Anda di halaman 1dari 19

DAKWAH BERBASIS MULTIKULTURAL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Dakwah

Dosen Pengampu: Drs. Study Rizal, LK, M. Ag

Disusun oleh:
Kelompok 12
Muhammad Faiz Daifullah 11190530000014
Ahmad Zidan Fathony 11190530000149
Ryan NoerFaishal 11190530000155
Nurul Fariyanti 11190530000160
Adinda Muthmainnah 11190530000175
Intan Permata Putri 11190530000176
Muhammad Diponegoro 11190530000161
Zidane Djazulie 11190530000166

Kelas D
JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020 M/1442 H
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Dakwah ditinjau dari segi etimologi berasal dari Bahasa Arab yang berarti
“panggilan atau ajakan”. Dakwah adalah sebuah aktivitas mengajak manusia untuk
melaksan perintah Tuhan, menuju jalan kebaikan dan menjauhi apa yang sudah
dilarang oleh Allah dan RasulNya. Multikultural berasal dari dua kata; multi
(banyak/beragam) dan cultural (budaya/kebudayaan), yang secara etimologi berarti
keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami adalah bukan budaya dalam arti
sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap
kehidupannya. Dialektika ini melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran,
budaya, verbal, bahasa dan lain-lain. Bagi sebagian orang Multikultur belum
sepenuhnya dipandang sebagai suatu pemberian takdir Allah.
Dakwah Multikultural adalah aktifitas menyeru kepada jalan Allah melalui
usaha-usaha mengetahui karakter budaya suatu masyarakat sebagai kunci utama untuk
memberikan pemahaman dan mengembangkan dakwah. Secara teori, solusi
problematika dakwah pada masyarakat yang rentan konflik dapat ditempuh
melalui pendekatan antarbudaya, yaitu proses dakwah yang mempertimbangkan
keragaman budaya antara da’i dan mad’u, dan keragaman penyebab terjadinya
gangguan interaksi pada tingkat antarbudaya agar peran budaya agar peran dakwah
dapat tersampaikan dengan tetap terpeliharanya situasi damai”. Dalam Dakwah
Multikultural, dakwah tidak hanya dipahami sebagai transformasi nilai- nilai Islam
yang baik kepada masyarakat di bumi. Namun, hendaknya mengupayakan kesadaran
nurani agar mengusung setiap budaya positif secara kritis tanpa terbelenggu oleh latar
belakang budaya formal suatu masyarakat.
2. Rumusan Masalah
1. Apa dakwah multikultural itu?
2. Bagaimana hakikat dakwah berbasis multikulturalisme ?
3. Bagaimana karakteristik dakwah berbasis multikulturalisme ?
4. Bagaimana pendekatan (metode) dakwah berbasis multikulturalisme ?
5. Bagaimana epilog: masa depan dakwah multikulturalisme ?
3. Tujuan.
1. Untuk mengetahui pengertian dakwah multikulturalisme.
2. Untuk mengetahui hakikat dakwah berbasis multikulturalisme.
3. Untuk mengetahui karakteristik dakwah berbasis multikulturalisme.
4. Untuk mengetahui pendekatan (metode) dakwah berbasis multikulturalisme.
5. Untuk epilog: masa depan dakwah multikulturalisme.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Dakwah Multikultural
Istilah Dakwah Multikultural bukanlah hal yang baru atau asing di dalam
dunia dakwah. Dakwah Multikultural terdiri dari 2 kata yakni Dakwah dan
Multikultural. Untuk bisa memahami secara lebih mudah, maka peneliti
membahasnya satu-persatu :
1. Dakwah
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, dakwah adalah sebuah aktivitas mengajak
manusia untuk melaksan perintah Tuhan, menuju jalan kebaikan dan menjauhi apa
yang sudah dilarang oleh Allah dan RasulNya.
2. Multikultural
Multikultural berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural
(budaya/kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya
yang mesti dipahami adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti
dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. 1 Dialektika ini
melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya, verbal, bahasa dan lain-
lain. Bagi sebagian orang Multikultur belum sepenuhnya dipandang sebagai suatu
pemberian takdir Allah. Terkait dengan hal tersebut Al-Qur’an sudah jelas
menyatakan dalam : QS. Al-Hujurat ayat 13 :
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”2
Jadi, yang dimaksud dengan Dakwah Multikultural adalah aktifitas menyeru
kepada jalan Allah melalui usaha-usaha mengetahui karakter budaya suatu
masyarakat sebagai kunci utama untuk memberikan pemahaman dan mengembangkan
dakwah.3 Secara teori, solusi problematika dakwah pada masyarakat yang rentan
konflik dapat ditempuh melalui pendekatan antarbudaya, yaitu proses dakwah yang
mempertimbangkan keragaman budaya antara da’i dan mad’u, dan keragaman

1
Maksum Ali, Pluralisme dan Multikulturalisme, (Malang : Aditya Media Publishing, 2011), h.143.
2
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h.517.
3
 Acep Aripudin, Dakwah Antarbudaya, (Bandung : Rosda Karya, 2012), h.19
penyebab terjadinya gangguan interaksi pada tingkat antarbudaya agar peran budaya
agar peran dakwah dapat tersampaikan dengan tetap terpeliharanya situasi damai”. 4
Dalam Dakwah Multikultural, dakwah tidak hanya dipahami sebagai transformasi
nilai- nilai Islam yang baik kepada masyarakat di bumi. Namun, hendaknya
mengupayakan kesadaran nurani agar mengusung setiap budaya positif secara kritis
tanpa terbelenggu oleh latar belakang budaya formal suatu masyarakat.
