Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Timbulnya pembaruan pemikiran Islam di Indonesia baik dalam bidang agama, sosial, dan
pendidikan diawali dan dilatar-belakangi oleh pembaruan pemikiran Islam yang timbul di
belahan dunia Islam lainnya, terutama diawali oleh pembaruan pemikiran Islam yang timbul di
Mesir, Turki dan India. Di Indonesia muncul tokoh H. Ahmad Dahlan, dengan gerakan
Muhammadiyah, KH. Hasyim Asy'ari dengan organisasi Nahdatul Ulama, H. Hasan, dengan
Gerakan Persatuan Islam (Persis), Haji Abdul Halim dengan gerakan Perserikatan. Tokoh-tokoh
ini semuanya banyak bergerak di bidang pendidikan islam. Muncullah upaya-upaya untuk
memperbarui pendidikan Islam di indonesia.

Latar belakang pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh dua faktor.
Pertama pembaruan yang bersumber dari ide-ide yang muncul dari luar yang dibawa oleh para
tokoh atau ulama yang pulang ke tanah air setelah beberapa lama bermukim di luar negeri
(Mekkah, Madinah, Kairo). Ide-ide yang mereka peroleh di perantauan itu menjadi wacana
pembaruan setelah mereka kembali ke tanah air. Mekkah sebagai tempat berkumpulnya umat
Islam sedunia terutama pada musim haji, maka berbagai ide dan pemikiran keagamaan bertemu
di tempat tersebut Pemikiran-pemikiran keagamaan yang meliputi akidah, fikih, sufistik dari
berbagai penjuru dunia Islam bertemu di Kota Suci Mekkah, demikian juga pemikiran dan
gerakan-gerakan politik, tentu juga tidak ketinggalan pemikiran dan gerakan pembaruan
pemikiran Islam yang muncul di abad ke sembilan belas. Pemikiran-pemikiran modernis yang
mereka terima dari pergulatan pemikiran yang berkembang di dunia Islam ketika itu mereka
bawa ke Indonesia.

Sementara itu di kalangan umat Islam memiliki lembaga pen¬didikan pesantren, rangkang,
dayah, surau. Dengan menekankan mata pelajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik.
Pendidikan pesantren ini sama sekali amat berbeda sistemnya dengan sekolah-sekolah
pemerintah. Melihat kondisi yang demikian itu, maka sebagian dari tokoh-tokoh umat Islam
berupaya untuk melaksanakan pembaruan dalam bidang pendidikan.,

Di kalangan Muhammadiyah, berdirilah sekolah-sekolah yang mengambil nama sama dengan


sekolah-sekolah pemerintah HIS, MULO, AMS yang diberi dengan muatan keagamaan. Sekolah
yang demikian itu diberi nama HIS met de Our'an, MULO metode Qur'an, dan sebagainya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana peran muhammadiyah dalam pembaharuan pendidikan Islam ?
2. Bagaimana peran Nahdlatul Ulama dalam pembaharuan pendidikan Islam?
3. Bagaimana peran Al Irsyad dalam pembaharuan pendidikan Islam?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui peran muhammadiyah dalam pembaharuan pendidikan Islam
2. Mengetahui peran Nahdlatul Ulama dalam pembaharuan pendidikan Islam
3. Mengetahui peran Al Irsyad dalam pembaharuan pendidikan Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peran Muhammadiyah dalam pendidikan islam

Pendidikan merupakan suatu bagian terpenting dalam proses perkembangan suatu bangsa.
Munculnya tokoh pemikir yang peduli terhadap pendidikan bangsa Indonesia menjadi faktor pendorong
pergerakan nasional di Indonesia. Ahmad Dahlan salah satu tokoh yang peduli terhadap pendidikan
bangsa Indonesia. Dia melihat terdapat perbedaan antara sistem pendidikan kolonial Belanda dan
sistem pendidikan Islam tradisional yang berpusatkan di pondok pesantren sehingga berkembang
dualisme dalam sistem pendidikan di Indonesia. Melihat perbedaan pendidikan yang terjadi pada saat
itu maka timbulah ide dari Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan. Dalam melakukan
pembaruan Ahmad Dahlan tidak hanya mendirikan sekolah, tetapi ikut membantu mengajar ilmu
keagamaan di sekolah lain.

Merasa prihatin terhadap perilaku masyarakat Islam di Indonesia yang masih mencampur-baurkan
adat istiadat yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran umat islam, inilah yang menjadi latar belakang
pemikiran Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaruan, yang juga melatar belakangi lahirnya
Muhammadiyah. Pemikiran Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai awal
kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia. Gagasan pembaruannya sempat mendapat tantangan dari
masyarakat waktu itu, terutama dari lingkunagan pendidikan tradisional. Kendati demikian, bagi Dahlan,
tantangan tersebut bukan merupakan hambatan, melainkan tantangan yang perlu dihadapi secara
bijaksana. Arus dinamika pembaharuan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan
kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin
penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karena
pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat.

Gerakan organisasi sosial keagamaan di Indonesia memiliki peran yang sangat penting. Salah satu
diantaranya adalah persyarikatan Muhammadiyah yang dibangun oleh Ahmad Dahlan. Muhammadiyah
memiliki tridimensi gerakan yakni keIslaman, dakwah dan pembaharuan. Muhammadiyah terbukti
mampu menyentuh semua bidang kehidupan, dan mendapat simpati banyak orang, sehingga tidak
heran jika ormas ini untuk selanjutnya mendulang jumlah anggota yang selalu menunjukkan grafik naik
pada tiap tahunnya.
Praktek keagamaan masyarakat saat itu yang dianggap menyimpang dari nilai-nilai Islam seperti
praktek takhayul, bid’ah dan khurafat,maka Ahmad Dahlan berusaha mendobrak dan memerangi
kemapanan tradisi yang sudah berurat akar dalam masyarakat tersebut dengan meniscayakan adanya
tajdid (pembaruan) sebagai soko guru gerakannya. Corak pemikiran Islam dari Ahmad Dahlan pada
umumnya berkisar pada penekanan praktik Islam salaf sebagai kritik atas Islam tradisional (taqlid) yang
bercorak sinkretis karena pengaruh adat istiadat lokal. Dengan kata lain, singularitas Islam direkonstruksi
lagi menjadi Islam sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, pembaruan dalam Muhammadiyah berarti
memperbarui pemahaman (Islam) dengan kembali kepada keaslian Islam.

Pendidikan kolonial melarang masuknya pelajaran agama dalam sekolah-sekolah kolonial, dan
dalam artian ini orang menilai pendidikan Kolonial sebagai pendidikan yang bersifat sekuler, disamping
sebagai peyebar kebudayaan Barat. Hal ini merupakan salah satu sisi politik etis yang disebut politik
asosiasi yang pada hakekatnya tidak lain dari usaha westernisasi yang bertujuan menarik penduduk asli
Indonesia ke dalam orbit kebudayaan Barat. Dari lembaga pendidikan ini lahirlah golongan intlektual
yang biasanya memuja Barat dan menyudutkan tradisi nenek moyang serta kurang menghargai Islam,
agama yang dianutnya. Hal ini agaknya wajar, karena mereka lebih dikenalkan dengan ilmu-ilmu dan
kebudayaan Barat yang sekuler tanpa mengimbanginya dengan pendidikan agama, konsumsi moral dan
jiwanya. Sikap umat yang demikianlah yang dimaksud sebagai ancaman dan tantangan bagi Islam diawal
abad ke 20.

Menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk
manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah
ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut
merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu
pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya
bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan
sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama
sekali. Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang
sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan
spritual serta dunia dan akhirat. Bagi K.H. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-
spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi
alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di
Madrasah Muhammadiyah.
Menurut Dahlan, materi pendidikan yang diberikan adalah pengajaran Al-Qur’an dan Hadits,
membaca, menulis, berhitung, Ilmu bumi, dan menggambar. Materi Al-Qur’an dan Hadits meliputi;
Ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah,
pembuktian kebenaran Al-Qur’an dan Hadits menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-
kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, Demokratisasi dan liberalisasi,
kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (budi
pekerti).

Muhammadiyah yang ada sejak tahun 1912 telah menggarap dunia pendidikan, namun perumusan
mengenai tujuan pendidikan yang spesifik baru disusun pada 1936. Pada mulanya tujuan pendidikan ini
tampak dari ucapan K.H. Ahmad Dahlan: “ Dadiji kjai sing kemajorean, adja kesel anggonu njambut gawe
kanggo Muhammadiyah”( Jadilah manusia yang maju, jangan pernah lelah dalam bekerja untuk
Muhammadiyah). Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, menurut K.H. Ahmad Dahlan materi
pendidikan atau kurikulum pendidikan hendaknya meliputi:

1. Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik
berdasarkan Al Qur’an dan as sunnah.
2. Pendidikan Individu yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh,
yang kesinambungan antara perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinan dan intelek,
antara perasaan dan akal pikiran serta antara dunia dan akhirat.
3. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesedihan dan keinginan
hidup masyarakat. Dilihat dari sudut kurikulum,sekolah tersebut mengajrakan tidak hanya ilmu
umum tetapi juga ilmu agama sekaligus. Hal ini merupakan trobosan baru bahwa pada saat itu
lembaga pendidikan umum (sekolah) hanya mengajarkan pelajaran umum dan sebaliknya
lembaga pendidikan agama (pesantren) hanya mengajarkan pelajaran agama. Dengan kurikilum
tersebut, Ahmad Dahlan berusaha membentuk individu yang utuh dengan memberikan
pelajaran agama dan umum sekaligus.

Di dalam menyampaikan pelajaran agama K.H. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan
yang tekstual tetapi kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau
dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. Bagi K.H. Ahmad
Dahlan, ajaran Islam tidak akan membumi dan dijadikan pandangan hidup pemeluknya, kecuali
dipraktekkan. Betapa pun bagusnya suatu program, menurut Dahlan, jika tidak dipraktekkan, tidak
akan bisa mencapai tujuan bersama. Karena itu, K.H. Ahmad Dahlan tidak terlalu banyak
mengelaborasi ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi ia lebih banyak mempraktikkannya dalam amal nyata.
Praktek amal nyata yang fenomenal ketika menerapkan apa yang disebut dalam surat Al-Maun
yang secara tegas memberi peringatan kepada kaum muslim agar mereka menyayangi anak-anak
yatim dan membantu fakir miskin. Untuk mengamalkan isi surat Al-Ma’un sK.H. Ahmad Dahlan juga
mengajak santri-santrinya ke pasar Beringharjo, Malioboro, dan Alun-alun utara Yogyakarta. Di
tempat-tempat itu berkeliaran pengemis dan kaum fakir. K.H. Ahmad Dahlam memerintahkan
setiap santrinya untuk membawa fakir itu ke Mesjid Besar. Dihadapan para santri, K.H. Ahmad
Dahlan membagikan sabun, sandang dan pangan kepada kaum fakir. K.H. Ahmad Dahlan meminta
fakir miskin untuk tampil bersih. Sejak saat itulah, Muhammadiyah aktif dalam menyantuni fakir
miskin dan yautim piat.

Pemikiran Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan
pendidikan Islam di Indonesia. Gagasan pembaruannya sempat mendapat tantangan dari
masyarakat waktu itu, terutama dari lingkunagan pendidikan tradisional. Kendati demikian, bagi
Dahlan, tantangan tersebut bukan merupakan hambatan, melainkan tantangan yang perlu dihadapi
secara arif dan bijaksana. Arus dinamika pembaharuan terus mengalir dan bergerak menuju kepada
berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan
Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal
ini disebabkan, karena pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan
umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dalam
membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran
pendidikan K.H Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan
inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.

B. Peran Nahdlatul Ulama (NU) dalam pendidikan islam

Anda mungkin juga menyukai