Luka Bakar
Luka Bakar
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kulit dengan luka bakar akan
mengalami kerusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan tergantung faktor
penyebab dan lamanya kontak dengan sumber panas/penyebabnya. Kedalaman luka bakar akan
mempengaruhi kerusakan/ gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel (Yepta, 2003).
Luka bakar adalah luka yang terjadi karena terbakar api langsung maupun tidak langsung,
juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau
akibat tidak langsung dari api, misalnya tersiram air panas banyak terjadi pada kecelakaan rumah
tangga (Sjamsuidajat, 2004)
Luka bakar yaitu luka yang disebabkan oleh suhu tinggi, dan disebabkan banyak faktor,
yaitu fisik seperti api, air panas, listrik seperti kabel listrik yang mengelupas, petir, atau bahan
kimia seperti asam atau basa kuat (Triana, 2007).
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik bahan kimia
dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Kusumaningrum, 2008)
Luka bakar bisa berasal dari berbagai sumber, dari api, matahari, uap, listrik, bahan
kimia, dan cairan atau benda panas. Luka bakar bisa saja hanya berupa luka ringan yang bisa
diobati sendiri atau kondisi berat yang mengancam nyawa yang membutuhkan perawatan medis
yang intensif (PRECISE, 2011)
Kelenjar keringat ditemukan pada kulit pada sebagian besar permukaan tubuh. Kelenjar
ini terutama terdapat pada telapak tangan dan kaki. Kelenjar keringat diklasifikasikan menjadi 2,
yaitu kelenjar ekrin dan apokrin. Kelenjar ekrin ditemukan pada semua daerah kulit. Kelenjar
apokrin berukuran lebih besar dan kelenjar ini terdapat aksila, anus, skrotum dan labia mayora.
Gambar 4. Anatomi Kulit
2. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan proses terjadinya pemulihan integritas kapiler, syok luka
bakar akan menghilang dan cairan mengalir kembali ke dalam kompartemen vaskuler, volume
darah akan meningkat. Karena edema akan bertambah berat pada luka bakar yang melingkar.
Tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstremitas distal menyebabkan
obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia.
3. Adult Respiratory Distress Syndrome
Akibat kegagalan respirasi terjadi jika derajat gangguan ventilasi dan pertukaran gas sudah
mengancam jiwa pasien.
4. Ileus Paralitik dan Ulkus Curling
Berkurangnya peristaltic usus dan bising usus merupakan tanda-tanda ileus paralitik akibat luka
bakar. Distensi lambung dan nausea dapat mengakibatnause. Perdarahan lambung yang terjadi
sekunder akibat stress fisiologik yang massif (hipersekresi asam lambung) dapat ditandai oleh
darah okulta dalam feces, regurgitasi muntahan atau vomitus yang berdarha, ini merupakan
tanda-tanda ulkus curling.
5. Syok sirkulasi terjadi akibat kelebihan muatan cairan atau bahkan hipovolemik yang terjadi
sekunder akibat resusitasi cairan yang adekuat. Tandanya biasanya pasien menunjukkan mental
berubah, perubahan status respirasi, penurunan haluaran urine, perubahan pada tekanan darah,
curah janutng, tekanan cena sentral dan peningkatan frekuensi denyut nadi.
6. Gagal ginjal akut
Haluran urine yang tidak memadai dapat menunjukkan resusiratsi cairan yang tidak adekuat
khususnya hemoglobin atau mioglobin terdektis dalam urine.
2) Ubah pasien yang sering dan rentang gerak aktif dan pasif sesuai
indikasi Rasional :
Gerakan dan latihan menurunkan kekuatan sendi dan kekuatan otot tetapi tipe latihan tergantung
indikasi dan luas cedera.
3) Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat dan penutup tubuh
Rasional :
Pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor, sumber panas eksternal perlu untuk
mencegah menggigil.
4) Kaji keluhan nyeri pertahankan lokasi, karakteristik dan intensitas (skala 0-10)
Rasional :
Nyeri hampir selalu ada pada derajat beratnya, keterlibatan jaringan atau kerusakan tetapi
biasanya paling berat selama penggantian balutan dan debridement.
5) Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri
Rasional :
Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme koping.
6) Dorong penggunaan tehnik manajemen stress, contoh relaksasi, nafas dalam, bimbingan
imajinatif dan visualisasi.
Rasional :
Memfokuskan kembali perhatian, memperhatikan relaksasi dan meningkatkan rasa control yang
dapat menurunkan ketergantungan farmakologi.
7) Kolaborasi pemberian analgetik
Rasional :
Dapat menghilangkan nyeri
3. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui rute
abnormal luka.
Kriteria Hasil :
Menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan dibuktikan oleh haluaran urine individu, tanda-
tanda vital stabil, membran mukosa lembab.
Intervensi :
1) Awasi tanda-tanda vital, perhatikan pengisian kapiler dan kekuatan nadi
perifer. Rasional :
Memberikan pedoman untuk penggantian cairan dan mengkaji respon kardiovaskuler .
1) Awasi haluaran urine dan berat jenis, observasi warna dan hemates sesuai indikasi
Rasional :
Secara umum penggantian cairan harus difiltrasi untuk meyakinkan rata-rata haluaran urine 30-
50 ml / jam (pada orang dewasa). Urine bisa tampak merah sampai hitam pada kerusakan otot
massif sehubungan dengan adanya darah dan keluarnya mioglobin.
2) Perkirakan deranase luka dan kehilangan yang tak
tampak Rasional :
Peningkatan permeabilitas kapiler, perpindahan protein, proses inflamasi dan kehilangan
melalui evaporasi besar mempengaruhi volume sirkulasi dan haluaran urine, khususnya selama
24-72 jam pertama setelah terbakar.
3) Timbang berat badan tiap hari
Rasional :
Pergantian cairan tergantung pada berat badan pertama dan perubahan selanjutnya. Peningkatan
berat badan 15-20% pada 72 jam pertama selama pergantian cairan dapat diantisipasi untuk
mengembalikan keberat sebelum terbakar kira-kira 10 hari setelah terbakar.
4) Selidiki perubahan mental
Rasional :
Penyimpangan pada tingkat kesadaran dapat mengindikasikan ketidakadekuatan volume sirkulasi
atau penurunan perfusi serebral.
5) Observasi distensi abdomen, hematemesess, feses hitam, hemates drainase NG dan feses secara
periodik.
Rasional :
Stress (curling) ulkus terjadi pada setengah dan semua pasien pada luka bakar berat (dapat terjadi
pada awal minggu pertama).
6) Kolaborasi kateter urine
Rasional :
Memungkinkan observasi ketat fungsi ginjal dan menengah stasis atau reflek urine, potensi urine
dengan produk sel jaringan yang rusak dapat menimbulkan disfungsi dan infeksi ginjal.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat ; kerusakan
perlindungan kulit
Kriteria Hasil :
Tidak ada tanda-tanda infeksi :
Intervensi :
1) Implementasikan tehnik isolasi yang tepat sesuai
indikasi Rasional :
Tergantung tipe atau luasnya luka untuk menurunkan resiko kontaminasi silang atau terpajan
pada flora bakteri multiple.
2) Tekankan pentingnya tehnik cuci tangan yang baik untuk semua individu yang datang kontak ke
pasien
Rasional : Mencegah kontaminasi silang
3) Cukur rambut disekitar area yang terbakar meliputi 1 inci dari batas yang
terbakar Rasional : Rambut media baik untuk pertumbuhan bakteri
4) Periksa area yang tidak terbakar (lipatan paha, lipatan leher, membran mukosa )
Rasional :
Infeksi oportunistik (misal : Jamur) seringkali terjadi sehubungan dengan depresi sistem imun
atau proliferasi flora normal tubuh selama terapi antibiotik sistematik.
5) Bersihkan jaringan nekrotik yang lepas (termasuk pecahnya lepuh) dengan gunting dan
forcep. Rasional : Meningkatkan penyembuhan
6) Kolaborasi pemberian antibiotik
Rasional : Mencegah terjadinya infeksi
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status hipermetabolik
Kriteria Hasil :
Menunjukkan pemasukan nutrisi adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik dibuktikan oleh
berat badan stabil atau massa otot terukur, keseimbangan nitrogen positif dan regenerasi
jaringan.
Intervensi :
1) Auskultasi bising usus, perhatikan hipoaktif atau tidak ada
bunyi Rasional :
Ileus sering berhubungan dengan periode pasca luka bakar tetapi biasanya dalam 36-48 jam
dimana makanan oral dapat dimulai.
2) Pertahankan jumlah kalori berat, timbang BB / hari, kaji ulang persen area permukaan tubuh
terbuka atau luka tiap minggu.
Rasional :
Pedoman tepat untuk pemasukan kalori tepat, sesuai penyembuhan luka, persentase area luka
bakar dievaluasi untuk menghitung bentuk diet yang diberikan dan penilaian yang tepat dibuat.
3) Awasi massa otot atau lemak subkutan sesuai indikasi
Rasional :
Mungkin berguna dalam memperkirakan perbaikan tubuh atau kehilangan dan keefektifan terapi.
4) Berikan makan dan makanan sedikit dan sering
Rasional :
Membantu mencegah distensi gaster atau ketidaknyamanan dan meningkatkan pemasukan.
7. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan interupsi aliran darah.
Intervensi :
1) Tinggikan ekstermitas yang sakit dengan
tepat Rasional :
Meningkatkan sirkulasi sistematik atau aliran baik vena dan dapat menurunkan odema atau
pengaruh gangguan lain yang mempengaruhi konstriksi jaringan oedema.
2) Pertahankan penggantian cairan
Rasional : Memaksimalkan volume sirkulasi dan perfusi jaringan
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
Penanganan dan perawatan luka bakar sampai saat ini masih memerlukan perawatan yang kompleks dan masih
merupakan tantangan bagi kita, karena sampai saat ini angka morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi. Di
Amerika dilaporkan sekitar 2 sampai 3 juta penderita setiap tahunnya dengan jumlah kematian sekitar 5-6 ribu
kematian/tahun. Di indonesia sampai saat ini belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan
jumlah angka kematian yang diakibatkannya. Di unit luka bakar RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada
tahun 1998 dilaporkan sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat, dengan angka kematian 37,38%. Di unit Luka
bakar RSU Dr. Soetomo surabaya jumlah kasus yang dirawat selama satu tahun (Januari 2000 sampai Desember
2000) sebanyak 106 kasus atau 48,4% dari seluruh penderita bedah plastik yang dirawat yaitu sebanyak 219, jumlah
kematian akibat luka bakar sebanyak 28 penderita atau sekitar 26,41% dari seluruh penderita luka bakar yang
dirawat, kematian umumnya terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50% atau pada luka bakar yang disertai
cedera pada saluran nafas dan 50% terjadi pada 7 hari pertama perawatan (Noer, 2006).
1.2 Tujuan
6. Mengetahui rencana asuhan keperawatan kritis pada klien dengan luka bakar.
BAB 2
2.1 Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan petir yang mengenai kulit,
mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Musliha, 2010).
2.2 Etiologi
Luka bakar thermal disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan panas dan bahan padat (solid).
Luka bakar kimia disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia,
lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. luka bakar
kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah
tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer. Lebih dari 25.000
produk zat kimia diketahui dapat menyebabkan luka bakar kimia.
Lewatnya tenaga listrik bervoltase tinggi melalui jaringan menyebabkan perubahannya menjadi tenaga panas, ia
menimbulkan luka bakar yang tidak hanya mengenai kulit dan jaringan sub kutis, tetapi juga semua jaringan pada
jalur alur listrik tersebut. Luka bakar listrik biasanya disebabkan oleh kontak dengan sumber tenaga bervoltase
tinggi. Anggota gerak merupakan kontak yang terlazim, dengan tangan dan lengan yang lebih sering cedera daripada
tungkai dan kaki. Kontak sering menyebabkan gangguan jantung dan atau pernafasan, dan resusitasi
kardiopulmonal
sering diperlukan pada saat kecelakaan tersebut terjadi. Luka pada daerah masuknya arus listrik biasanya gosong dan
tampak cekung.
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injury ini seringkali berhubungan
dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia
kedokteran. Terpapar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka
bakar radiasi.
Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025 M2 pada anak baru lahir sampai 2 M2 pada orang
dewasa. Apabila kulit terbakar atau terpajan suhu tinggi. Pembuluh kapiler dibawahnya, area sekitar dan area yang
jauh sekalipun akan rusak dan menyebabkan permeabilitasnya meningkat. Terjadilah kebocoran cairan intrakapiler
ke interstisial sehingga terjadi oedema dan bula yang mengandung banyak elektrolit. Rusaknya kulit akibat luka
bakar akan mengakibatkan hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan penahan penguapan.
Kedua penyebab diatas dengan cepat menyebabkan berkurangnya cairan intravaskuler. Pada luka bakar yang luasnya
kurang dari 20%, mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya. Bila kulit yang terbakar luas (lebih dari
20%), dapat terjadi syok hipovolemik disertai gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil
dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan, maksimal terjadi
setelah delapan jam.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permebilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut
rusak sehingga dapat terjadi anemia.
Luka bakar umumnya tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati yang merupakan medium yang baik untuk
pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh
pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau
antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari kulit penderita sendiri, juga kontaminasi dari
kuman saluran nafas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial biasnya sangat
berbahaya karena kumanya banyak yang Sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kuman gram positif yang berasal dari kulit sendiri atau dari saluran
napas, tapi kemudian dapat terjadi infasi kuman gram negatif. Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan
eksotoksin protease dan toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi
pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur
keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah.
Infeksi ringan dan noninvasif (tidak dalam) ditandai dengan keropeng yang mudah lepas dengan nanah yang banyak.
Infeksi yang infasive ditandai dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan keropeng yang mula-mula
sehat menjadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat dua menjadi derajat tiga. Infeksi kuman
menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat dua dapat sembuh dengan meninggalkan cacat berupa
parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel
keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat dua yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang
nyeri, gatal, kaku, dan secara ekstetik sangat jelek.
Luka bakar yang derajat tiga yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila ini terjadi di
persendian; fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
Stres atau beban faali serta hipoperfusi daerah splangnikus pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan
terjadinya tukak dimukosa lambung atau duedonum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan
ini dikenal dengan tukak Curling atau stress ulcer. Aliran darah ke lambung berkurang, sehingga terjadi iskemia
mukosa. Bila keadaan ini berlanjut, dapat timbul ulkus akibat nekrosis mukosa lambung. Yang dikhawatirkan dari
tukak Curling ini adalah penyulit perdarahan yang tampil sebagai hematemisis dan melena.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein menjadi negatif. Protein
tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi, dan mudah terjadi infeksi. Penguapan berlebihan dari
kulit yang rusak juga memerlukan kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat
dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat
badan menurun. Kecatatan akibat luka bakar inisangat hebat, terutama bila mengenai wajah. Penderita mungkin
mengalami beban kejiwaan berat akibat cacat tersebut, sampai bisa menimbulkan gangguan jiwa yang
disebut schizophrenia postburn. (Sjamsuhidajat, dkk, 2010).
1. Pada kulit
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar tergantung pada luas dan ukuran luka
bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller burn), respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang
mengalami injuri. Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas 25% dari total permukaan tubuh (TBSA:total body
surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap injuri dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luas
injuri. Injuri luka bakar yang luas dapat mempengaruhi semua sistem utama dari tubuh.
Menurut Noer (2006), Kerusakan jaringan kulit yang diakibatkan luka bakar juga mengakibatkan proteksi terhadap
tubuh terganggu, sehingga terjadi penguapan yang berlebihan. Pada jaringan kulit normal penguapan terjadi antara
2-20 g/m2/JAM atau kurang dari 40 ml/jam. Penguapan yang terjadi melalui jaringan kulit yang rusak akibat luka
bakar sangat besar, dapat mencapai 140-180 grAM/M2/jam. Bahkan pada luka bakar yang luas, proses eksudasi dan
penguapan dapat mencapai 300 ml/jam atau lebih dari 7 L/hari. Kondisi Evaporative Heat Loss dan jaringan luka
yang terbuka menyebabkan terjadinya kehilangan cairan tubuh yang berlebihan, karenya perlu
memphitungkan InsisibleWater Loss (IWL) lebih banyak dari biasanya.
Dimana :
BSA : body surface area, dihitung menggunakan Chart luas permukaan tubuh
25 merupakan konstanta
1. Sistem kardiovaskuler
Segera setelah injuri luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (catecholamine, histamin, serotonin,leukotrienes,
dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalami injuri. Substansi-substansi ini menyebabkan meningkatnya
permeabilitas kapiler sehingga plasma merembes ke dalam sekitar jaringan. Injuri panas yang secara langsung
mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan permeabilitas kapiler. Injuri yang langsung mengenai membran sel
menyebabkan sodium masuk dan potasium keluar dari sel. Secara keseluruhan akan menimbulkan tingginya tekanan
osmotik yang menyebabkan meningkatnya cairan intracelluler dan interstitial dan yang dalam keadaan lebih lanjut
menyebabkan kekurangan volume cairan intravaskuler. Luka bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general
baik pada area yang mengalami luka maupun jaringan yang tidak mengalami luka bakar dan terjadi penurunan
sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai respon terhadap pelepasan catecholamin
dan terjadinya hipovolemia relatif, yang mengawali turunya cardiac output. Kadar hematocrit menigkat yang
menunjukkan hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan intravaskuler. Disamping itu pengeluaran cairan secara
evaporasi melalui luka terjadi 4-20 kali lebih besar dari normal. Sedangkan pengeluaran cairan normal pada orang
dewasa dengan sehu tubuh normal perhari adalah 350 ml.
Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ. Jika ruang intravaskuler tidak diiisi kembali
dengan cairan intravena maka syok hipovolemik dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas dapat
terjadi.
Kurang lebih 18-36 jam setelah luka bakar, tetapi tidak mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah
injuri. Kardiak output kembali normal dan kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan hipermetabolik tubuh
kira-kira 24 jam setelah luka bakar. Perubahan pada kardiak output ini terjadi sebelum kadar volume sirkulasi
intravena kembali menjadi normal. Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai
dibawah normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah dan kerusakan yang terjadi
pada waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan edema dan diuresis cairan dalam 2-3 minggu berikutnya.
Respon tubuh pada mulanya adalah berkurangnya darah ke ginjal dan menurunya GFR (glomerulus filtration rate)
yang menyebabkan oliguri. Aliran darah menuju usus juga berkurang, yang pada akhirnya dapat terjadi ileus
intestinal dan disfungsi gastrointestinal pada klien dengan luka bakar yang > 25%.
1. Sistem imun
Fungsi sitem imun mengalami depresi. Depresi pada aktifitas lympocyte, suatu penurunan dalam produksi
hemoglobin, supresi aktivitas complement dan perubahan/gangguan pada fungsi neutrofil dan magrofag dapat
terjadi pada klien yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko terjadinya
infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup klien.
1. Sistem respirasi
Dapat mengalami hipertensi arteri pulmonal, mengakibatkan penurunan kadar oksigen aretri dan “lung compliance”
1) Smoke inhalation
Menghisap asap dapat mengakibatkan injuri pulmonal yang seringkali berhubungan dengan injuri akibat jilatan api.
Keadaan injuri inhalasi ini diperkirakan lebih dari 30% untuk injuri yang diakibatkan oleh api.
Manifestasi klinik yang diduga injuri inhalasi meliputi adanya LB yang mengenai wajah, kemerahan dan
pembengkakan oropharing atau nasopharing, rambut hidung yang gososng, agitasi atau kecemasan, takipnoe,
kemerahan pada selaput hidung, stridor, wheezing, dyspnea, suara serak, terdapat carbon dalam sputum, dan batuk.
Bronchoskopi dan scaning paru dapat mengkonfirmasi diagnosis.
Patofisiologi pulmoner yang dapat terjadi pada injuri inhalasi berkaitan dengan berat dan tipe asap atau gas yang
dihirup.
CO merupakan produk yang sering dihasilkan bila suatu substansi organik terbakar. Ia merupakan gas yang tidak
berwarna, tidak berbau, tidak berasa, yang dapat mengikat hemoglobin 200 kali lebih besar dari oksigen. Dengan
terhirupnya CO, maka molekul oksigen digantikan dan CO secara reversible berikatan dengan hemoglobin sehingga
membentuk carboxyhemoglobin (COHb). Hipoksia jaringan dapat terjadi akibat penurunan secara menyeluruh pada
kemampuan pengantaran oksigen dalam darah. Kadar COHb dapat dengan mudah dimonitor melalui kadar serum
darah. Manifestasi dari keracunan CO adalah:
Menurut Musliha (2010), fase luka bakar terbagi menjadi tiga fase :
1. Fase akut
Disebut fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan
nafas), breathing (mekanisme bernafas), circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera
atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi
dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderita pada fase akut.Pada fase
akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera termal yang berdampak sistemik.
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak
dengan sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan:
3) Keadaan hipermetabolisme
1. Fase lanjut
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan fungsi organ-organ
fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertropik, kleoid, gangguan
pigmentasi, deformitas dan kontraktur.
Menurut Moenadjat (2009), Jackson membedakan tiga area pada luka bakar, yaitu:
1. Zona statis
Daerah di luar/sekitar dan langsung berhubungan dengan zona koagulasi.Kerusakan yang terjadi di daerah ini
terjadi karena perubahan endotel pembuluh darah, trombosit, dan respon inflamasi lokal; mengakibatkan terjadinya
gangguan perfusi (no flow phenomena).Proses tersebut biasanya berlangsung dalam 12-24 jam pasca trauma;
mungkin berakhir dengan zona nekrosis.
1. Zona hiperemia
Daerah di luar zona statis.Di daerah ini terjadi reaksi berupa vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi sel.
Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan; atau
berubah menjadi zona kedua bahkan zona pertama (perubahan derajat luka yang menunjukkan perburukan disebut
degradasi luka).
Derajat 1 atau Epidermis Eritema & nyeri Sembuh dalam waktu 3-4 hari Lotion dan obat
ketebalan partial tanpa pembentukan jaringan anti inflamasi
superfisial parut. Sel-sel epidermis yang non steroid
mati mengalami deskuamasi
(mengelupas).
Derajat 2 atau Melewati Merah Luka bakar dermis superfisial Dilakukan eksisi
ketebalan partial epidermis dan muda/merah/mengeluarkan sembuh dalam waktu 1 minggu dan graft pada
- superfisial - sampai ke dermis cairan, pembengkakan dan tanpa pembentukan jaringan luka bakar
dalam lepuh, sangat nyeri parut atau gangguan dermis yg dalam
fungsional. Luka bakar dermis
yang dalam sembuh dalam
waktu3-8 minggu tetapi disertai
dengan pembentukan jaringan
parut yang beratdan gangguan
fungsi
Derajat 3 atau Semua lapisan Putih atau hitam, seperti Luka bakar hanya dapat Dilakukan eksisi
ketebalan penuh melewati dermis beludru, seperti lilin, tidak sembuh dengan cara migrasi dan graf
nyeri epitelial dari perifer dan
kontraksi. Kecuali luka bakar
berukuran kecil, luka bakar ini
memerlukan tindakan graf.
Luas luka bakar pada dewasa dihitung menggunakan rumus sembilan (Rule of nine) yang diprovokasi oleh Wallace,
yaitu:
Genitatalia/perinium : 1%
Total : 100%
Pada anak-anak menggunakan tabel dari lund atau Browder yang mengacu pada ukuran bagian tubuh terbesar
pada seorang bayi/anak (yaitu kepala) (Moenadjat, 2009).
A-kepala (muka-belakang) 9½ 8½ 6½ 5½ 4½ 3½
1. Berat ringan luka bakar, ditinjau dari kedalaman dan kerusakan jaringan berdasarkan penyebab dan
lama kontak (Pujilestari, 2007).
1) Penyebab
Kerusakan jaringan disebabkan api lebih berat dibandingkan air panas, kerusakan jaringan akibat bahan yang
bersifat koloid (misalnya bubur panas) lebih berat dibandingkan air panas. Ledakan selain menimbulkan luka bakar,
juga menyebabkan kerusakan organ dalam akibat daya ledak (eksplosif). Bahan kimia, terutama menyebabkan
kerusakan yang hebat akibat reaksi jaringan sehingga terjadi diskonfigurasi jaringan yang menyebabkan gangguan
proses penyembuhan.
2) Lama kontak
Lama kontak jaringan dengan sumber panas menentukan luas dan kedalama kerusakan jaringan. Semakin lama
waktu kontak, semakin luas dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi
1. Berat ringanya luka bakar menurut American college of soergeon:
1) Parah-critical:
Dengan adanya komplikasi pernapasan, jantung, fraktur, soft tissue yang luas
2) Sedang-moderate
Tingkat II : 15-30%
3) Ringan-minor
2.10 Pentalaksanaan
Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api pada tubuh, misalnya dengan menyelimuti dan menutup bagian
yang terbakar dengan kain basah. Atau korban dengan cepat menjatuhkan diri dan berguling-guling agar bagian
pakaian yang terbakar tidak meluas. Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat diakhiri, misalnya dengan
mencelupkan bagian yang terbakar atau menyelupkan diri ke air dingin atau melepas baju yang tersiram air panas.
Pertolongan pertama setelah sumber panas dihilangkan adalah merendam daerah luka bakar dalam air mengalir
selama sekurang-kurangnya lima belas menit. Upaya pendinginan ini, dan upaya mempertahankan suhu dingin pada
jam pertama akan menghentikan proses koagulasi protein sel dijaringan yang terpajan suhu tinggi yang akan
terlangsung walaupun api telah dipadamkan, sehingga destruksi tetap meluas.
Baju yang terkena zat kimia harus segera dilepas. Sikap yang sering mengakibatkan keadaan lebih buruk adalah
menganggap ringan luka karena dari luar tampak sebagai kerusakan kulit yang hanya kecoklatan, padahal daya rusak
masih terus menembus kulit, kadang sampai 72 jam.
Pada umumnya penanganan dilakukan dengan mengencerkan zat kimia secara masif yaitu dengan mengguyur
penderita dengan air mengalir dan kalau perlu diusahakan membersihkan pelan-pelan secara mekanis. Netralisasi
dengan zat kimia lain merugikan karena membuang waktu untuk mencarinya, dan panas yang timbul dari reaksi
kimianya dapat menambah kerusakan jaringan.
Sebagai tindak lanjut, kalau perlu dilakukan resusitasi, perbaikan keadaan umum, serta pemberian cairan dan
elektrolit.
Pada kecelakaan akibat asam fluorida, pemberian calsium glukonat 10% dibawah jaringan yang terkena, bermanfaat
mencegah ion fluor menembus jaringan dan menyebabkan dekalsifikasi tulang. Ion fluor akan terikat menjadi
kalsium fluorida yang tidak larut. Jika ada luka dalam, mungkin diperlukan debridemen yang disusulskin
grafting dan rekonstruksi.
Pajanan zat kimia pada mata memerlukan tindakan darurat segera berupa irigasi dengan air atau sebaiknya larutan
garam 0,9% secara terus menerus sampai penderita ditangani di rumah sakit.
Terlebih dahulu arus listrik harus diputus karena penderita mengandung muatan listrik selama masih terhubung
dengan sumber arus. Kemudian kalau perlu, dilakukan resusitasi jantung paru. Cairan parenteral harus diberikan
dan umumnya diperlukan cairan yang lebih banyak dari yang diperkirakan karena kerusakan sering jauh lebih luas.
Kadang luka bakar di kulit luar tampak ringan, tetapi kerusakan jaringan ternyata lebih dalam. Kalau banyak terjadi
kerusakan otot, urin akan berwarna gelap karena mengandung banyak mioglobin dan resusitasi pasien ini
mengharuskan pengeluaran urin 75-100ml per jam. Selain itu, urin harus dirubah menjadi basa dengan natrium
bikarbonat intravena, yang menghalangi pengendapan mioglobulin. Bila urin tidak segera bening atau pengeluaran
urin tetap rendah, walaupun sudah diberikan sejumlah besar cairan, maka harus diberikan diuretik yang kuat
bersama manitol. Pada penderita cedera otot yang masif, dosis manitol (12,5 gram per dosis) mungkin diperlukan
selama 12-24 jam. Pasien yang gagal berespon terhadap dosis diatas mungkin membutuhkan amputasi anggota
gerak gawat darurat atau pembersihan jaringan nonviabel.
Otot jantung, juga rentan trauma arus listrik. Elektrokardiogram (EKG) harus dilakukan untuk mengetahui adanya
kerusakan jantung dan pemantauan jantung yang terus menerus dilakukan untuk mendiagnosis dan merawat
aritmia. Kerusakan neurologi juga sering terjadi, terutama pada medulla spinalis, tetapi sulit dilihat, kecuali bila
dilakukan tes elektrofisiologi. Pengamatan cermat atas abdomen perlu dilakukan pada tahap segera setelah cedera
karena arus yang melewati kavitas peritonealis dapat menyebabkan kerusakan saluran pencernaan.
Pada kontaminasi lingkungan, penolong dapat terkena radiasi dari kontaminan sehingga harus menggunakan
pelindung. Prinsip penolong penderita atau korban radiasi adalah memakai sarung tangan, masker, baju pelindung,
dan detektor sinar ionisasi. Sumber kontaminasi harus dicari dan dihentikan, dan benda yang terkontaminasi
dibersihkan dengan air sabun, deterjen atau secara mekanis disimpan dan dibuang di tempat aman.
Keseimbangan cairan dan elektrolit penderita perlu dipertahankan. Selain itu, perlu dipikirkan kemungkinan adanya
anemia, leukopenia, trombositopenia, dan kerentanan terhadap infeksi. Sedapat mungkin tidak digunakan obat-
obatan yang menekan fungsi sumsum tulang.
(1) Airway
Menurut Moenadjat (2009), Membebaskan jalan nafas dari sumbatan yang terbentuk akibat edema mukosa jalan
nafas ditambah sekret yang diproduksi berlebihan (hiperekskresi) dan mengalami pengentalan. Pada luka bakar
kritis disertai trauma inhalasi, intubasi (pemasangan pipa endotrakeal) dan atau krikotiroidektomi emergensi
dikerjakan pada kesempatan pertama sebelum dijumpai obstruksi jalan nafas yang dapat menyebabkan distres
pernafasan. Pada luka bakar akut dengan kecurigaan trauma inhalasi. Pemasangan pipa nasofaringeal, endotrakeal
merupakan prioritas pertama pada resusitasi, tanpa menunggu adanya distres nafas. Baik pemasangan nasofaringeal,
intubasi dan atau krikotiroidektomi merupakan sarana pembebasan jalan nafas dari sekret yang diproduksi,
memfasilitasi terapi inhalasi yang efektif dan memungkinkan lavase bronkial dikerjakan. Namun pada kondisi sudah
dijumpai obstruksi, krikotiroidektomi merupakan indikasi dan pilihan.
Pipa nasal merupakan pipa bulat lunak yang sesuai dengan anatomi nares, nasofaring dan hipofaring. Ia dimasukkan
melalui satu atau kedua nares sehingga ujungnya mencapai tepat di atas epiglotis. Pipa nasal mempunyai
keuntungan karena bisa dipasang pada penderita yang masih mempunyai reflek muntah tanpa menyebabkan
muntah.
(2) Breathing
1. Pemberian oksigen
Oksigen diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret banyak, dapat ditambah menjadi 4-6 L/menit. Dosis
ini sudah mencukupi, penderita trauma inhalasi mengalami gangguan aliran masuk (input) oksigen karena patologi
jalan nafas; bukan karena kekurangan oksigen. Hindari pemberian oksigen tinggi (>10 L/mnt) atau dengan tekanan
karena akan menyebabkan hiperoksia (dan barotrauma) yang diikuti terjadinya stres oksidatif.
1. Humidifikasi
Oksigen diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap air adalah untuk mengencerkan sekret kental (agar
mudah dikeluarkan) dan meredam proses inflamasi mukosa.
1. Terapi inhalasi
Terapi inhalasi menggunakan nebulizer efektif bila dihembuskan melalui pipa endotrakea atau krikotiroidektomi.
Prosedur ini dikerjakan pada kasus trauma inhalasi akibat uap gas atau sisa pembakaran bahan kimia yang bersifat
toksik terhadap mukosa. Dasarnya adalah untuk mengatasi bronko konstriksi yang potensial terjadi akibat zat kimia.
Gejala hipersekresi diatasi dengan pemberian atropin sulfas dan mengatasi proses infalamasi akut menggunakan
steroid.
1. Lavase bronkoalveolar
Prosedur lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan untuk mengatasi permasalahan yang timbul pada mukosa
jalan nafas dibandingkan tindakan humidifier atau nebulizer. Sumbatan oleh sekret yang melekat erat (mucusplug)
dapat dilepas dan dikeluarkan. Prosedur ini dikerjakan menggunakan metode endoskopik (bronkoskopik) dan
merupakan gold standart. Selain bertujuan terapeutik, tindakan ini merupakan prosedur diagnostik untuk
melakukan evaluasi jalan nafas.
1. Rehabilitasi pernafasan
Proses rehabilitasi sistem pernafasan dimulai seawal mungkin. Beberapa prosedur rehabilitasi yang dapat dilakukan
sejak fase akut antara lain:
- Pengaturan posisi
Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian dilakukan secara aktif saat hemodinamik stabil dan pasien
sudah lebih kooperatif
1. Penggunaan ventilator
Penggunaan ventilator diperlukan pada kasus-kasus dengan distresparpernafasan secara bermakna memperbaiki
fungsi sistem pernafasan dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) dan volume kontrol.
(3) Circulation
Menurut Djumhana (2011), penanganan sirkulasi dilakukan dengan pemasangan IV line dengan kateter yang cukup
besar, dianjurkan untuk pemasangan CVP untuk mempertahankan volume sirkulasi
1. Pemasangan infus intravena atau IV line dengan 2 jalur menggunakan jarum atau kateter yang
besar minimal no 18, hal ini penting untuk keperluan resusitasi dan tranfusi, dianjurkan
pemasangan CVP
Merupakan perangkat untuk memasukkan cairan, nutrisi parenteral dan merupakan parameter dalam
menggambarkan informasi volume cairan yang ada dalam sirkulasi. Secara sederhana, penurunan CVP terjadi pada
kondisi hipovolemia. Nilai CVP yang tidak meningkat pada resusitasi cairan dihubungkan dengan adanya
peningkatan permeabilitas kapiler. Di saat permeabilitas kapiler membaik, pemberian cairan yang berlebihan atau
penarikan cairan yang berlebihan akibat pemberian koloid atau plasma akan menyebabkan hipervolemia yang
ditandai dengan terjadinya peningkatan CVP.
3) Melepaskan penghalang
Tujuan melakukan penilaian serta mencegah terjadinya konstriksi sekunder akibat edema
4) Resusitasi cairan
Menurut Sunatrio (2000), pada luka bakar mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler yang akan diikuti dengan
ekstrapasasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskuler ke jaringan interstisial mengakibatkan
terjadinya hipovolemik intravaskuler dan edema interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik
terganggu sehingga sirkulasi kebagian distal terhambat, menyebabkan gangguan perfusi sel atau jaringan atau organ.
Pada luka bakar yang berat dengan perubahan permeabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan
cairan massif di jaringan interstisial menyebabkan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravaskuler mengalami
defisit, timbul ketidakmampuan menyelenggarakan proses transportasi oksigen ke jaringan. Keadaan ini dikenal
dengan sebutan syok. Syok yang timbul harus diatasi dalam waktu singkat, untuk mencegah kerusakan sel dan organ
bertambah parah, sebab syok secara nyata bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa penatalakannan syok dengan menggunakan metode resusitasi cairan
konvensional (menggunakan regimen cairan yang ada) dengan penatalaksanaan syok dalam waktu singkat,
menunjukan perbaikan prognosis, derajat kerusakan jaringan diperkecil (pemantauan kadar asam laktat), hipotermi
dipersingkat dan koagulatif diperkecil kemungkinannya, ketiganya diketahui memiliki nilai prognostik terhadap
angka mortalitas. Pada penanganan perbaikn sirkulasi pada luk bakar dikenal beberapa formula berikut:
Formula Cairan 24 jam pertama Kristaloid pada 24 jam Koloid pada 24 jam
kedua kedua
Evans Larutan saline 1 ml/kg/%LB, 50% volume cairan 24 jam 50% volume cairan 24 jam
2000 ml D5W*, dan koloid 1 pertama + 2000 ml D5W pertama
ml/ kg / %LB
Brooke RL 1.5 ml / kg / %LB, koloid 50% volume cairan 24 jam 50% volume cairan 24 jam
0.5 ml / kg/ %LB, dan 2000 pertama + 2000 ml D5W pertama
ml D5W
Monafo hypertonic demling 250 mEq/L salinepantau 1/3 lar. Saline,pantau output
output urine 30 ml/jam, urine
dextran 40
dalam lar. saline 2
ml/kg/jam untuk 8 jam, RL
pantau output urine 30
ml/jam, dan fresh frozen
plasma 0.5 ml/jam untuk 18
jam dimulai 8 jam setelah
terbakar.
METODE BAXTER
Menurut Moenadjat (2009), metode resusitasi ini mengacu pada pemberian cairan kristaloid dalam hal ini Ringer
Laktat (karena mengandung elektrolit dengan komposisi yang lebih fisiologis dibandingkan dengan Natrium Klorida)
dengan alasan; cairan saja sudah cukup untuk mengantikan cairan yang hilang (perpindahan ke jaringan
interstisium), pemberian kristaloid adalah tindakan resusitasi yang paling fifiologis dan aman
Hari pertama
Dewasa : Ringer laktat 4cc x berat badan x %luas luka bakar per 24jam
Kebutuhan faal :
Hari kedua
1cc/menit
Protocol resesitasi :
Kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama adalah 4 ml/kg/% luas luka bakar, pemberian berdasarkan pedoman
berikut
Pedoman
1. Separuh kebutuhan diberikan dalam 8 jam I (dihitung mulai saat kejadian luka bakar)
Contoh resusitasi cairan pada luka bakar menurut Hettiaratchy & papini (2004) :
Seorang laki-laki 25 tahun dengan berat 70 kg dengan luka bakar 30% datang ke UGD pukul 16.00. Pasien
mengalami kejadian sekitar pukul 15.00.
jam.
Total cairan ini diberikan setengah pada 8 jam pertama dan setengah lagi pada 16 jam berikutnya.
Bagi cairan pada point (a) dengan sisa waktu sampai 8 jam setelah pasien terbakar (pukul 15.00).
Kebakaran terjadi pada pukul 15.00, jadi 8 jam kedepan jatuh pada pukul 23.00. datang ke UGD pukul 16.00, jadi
dibutuhkan 4200 ml selama 7 jam kedepan:
1. Mengukur urin produksi. Urin produksi dapat sebagai indikator apakah resusitasi cukup adekuat atau
tidak. Pada orang dewasa jumlah urin 30-50 cc urin/jam.
2. Berat berat jenis urin, pasca trauma luka bakar berat jenis dapat normal atau meningkat. Keadaan ini dapat
menunjukkan keadaan hidrasi penderita. Keadaan ini dapat menunjukkan keadaan hidrasi penderita.
Bilamana berat jenis meningkat berhubungan dengan naiknya kadar glukosa urin.
3. Vital sign
1. PH darah
2. Perfusi perifer
Hal lain yang harus diperhatikan selama fase resusitasitatif adalah perfusi aringan. Dengan cedera jaringan,
pembuluh-pmbuluh menjadi rusak an terjadi thrombosis. Pembuluh utuh yang berdekatan segera melebar, dan
platelet serta leukosit melekat pada endotel vaskuler, menyebabkan pembentukan keropeng.Jaringan yang mendasari
membengkak, tetapi daerah pinggiran luka bakar dengan ketebalan penuh adalah takelastik dan tetap kontraktur.
Keropeng mempengaruhi perlemahan status vaskuler dengan nekrosis iskemik, yang ahirnya akanmemerlukan
amputasi. Ini sangat vital, oleh karena itu, perawat memantau perfusi jaringan setiap jam dengan memeriksa arus
balik kapiler, perubahan-perbahan neurologis, suhu, warna kulit, serta adanya nadi perifer.Ekstremitas harus
ditinggikan dan jaga agar dalam batas gerak pasif sedikitnya 5 menit perjam untuk mencegah edema dan mobilisasi
yang memang berakumulasi.
1. Laboratorium (Serum elektrolit, Plasma albumin, Hemaktokrit, hemoglobin, Urine sodium, Elektrolit,
Renal fungsion test, Total protein atau albumin, Pemeriksaan lain sesuai indikasi)
Pemeriksaan kondisi paruperlu diobservasi tiap jam untuk mengetahui adanya perubahan yang terjadi antara lain
stridor, bronkhospam, adanya sekret, wheezing, atau dispnue merupakan adanya impending obstruksi.
1. Penilaian gastrointestinal
Monitoring gastrointestinal setiap 2-4 jam dengan melakukan auskultasi untuk mengetahui bisisng usus dan
pemeriksaan sekresi lambung. Adanya darah dan PH kurang dari 5 merupakan tanda adanya Culing’s ulcer.
Bila dilakukan perawatan tertutup, dinilai apakah kasa basah, ada cairan berbau atau ada tanda-tanda pus maka kasa
perlu diganti. Bila bersih perawatan selanjutnya dilakukan 5 hari kemudian.
Formula resusitasi berkenaaan dengan perkiraan, dan haluaran urin dan tekanan darah harus dipantau per jam
untuk mengevaluasi respon terhadap tindakan.Haluaran urin adalah indicator tunggal terbaik dari resusitasi cairan
pada pasien dengan fungsi ginjal sebelumnya normal.Pasien biasanya ditimbang setiap hari.Penambahan berat
badan15% dari berat pertama masuk rumah sakit dapat terjadi.Masukan dan haluaran urin harus dipantau dengan
cermat.Awitan dieresis spontan adalah tanda yang menunjukkan akhir dari fase resusitatif. Kecepatan infuse harus
diturunkan sampai 25% dalam satu jam jika haluaran urin memuaskan da dapat dipertahankan selama dua jam,
penuruna dapat diturunkan kemudian. Adalah penting bahwa haluaran urin dipertahankan dalam batas normal (50-
70 ml/jam).
Dalam dekade terakhir, resusitasi cairan pada pasien luka bakar telah dilakukan sebagai proses yang rutin;
kebanyakan klinisi menggunakan rumus Parkland dalam 24 jam pertama untuk menyesuaikan volume cairan yang
diberikan.Sesuai dengan variasi situasi pada pasien luka bakar, penggunaan volume cairan yang berlebih cenderung
terjadi untuk meningkatkan pengeluaran urin.Pemberian cairan yang berlebihan dapat mengakibatkan komplikasi
edema yang dikenal dengan fenomena "fluid creep".Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk optimasi titrasi
dan jenis cairan yang digunakan, seperti pemakaian koloid atau larutan garam hipertonik.Tujuannya adalah untuk
menurunkan kebutuhan volume cairan dan terjadinya edema.Penelitian saat ini tentang resusitasi cairan pasien luka
bakar berkonsentrasi padapendekatan untuk meminimalisir fenomena "fluid creep" dengan memperketat kontrol
cairan intravena.Formula Parkland sebaiknya hanya digunakan sebagai panduan dalam pemberian cairan.Untuk
selanjutnya harus dilakukan penyesuaian pada volume dan kecepatan cairan intravena sesuai dengan respon pasien.
Banyak penelitian menunjukkan perbandingan antara pemakaian kristaloid dan koloid pada 24 jam pertama setelah
kejadian luka bakar. Saat ini, masih terdapat perdebatan penentuan waktu yang tepat untuk pemakaian cairan koloid
untuk resusitasi. Bagaimanapun, penggunaan albumin 5% dalam 24 jam kedua dapat dipertimbangkan sebagai
alternatif yang bisa diterima (Septrisa, 2012)
Menurut Moenadjat (2009), Infeksi luka yang berkembang menjadi sepsis menjadi topik yang banyak dibahas dan
merupakan penyebab kematian pada luka bakar. Konsekuensinya penggunaan antibiotika dalam penatalaksanaan
luka bakar menjadi sesuatu kebutuhan yang mutlak. Tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan mengatasi infeksi
terdiri dari beberapa rangkaian, yaitu:
Yang dimaksud dengan tindakan aseptik adalah serangkaian perlakuan yang diterapkan dan mencerminkan upaya
mencegah infeksi, dengan cara:
1. Mengupayakan ruang perawatan dalam kondisi aseptik. Hal ini diupayakan melalui beberapa cara
termasuk desain ruangan yang memungkinkan ventilasi laminar berlangsung layaknya sebuah ruang
operasi, penerapan sistem positive air preasure air filter, termasuk perawatan yang bertalian dengan
proses desinfeksi ruangan, dll.
3. Penggunaan perangkat khusus seperti baju (piyama), skort, topi, masker, alas-kaki, pencucian tangan,
penggunaan sarung tangan, dll. Hal ini mencerminkan perilaku petugas sebagai digariskan dalam
general precaution upaya mencegah infeksi .
1. pencucian luka dilakukan menggunakan air yang disterilkan. Prinsip dilution is the best solution
for pollution diterapkan.
1. Pencucian luka dikerjakan saat penderita masuk ke unit luka bakar (dalam delapan jam pertama)
dan dilakukan satu sampai dua kali dalam sehari sebelum dilakukan nekrotomi dan
debridement.
2. Tindakan nekrotomi dan debridement dilakukan bertujuan membuang eskar atau jaringan
nekrosis maupun debris yang memicu respon inflamasi dan menghalangi proses penyembuhan
luka karena berpotensi besar untuk berkembang menjadi fokus infeksi. Tindakan ini dilakukan
seawal mungkin, dan dapat dilakukan tindakan ulangan sesuai kebutuhan. Yang dimaksud
tindakan awal adalah dalam 3-4 hari pertama pasca trauma, saat konsistensi eskar masih padat
dan belum mengalami lisis, eskar yang mengalami lisis memicu respon inflamasi sangat kuat dan
sulit dilakukan. Pada prosedur ini, luka dicuci menggunakan larutan steril.
3. Perawatan pasca nekrotomi dan debridement, luka dicuci setiap kali penggantian balutan.
(3) Eskarotomi,
Meskipun peninggian ekstrimitas dapat menurunkan edema, namun eskarotomi sering diperlukan. Eskarotomi
adalah insisi pada jaringan parut yang menebal sehingga memungkinkan jaringan edematosa yang hidup di
bawahnya melebar, dengan demikian memulihkan perfusi jaringan yang adekuat. Eskarotomi dibuat pada garis
midlateral atau midmedial ekstrimitas yang terkait. Prosedur dilakukan di tempat tidur, dan tidak memerlukan
anestesi lokal. Tempat eskarotomi ditutupi dengan agen topikal karena karena jaringan hidup terpajan, dan dipasang
balutan tipis. Biasanya prosedur ini diperlukan hanya pada cedera yang terjadi lingkungan arus listrik bertegangan
tinggi atau cedera hancur (Hudak, 1996).
Secara umum yang dimaksud dengan pemberian antibiotik profilaksis adalah pemberian antibiotik sistemik
bertujuan mencegah berkembangnya infeksi sebelum melakukan sayatan tindakan pembedahan atau prosedur
invasif lainnya. Antibiotik diberikan melalui jalur intravena 30 menit sebelum tindakan untuk satu kali pemberian
(single dose). Jenis antibiotik yang diberikan didasari atas pola bakteri yang didasari atas pola bakteri yang paling
sering menimbulkan infeksi di rumah sakit pada kurun waktu tertentu.
Pemberian antibiotik sistemik yang ditujukan mengatasi infeksi yang timbul. Pemilihan jenis antibiotik dilakukan
berdasarkan hasil kultur mikroorganisme penyebab infeksi dan memiliki sensitivitas terhadap mikroorganisme
penyebab. Pemberiannya diberikan sesuai dosis lazim.
7) Amputasi
(1) Cedera otot masifakibat elektric injury disertai mioglobin pada urin yang gagal berespon terhadap resusitasi
cairan dan pemberian diuretic kuat serta manitol
(3) Infeksi yang meluas hingga mengenai sebagian besar anggota gerak
BAB 3
3.1 Pengkajian
1. Anamnese
1) Data Demografi
Umur : Meskipun luka bakar terjadi pada semua kelompok umur, insidennya lebih tinggi pada kedua kemompok
ujung kontinum usia. Orang yang usianya lebih lebih muda dari 2 tahun dan lebih tua dari 60 tahun mempunyai
angka mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya dengan keparahan luka bakar yang
sama. Seseorang yang berusia kurang dari 2 tahun akan lebih muda terkena infeksi karena respon imun yang
imatur, dan orang yang tua mengalami proses degenaratif yang memperumit proses penyembuhan (Hudak dan
Gallo, 1996)
2) Keluhan utama :
Luas cedera akibat dari intensitas panas (suhu) dan durasi pemajanan, jika terdapat trauma inhalasi ditemukan
keluhan stridor, takipnea, dispnea, dan pernafasan seperti bunyi burung gagak (Kidd, 2010).
Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini penting, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup, sehingga
kecurigaan terhadap trauma inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas. Kapan kejadiannya terjadi
(Sjaifuddin, 2006).
Penting dikaji untuk menetukan apakah pasien mempunyai penyakit yang tidak melemahkan kemampuan untuk
mengatasi perpindahan cairan dan melawan infeksi (misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif, dan
sirosis) atau bila terdapat masalah-masalah ginjal, pernapasan atau gastro intestinal. Beberapa masalah seperti
diabetes, gagal ginjal dapat menjadi akut selama proses pembakaran. Jika terjadi cedera inhalasi pada keadaan
penyakit kardiopulmonal (misalnya gagal jantung kongestif, emfisema) maka status pernapasan akan sangat
terganggu (Hudak dan Gallo, 1996).
Kaji tentang kesadaran pasien, tnda-tanda vital (TTV), berat badan (BB), dan pemeriksaan luka bakar (apakah
termasuk luka bakar berat, sedang atau ringan)
(1) Ditentukan luas luka bakar. Dipergunakan Rule of Nine untuk menentukan luas luka bakarnya.