2. Hakikat Dakwah Berbasis Multikulturalisme
Pada penghujung abad kedua puluh dan memasuki abad dua satu ini, timbul
wacana baru dalam pemikiran dakwah, sebagai respons terhadap perubahan-
perubahan besar yang terjadi, misalnya pergeseran pemikiran dari modern ke
pascamodern. Paradigama baru dakwah ini, dilatarbelakangi tertutama oleh dua
fenomena baru pascamodern, yakni globalisasi dan perkembangan politik praktis.
Baik fenomena globalisasi, maupun perkembangan politik praktis di dunia belakangan
ini, masing-masing menghadapkan persoalan dakwah kontemporer kepada bentuk
masyarakat majemuk multibudaya dan multietno-religius.
Dari sudut persoalan globalisasi, dakwah dihadapkan kepada persoalan
tentang bagaimana caranya menyampaikan pesan-pesan Islam dalam konteks
masyarakat global yang ditandai dengan makin sempitnya sekat-sekat antarkultur dan
sekat masyarakat etno-religius. Pada masa lalu, dakwah masih mungkin bersikap abai
terhadap perkembangan yang terjadi di luar dunia Islam misalnya, namun pada masa
kita sekarang di mana istilah dunia muslim sendiri seolah terlihat kabur batas-
batasnya oleh fenomena globalisasi, dakwah tidak bisa tidak harus memberi respons,
dan dipaksa untuk terlibat secara aktif menghadapi semua fenomena yang terjadi di
seluruh belahan dunia. Untuk tujuan ini, umat muslim tidak dapat bekerja sendirian,
tetapi perlu melakukan interaksi yang lebih intens dan persuasif dengan banyak
komunikasi etnis dan etno-religius di seluruh dunia.
Persoalan-persoalan dunia saat ini tidak lagi bersifat lokal, dan karenanya,
tidak lagi menjadi tanggung jawab komunitas tertentu. Lebih dari itu, persoalan-
persoalan kini mengglobal, menjadi persoalan umat manusia secara umum, dan
karenanya menjadi tanggung jawab bersama. Penyelesaiannya tidak mungkin secara
independen, tetapi interdependensi yang menuntut keterlibatan aktif semua anggota
masyarakat dunia secara simultan. Keharusan mereka untuk terlibat dalam

4
Acep Aripudin, Dakwah Antarbudaya,  h.25.
memecahkan persoalan global, pada gilirannya tidak lagi mengizinkan suatu
peradaban atau komunitas lainnya.
Dari sudut perkembangan politik praktis, dakwah terutama dihadapkan pada
isu-isu seputar penegakan demokrasi, hak-hak sipil dari HAM, serta pengakuan atas
eksistensi kelompok minoritas. Pada periode Islam klasik, umpamanya seperti
dikemukakan Hodgson, belum dikenal persoalan mengenai tuntutan untuk
mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang berbeda, bahkan saling bertentangan
antara kelompok etno-religius-kultural yang satuu dengan yang lain, karena budaya
yang berkembang ketika itu adalah monarkiotoriter. Namun pada saat di mana budaya
politik manusia telah mengalami perkembangan sampai tahap di mana mereka
mengenal sistem demokrasi yang menghargai kebebasan dan kesetaraan, maka
menjadi tantangan baru bagi dakwah Islam dalam konteks pemahaman politik
demokratis, yang secara sadar dan cerdas dituntut mencari kesepakatan-kesepakatan
pada satu sisi, dan memberikan pengakuan terhadap hal-hal yang tidak mugkin
disepakati pada sisi yang lain.
Sebagai implikasi dari tuntutan politik demokrasi yang tidak mungkin ditolak,
dakwah juga seperti telah disinggung di atas, dengan sendirinya dihadapkan kepada
persoalan seputar hak-hak sipil dan HAM, serta pengakuan akan eksistensi kelompok
minoritas, yang sebagiannya dahulu tidak pernah disinggung dalam sejarah dakwah.
Sebut saja misalnya konsep tentang ahlul al-dzimmah  atau jizyah, atau dikotomi
superioritas etnik Arab-non-Arab tampak bias, karena berkonotasi sebagai kelompok
masyarakat kelas dua. Dalam masyarakat modern yang mengidealkan gagasan
demokrasi, kastanisasi dan tuntutan terhadap pengakuan atas kesetaraan identitas
kelompok minoritas, tidak bisa tidak, menjadi tantangan baru dakwah dalam
masyarakat baru yang multikultur dan multietno-religius.
Basis pemikiran dakwah multikultural sejatinya berangkat dari pandangan
klasik dakwah kultural, yakni pengakuan doktrinal Islam terhadap keabsahan
eksistensi kultur dan kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip tauhid.
Hanya saja, dakwah multikultural berangkat lebih jauh dalam hal intensitas atau
keluasan cakupan kulturalnya. Kalau dakwah paradigma kultur hanya berfokus pada
persoalan bagaimana pesan Islam dapat disampaikan lewat komunikasi dengan
budaya tertentu, maka dakwah multikultural memikirkan bagaimana pesan Islam ini
disampaikan dalam situasi masyarakat yang plural, baik kultur maupun
kenyakinannya, tanpa melibatkan unsur “monisme moral”  yang bisa
merusak pluralitas budaya dan kenyakinan itu sendiri. Pendekatan multikulturalisme
mencoba melihat yang banyak itu sebagai keunikan tersendiri dan tidak seharusnya
dipaksakan untuk disatukan, tetapi tetap berjalan harmonis keberagaman. Intinya,
pendekatan multikulturalisme dalam dakwah berusaha untuk mencapai dua hal, yaitu
titik temu dalam keberagaman, dan toleransi dalam perbedaan. Dakwah dengan
pendekatan multikulturalisme adalah sebuah pemikiran dakwah yang conrcern pada
penyampaian pesan-pesan Islam dalam konteks masyarakat plural dengan cara
berdialog untuk mencari titik temu atau kesepatan terhadap hal-hal yang mungkin
disepakati, dan berbagai tempat untuk hal-hal yang tidak dapat disepakati.5
3. Karakteristik Dakwah Berbasis Multikulturalisme
Sebagai paradigma baru dalam dakwah yang dihadapkan pada persoalan
globalisasi dan perkembangan politik praktis, maka dakwah berbasis
multikulturalisme memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan
dakwah konvensional. Terkait dengan ini, dapat disebut empat ciri khas yang perlu
diperkenalkan jika ingin melakukan dakwah dengan pendekatan multikulturalisme.
Pertama, mengakui dan menghargai keunikan dan keragaman etnos-religius.
Dalam pendekatan multikulturalisme, keunikan masing-masing budaya atau
kenyakinan itu amat dihormati dan dihargai, sehingga multikulturalisme berbeda sama
sekali dengan relativisme  dan sinkretisme. Dalam mutikulturalisme, keragaman
budaya dan kenyakinan itu dinilai sebagai sebuah fakta dan bukan problem,
karenanya Ia harus diterima apa adanya. Dalam perpektif multikulturalisme, orang
boleh menentukan satu dari banyak kenyakinan untuk dirinya, tanpa perlu menilai
bahwa yang tidak dipilihnya itu lebih rendah nilainya dari kenyakinan yang dipilih.
Sebaliknya, masing-masing kenyakinan dan budaya itu harus dilihat sebagai yang
unik dan teman seperjalanan ( fellow traveler). Karena itu, multikulturalisme tidak
berarti relativisme yang memiliki konotasi menyamakan kenyakinan atau budaya, dan
bukan juga sinkretisme, yang berarti mencampuradukan beberapa paham ideologi dan
kenyakinan.
Kedua, mengakui adanya titik kesamaan dan keragaman etnos-religio. Dalam
pendekatan multikulturalisme, diakui adanya titik-titik kesamaan antara berbagai
kenyakinan dan kultur yang beraneka ragam di samping juga tidak ditolak adanya

5
Ilyas Ismail, FILSAFAT ISLAM : Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group,2011), h.257-264.
aspek-aspek yang tidak mungkin dikompromikan (uncompromiseable). Mengikuti
alur berpikir multikulturalisme, keanekaragaman budaya dan kenyakinan itu tidak
mengandaikan suatu perbedaan yang tidak terjembatani. Perbedaan-perbedaan itu,
terbentuk oleh situasi dan konteks yang tidak terpatok mati dalam sejarah, melaikan
selalu berkembang. Karena itu, sesungguhnya dalam keanekaragaman budaya dan
kenyakinan selalu terdapat nilai-nilai bersama yang menjadi titik  temu dalam
membangun relasi sosial. Sebut saja nilai-nilai seperti cinta, kebenaran, penghargaan
terhadap hidup, kesetiaan, integritas, kesamaan, tanggung jawab dan keadilan adalah
titik temu dari semua budaya dan agama, dan bukan milik agama dan budaya tertentu.
Maksudnya semua nilai yang disebutkan itu dapat ditemukan dalam semua budaya
dan agama. Namun demikian, multikulturalisme juga mengakui adanya disensus
dalam hal-hal yang sifatnya privat dan tidak dapat dikompromikan. Contohnya, detail-
detail kenyakinan dan ritualnya. Terhadap yang terakhir ini, pendekatan
multikulturalisme berkepentingan untuk melakukan pengelolaan (manajemen konflik)
terhadap perbedaan-perbedaan dan belajar hidup di dalamnya. Perbedaan-perbedaan
itu harus diakui dan dihargai tanpa perlu menjadikannya sebagai gangguan atau lawan
dari keharmonisan.
Ketiga, paradigma fenomena keberagamaan sebagai kultur. Pendekatan
multikulturalisme mencoba memahami tingkah laku umat beragama sebagai sebuh
fenomena kultur. Benar bahwa agama itu tidak dapat disamakan begitu saja dengan
kebudayaan. Agama bersumber dari yang suci (ilahiah) dan
sifatnya imutable  dan ahistoris, sedangkan budaya sumbernya adalah akal manusia
dan tidak bersifat suci dan menyejarah. Namun demikian, apa yang dinilai sebagai
Ilahi dan suci, tidak mungkin dipahami kecuali lewat yang manusiawi, duniawi
(proface), dan menyejarah atau lewat mediasi budaya. Faktanya tidak ada agama yang
bebas budaya, dan semenjak kelahirannya, budaya dan agama selalu saling
memengaruhi. Melalui pola pikir ini, pendekatan multikulturalisme berusaha
memahami dan mengakomodasikan perbedaan-perbedaan keyakinan tersebut dalam
konsep dan bingkai budaya yang mendukung adanya toleransi (tasamuh), harmoni
sosial, dan kerja sama untuk kebaikan dan takwa (al-ta’awun ‘ala al-birr wa al-
taqwa).
