Kelas : B
NIM : 122011133062
Siapa yang tidak takut mati? Ketika duniamu sudah berakhir, meninggalkan orang-
orang terkasih, sendirian dalam kegelapan, dan kemudian malaikat datang untuk bertanya,
mana mungkin tidak takut? Ketika amalmu belum cukup banyak di dunia, namun sudah
dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa, mana mungkin nyalimu tidak ciut, hatimu tidak
Siapa pula sekali lagi saya tanyakan, yang tidak takut mati. Ketika amal perbuatanmu
ditimbang dan dibalas sebagaimana seharusnya. Bagaimana kalau selama ini amal yang kita
perbuat masih jauh dari kata cukup, masih jauh sekali dari eksistensi Tuhan. Siapa yang tidak
takut mati? Dengan penggambaran yang luar biasa dalam kitab suci tentang pembalasan amal
walau sekecil biji zarrah pun akan tetap dibalas dan ditimbang sebagaimana mestinya.
Hal inilah yang berusaha Subagio Sastrowardoyo tonjolkan dalam kumpulan sajaknya
yang berjudul Dan Kematian Makin Akrab. Beliau menunjukkan bahwa hanya ada benang
tipis antara kehidupan dan kematian. Jangan dikira kita hanya akrab dengan kehidupa saja,
tapi bercakap-cakaplah dengan kematian seolah besok adalah hari terakhirmu di dunia.
Dalam kumpulan puisi ini, ada kurang lebih dua puisi yang membuat saya berkesan
bagi saya. Yang pertama adalah puisi “Dewa Telah Mati”. Puisi ini mengangkat tentang
eksistensi perempuan jalang. Hal ini secara lugas disebut dalam bait terakhirnya, yakni
Dikaitkan dengan hal tersebut, perempuan jalang dianggap sebagai hal yang benar karena ia
melakukan sesuai dengan kehendaknya bukan atas dasar paksaan orang lain, walau secara
perilaku tidak bisa dibenarkan. Sebab kehendaknya lah, ia dapat berkuasa dan menarik laki-
laki dan pertapa lalu membunuhnya, dengan berhasilnya perempuan jalang ini membunuh
pertapa maka ia sudah membunuh dewa. Mengapa saya katakan demikian? Karena pertapa
merupakan pembawa agama, bila pembawa agama saja hilang, maka tidak ada yang
menuntun ke jalan yang bermoral. Jelas saja akan kacau balau, rasanya berdebat tiada henti
akibat tidak adanya penuntun menuju jalan yang dianggap benar. Pun perempuan jalang
dapat diidentifikasikan sebagai sosok ubermensch atau adi manusia. Nietzche mengemukakan
bahwa ubermensch sebagai tujuan hidup manusia dalam bukunya Also Sprach in Zathusra.
Perempuan jalang ini menikmati kepuasaan dari perilakunya sendiri dan tidak ada penyesalan
di dalamnya, berkaitan dengan kepuasan batin sejalan dengan konsep ubermensch yaitu
Puisi yang kedua, yaitu “Setasion”. Bercerita tentang sosok ‘aku’ yang frustrasi
dengan kemelut dunia. Dari judulnya, saya berasumsi bahwa dunia ini hanyalah stasiun atau
yang sebenarnya yaitu akhirat. Tokoh ‘aku’ digambarkan sebagai orang yang penuh dengan
kebimbangan. Mulanya ia berangan tentang surga layaknya setasion yang sedang ia singgahi.
Tokoh ‘aku’ juga digambarkan sebagai urbenmensch yang berkehendak dan berkuasa atas
keinginannya sendiri. Tokoh ‘aku’ menurut saya merupakan orang yang berani dalam
mengambil resiko. Digambarkan dalam bait-bait puisi, bahwa tokoh ‘aku’ merupakan orang
yang gemar dengan petualangan. Jiwa-jiwa petualang biasanya berani mengambil resiko,
itulah mengapa saya menafsirkan bahwa tokoh ‘aku’ ini merupakan orang yang berani
mengambil resiko. Namun, di bait-bait terakhir tokoh ‘aku’ nampak goyah akan
untuk berkuasa" pada awalnya, namun berkembang lagi menjadi suatu pilihan yakni : idealis
atau menjadi budak dunia. Konsep ini menuntun subjek dalam sebuah kebebasan dalam
Jujur saja, otak saya saat membaca ini sudah hampir mengalami disfungsi karena
walau bahasa yang dipakai begitu ringan bagai melangkah diatas air, namun menafsirkannya
cukup sulit. Apalagi ilmu filsafat saya yang tidak seberapa ini, baru satu bulan belajar
membuat saya memgkaji lebih banyak lagi tentang konsep Nietzche agar saya tidak gagu
Tapi yang saya kagumi disini adalah, pemilihan diksi-diksi yang membuat saya
ternganga. Sederhana memang, tapi makna nya sangat dalam seperti peluru yang berdesing
dan menghujam tepat sasaran. Begitulah saya memaknai kumpulan puisi karya Subagio
Sastrowardoyo dini hari pukul 3, dimana saya sudah terkantuk-kantuk dengan kucing saya
yang terduduk di pangkuan. Tapi tak apa, hal ini sepadan dengan makna yang terkandung
● Data Buku :
Penerbit : Grasindo