OLEH
Kelompok : 1
DENPASAR
2020
1
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpah Rahmat, Taufik dan
Hidaya-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam “Aspek Legal dan Etik Keperawatan
Lansia” dalam mata kuliah Keperawatan Gerontik.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini
sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini penulisan masih banyak kekurangan karena pengalaman yang penulis miliki
sangat kurang. Oleh karena itu Penulis harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini
Penyusun
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaiamankah standar gerontologi ?
1.2.2. Apakah pengertian dari etik keperawatan lansia ?
1.2.3. Bagaimanakah prinsip etik ?
1.2.4. Bagaimankah informend consent ?
1.2.5. Bagaimanakah peraturan yang berkaitan dengan kesejahteraan lansia ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
preventif, restoratif dan rehabilitasif. Perencanaan peraatan ini bermanfaat untuk
membantu klien dalam mencapai dan mempertahankan tingkat kesehatan, kejahtera,
kualitas hidup yang yang tinggi (optimal ) dan serta mati dalam keadaan damai.
6. Standar VI : Intervensi
Perencanaan pelayanan yang telah ada digunakan sebagai petunjuk dalarn
membenkan intervensi untuk mengembalikan fungsi dan mencegah terjadinya
komplikasi dan ‘excess disability’ pada klien.
7. Standar VII: Evaluasi
Perawat harus melakukan evalusai secara terus menerus terhadap respon klien dan
keluarga terhadap intervensi yang telah diberikan. Disamping itu evaluasi juga
digunakan untuk menentukan . tingkat keberhasilannya dan mengevaluasi kembali data
dasarnya, diagnosanya dan perencanaannya.
8. Standar VIII: Kolaborasi Interdisipliner
Kolaborasi perawat dengan disiplin ilmu yang lain (team kesehatan) sangat penting
dilakukan dalam membenkan pelayanan kesehatan terhdap klien ( lansia). Hal ini dapat
dilakukan dengan mengadakan pertemuan yang rutin untuk menentukan perencanaan
yang tepat sesuai dengan perubahan kebutuhan yang ditemukan pada klien.
9. Standar IX : Research
Perawat harus ikut berpartisipasi dalam rnengernbangkan penelitian untuk
memperkuat pengetahuan dibidang keperawatan gerontoogi, menyebarluaskan hasil
penelitian yang diperolehnya dan digunakan dalam praktek keperawatan.
10. Standar X: Ethics
Perawat rnengunakna kode etik keperawatan (ANA) sebagai petunjuk etika dalam
mengambil keputusan didalam praktek.
11. Standar XI : Professional Development
Perawat harus mempunyai asumsi bahwa perkembangan dan kontribusi
profesionalisme keperawatan merupakan tanggung jawabnya dan sangat berkaitan erat
dengan perkembngan interdisiplin ilmu yang lain. Dalam hal ini perawat juga harus
mampu mengevaluasi perkembangan dalam praktek kualitas yang diberikan.
Standar ini dikembangkan oleh dan untuk perawat gerontologi sendiri sehingga
perawat hams mempunyai peraturan yang jelas untuk mengevaluasi bila terjadi
4
pelanggaran yang menyimpang dan standar praktek yang seharusnya diberikan. Standar
ini akan memberikan kualitas pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.
5
2.3 Prinsip Etik
Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita usia lanjut
adalah :
1. Empati
Istilah empati menyangkut pengertian : ”simpati atas dasar pengertian yang dalam”.
Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan geriatri harus memandang seorang lansia
yang sakit denagn pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang
dialami oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak
berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-protective dan belas-kasihan. Oleh
karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik dari
penderita lansia.
2. Yang Harus dan yang ”Jangan”
Prinsip ini sering dikemukakan sebagai non-maleficence dan beneficence. Pelayanan
geriatri selalu didasarkan pada keharusan untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita
dan harus menghindari tindakan yang menambah penderita (harm) bagi penderita.
Terdapat adagium primum non nocere (”yang penting jangan membuat seseorang
menderita”). Dalam pengertian ini, upaya pemberian posisi baring yang tepat untuk
menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu dengan derivat morfina) yang
cukup, pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin
mudah dan praktis untuk dikerjakan.
3. Otonomi
Yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak untuk menentukan
nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak tersebut mempunyai
batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar pada keadaan, apakah
penderita dapat membuat putusan secara mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran,
seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?) oleh pendapat keluarga dekat.
Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita yang
fungsional masih kapabel (sedanagkan non-maleficence dan beneficence lebih bersifat
melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik ini seolah-olah
memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk
6
membuat suatu keputusan (mis. Seorang ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang
belum dewasa).
4. Keadilan
Yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan yang sama bagi semua
penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak
mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan.
5. Kesungguhan Hati
Yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang diberikan pada seorang
penderita.
Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian ituangkan dalam
bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik (pertindik) atau informed consent. Dalam
hal seperti diatas, maka penderita berha menolak tindakan medik yang disarankan oleh
dokter, tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan, apabila berdasarkan pertimbangan dokter
yang bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut tidak berguan (useless) atau bahkan
berbahaya (harmful).
Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hokum yang sangat
rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita tersebut haruslah dari
kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar label iagnosis, antara lain terlihat dari :
7
1. Apakan penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar ?
2. Dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat ?
3. Apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita mendapatkan
penjelasan yang lengkap dan benar) ?
4. Apakah penderita mengerti implikasi bagi dirinya ? (misalnya tentang keuntungan dan
kerugian dari tindakan tersebut ? dan mengerti pula berbagai pilihan yang ada) ?
Pendekatan fungsional tersebut memang sukar, karena seringkali masih terdapat fungsi
yagn baik dari 1 aspek, tetapi fungsi yagn lain sudah tidak baik, sehingga perlu pertimbangan
beberapa faktor. Pada usia lanjut serinkali sudah terdapat gangguan komunikasi akibat
menurunnya pendengaran, sehingga perlu waktu, upaya dan kesabaran yang lebih guna
mengetahui kapasitas fungsional penderita. Pada dasarnya prinsip etika ini mnyatakan bahwa
kapasitas penderita untuk mengambil/menentukan keputusan (prinsip otonomi) dibatasi oleh:
Dalam kenyatannya pengambila keputusan ini sering dilakukan berdasarkan keadaan de-
facto yaitu oleh suami/istri/anggota kelurga, dinbanding keadaan de-jure oleh pengacara,
karena hal yang terkhir ini sering tidak praktis, waktu lama, dan sering melelahkan baik
secara fisik maupun emosional. Oleh Karen suatu hal, misalnya gangguan komunikasi, salah
pengertian, kepercayaan penderita atau latar belakang budaya dapat menyebabkan penderita
mengambil keputusan yang salah (antara lain menolak tramfusi atau tindakan bedah yang
live saving). Dalam hal ini, dokter dihadapkan pada keadaan yang sulit, dimana atas otonomi
8
penderita tetap harus dihargai. Yang penting adalah bahwa dokter mau mendengar semua
keluhan atau alas an penderita dan kalau mungkin memperbaiki keputusan penderita tersebut
denagn pemberian edukasi. Seringkali perlu diambil tindakan “kompromi” antara apa yang
baik menurut pertimbangan dokter dan apa yang diinginkan oleh penderita.
9
14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Tambahan
lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang-Undang nomor 4 tahun 1965
tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo.
15. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Praktek keperawatan profesional diarahkan dengan mempergunakan standar praktek yang
merefleksikan tingkat dan harapan dan pelayanan, serta dapat digunakan untuk evaluasi
praktek keperawatan yang telah diberikan. Standar keperawatan gerontologi menurut
American Nursing Association (ANA) adalah sebagai berikut : Standar I : Organisasi
Pelayanan Keperawatan Gerontologi, Standar II : Teori, Standar III : Pengumpulan Data,
Standar IV: Diagnosa Keperawatan, Standar V: Perencanaan dan Kontinuitas dan Pelayanan,
Standar VI : Intervensi, Standar VII: Evaluasi, Standar VIII: Kolaborasi Interdisipliner,
Standar IX : Research, Standar X: Ethics, Standar XI : Professional Development
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga
etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku
profesional. Keperawatan gerontik adalah suatu pelayanan profesional yang berdasarkan ilmu
dan kiat atau tekhnik keperawatan yang berbentuk bio-psiko-sosial-spritual dan kultural yang
holistic yang ditujukan kepada klien lanjut usia baik sehat maupun sakit pada tingkat
individu. Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa etik keperawatan adalah
istilah yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa
yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain khususnya dalam memberikan
suatu pelayanan profesional yang berdasarkan ilmu dan kiat/tekhnik keperawatan yang
berbentuk bio-psiko-sosial-spritual dan kultural yang holistic yang ditujukan kepada klien
lanjut usia baik sehat maupun sakit pada tingkat individu.
3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
pembaca sangatlah kami perlukan agar dalam pembuatan makalah selanjutnya akan lebih
baik dari sekarang dan kami juga berharap pengetahuan tentang aspek legal dan etik dapat
terus di kembangkan dan diterapkan dalam bidang keperawatan gerontik.
11
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. 2000. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut), Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Nugroho, Wahjudi. 2006. Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC.
R, Rully. 2009. Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan Lansia di RSU dalam Perspektif HAM.
Jakarta: Harian Suara Pembaharuan.
SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. 2010. Pandaun Gerontologi, Tinjauan Dari Berbagai
Aspek. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
12