≥9% (75 mmol/mol), pertimbangkan untuk
memulai terapi kombinasi ganda untuk lebih cepat mencapai tingkat A1C target. Pertimbangkan
untuk memulai terapi kombinasi insulin suntik ketika glukosa darah ≥300 mg/dL (16,7 mmol/L)
atau A1C adalah ≥10% (86 mmol/mol) atau jika pasien memiliki gejala hiperglikemia (yaitu
poliuria atau polidipsia) (American Diabetes Association, 2018).
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan
(Soelistijo, S.A., et al. 2015):
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
- Sulfonilurea, Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan
peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan
risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal) (Soelistijo, S.A.,
et al. 2015).
- Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia (Soelistijo, S.A., et
al. 2015).
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
- Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin
diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73 m2).
Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30
mL/menit/1,73m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan,
PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa
gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia (Soelistijo, S.A., et al.
2015).
- Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma, suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan
hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila
diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan
ini adalah Pioglitazone (Soelistijo, S.A., et al. 2015).
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan
- Penghambat Alfa Glukosidase. Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi
glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan:
GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome.
Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus)
sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya
diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose (Soelistijo,
S.A., et al. 2015).
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV).
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1
(Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif.
Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah
Sitagliptin dan Linagliptin (Soelistijo, S.A., et al. 2015).
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat
kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain:
Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin (Soelistijo, S.A., et al. 2015).

Terapi Kombinasi : banyak uji coba membandingkan terapi ganda dengan metformin
monoterapi, beberapa langsung membandingkan obat sebagai terapi tambahan. Sebuah meta-
analisis efektivitas komparatif menunjukkan bahwa setiap kelas baru agen non-insulin
ditambahkan ke terapi awal umumnya menurunkan A1C sekitar 0,7-1,0%. Jika target A1C
tidak tercapai setelah sekitar 3 bulan dan pasien tidak memiliki penyakit kardiovaskular
aterosklerotik (ASCVD), pertimbangkan kombinasi metformin dan salah satu dari enam opsi
pengobatan yang dapat digunakan: sulfonylurea, tiazolidinedione, inhibitor DPP-4, inhibitor
SGLT2, Agonis reseptor GLP-1, atau insulin basal; pilihan agen yang ditambahkan
didasarkan pada efek spesifik obat dan faktor pasien. Jika target A1C belum tercapai setelah
∼3 bulan terapi ganda, lanjutkan ke kombinasi tiga obat. Apabila target A1C tidak tercapai
setelah ∼3 bulan terapi tiga obat, lanjutkan ke terapi kombinasi suntik. Pilihan obat
didasarkan pada preferensi pasien, serta berbagai pasien, penyakit, dan karakteristik obat,
dengan tujuan mengurangi kadar glukosa darah sambil meminimalkan efek samping,
terutama hipoglikemia (American Diabetes Association, 2018).

2. Terapi Insulin : pasien dengan diabetes tipe 2 akhirnya membutuhkan dan mendapat manfaat
dari terapi insulin. Sifat progresif diabetes tipe 2 harus secara teratur dan obyektif dijelaskan
kepada pasien. Pasien dengan algoritma untuk self-titration dosis insulin berdasarkan
pemantauan diri glukosa darah meningkatkan kontrol glikemik pada pasien dengan diabetes
tipe 2 memulai insulin. Pendidikan komprehensif mengenai pemantauan diri glukosa darah,
diet, dan penghindaran serta pengobatan hipoglikemia yang tepat sangat penting dalam setiap
pasien yang menggunakan insulin (American Diabetes Association, 2018).
a. Basal Insulin adalah rejimen insulin awal mulai dari 10 unit/hari atau 0,1-0,2 unit/kg/hari,
tergantung pada tingkat hiperglikemia. Insulin basal biasanya diresepkan dalam
hubungannya dengan metformin. Ketika insulin basal ditambahkan ke agen
antihiperglikemik pada pasien dengan diabetes tipe 2, analog basal long-acting (U-100
glargine atau detemir) dapat digunakan sebagai pengganti NPH untuk mengurangi risiko
hipoglikemia simptomatik dan nokturnal. Analog basal kerja panjang (U-300 glargine atau
degludec) juga dapat memberikan risiko hipoglikemia yang lebih rendah dibandingkan
dengan glargin U-100 bila digunakan dalam kombinasi dengan agen antihiperglikemik
oral (American Diabetes Association, 2018).
b. Bolus Insulin : Pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin memerlukan dosis insulin bolus
makan waktu selain insulin basal. Analog-akting cepat lebih disukai karena onset aksi
mereka yang cepat setelah pemberian dosis. FDA menyetujui formulasi insulin aspart yang
bertindak lebih cepat. Dosis awal insulin makan yang dianjurkan adalah 4 unit, 0,1 unit/kg
atau 10% dari dosis basal. Jika A1C <8% (64 mmol/mol) ketika memulai insulin bolus
makan waktu, pertimbangan harus diberikan untuk menurunkan dosis insulin basal
(American Diabetes Association, 2018).

Terapi Kombinasi Suntik : jika insulin basal telah dititrasi ke tingkat glukosa darah puasa
yang dapat diterima (atau jika dosisnya> 0,5 unit / kg / hari) dan A1C tetap di atas target,
pertimbangkan untuk terapi kombinasi suntik. Ketika memulai terapi kombinasi suntikan,
terapi metformin harus dipelihara sementara agen oral lainnya dapat dihentikan secara
individual untuk menghindari rejimen yang tidak perlu rumit atau mahal (yaitu,
menambahkan agen antihiperglikemik keempat). Secara umum, agonis reseptor GLP-1
tidak boleh dihentikan dengan inisiasi insulin basal. Sulfonylureas, DPP-4 inhibitor, dan
agonis reseptor GLP-1 biasanya berhenti setelah rejimen insulin yang lebih kompleks di
luar basal digunakan. Pada pasien dengan kontrol glukosa darah suboptimal, terutama
yang membutuhkan dosis insulin besar, penggunaan ajuvan dari tiazolidinedione atau
inhibitor SGLT2 dapat membantu meningkatkan kontrol dan mengurangi jumlah insulin
yang diperlukan, meskipun efek samping yang potensial harus dipertimbangkan
(American Diabetes Association, 2018).

3. Terapi Non Farmakologi DM


- Terapi nutrisi medis direkomendasikan untuk semua pasien. Untuk individu dengan
DM tipe 1, fokusnya adalah mengatur pemberian insulin dengan diet seimbang untuk
mencapai dan mempertahankan berat badan yang sehat. Direkomendasikan untuk
merencanakan makan dengan karbohidrat sedang dan rendah lemak jenuh, dengan
fokus pada makanan seimbang.
- Selain itu, pasien dengan DM tipe 2 sering kali memerlukan pembatasan kalori untuk
menurunkan berat badan. Waktu tidur dan di antara waktu makan makanan ringan
biasanya tidak diperlukan jika penatalaksanaan farmakologis sesuai.
- Latihan aerobik dapat meningkatkan resistensi insulin dan kontrol glikemik pada
kebanyakan pasien dan dapat mengurangi faktor risiko kardiovaskular, berkontribusi
pada penurunan atau pemeliharaan berat badan, dan meningkatkan kesejahteraan.
Latihan harus dimulai perlahan pada pasien yang sebelumnya tidak banyak duduk.
- Pasien yang lebih tua dan mereka dengan penyakit aterosklerotik harus menjalani
evaluasi kardiovaskular sebelumnya untuk memulai program latihan substansial.
III. ALAT DAN BAHAN
ALAT :
1. Form SOAP.
2. Form Medication Record.
3. Catatan Minum Obat.
4. Kalkulator Scientific.
5. Laptop dan koneksi internet.

BAHAN :
1. Text Book
2. Data nilai normal laboraturium.
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).

IV. Studi Kasus

Tabel 1. Data Pasien

Nama Pasien Ny. S


Umur 54 tahun
MRS 18 Februari 2016
Ruangan Bangsal XX
Berat Badan/Tinggi Badan 52 kg/154 cm
Riwayat Penyakit TB terkontrol
Tinggi / Berat Badan NA
Riwayat Alergi Obat Tidak Ada Riwayat Alergi Obat
Riwayat Penyakit Keluarga NA (not available)
Riwayat Sosial NA (not available)
Diagnosis MRS DILI dan TB Paru Relaps

Pasien wanita, 54 tahun dengan keluhan sejak 1 minggu lalu mengalami jaundice sebelum masuk
rumah sakit. Dijumpai nausea dan vomitus. Pasien mengeluhkan adanya batuk berdahak warna kuning yang
sudah semakin membaik dan Hipertiroid. Riwayat demam, keringat malam, hemoptisis, BAK kemerahan dan
penurunan BB sekitar 2 kg dalam 1 bulan. Pasien sebelumnya sudah berobat ke RS X, dengan diagnosis TB
paru dan mendapat OAT (tablet dan injeksi), dan 2 minggu kemudian muncul jaundice, 2 tahun yang lalu
pasien juga sudah pernah mendapatkan OAT (tablet) dan sudah dinyatakan sembuh oleh dokter.
Pada tanda vital dijumpai TD 130/80 mmHG, nadi 80x/mnt t/v cukup, pernapasan 18x/mnt, dan suhu
37,5°C. BB pasien 58 kg dengan TB 155 cm kesan normoweight. Pemeriksaan fisik dijumpai sklera ikterik
dan pada thorax ronki basah di seluruh lapangan paru kiri.
Laboratorium dijumpai kesan leukositosis (15.150/mm3), hiperbilirubinemia (bilirubin total 8,9 mg/dl),
peningkatan ALP (173 U/L) dengan SGOT (35 U/L) dan SGPT (35 U/L) yang normal. HbsAg dan Anti HCV
non reaktif. Kesan foto thorax PA adalah TB Paru aktif.
Terapi yang telah diterima pasien OAT terdiri dari INH, Rifampisin, dan Ethambutol selama 2 bulan (fase
inisial), diikuti INH dan Rifampisin selama 7 bulan (fase lanjutan) dan pasien menerima terapi PTU 3x3 tab.
Pasien didiagnosis sebagai DILI dan TB paru relaps. OAT distop sementara. Tiga hari kemudian
dilakukan pemeriksaan ulangan laboratorium didapatkan perbaikan kadar bilirubin total 2,6 mg/dL, bilirubin
direk 1,98 mg/dL, kadar ALP 300,56, SGOT 26,92 U/L, SGPT 31,2 U/L. Lalu tiga hari berikutnya
dimonitoring kembali tes fungsi hati dimana SGOT: 30,53 U/L, SGPT: 24,26 U/L, ALP: 107 U/L, Bilirubin
Total: 1,80 mg/dl, Direct Bilirubin: 1,27 mg/dl Berdasarkan kasus di atas, akan dibahas lebih lanjut terapi
pasien khusus dalam aspek kajian farmasi klinis dengan menggunakan pendekatan analisis SOAP.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2010. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes
Care. 2010 Jan; 33(Suppl 1): S62–S69. Avaiable at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2797383/ “diakses 26 Oktober 2020”
American Diabetes Association. 2018. Diabetes Symptoms. Avaiable at :
http://www.diabetes.org/diabetes-basics/symptoms/ “diakses 26 Oktober 2020”

American Diabetes Association. 2018. Lifestyle Management: Standards of Medical Care in Diabetes—
2018. Diabetes Care 2018 Jan; 41(Supplement 1): S38-S50. Avaiable at :
http://care.diabetesjournals.org/content/41/Supplement_1/S38 “diakses 26 Oktober 2020”

American Diabetes Associtaion, 2018. Pharmacologic Approaches to Glycemic Treatment: Standards


of Medical Care in Diabetes—2018. Diabetes Care 2018 Jan; 41(Supplement 1): S73-S85. Avaiable
at : http://care.diabetesjournals.org/content/41/Supplement_1/S73 “diakses 26 Oktober 2020”

Campbell, Neil A. dkk. 2002. Biologi edisi Ketiga Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Dalimartha, S. (2007). Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Diabetes Mellitus. Jakarta : Penebar
Swadaya
Diabetes UK ( 2010). Diabetes in the UK: Key Statistics on Diabetes.

Ekoe, J. M., Zubin Punthakee MD, MSc, FRCPC, Thomas Ransom MD, MSc, FRCPC, Ally P.
H.Prebtani BScPhm, MD, FRCPC, Ronald Goldenberg MD, FRCPC, FACE. (2013). Screening
for Type 1 and Type 2, Canadian Journal of Diabetes, Volume 37 : S12 -S15. Retrieved from
www.canadianjournalofdiabetes.com
Kaku K, 2010, Pathophysiology of Type 2 Diabetes and its Treatment Policy, in Japan Medical
Association Journal, vol. 53, no 1, p.41-6.
Kroon L. A. & Williams C. 2013 . Diabetes Melitus in Alldredge B.K., Corelli R.L., Ernst M.E.,
Guglielmo B.J., Jacobson P.A., Kradjan W.A., Williams B.R. 2013. Applied Therapeutics
The Clinical Use of Drugs Tenth Edition. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins, a
Wolter Kluwer.
Kroon, L.A & Williams, C., 2013. Applied Therapheutic The Clinical Use of Drugs Tenth Edition :
Chapter 53 Diabetes Mellitus. USA : Lippincott Williams &Wilkins.

Lehninger, Albert L. 1982. Principles of Biochemistry Jilid 1. Erlangga. Jakarta.


Muchid, A., et al.. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI

Pharmacoteraphy Handbook 7 th file:///E:/116692_Pharmacotherapy_Handbook_7th_Edition.pdf

Rustama, D.S., dkk., 2010. Diabetes Mellitus. Dalam: Jose RL. Batubara, dkk, Endokrinologi Anak,
Edisi I. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

Subroto, A. 2006. Ramuan Herbal untuk Diabetes Mellitus. Jakarta: Penebar Swadaya.

Soelistijo, S.A., et al. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia 2015. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Avaiable at :
http://pbperkeni.or.id/doc/konsensus.pdf “diakses 26 Oktober 2020

Soewolo. 2000. Pengantar Fisioterapi Hewan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi DEPDIKNAS.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai