Penekaan Hukum Narkoba Di Banyuasin Sumatera Selatan
Penekaan Hukum Narkoba Di Banyuasin Sumatera Selatan
2
polisi atau jaksa) tidak dilaporkan, tidak tercatat dalam
pembukuan, bahkan hilang sehingga menyulitkan pembuktian
pada saat pemeriksaan perkara di pengadilan.
3
formulir-formulir tersebut mempunyai fungsi ganda dan
diharapkan pula adanya kesamaan data antara Kepolisian Rl,
Kejaksaan dan Pengadilan.
4
Tahun 2002-2003 dari 3.751 kasus menjadi 7,140, bertambah
3.389 kasus atau naik 90,3 %; Tahun 2003-2004 dari 7.140
menjadi 8.409, bertambah 1.269 kasus atau naik 17,77 % dan
tahun 2004-2005 dari 8.409 menjadi 16.252, bertambah 7.843
kasus atau naik 93,27 %
5
termasuk di wilayah hukum Polres Banyuasin Sumatera Selatan.
dan Kejaksaan Negeri Banyuasin, semakin memperjelas bahwa
pihak kepolisian maupun kejaksaan Masi banyak yang harus di
Evaluasi Ulang lagi dalam hal memusnahkan barang bukti yang
disita atau ditemukan dari hasil penyidikan melalui
penggeledahan yang dilakukan. Pihak kepolisian dan kejaksaan
semakin menghadapi tantangan dalam menemukan barang bukti
hasil kejahatan yang harus dimusnahkan agar tidak berdampak
luas pada elemen masyarakat lainnya.
6
jenis seperti shabu-shabu,Extasi,ganja, dan lainnya), serta
barang selundupan.
8
Banyak nya Rekayasah kasus yang di lakukan Oknum penegak
hukum demi melindugi Cukong cukong Bandar Narkoba yang
Sebenar benar nya ???
Banyak nya orang yang di jadi kan Korban di zolim oleh aparat
penegak hukum di Kabupaten Banyuasin dengan bermacam macam
modus Untuk jebak demi keuntungan oknum penegak hukum itu
sendiri (di jadi kan Tumbal atau 86)
Tujuan Penelitian :
Kegunaan Tiori :
BAB II
Pengertian Pemusnahan
Istilah ‘pemusnahan’ berasal dari kata ‘musnah’ yang biasa
disinonimkan dengan kata hancur, rusak penuh. Poerwardaminta
(2003:231) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan
pemusnahan sebagai proses penghancuran suatu benda hingga
tidak ada yang tersisa lagi untuk digunakan atau dimanfaatkan.
Dalam konteks hukum, pemusnahan berarti penghancuran barang
bukti sitaan oleh petugas/aparat penegak hukum untuk
mencegah dipergunakannya barang bukti kepada penggunaan lain
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Proses pemusnahan merupakan serangkaian tahapan kegiatan
yang dilakukan oleh pihak penyidik untuk melakukan pemusnahan
barang bukti hasil sitaan di suatu lokasi, pada waktu tertentu,
dengan menggunakan peralatan, tenaga dan sarana prasarana
serta melibatkan pihak-pihak berkompeten (stakeholder) dan
10
masyarakat.
Proses pemusnahan barang bukti dilakukan setelah pihak
penyidik membuat berita acara. Hal ini tercermin dalam Pasal 91
ayat (2) Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang mengatur
bahwa :
Barang sitaan narkotika dan prekursor narkotika yang berada
dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah
ditetapkan untuk dimusnahkan wajib dimusnahkan dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak menerima penetapan
pemusnahan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat.
11
Menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita (2003:99) bahwa barang
bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan
dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan akurat untuk
mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya
benda bergerak atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan.
Narkotika
Secara umum yang dimaksud dengan narkotika ialah: Suatu
12
kelompok zat yang bila dimasukkan dalam tubuh akan membawa
pengaruh terhadap tubuh si pemakai. Pengaruh tersebut dapat
berupa:
Menenangkan,
Merangsang.
Menimbulkan khayalan.
13
1 angka 1 menyebutkan bahwa :
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hiiangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
goiongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang
ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Kesehatan.
Penyidikan
Istilah ‘penyidikan’ atau dalam bahasa Belanda disebut opsporing
dan dalam bahasa Inggris disebut investigation mempunyai arti
yaitu serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
14
Pasal 109 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa dalam hal penyidik
telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang
merupakan tindak pidana, maka penyidik memberitahukan hal itu
kepada penuntut umum dalam bentuk surat yang disebut Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Setelah itu,
Kepala Kejaksaan Negeri segera menunjuk salah seorang Jaksa
sebagai Jaksa Penuntut Umum melalui sebuah penetapan yang
disebut “P-16”. Sejak saat itu penuntut umum yang ditunjuk
untuk mempersiapkan segala sesuatunya, mempersiapkan
penuntutan dan mestinya dapat mulai berkoordinasi dengan
penyidik sebagai perwujudan sistem peradilan pidana terpadu
(integrated criminal justice system).
16
dan keleluasaan waktu bagi penyidik untuk melengkapi berkas
perkara dan menyerahkan kembali kepada penuntut umum.
Pasal 138 ayat (2) KUHAP dikenal kode P-19, yaitu bahwa jika
hasil penyidikan ternyata dinilai penuntut umum belum lengkap,
maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada
penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilengkapi.
Dalam praktiknya, seringkali yang terjadi pengembalian berkas
perkara dari penuntut umum kepada penyidik tidak disertai
dengan P-19 sehingga menyulitkan bagi penyidik untuk mencari
apa yang harus dilengkapi. Fenomena ini berakibat pada bolak
baliknya berkas perkara dari penuntut umum ke penyidik
sehingga menghambat proses penyelesaian perkara. Olehnya itu,
perlu adanya ketegasan aturan dalam KUHAP tentang
konsekuensi yuridis jika prosedur pengembalian disertai P-19
tidak dilaksanakan. Demikian halnya ketegasan aturan dalam
KUHAP mengenai konsekuensi yuridis jika dalam batas waktu
yang ditentukan penyidik tidak menyerahkan kembali berkas
hasil penyempurnaan kepada penuntut umum.
Pasal 131 ayat (3) RUU KUHAP memuat kewenangan baru bagi
penuntut umum yang berupa ‘penyidikan tambahan’ bilamana
pihak penyidik tidak mengembalikan/menyerahkan berkas hasil
penyempurnaan untuk dilengkapi ke penuntut umum. Hal ini
sejalan dengan prospek RUU Kejaksaan (Pengganti UU No.5
Tahun 1991) dimana dalam Pasal 27 ayat (1) huruf e yang mana
mengatur kewenangan JPU untuk melakukan ‘Penyidikan
Lanjutan’. Ketentuan tersebut muncul sebagai solusi untuk
mempertegas aturan pelimpahan perkara dari penyidik ke
penuntut umum, khususnya untuk menghindari proses bolak
baliknya berkas perkara dari penuntut umum kepada penyidik.
17
Berdasarkan SEMA Nomor 14 Tahun 1983 bahwa dalam
praperadiian terdapat subyek dan obyek praperadilan. Subyek
praperadilan terdiri dari pihak yang dapat mengajukan
praperadilan (penyidik, penuntut umum, tersangka atau ahii
warisnya, dan pihak ketiga yang berkepentingan) dan pihak yang
dapat dipraperadilankan (penyidik dan penuntut
umum).Sedangkan obyek praperadilan (Pasal 82 ayat (3) huruf d
dan Pasal 81 KUHAP) terdiri dari sah tidaknya suatu
penangkapan dan penahanan; sah tidaknya penghentian
penuntutan demi tegaknya hukum; dan permintaan ganti kerugian
dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada
tingkat penyidikan atau penuntutan atau karena penangkapan
atau penahanannya tidak sah. Ruang lingkup ini dinilai terlalu
sempit karena tidak menjangkau tidak sahnya upaya paksa
lainnya yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum seperti
tidak sahnya pemeriksaan, tidak sahnya penggeledahan dan Iain-
Iain.
Benda sitaan meskipun bukan alat bukti yang sah, tetapi dalam
praktik penegakan hukum ternyata dapat dikembangkan dan
mempunyai manfaat dalam upaya pembuktian dan atau setidak-
tidaknya dapat berfungsi sebagai sarana untuk mendukung dan
memperkuat keyakinan Hakim (Pasal 181 KUHAP).
19
bukan real evidence. Real evidence ini tidak termasuk alat bukti
menurut hukum acara pidana di Indonesia (dan Belanda) yang
bisa disebut “barang bukti”. Barang bukti berupa objek materiil
ini tidak bernilai jika tidak diidentifikasi oleh saksi (dan
terdakwa).Misalnya saksi mengatakan peluru ini saya rampas dari
tangan terdakwa, barulah bernilai untuk memperkuat keyakinan
hakim yang timbul dari alat bukti yang ada.
Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti ialah:
Keterangan saksi.
Keterangan ahli.
Surat
Petunjuk, dan
Keterangan terdakwa, termasuk keterangan ahli yang disebutkan
dalam HIR.
Penyusunan alat-alat bukti di negara-negara common law seperti
Amerika Serikat lain daripada yang tercantum dalam KUHAP di
Indonesia. Alat-alat bukti menurut Criminal Procedure Law
Amerika Serikat yang disebut form of evidence terdiri dari:
Real evidence (bukti sungguhan)
Documentary evidence (bukti dokumenter)
Testimonial evidence (bukti kesaksian)
Judicial notice (pengamatan hakim).
Tidak disebut alat bukti kesaksian ahli dan keterangan
terdakwa. Kesaksian ahli digabungkan dengan bukti kesaksian.
Yang lain daripada yang tercantum dalam KUHAP, ialah real
evidence yang berupa objek materiil (materiil object) yang
meliputi tetapi tidak terbatas atas peluru, pisau, senjata api,
perhiasan intan permata, televisi, dan Iain-Iain. Benda-benda ini
berwujud. Real evidence ini biasa disebut bukti yang berbicara
untuk diri sendiri (speaks for it self). Bukti bentuk itu
dipandang paling bernilai dibanding bukti yang lain.
20
Benda yang Disita sebagai Barang Bukti
Sejumlah benda yang dapat disita sebagai barang bukti pada
dasarnya cukup beragam mulai dari tanaman, bahan makanan,
barang narkotika, alat elektronik, amunisi, senjata, bahan
peledak, produk industri – teknologi, uang hingga kepada
dokumen atau surat-surat. Dengan perkataan lain bahwa benda
yang dapat disita dapat berupa benda berwujud maupun tidak
berwujud.
22
negara Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang
berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh
siapapun juga.Pasal 45 UU Darurat Pasal 12 Tahun 1951
menyatakan bahwa :Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda
yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak
mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap
perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap
atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi
terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka
atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut: Apabila
perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda
tersebut dapat dijual lelang atau dapat di amankan oleh penyidik
atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau
kuasanya; Apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan maka
benda tersebut dapat di amankan atau dijual yang oleh penuntut
umum
atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan
oleh terdakwa atau kuasanya Hasil pelelangan benda yang
bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti
Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan
sebagian kecil dan benda sebagaimana dimaksud dalam
ayat(1)Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk
diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan
negara atau untuk dimusnahkan.
Pasal 46 UU Darurat Pasal 12 Tahun 1951 menyatakan
bahwa :
Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada
orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau
23
kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak
apabila:
Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup
bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan
umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali
apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau
yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak
pidana.
Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan
penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka
yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut
putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk
dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat
dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan
sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Menurut Darwin Prints (1998:69) bahwa penyitaan adalah :
Suatu cara yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang
untuk menguasai sementara waktu barang-barang baik yang
merupakan milik tersangka/terdakwa ataupun bukan, tetapi
berasal dari atau ada hubungannya dengan suatu tindak pidana
dan berguna untuk pembuktian. Pasal 1 butir 16 KUHAP diuraikan
bahwa :
24
Menurut A. Hamzah (1985:148) bahwa :
Pengertian yang diberikan oleh KUHAP ini agak panjang, tetapi
terbatas pengertiannya, karena hanya untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Dalam
Pasal 134 Ned.Sv. juga diberikan definisi penyitaan
(inbeslagneming) yang lebih pendek tetapi lebih luas
pengertiannya. Terjemahannya adalah: “Dengan penyitaan
sesuatu benda diartikan pengambil alihan atau penguasaan benda
itu guna kepentingan acara pidana”. Jadi tidak dibatasi hanya
untuk pembuktian.
Ketentuan Pasal 45 KUHAP menetapkan bahwa:
Apabila benda yang dapat lekas rusak atau membahayakan
sehingga tidak mungkin untuk disimpan terlalu lama, atau biaya
penyimpanannya terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan
persetujuan tersangka atau kuasanya dapat dijual lelang;
Hasil pelelangan tersebut dipakai sebagai barang bukti;
Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan
sebagian kecil benda tersebut untuk pembuktian.
Pasal 39 ayat (1) KUHAP Ayat (2) dinyatakan bahwa : “benda
yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena
pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi
ketentuan”.
Pasal 40 KUHAP diuraikan bahwa :
Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan
alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat
dipakai sebagai barang bukti.
Pasal 41 KUHAP diuraikan bahwa :
Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket
atau sural atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya
25
dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket,
surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau
yang berasal dari padanya dan untuk itu kepada tersangka atau
kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan,
harus diberikan surat tanda penerimaan.
Pasal 42 KUHAP diuraikan bahwa :
Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang
menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda
tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada
yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda
penerimaan.
Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk
diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal
dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau
kepunyaannya, atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda
tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana.
Pasal 44 KUHAP diuraikan bahwa :
Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan
Negara.
Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang
sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan
benda tersebut dilarang untuk diperuntukkan o/eh siapa pun
juga.
Sebelum mengadakan penyitaan penyidik harus mendapatkan
surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Akan tetapi di
dalam keadaan yang perlu dan mendesak dan tidak mungkin
mendapat surat izin terlebih dahulu, maka penyitaan dapat
dilakukan, tetapi hanya atas benda bergerak dan segera
26
melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mendapat
persetujuan (Pasal 38 KUHAP).
Sama sekali hal ini tidak mengurangi kemungkinan akan adanya
penyitaan pada tingkat penuntutan atau tingkat pemeriksaan
pengadilan. Namun demikian pelaksanaan penyitaan “mesti
diminta” kepada penyidik. Seandainya, dalam pemeriksaan sidang
pengadilan berpendapat dianggap perlu melakukan penyitaan
suatu barang, untuk itu hakim mengeluarkan penetapan yang
memerintahkan penuntut umum agar penyidik melakukan
penyitaan barang dimaksud.
Dalam lampiran Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor
M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang
Bidang Penyidikan tercantum antara lain: “Guna melakukan
penyitaan maka penyidik :
Terlebih dahulu mendapat surat izin dari Ketua Pengadilan
Negeri (Pasal 38, 40, 41 KUHAP)
Menunjukkan tanda pengenal kepada orang dari mana benda itu
disita (Pasal 128 KUHAP).
Berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda
yang dapat disita.
Memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang lain (Pasal
129 ayat(1) KUHAP).
Membuat berita acara penyitaan setelah dibaca diberi tanggal,
ditandatangani oleh penyidik, orang yang
bersangkutan/keluarganya, Kepala Desa/Ketua Lingkungan dan
dua orang saksi dan turunan berita acara disampaikan kepada
atasan penyidik orang keluarga yang barangnya disita dan kepala
desa (Pasal 129 ayat 2 KUHAP).
