Anda di halaman 1dari 6

A.

APBN Zaman Awal Kemerdekaan ( Orde Lama ) – Orde Baru

Pada masa awal kemerdekaan, segera setelah penyerahan kedaulatan secara efektif pada 27
Desember 1949, negara menghadapi tantangan yang sangat berat. Pendudukan Jepang dan
perjuangan bersenjata melawan Belanda, telah sangat memiskinkan Indonesia. Pemerintah
menghadapi tantangan ekonomi yang berat, terutama untuk meningkatkan taraf hidup rakyat,
meningkatkan produksi, serta mendorong perdagangan dan industri. Tantangan terbesar adalah
membiayai perbaikan dan pembangunan infrastruktur di penjuru negeri.

Sejak awal 1950-an, terutama setelah berakhirnya era pendapatan ekspor tinggi dari “Korea
Boom”, anggaran negara selalu mengalami defisit dikarenakan terbatasnya pendapatan
perpajakan dan tingginya tekanan belanja terutama untuk gaji tentara dan pegawai negeri akibat
membengkaknya birokrasi. Implikasi ekonomi dari Konferensi Meja Bundar semakin menambah
berat kondisi keuangan negara, terutama terkait jaminan terus beroperasinya bisnis Belanda
secara luas di Indonesia dan pengambilalihan utang pemerintah Belanda sebelum perang sekitar
4,3 miliar gulden. Saat bersamaan, kondisi politik dalam negeri Indonesia kemudian menjadi
semakin tidak stabil, terutama karena berbagai pemberontakan di daerah dan pengambil alihan
aset Belanda pada 1957-1958, dimana kedua hal tersebut sangat membebani keuangan
pemerintah.

Pada 1959, Presiden Soekarno meluncurkan “Demokrasi Terpimpin” dan “Ekonomi Terpimpin”,
mengadopsi “sosialisme ala Indonesia” dan menekankan pembangunan kepribadian Indonesia.
Namun arah baru pembangunan ini justru membawa negara lebih banyak bergelimang dalam
agenda politik, kampanye militer, dan berbagai proyek mercusuar yang semakin memperparah
defisit anggaran. Defisit anggaran melonjak drastis dari 17% dari belanja pada 1960, menjadi
63% dari belanja pada 1965.

Dengan stagnasi, bahkan erosi, penerimaan perpajakan, lonjakan defisit anggaran ini secara
sederhana hanya dibiayai dengan pencetakan uang baru. Implikasi hal ini adalah langsung: ekspansi
moneter meningkat pesat yang dideteksi dari pertumbuhan uang beredar (M1) yang dengan cepat
menanjak dari 37% pada 1960 menjadi 302% pada 1965. Inflasi-pun meledak, dari 19% pada 1960
menjadi 594% pada 1965. Pada periode ini, anggaran negara merupakan penyumbang terbesar, dan
secara langsung, pada inflasi. Hal ini semakin memperburuk kondisi perekonomian. Sejak awal
hingga pertengahan 1960-an, perekonomian mengalami kontraksi setelah mengalami stagnasi sejak
akhir 1950-an.

Setelah kejatuhan rezim orde lama, pemerintahan baru mewarisi perekonomian yang nyaris
hancur. Indonesia saat itu gagal membayar utang luar negeri $ 2,4 milyar, inflasi meroket 600%,
produksi industri hanya dibawah 20% dari kapasitas, birokrasi yang lemah dan korupsi yang
merajalela, serta infrastruktur transportasi air, kereta dan jalan sudah usang. Segera setelah naik
ke puncak kekuasaan pada 1966, Presiden Soeharto memerintahkan Tim Ekonomi-nya yang
didominasi kelompok teknokrat dari Universitas Indonesia, menyusun Program Stabilisasi dan
Program Rehabilitasi.

Program Stabilisasi memiliki tujuan utama menghentikan laju hiperinflasi, dengan instrumen
kebijakan utama adalah adopsi prinsip “anggaran berimbang” (balanced budget). Dengan adopsi
prinsip “anggaran berimbang”, laju defisit anggaran ditekan secara drastis dan tidak ada lagi
pencetakan uang untuk menutup defisit. Namun langkah ini menyisakan masalah besar di
kemudian hari, yaitu ketergantungan terhadap utang luar negeri. Defisit anggaran yang tersisa
ditutup dengan utang luar negeri, yang secara tidak lazim diperlakukan sebagai bagian dari
penerimaan negara.

Pengelolaan keuangan negara pasca 1966 mengadopsi prinsip “anggaran berimbang”, dimana
sisi penerimaan dan sisi pengeluaran negara selalu dijaga berimbang. Dengan menjamin bahwa
pengeluaran ditentukan oleh penerimaan, pemerintah mampu mengkontrol tekanan politik yang
mendorong pengeluaran ke tingkat yang tidak berkelanjutan. Dengan terjaganya pengeluaran,
maka tidak ada defisit anggaran, dan karenanya tidak ada kebutuhan untuk mencetak uang untuk
membiayainya. Dengan demikian, inflasi dan stabilitas makroekonomi dapat terjaga dengan
baik.

Perkembangan sisi belanja negara juga merepresentasikan ukuran dari pemerintah (size of the
government). Ukuran pemerintah meningkat drastis dari kisaran 11% dari PDB pada 1969
menjadi di kisaran 24% dari PDB pada 1983. Meningkatnya ukuran pemerintah secara drastis
sejak 1974 ini banyak disumbang oleh oil boom akibat krisis di Timur Tengah. Seiring jatuhnya
harga internasional minyak, ukuran pemerintah kemudian menyusut menjadi hanya di kisaran
17% dari PDB pada 1995.
Namun, ukuran pemerintah era orde baru ditengarai jauh lebih tinggi dari angka resmi diatas
dikarenakan besarnya dana non-bujeter (off-budget expenditure), seperti bisnis kalangan militer,
termasuk pembangunan industri-industri strategis yang besar, bisnis kroni dan keluarga Presiden
Suharto serta bisnis BUMN.

Kebijakan outward looking yang dijalankan rezim orde baru sejak awal kekuasaannya, secara
mudah dapat dilacak dari motif mencari bantuan luar negeri ini. Kombinasi dari diplomasi ke
Barat dan liberalisasi investasi, telah menarik utang luar negeri dan investasi asing dalam jumlah
signifikan yang berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi yang cepat. Peran kunci utang
luar negeri dalam pembangunan nasional terlihat dari fleksibilitas yang diberikan komunitas
internasional terhadap rezim orde baru. Utang luar negeri terlihat signifikan pada awal
pembangunan, kemudian menurun seiring oil boom, meningkat drastis pada saat krisis akibat
jatuhnya harga minyak internasional pada 1984, kembali menurun seiring keberhasilan
deregulasi dan transformasi struktural ke strategi promosi ekspor, dan kembali meningkat drastis
saat krisis mata uang 1998 menerpa.

Pengelolaan keuangan negara era orde baru memunculkan sejumlah jargon lain, yaitu tabungan
pemerintah dan dana pembangunan. Sisi penerimaan berasal dari sumber internal, yaitu
Penerimaan Dalam Negeri, dan sumber eksternal, yaitu “Penerimaan Pembangunan”. Sedangkan
sisi pengeluaran secara umum diklasifikasikan menjadi Pengeluaran Rutin, yaitu belanja
operasional pemerintah, dan Pengeluaran Pembangunan, yaitu belanja modal. “Tabungan
Pemerintah” adalah selisih antara penerimaan “asli” pemerintah, yaitu penerimaan dalam negeri,
dan pengeluaran rutin. Tabungan Pemerintah ditambah bantuan luar negeri sebagai “pelengkap”,
yaitu penerimaan pembangunan, merupakan “Dana Pembangunan”: dana yang akan menjadi
sumber pembiayaan pembangunan. Semakin besar dana pembangunan, semakin besar
pengeluaran pembangunan.

Secara umum, arah kebijakan fiskal di era orde baru ditujukan untuk meraih 3 tujuan utama:
yaitu, menjamin stabilitas makroekonomi, menurunkan ketergantungan pada bantuan luar negeri,
dan memperbaiki distribusi pendapatan. Dengan tiga indikator utama ini, kinerja pengelolaan
keuangan negara era orde baru menunjukkan hasil yang ambigu.
B. APBN 2019 – Sekarang

APBN 2019

Tema besar APBN Tahun Anggaran 2019 adalah “Adil, Sehat, dan Mandiri”. Sehat artinya
APBN memiliki defisit yang semakin rendah dan keseimbangan primer menuju positif. Adil
karena APBN digunakan sebagai instrumen kebijakan meraih keadilan, menurunkan tingkat
kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mengatasi disparitas antarkelompok pendapatan
dan antarwilayah.

Dari sisi kemandirian APBN Tahun Anggaran 2019 dapat dilihat dari penerimaan perpajakan
yang tumbuh signifikan sehingga memberikan kontribusi dominan terhadap pendapatan negara
serta mengurangi kebutuhan pembiayaan yang bersumber dari utang. Dengan APBN yang Sehat,
Adil dan Mandiri diharapkan kebijakan fiskal akan mampu merespon dinamika volatilitas global,
menjawab tantangan dan mendukung pencapaian target-target pembangunan secara optimal.

Defisit APBN 2019

1.APBN tahun 2019 mengalami defisit sebesar Rp296,0 triliun atau sebesar 1,84 persen terhadap
PDB (sama dengan defisit RAPBN tahun 2019).

2.Upaya menjaga keberlanjutan fiskal juga terlihat dari defisit keseimbangan primer yang
mendekati nol sebesar minus Rp20,1 triliun. Tren penurunan menuju positif ini memberikan
bukti kuat, sekaligus sinyal positif bahwa pengelolaan APBN selama ini telah berada pada jalur
positif.

3.Rasio defisit APBN dan defisit keseimbangan primer ini merupakan yang terendah sejak tahun
2013.

Untuk menutup defisit APBN tahun 2019, pembiayaan anggaran sebesar Rp296,0 triliun atau
turun 5,8 persen dari outlook APBN tahun 2018. Pembiayaan anggaran berasal dari pembiayaan
utang baik berupa Surat Berharga Negara (SBN) Konvensional dan Surat Berharga Syariah
Negara (SBSN), pembiayaan utang tersebut tumbuh negatif sebesar minus 7,3 persen dari
outlook APBN tahun 2018. Selain itu pembiayaan anggaran juga untuk kegiatan investasi.
Pembiayaan investasi tahun 2019 ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
infrastruktur, dan daya saing ekspor serta peran Indonesia di dunia internasional.

APBN 2020

Tema besar APBN Tahun Anggaran 2020 adalah “Mendukung Indonesia Maju”. Kebijakan
fiskal akan diarahkan untuk mendukung akselerasi daya saing melalui inovasi dan penguatan
kualitas sumber daya manusia. Berbagai kebijakan di bidang pendidikan dan kesehatan akan
dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar siap berkompetisi dan
beradaptasi dengan kemajuan industri dan teknologi.

Di sisi lain, Pemerintah akan melanjutkan pembangunan infrastruktur yang semakin merata,
mengalokasikan sumber daya ekonomi dengan lebih efisien dan efektif, serta mendorong
birokrasi yang efektif, melayani, dan bebas korupsi.

Defisit APBN 2020

1.APBN tahun 2020 diproyeksikan mengalami defisit sebesar Rp307,2 triliun atau sebesar 1,76
persen terhadap PDB (sama dengan defisit RAPBN tahun 2020).

2.Upaya menjaga keberlanjutan fiskal juga terlihat dari defisit keseimbangan primer yang
mendekati nol sebesar minus Rp12 triliun. Tren penurunan menuju positif ini memberikan bukti
kuat, sekaligus sinyal positif bahwa pengelolaan APBN selama ini telah berada pada jalur positif.

3.Rasio defisit APBN dan defisit keseimbangan primer ini merupakan yang terendah dalam
enam tahun terakhir.

Bank Indonesia (BI) mencatat defisit transaksi berjalan pada triwulan III 2019 sebesar 7,7 miliar
dollar AS atau turun 2,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih rendah dibandingkan
defisit pada triwulan sebelumnya yang mencapai 8,2 miliar dollar AS atau 2,9 persen dari PDB.
Sebenarnya apa pengertian defisit anggaran? Diambil dari buku Kebijaksanaan Fiskal dan Moneter
(1993) karya Umar Basalim, secara umum defisit adalah situasi pengeluaran lebih besar
dibandingkan pemasukan dalam hal keuangan. Baik dalam lingkup suatu organisasi maupun
negara. Defisit juga bisas diartikan kekurangan keuangan dalam kas sebagai akibat pengeluaran
yang lebih besar daripada penghasilan.
Dalam beberapa dekade terakhir ini tiap tahunnya Keuangan negara cenderung mengalami
deficit yang berarti lebih banyak pengeluaran daripada pemasukan . selain keuangan negara yang
defisit, target belanja APBN yang terus meningkat , pajak yang terlalu focus pada wajib pajak
terdaftar, proses APBN-P yang tidak fleksibel, penerimaan yang naik turu namun
pengeluarannya naik terus.

Permasalahan pajak yang lebih focus mengejar wajib pajak terdaftar dirasa kurang efektif. Selain
itu, proses APBN Perubahan (APBN-P) memerlukan persetujuan DPR dirasa menghambat
fleksibilitas APBN untuk mengantisipasi perubahan ekonomi dan lingkungan yang
semakincepat.

Kedepan dalam membuat APBN dan APBD itu perlu adanya kekuasaan untuk mengalihkan
anggaran.ekonomi bisa menganggu karena APBN-P itu butuh persetujuan DPR (yang bisa
memakan waktu 2-3 bulan)

Solusi dari masalah diatas yaitu KPK&BPK harus menjadi partner kalua ada temuan, cepat
diatasi bersama masalahnya. Jadi, krpala daerah merasa nyaman bahwa fungsi pengawasan itu
bukan hanya memberi kesalahan tapi juga memberi masukan kepala daerah.

Anda mungkin juga menyukai