Keempat, kemestian progresivisme dan dinamisme dalam memahami agama.
Karna yang dilihat melalui pendekatan multikulturalisme adalah tingkah laku
beragama sebagai sebuah kultur, dan bukan agama ini sendiri, maka pola pikir ini
mengandaikan tak adanya "pensakralan" dalam wujud setiap kebudayaan agama.
Setiap kebudayaan agama (religio cultural), begitu multikulturalisme, pada dasarnya
berwatak "dinamis-progresif" , yang bermakna bahwa setiap kebudayaan agama itu
adalah suatu proses yang tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan, sejalan
dengan pemahaman dan penghayatan tentang agama itu sendiri, serta interaksi para
penganut agama dengan sesamanya, dan seiring dengan dinamika dan perkembangan
zaman dalam dimensi ruang dan waktu dunia. Karena itu, walaupun esensi agama itu
suci dan bersumber dari "yang suci”, tetapi wujud empirisnya yang ditunjukkan
melalui perilaku umat beragama adalah tidak suci dalam arti mutlak benar.
Perilaku beragamaan sejatinya merupakan konstruksi-kontekstual, yang selalu
berkembang sejalan dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Pola pikir
multikulturalisme menolak pandangan "esensialisme eksklusif" , yang berpendapat
bahwa pemahaman agama bersifat tetap, stabil dan tidak berubah, sehingga mereka
yang memiliki paham berbeda, dipandang dan dihukum sebagai kelompok sesat dan
menyesatkan (ahl al-bida' wa al-ziyagh). Sikap dan pemahaman yang memutlakkan
diri ini, tentu tidak sejalan dengan semangat keragaman yang diusung
multikulturalisme.
Sebagai pola pikir yang relatif baru, paham multikulturalisme memumculkan
pro dan kontra ditengah-tengah masyarakat muslim. Kelompok yang kontra, tentu
melihat paham ini sebagai paham sesat dan merupakan "proyek" Barat untuk
melemahkan Islam. Sementara kelompok yang pro mencoba melihat segi-segi positif
multikulturalisme, terutama bila dikaitkan dengan pluralitas etno-religio bangsa ini.
Untuk keperluan ini, mereka tidak sulit untuk mencari akar-akar paham ini dari
sumbet-sumber utama Islam itu sendiri, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah, seperti
dibawah ini :
Pertama, ditilik dari segi semantik, multikulturalisme yang secara leteral
bermakna paham tentang keragaman budaya, maka dalam hal ini al-Qur'an sejak din
telah memberikan isyarat bahwa manusia itu ditakdirkan Tuhan sebagai yang
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (multietnis), agar mereka itu saling mengenal (li
taarauf). Keragaman dan suku itu, mengandaikan ketiadaan keseragaman keyakinan
dan budaya. Karena itu, dalam ayat yang lain, al Qur'an menegaskan bahwa Tuhan
tidak berkehendak untuk menjadikan manusia ini sebagai yang homogen. Kemudian
dilanjutkan bahwa maksud dari ketentuan Tuhan menjadikan manusia sebagai
multietnis dan religius itu adalah agar mereka saling berlomba-lomba mencari
kebaikan (fastabiq al-khairat). Dua kata kunci dari keterangan al-Qur'an di atas, yakni
saling mengenal (li taarafu) dan berlomba-lomba mengejar kebajikan (fastabiq al-
khariat) adalah dasar dari sikap multikulturalisme tentang keragaman sebagai fakta di
satu sisi, dan kesetaraan kaum beriman dalam kedudukannya sebagai teman
seperjalanan (fellow traveler) di sisis lain. Artinya, bahwa keragaman budaya dan
agama itu adalah kenyataan sebagai wujud dari kehendak Tuhan yang tidak mungkin
ditolak, dan karenanya yang mungkin dilakukan manusia hanyalah konstruksi positif.
Wujud konkret dari konstruksi positif ini adalah berupa pencapaian prestasi budaya
yang bermanfaat untuk kualitas hidup manusia (istibaq al-akhirat), dan itu hanya
mungkin diwujudkan bila mana telah terjadi dialog antarbudaya dan keyakinan yang
beragama (bi al-taaruf).
Kedua, sebagai sebuah paham tentang keragaman, multikulturalisme sejatinya
adalah kelanjutan dari paham pluralisme.Sebagai kelanjutan pluralisme,
multikulturalisme berusaha untuk menegaskan-di samping mengembangkan-
pemikiran pluralisme yang antara lain mengakui adanya common platfrom antara
kebudayaan dan kenyakinan yang beraneka ragam itu, sekaligus mengakui pula
adanya aspek-aspek yang tidak bisa dikompromikan. Dari sudut doktrin Islam,
pengakuan tentang common platfrom  itu dilegitimasi melalui QS Ali Imran / 3 : 64
yang berbicara tentang ajakan kepada kelompok agama lain untuk mencari benang
merah atau titik kesamaan (kalimatun sawa) sebagai landasan menjalin dialog dan
kerjasama sosial. Adapun mengenai hal-hal yang tidak mungkin disekati, maka al-
Qur’an mengajarkan sikap toleransi (tasamuh) dan melihatnya sebagai yang unik. Ini
dilegitimasi melalui QS. Al-Kafirun / 109 : 6 “. . . bagimu agamu, dan bagiku
agamaku. . .” Mengenai yang terakhir ini, sikap toleransi diketengahkan sebagai
bentuk pengakuan Islam atas keragaman keyakinan (dan budaya) yang tidak perlu
diselesaikan oleh manusia. Demikian itu karena ia adalah hak prerogatif Tuhan, dan
Tuhan yang berjanji akan menyelesaikannya sendiri di akhirat nanti.
Ketiga, agama memang berasal dari Tuhan dan kesuciannyadipelihara oleh
Tuhan sendiri (wa inna lahu lahafizun), namun pemahaman manusia akan agamanya
ini tidak suci, tetapi berwatak historis dan erjalan dalam garis trial error menuju yang
ideal. Karena itu, al-Qur’an mengajarkan untuk tidak sekali-kali memutlakkan
sejarah, tetapi lebih kepada belajar apa yang kurang dari sejarah itu sendiri. Firman
Allah : “. . . Sungguh telah berlalu ketentuan-ketentuan Allah, maka berjalanlah di
muka bumi dan perhatikan kesudahan orang yang mendustakan. . .” QS. Al Imran /
3 : 137.
Keempat, karena pemahaman agama manusia itu tidak memiliki sifat suci,
maka ia terbuka untuk dikritisi, didekonstruksi, dan diramu ulang sesuai dengan
kebutuhan perkembangan kemanusiaan. Terkait dengan ini, al-Qur’an mencela orang-
orang yang berpaham statis, tidak dinamis, atau mempertahankan status quo dan
menjuluki mereka dengan sebutan abawiyyun (orang yang gemar mentaklid leluhur).
Firman Allah : “. . . dan jika dikatakan kepada mereka, ikutilah apa yang diturunkan
oleh Allah, mereka berkata : tidak, kami mengikuti apa yang kami dapati dai nenek
moyang kami . . .” QS. Al-Baqarah / 2 : 170.
Titik temu diantara berbagai agama dan kebudayaan adalah ketakwaan. Dalam
hal ini, ukuran yang digunakan bersifat Ilahi artinya Tuhanlah yang berhak menghisab
siapa sebenar sebenarnya yang palin bertakwa. Karena itu, multikulturalisme menjadi
keniscayaan untuk mendorong toleransi dalan keragaman agama sekaligus
meneropong wilayah etnisitas dan kebudayaan demi menciptakan tatanan sosial yang
egaliter dan menghargai hak-hak manusia.6
4. Pendekatan (Metode) Dakwah Berbasis Multikulturalisme
Berpijak dari landasan dalil-dalil keagamaan yang di atas, para pemikir
muslim progresif berusaha mengembangkan suatu pendekatan baru dalam dakwah
yang mampu mengakomodasi perkembangan sosial dan politik masyarakat global-
prulal-multikultural. Pendekatan baru ini, terutama didasari oleh tuntutan terhadap
peranan agama-agama dalam menjawab persoalan masyarakat multikultural di satu
pihak, dan pengakuan umat muslim bahwa agamanya merupakan agama dakwah baik
secara teoritis maupun praktis di pihak yang lain. Sebagai pemikiran baru, pendekatan
multikulturalisme, tentu saja, tidak serta-merta diterima kaum muslim. Sudah barang
tentu, sangat wajar timbul keraguan dan bahkan mungkin kecurigaan-kecurigaan.
Meski begitu, mengingat kebutuhan untuk menjawab tuntutan dan tantangan zaman,
apalagi terutama karena pendekatan ini sejatinya memiliki dasar legitimasi daro
doktrin fundamental Islam – dengan kemungkinan penolakan karena penafsiran yang
berbeda, maka pemikiran dakwah dengan pendekatan multikultural boleh

6
Ilyas Ismail,  FILSAFAT ISLAM : Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group,2011),  h.264-273.
dipertimbangkan sebagai salah satu pilihan melengkapi pendekatan-pendekatan yang
lain.
Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka dakwah multikultural mengajukan
program atau pendekatan dakwah sebagai berikut:
Pertama, berbeda dengan pemikiran dakwah konvensional yang menempatkan
konversi iman sebagai bagian inti dari dakwah, pendekatan dakwah multikultural
menilai bahwa dakwah tidak lagi secara eksplisit dimaksudkan untuk mengislamkan
umat nonmuslim. Lebih dari itu, pendekatan dakwah multikultural menekankan agar
target dakwah lebih diarahkan pada pemberdayaan kualitas umat dalam ranah
internal, dan kerja sama serta dialog antar-agama dan budaya dalam ranah eksternal.
Berbeda dengan pendekatan konvensional, pendekatan dakwah multikultural, seperti
dinyatakan menilai fenomena konversi nonmuslim menjadi muslimin adalah efek
samping dari tujuan dakwah, dan bukan tujuan utama dari dakwah itu sendiri.
Mengikuti pendekatan multikultural, dakwah kontemporer tidak lagi
berorientasi pada aspek kuantitas, tetapi lebih kepada kualitas dalam wujud keadilan,
kesetaraan, dan kesejahteraan bagi kemanusiaan sejagat. Keragaman budaya dan
agama adalah sunatullah yang tidak mungkin diubah atau diganti. Dengan kata lain
adalah suatu hal mustahil bercita-cita menjadikan manusia ini menjadi satu umat,
agama, dan budaya. Bahkan angan-angan tersebut justru bertentangan dengan
kebijakan (police) Allah sendiri yang tidak berkehendak untuk menjadikan manusia
sebagai satu umat (“... Kalau saja Tuhanmu mau, pastilah beriman semua orang di
muka bumi, maka apakah kamu akan memaksa manusia agar beriman?” QS.
Yunus/10: 99). Melalui pengakuan adanya kesepakatan atau titik menu antar-iman
(common platform), maka dalam perspektif dakwah multikultural, seperti berulang
kali dikatakan Nurkholis Madjid, bahwa mengajak orang kepada Islam, tidak selalu
identik dengan mengajak orang untuk beragama Islam.
Dalam hal ini, cara pandang multikultural mencoba membedakan antar Islam
sebagai sikap hidup (islam ‘amm), dan Islam sebagai sebuah agama yang terinstitusi
(islam khashsh). Pembedaan antarkeduanya, seperti banyak ditemukan dalam
pemikiran cendekiawan muslim Nurcholish Madjid, menegaskan bahwa Islam
sebagai sikap hidup dapat dijumpai dalam keyakinan semua agama-agama, dan bukan
hanya monopoli agama Islam par exelence. Demikian itu, karena agama-agama yang
berlainan itu berasal dari yang Tunggal dan bersama menuju yang Tunggal dengan
perantaraan amal-amal kebajikan. Inti dari ajaran agama-agama untuk mengimani
adanya yang Tunggal (Allah yang esa), dan mengejar kabajikan di dunia untuk
berjumpa dengan-Nya setelah kematian, sejatinya adalah maksud dari sikap Islam itu
sendiri. Dalam konteks masyarakat multikultural, sikap Islam inilah yang seharusnya
menjadi concern utama ajakan  dakwah, dan bukan semata-mata soal konversi
nonmuslim untuk menjadi muslim.
Kedua, dalam ranah kebijakan publik dan politik, dakwah multikultural
menggagas ide tentang kesetaraan hak-hak kelompok minoritas. Tujuan dari program
dakwah ini, terutama dimaksudkan agar seluruh kelompok etnis dan keyakinan
mendapat pengakuan legal dari negara dari satu aspek, dan bebasnya penindasan atas
nama dominasi mayoritas dari aspek yang lain. Untuk kepentingan ini pula,
pendekatan dakwah multikultural berusaha memberikan dukungan moral dan
legitimatif atas budaya politik demokrasi. Demikian itu, karena budaya politik
demokrasi–terlepas dari kekurangannya–sampai saat ini dinilai sebagai yang paling
mengakomodasi ide-ide egalitarianisme hak sipil dan kelompok minoritas dalam
masyarakat multikultural. Melalui budaya demokrasi ini, dakwah multikultural
berusaha agar kebijakan atau produk politik yang bias etno-religius dapat dieliminasi
dan digantikan dengan kebijakan-kebijakan politik yang ramah dan peka terhadap
keragaman etnis dan keyakinan masyarakat.
Ketiga, dalam ranah sosial, dakwah multikultural memilih untuk mengambil
pendekatan kultural ketimbang harakah (salafi jahidy). Seperti telah disinggung,
bahwa pendekatan multikultural sejatinya merupakan kelanjutan dari pendekatan
dakwah kultural dengan perbedaan pada tingkat keragaman dan pluralitasnya. Adapun
konflik yang sering terjadi antar-keyakinan dan agama, sejatinya adalah efek negatif
dari perebutan kepentingan dalam ranah politik. Untuk tujuan ini, dakwah
multikultural memang berbeda dan kurang sepaham dengan pemikiran dakwah yang
mengedepankan Islam sebagai manhaj hayah, dan Islam din, dunya dan daulah,
seperti digagas dan dikedepankan oleh Sayyid Quthub dan tokoh-tokoh Ikhwan yang
lain. Demikian itu, karena kedua ide di atas berpotensi melahirkan radikalisme agama
yang eksklusivistik, dan dinilai tidak sejalan dengan perkembangan masyarakat
global-multikultural yang iklusif dan plural. Berlawanan dengan di atas, dakwah
multikultural memilih pendekatan kultural yang mengedepankan strategi sosialisasi
Islam sebagai bagian integral umat, dan bukan sesuatu yang asing melalui
pengembangan gagasan Islam sebagai sistem moral (al-islam huwa al-nizham al-
akhlaqiyyah).
Keempat, dalam konteks pergaulan global, dakwah multikultural menggagas
ide dialog antarbudaya dan keyakinan. Dalam merespon fenomena globalisasi yang
sedikit demi sedikit menghapus sekat-sekat antarbudaya dan agama sekarang ini,
dakwah multikultural, seperti diusulkan Mulkan, merasa perlu membangun “etika
global” yang digali dari sumber etika kemanusiaan universal yang terdapat dalam
seluruh ajaran agama. Untuk tujuan tersebut, pendekatan dakwah multikultural
memulai agendanya, antara lain dengan menafsir ulang sejumlah teks-teks keagamaan
yang bias eksklusivisme, misalnya dengan metode hermeneutika.
Menurut ukuran perkembangan sosial saat ini, di mana intensitas pargaulan
antar-keyakinan dan budaya makin mendesak, maka cita-cita untuk membangun
peradaban oleh suatu kelompok agama atau budaya, tanpa melibatkan peranan
kelompok agama dan budaya yang lain menjadi suatu yang dinilai absurd.
Sebaliknya, yang lebih memungkinkan dan sekaligus menjanjikan adalah bagaimana
umat muslim mampu bekerja sama dengan umat agama dan kelompok-kelompok
budaya lain untuk merintis suatu peradaban baru yang berorientasi kemanusiaan
universal. Untuk tujuan ini, agenda yang mendesak saat ini adalah bagaimana caranya
membentuk jaringan global Islam dan agama-agama lain (juga budaya) bagi
pembangunan kembali serpihan peradaban masa lampau untuk kesejahteraan umat
manusia saat ini. Agenda tersebut, menurut Mulkan, harus berupa pengembangan
praktik-praktik keagamaan yang benar-benar fungsional untuk pemecahan berbagai
permasalahan kemanusiaan global.
Kelima, terkait dengan program seperti ini dalam poin keempat, para
penggagas dakwah multikultural, merasa perlu untuk menyegarkan kembali
pemahaman doktrin-doktrin Islam klasik, dengan cara melakukan reinterprestasi dan
rekonstruksi paham Islam, sesuai dengan perkembangan masyarakat global-
multikultural. Seperti telah disinggung, doktrin-doktrin Islam klasik seperti
terkodifikasi dalam kitab-kitab yang sampai kepada kita sekarang ini adalah sebuah
penafsiran Islam, dan bukan Islam itu sendiri. Karena ini, ia tidak tertutup tetapi
terbuka untuk dikritisi dan ditafsir ulang. Penafsiran baru ajaran Islam itu harus
berimbang, berpijak dari orisinalitas tradisi di satu pihak, tetapi harus tetap terbuka
kepada ide-ide perkembangan keilmuan kontemporer di lain pihak. Dengan ungkapan
lain, penafsiran itu memang harus terbuka, tetapi juga tidak kehilangan arah, akar, dan
tetap mencerminkan identitas keislaman dengan pijakan yang kuat berdaskarkan al-
Qur’an dan sunnah. Pola pemikiran semacam ini disebut oleh Rachman, sebagai
pemikiran yang inklusif (terbuka dan menghargai keragaman), dinamis (bergerak
sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman), dan progresif (berorientasi
kepada peningkatan dan kemajuan masa depan yang berkelanjutan).7
5. Epilog : Masa Depan Dakwah Multikulturalisme
Dakwah berbasis multikultural, sejatinya merupakan pengembangan dari
paradigma dakwah kultural. Lebih tepatnya, paradigma dakwah ini berangkat dari
dialog antara pemikiran dakwah kultural dan fenomena masyarakat global. Bisa
dimaklumi bila tokoh-tokoh yang menyuarakan dakwah berbasis multikultural tak
lain adalah tokoh-tokoh yang juga menyuarakan dakwah kultural, di samping pula
mereka yang aktif menyuarakan hak-hak asasi manusia, kebebasan berfikir, dan
dialog antar-agama. Dari lingkup nasional, sebut saja tokoh-tokoh pemikir muslim
seperti Abdurrahman Wahid, yang menyuarakan ide pribumisasi Islam, atau
nurkholisMadjid, dengan gagasan kosmopolitalisme Islamnya, adalah juga tokoh-
tokoh yang aktif menyuarakan ide-ide demokrasi dan pluralisme sebagai dasar
masyarakat multikultural. Abdul Munir Mulkhan, tokoh yang mengusung isu Islam
dan budaya lokal, adalah juga tokoh yang menyuarakan keterkaitan agama dan
pluralitas budaya (multikulturalisme).
Sejumlah nama dari tokoh-tokoh yang lebih muda, misalnya Masdar Farid
Mas'udi, ulil Abshar Abdalla, Moqshit Ghazali, Budi Munawar Rachman, Zuhairi
Misrawi, dan Lutfi Assaukanie adalah tokoh-tokoh yang dapat dipandang sebagai
pendukung dakwah berbasis multikulturalisme. Mereka adalah orang-orang yang
sangat vokal menyuarakan demokrasi dalam bidang politik, pluralisme dalam bidang
sosial-kemasyarakatan, dan progresivisme dalam bidang pemikiran Islam. Diakui,
pada umumnya mereka tidak secara eksplisit menyebut dakwah multikulturalisme
sebagai pendekatan sosialisasi Islam, tetapi secara implisit. Sebut saja, Zuhairi
Misrawi, misalnya, mengangkat pemikiran inklusivisme, pluralisme, dan
multikulturalisme dalam al-Qur'an. Ini sama maksudnya dengan pemikiran dakwah
berbasis multikultural dalam al-Qur'an. Juga Abdul Munir Mulkhan yang mengangkat
ide kesalehan multikultural sebagai ganti atau padanan dari dakwah dengan
pendekatan multikultural.

7
Ilyas Ismail, FILSAFAT ISLAM : Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group,2011), h.273-280.
Dari lingkup global, ide dakwah berbasis multikultural dapat ditangkap
melalui pemikiran tokoh-tokoh kelas dunia, seperti Khaled Abou Fadl, Muhammad
Arkoun hingga Nasr Hamid Abu Zaid yang mengangkat tema tentang kritik ortodoksi
serta kebebasan berpikir dan multitafsir agama. Adapun tentang isu seputar
demokrasi, dan hak-hak asasi manusia muncul nama-nama seperti Abdullahi Ahmad
al-Na'im, dan mantan rektor Universitas al-Azhar 'Umar Hasyim. Adapun mengenai
isu-isu seputar dialog antar agama dan pluralisme, dapat disebut nama seperti Ismail
al Faruqi dan pemikir Iran kenamaan Abdul Aziz Sachidena. Bahkan dalam soal yang
terakhir ini, ulama besar dunia, Syekh Yusuf Qardhawi, dapat pula disebut di sini.
Dalam buku, Khithabuna al-Islami fi 'Ashr al-'Awlamah, tokoh yang satu ini sangat
mendorong dialog antar-peradaban (al-hiwar)  sebagai pilihan pendekatan dakwah
abad global.
Terakhir, sebagai sebuah ide yang masih baru, perlu juga dikatakan bahwa
pendekatan multikulturalisme untuk dakwah masih menuai kontroversi dan belum
diterima oleh kaum muslim secara luas. Penolakan tersebut, terutama datang dari
lembaga resmi keislaman atau ulama-ulama konservatif. Sebut saja seperti ide
pluralisme dan kebebasan berpikir sebagai landasan multikulturalisme, masih harus
berhadapan dengan fatwa haram dari lembaga keulamaan formal di Indonesia. Juga
karena masih sangat baru, adalah suatu ketergesa-gesaan di samping tidak adil pula
rasanya menilai sisi kelemahan atau kelebihan dari gagasan pendekatan dakwah
dengan multikulturalisme. Namun demikian, fenomena-fenomena seperti merebaknya
aliran-aliran radikal Islam, meningkatnya frekuensi konflik antar-agama dan budaya,
hingga ketegangan antar-peradaban dapat dinilai sebagai suatu tahap perkembangan
kemanusiaan di mana pendekatan multikulturalisme menjadi suatu kebutuhan mutlak
untuk diterapkan sebagai alat "dakwah agama-agama".8

8
Ilyas Ismail, FILSAFAT ISLAM : Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group,2011), h.281-285.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dakwah Multikultural adalah aktifitas menyeru kepada jalan Allah melalui usaha-
usaha mengetahui karakter budaya suatu masyarakat sebagai kunci utama untuk
memberikan pemahaman dan mengembangkan dakwah.
Pada penghujung abad kedua puluh dan memasuki abad dua satu ini, timbul wacana
baru dalam pemikiran dakwah, sebagai respons terhadap perubahan-perubahan besar yang
terjadi, misalnya pergeseran pemikiran dari modern ke pascamodern. Paradigama baru
dakwah ini, dilatarbelakangi tertutama oleh dua fenomena baru pascamodern, yakni
globalisasi dan perkembangan politik praktis. Baik fenomena globalisasi, maupun
perkembangan politik praktis di dunia belakangan ini, masing-masing menghadapkan
persoalan dakwah kontemporer kepada bentuk masyarakat majemuk multibudaya dan
multietno-religius.
Karakteristik Dakwah Berbasis Multikulturalisme Pertama, mengakui dan menghargai
keunikan dan keragaman etnos-religius. Kedua, mengakui adanya titik kesamaan dan
keragaman etnos-religio. Ketiga, paradigma fenomena keberagamaan sebagai kultur.
Keempat, kemestian progresivisme dan dinamisme dalam memahami agama.
Pendekatan (Metode) Dakwah Berbasis Multikulturalisme, Pertama, berbeda dengan
pemikiran dakwah konvensional yang menempatkan konversi iman sebagai bagian inti
dari dakwah, pendekatan dakwah multikultural menilai bahwa dakwah tidak lagi secara
eksplisit dimaksudkan untuk mengislamkan umat nonmuslim. Kedua, dalam ranah
kebijakan publik dan politik, dakwah multikultural menggagas ide tentang kesetaraan
hak-hak kelompok minoritas. Ketiga, dalam ranah sosial, dakwah multikultural memilih
untuk mengambil pendekatan kultural ketimbang harakah (salafi jahidy). Keempat, dalam
konteks pergaulan global, dakwah multikultural menggagas ide dialog antarbudaya dan
keyakinan. Kelima, terkait dengan program seperti ini dalam poin keempat, para
penggagas dakwah multikultural, merasa perlu untuk menyegarkan kembali pemahaman
doktrin-doktrin Islam klasik, dengan cara melakukan reinterprestasi dan rekonstruksi
paham Islam, sesuai dengan perkembangan masyarakat global-multikultural.
Dakwah berbasis multikultural, sejatinya merupakan pengembangan dari paradigma
dakwah kultural. Lebih tepatnya, paradigma dakwah ini berangkat dari dialog antara
pemikiran dakwah kultural dan fenomena masyarakat global. Bisa dimaklumi bila tokoh-
tokoh yang menyuarakan dakwah berbasis multikultural tak lain adalah tokoh-tokoh yang
juga menyuarakan dakwah kultural, di samping pula mereka yang aktif menyuarakan hak-
hak asasi manusia, kebebasan berfikir, dan dialog antar-agama.
2. Saran
Makalah ini yang berjudul tujuan dan dakwah berbasis multikulturalisme tentu tidak
luput dari kekurangan karena tidak sempurnanya kita sebagai manusia, maka dari itu
untuk memperlancar makalah di masa yang akan datang kami mengharapkan saran
terutama dari dosen pembimbing dan dari teman-teman.
DAFTAR PUSTAKA
Acep, Aripudin. 2012.  Dakwah Antarbudaya. Bandung : Rosda Karya.
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung : PT.Syaamil
Cipta Media.
Maksum, Ali. 2011.  Pluralisme dan Multikulturalisme. Malang : Aditya Media
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai