Pengertian Kusta
1. Morbus hansen (lepra, kusta) adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
kuma Mycrobacterium leprae yang menyerang saraf tepi (primer), kulit, dan jaringan
tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat.
2. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya
ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afiitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecualli susunan saraf pusat. (Djuanda Adhi, 2010)
3. Kusta atau Lepra (sering disebut penyakit Hansen) adalah infeksi kronis disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium leprae, terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf
perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), bila tidak ditangani akan berakibat
rusaknya kulit, selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata. (Akhsin Zulkoni,
2010)
1. Tipe Paucibasiler (PB), lepra tipe ini ditemukan pada seseorang dengan sistem imun
seluler yang baik, mengandung sedikit basil yang termasuk TT, BT, I, dengan BTA
(-).
2. Tipe Multibasiler (MB), lepra pada tipe ini ditemukan pada seseorang dengan sistem
imun seluler yang rendah, mengandung banyak basil yang termasuk BB, BL, LL,
dengan BTA (+).
Penyebab Kusta
1. Mereka yang tinggal di daerah endemik edengan kondisi yang buruk seperti tempat
tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi buruk, dan adanya
penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.
2. Jenis kelamin, pria memiliki tingkar terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
3. Umur, Kusta diketahui terjadi pada semua umur mulai bayi sampai umur tua (3
minggu sampai lebih dari 70 tahun), namun yang terbanyak adalah pada umur muda
dan produktif. Berdasarkan penelitian di RSK Sitanala Tangerang oleh Tarusaraya
dkk (1996), dinyatakan bahwa dari 1153 responden diperoleh hasil bahwa kecacatan
lebih banyak terjadi pada usia prosuktif 19-55 tahun (76,1%).
4. Penyakit kusta kebanyakan terdapat di daerah tropis dan subtropis yang panas dan
lembap, kemungkinan karena perkembangbiakan bakteri sesuai dengan iklim tersebut.
5. Faktor kebersihan individu sangat berpengaruh terhadap penyakit ini.
Patofisiologi Kusta
Terdapat 1-5 lesi, hipopigmentasi/eritema, distribusi tidak simetris, hilangnya sensasi yang
jelas.
Terdapat lebih dari 5 lesi, distribusi lebih simetris, hilangnya sensari yang kurang jelas.
Tujuan utama program pemberantasan kusra adalah menyembuhkan pasien kusta (lepra)
dan mencegah timbulya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Obat diminum didepan petugas, anak dibawah 5 tahun dan ibu hamil tidak diberikan ROM.
Pengobatan sekali saja dan langsung dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti
minum obat kusta). Dalam program ROM yang tidak dipergunakan, penderita satu lesi
diobati denga regimen selama 6 bulan.
Dapson Rifampisin
Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang diselesaikan
dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis maka dinyatakan RFT meskipun secara
klinis lesiya masih aktif. Menurut WHO tidak ada lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan
istilah Completion of Treatment Cure dan pasien tidak ladi dalam pengawasan.
3. Penderita Multibasiler (MB)
50mg/hari dan
600mg/bulan,
Dewasa 100mg/hari 300mg/bulan
diawasi
diawasi
Anak
50mg/ selang sehari
450mg/bulan,
50mg/hari dan 150mg/bulan
10-14tahun diawasi
diawasi
Pengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang diselesaikan dalam
waktu maksimal 36bulan. Setelah selesai minum 24 dosis maka dinyatakan RFT meskipun
secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri BTA positif. Menurut WHO
pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
1. Pengkajian
2. Kaji secara lengkap tentang umur; penyakit kusta dapat menyerang semua usia, jenis
kelamin; rasio pria dan wanita 2,3 : 1,0. Paling sering terjadi pada daerah dengan
sosial ekonomi yang rendah dan insidensinya meningkat pada daerah tropis/
subtropis. Kaji pula secara lengkap jenis pekerjaan klien untuk mengetahui tingkat
sosial ekonomi, risiko trauma pekerjaan, dan kemungkinan kontak dengan penderita
kusta.
3. Keluhan utama. Pasien sering mengeluhkan adanya bercak putih yang tidak terasa
atau datang dengan keluhan kontraktur pada jari-jari.
4. Riwayat penyakit sekarang. Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, kaji kapan
lesi atau kontraktut tersebut timbul, sudah berapa lama timbulnya, dan bagaimana
proses perubahannya, baik warna kulit maupun keluhan lainnya. Pada beberapa kasus,
ditemukan keluhan gatal, nyeri, panas, atau rasa tebal. Kaji juga apakah klien pernah
menjalani pemeriksaan laboratorium. Ini penting juga untuk mengetahui apakah klien
pernah menderita penyakit tertentu sebelumnya. Pernahkah klien memakai obat kulit
yang dioles atau diminum? Pada beberapa kasus, reaksi obat juga dapat menimbulkan
perubahan warna kulit dan reaksi alergi yang lain. Perlu juga ditanyakan apakah
keluhan ini pertama kali dirasakan. Jika sudah pernah, obat apa yang diminum?
Teratur apa tidak?
5. Riwayat penyakit dahulu. Perlu dikaji adakah riwayat penyakit kronis atau penyakit
lain yang pernah diderita.
6. Riwayat penyakit keluarga. Penyakit kusta bukan penyakit turunan tetapi jika anggota
keluarga menderita penyakit kusta, resiko tinggi tertular sangat mungkin terjadi. Perlu
dikaji adakah anggota keluarga yang menderita atau memiliki keluhan yang sama,
baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
7. Riwayat psikososial. Kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan
menjijikan. Ini disebabkan adanya deformitas atau kecacatan yang ditimbulkan. Oleh
karena itu, perlu dikaji bagaimana konsep diri klien dan respons masyarakat disekitar
klien.
8. Kebiasaan sehari-hari. Pada saat melakukan anamnesis tentang pola kebiasaan sehari-
hari, perawat perlu mengkaji status gizi, pola makan/nutrisi klien. Hal ini sangat
penting karena faktor gizi berikatan erat degan sistem imun. Apabila sudah ada
deformitas atau kecacatan, maka aktivitas dan kemampuan klien dalam menjalankan
kegiatan sehari-hari dapat terganggu. Di samping itu perlu dikaji aktivitas yang
dilakukan klien sehari-hari.
9. Pemeriksaan fisik. Seperti pada kasus lain, pemeriksaan fisik harus dilakukan secara
menyeluruh tidak hanya terbatas pada lesi saja. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan
dengan cara inspeksi, palpasi, dan pemeriksaan secerhana dengan mengunnakan
jarum, kapas, tabung reaksi (masing-masing dengan air panas dan es), pensil tinta dan
sebagainya. Inspeksi dilakukan untuk menetapkan ruam yang ada pada kulit, biasanya
dapat ditemukan adanya makula hipopigmentasi/hiperpigmentasi dan eritematosa
dengan permukaan yang kasar atau licin dengan batas yang kurangn jelas atau jelas,
bergantung pada tipe yang diderita. Pada palpasi, ditemkan penebalan serabut saraf
tergantung pada tipe yang diderita.
1. Pemeriksaan penunjang.
Diagnosa Keperawatan
Intervensi Keperawatan
NIC :
Pressure Management
NOC :
Setelah diberikan a. Monitor aktivitas
tindakan keperawatan dan mobilisasi pasien
integritas kulit utuh.
b. Monitor kulit
Kriteria Hasil : adanya kemerahan
g. Mobilisasi pasien
(ubah posisi pasien)
setiap dua jam sekali
f. Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri
h. Kolaborasikan
dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil
NIC :
Body Image
NOC : Enhancement
Setelah diberikan
tindakan keperawatan a. Kaji secara verbal
dapat berfungsi secara dan non verbal respon
optimal dan konsep diri pasien terhadap
meningkat. tubuhnya
4. Hambatan NOC :
mobilitas fisik Setelah diberikan
b.d kontraktur tindakan keperawatan NIC :
otot dan kaku terjadi peningkatan Exercise Therpy :
Ambulation
f. Konsultasikan
dengan terapi fisik
tentang rencana
ambulasi sesuai
kebutuhan.