(Sjaifuddin, 2006)
1. Pemerikasaan fisik
1) Breathing
Kaji adanya tanda disteres pernapasan, seperti rasa tercekik, tersedak, malas bernafas, atau adanya wheezing atau
rasa tidak nyaman pada mata atu tenggorokan, hal ini menandakan adanya iritasi pada mukosa.Adanya sesak napas
atau kehilangan suara, takipnea atau kelainan pada uaskultasi seperi krepitasi atau ronchi. (Sjaifuddin, 2006)
2) Blood
Pada luka bakar yang berat, perubahan permiabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan
massif di jaringan interstisial menyababkan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravascular mengalami defisit,
timbul ketidak mampuan menyelenggarakan proses transportasi oksigen kejaringan (syok). Sjaifuddin (2006)
3) Brain
Manifestasi sistem saraf pusat karena keracunan karbon monoksida dapat berkisar dari sakit kepala, sampai koma,
hingga kematian (Huddak dan Gallok, 1996)
4) Bledder
Haluaran urin menurun disebabkan karena hipotensi dan penurunan aliran darah ke ginjal dan sekresi hormone
antideuretik serta aldosteron (Hudak dan Gallok, 1996)
5) Bowel
Adanya resiko paralitik usus dan distensi lambung bisa terjadi distensi dan mual. Selain itu pembentukan ulkus
gastrduodenal juga dikenal dengan Curling’s biasanya merupakan komplikasi utama dari luka bakar (Hudak dan
Gallok, 1996).
6) Bone
Penderita luka bakar dapat pula mengalami trauma lain misalnya mengalami patah tulang punggung atau spine.
1. Pemeriksaan penunjang
Menurut Schwartz (2000) & Engram (2000), Kidd (2010) pemeriksaan diaknostik pada penderita luka bakar
meliputi :
1) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Hitung darah lengkap, elektrolit dan profil biokimia standar perlu diperoleh segera setelah pasien tiba
di fasilitas perawatan.
(2) Koagulasi memeriksa faktor-faktor pembekuan yang dapat menurun pada luka bakar masif
(3) Konsetrasi gas darah dan PO2 yang rendah (kurang dari 10 kPa pada konsentrasi oksigen 50 %, FIO2=
0,5) mencurigakan adanya trauma inhalasi. PaO2 biasanya normal pada fase awal, tetapi dapat meningkat pada
fase lanjut.
(4) Karboksihemoglobin perlu segera diukur oleh karena pemberian oksigen dapat menutupi keparahan keracunan
kerbon monoksida yang dialami penderita. Pada trauma inhalasi, kadar COHb akan menurun setelah penderita
menghirup udara normal. Pada kadar COHb 35-45% (berat), bahkan setelah tiga jam dari kejadian kadar COHb
masih pada batas 20-25%. Bila kadar COHb lebih dari 15% setelah 3 jam kejadian ini merupakan bukti kuat adanya
trauma inhalasi
(5) Elektrolit serum mendeteksi ketidakseimbangan cairan dan biokimia. Ini terutama penting untuk memeriksa
kalium terhadap peningkatan dalam 24 jam pertama karena peningkatan kalium dapat menyebabkan henti
jantung.
(6) Albumin serum, kadarnya mungkin rendah karena protein plasma terutama albumin hilang ke dalam
jaringan yang cedera sekunder akibat peningkatan permeabilitas kapiler.
(7) Urinalis menunjukkan mioglobin dan hemokromagen menandakan kerusakan otot pada luka bakar ketebalan
penuh luas.
1) Rontgen dada : Semua pasien sebaiknya dilakukan rontgen dada, tekanan yang terlalu kuat pada dada, usaha
kanulasi pada vena sentralis, serta fraktur iga dapat menimbulkan pneumothoraks atau hematorak. Pasien yang
juga mengalami trauma tumpul yang menyertai luka bakar harus menjalani pemeriksanaann radiografi dari seluruh
vertebrata, tulang panjang, dan pelvis
3) Elektrocardiogram : EKG terutama diindikasikan pada luka bakar listrik karena disritmia jantung
adalah komplikasi yang umum
4) CT scan : menyingkirkan hemorargia intrakarnial pada pasien dengan penyimpangan neurologik yang
menderita cedera listrik.
1.1 DiagnosaKeperawatan
1. Defisit volume cairan yang berhubungan dengan peningkatan permiabilitas kapiler, peningkatan
tekanan hidrostatik kapiler, penurunan tekanan osmotic koloid kapiler, peningkatran kehilangan
evaporative.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi saluran nafas atas; oedema laring & hipersekresi mukus.
3. Pertukaran gas yang berhubungan dengan cedera alveolar, keracunan karbon monoksida dan atau cedera
inhalasi.
4. Perubahan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan edema seluruh tubuh, jaringan
avaskuler, penurunan haluaran jantung, dan hipovolemia.
5. Nyeri berhubungan dengan stimulasi terhadap sensor nyeri yang terpajan.
6. Kerusukan integritas kulit berhubungan dengan luka bakar, edema.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit, pertahanan primer tidak adekuat.
A. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan kulit yang terluar, terdiri dari lapisan sel yang telah mati yang disebut juga
lapisan tanduk. Fungsi epidermis adalah sebagai sawar pelindung terhadap bakteri, iritasi kimia, alergi
dan lain-lain.
1. Stratum corneum (lapisan tanduk). Stratum corneum merupakan lapisan kulit yang paling
luar. Stratum korneum paling tebal pada telapak kaki dan paling tipis pada pelupuk mata, pipi dan dahi.
2. Stratum lucidum (daerah rintangan). Stratum lucidum menunjukkan berbagai daerah
sawar hanya terlihat pada telapak kaki dan telapak tangan.
3. Stratum granulosum (lapisan seperti butir). Stratum granulosum berpartisipasi aktif dalam
proses keratinisasi, hanya mekanismenya belum diketahui jelas.
4. Stratum spinosum (lapisan sel duri). Stratum spinosum (stratum malpighi) terdiri dari beberapa
lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis.
5. Stratum germinativum (lapisan sel basal). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling
bawah. Disini ditemukan sel-sel yang membelah diri dan membentuk sel kulit baru yang selanjutnya
bergeser ke lapisan lebih atas sehingga suatu saat menjadi lapisan cornium.
B. Dermis (corium)
Dermis memiliki ketebalan 3-5 mm, merupakan anyaman serabut kolagen dan elastin yang bertanggung
jawab untuk sifat-sifat penting dari kulit. Dermis mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe,
gelembung rambut, kelenjar lemak (sebasea), kelenjar keringat, otot dan serabut saraf.
Fungsi kulit
Secara umum kulit mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi proteksi. Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik, misalnya
tekanan, gesekan, tarikan, zat-zat kimia terutama yang bersifat iritan, gangguan yang bersifat panas,
misalnya radiasi, sengatan UV, gangguan infeksi luar terutama kuman maupun jamur.
2. Fungsi absorbsi. Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi
yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut lemak.
3. Fungsi ekskresi. Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau
sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat dan ammonia.
4. Fungsi persepsi. Kulit mengandung ujung-ujung syaraf sensorik di dermis dan subkutis.
Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan ruffini didermis dan subkutis. Dingin oleh
badan vares paccini.
5. Fungsi pengaturan suhu tubuh.
6. Fungsi pembentukan pigmen. Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal dan
sel ini berasal dari rigi syaraf
7. Fungsi keratinisasi. Lapisan epidermis dewasa mempunyai 3 jenis sel utama yaitu keratinosit,
sel langerhans dan melanosit.
Resusitasi cairan adalah pemberian cairan adekwat dalam waktu relative cepat pada penderita gawat
akibat kekurangan cairan