27
dalam keadaan tertangkap tangan tidak perlu mendapat izin dari
Ketua Pengadilan Negeri akan tetapi setelah penyitaan dilakukan
wajib segera melapor kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai
dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) karena keadaan tertangkap
tangan disamakan pengertiannya dengan keadaan yang sangat
perlu dan mendesak. Jika penyitaan tersebut dilakukan dalam
suatu razia tidak diperlukan izin dari Ketua Pengadilan Negeri
setempat. Hal tersebut didasarkan alasan bahwa tindakan polisi
dalam mengadakan razia itu adalah merupakan tindakan
preventif yang berada diluar jangkauan KUHAP. Adapun bentuk-
bentuk penyitaan yang diatur dalam KUHAP, yang dilakukan oleh
Penyidik (M.Yahya Harahap, 2005:266) sebagai berikut:
Penyitaan biasa, yaitu harus ada Surat Izin Penyitaan dari Ketua
Pengadilan Negeri; memperlihatkan atau menunjukkan tanda
pengenal; memperlihatkan benda yang akan disita; penyitaan dan
memperlihatkan benda sitaan harus disaksikan oleh Kepala Desa
atau Kepala Lingkungan; membuat Berita Acara Penyitaan;
menyampaikan turunan Berita Acara Penyitaan; dan membungkus
benda sitaan.
Penyitaan dalam keadaan per/u dan mendesak, diperlukan untuk
memberi kelonggaran kepada penyidik bertindak cepat sesuai
dengan keadaan yang diperlukan.
Penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan, yaitu penyidik
dapat langsung menyita sesuatu benda dan alat yang ternyata
digunakan untuk melakukan tindak pidana, atau benda dan alat
yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana, atau benda fain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.
Penyitaan tidak langsung, yaitu penyidik mengajak yang
bersangkutan untuk menyerahkan sendiri benda yang hendak
disita dengan sukarela.
Penyitaan surat atau tulisan lain. Surat atau tulisan yang
28
disimpan atau dikuasai oleh orang tertentu, di mana orang
tertentu yang menyimpan atau menguasai surat itu, diwajibkan
merahasiakannya oleh undang-undang. Tata cara penyitaannya
yaitu, hanya dapat disita atas persetujuan mereka yang dibebani
kewajiban oleh undang-undang untuk merahasiakan; dan atas izin
khusus Ketua Pengadilan Negeri, jika tidak ada persetujuan dari
mereka.
Penyitaan minuta akta notaris. Dalam hal ini Ketua PN harus
benar-benar mempertimbangkan relevansi dan urgensi penyitaan
secara objektif berdasar Pasal 39 KUHAP.
29
(1) menyatakan bentuk/model formulir yang merupakan lampiran
tersebut adalah sebagai bahan acuan, sedangkan pelaksanaannya
disesuaikan dengan situasi/ kondisi di daerah masing-masing
serta perkembangan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penatausahaan dan pencatatan barang bukti pada Buku Register
Barang Bukti (Rb-2) Tidak Tertib Sesuai KEPJA No-
518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 buku Register
Barang Bukti (RB-2) digunakan untuk mencatat seluruh kegiatan
yang berkaitan dengan barang bukti/rampasan.
Dari ketentuan tersebut di atas maka seharusnya Seksi PIDUM
melaksanakan secara tertib pengadministrasian buku-buku
register maupun pelaksanaan keputusan Pengadilan. Data
perkara pada kolom buku RB-2 tersebut harus diisi karena
menunjukkan keadaan suatu perkara yang sedang ditangani oleh
Jaksa apakah sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, masih
banding atau kasasi, sehingga dapat dengan mudah dan
dimengerti oleh siapapun yang membaca (atasan langsung atau
pemeriksa). Dalam berbagai isu, seringkali buku register tidak
diisi dengan alasan karena kurang personil yang melaksanakan
administrasi sehingga untuk urusan administrasi terabaikan.
Selain itu berkas putusan Pengadilan Negeri masih belum
diterima oleh petugas pencatat buku register sehingga petugas
yang mengerjakan administrasi tidak mengetahui apakah perkara
dan barang bukti tersebut telah dieksekusi sesuai bunyi amar
putusan atau belum.
Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1999 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia BAB I
Pasal 2 menetapkan Kejaksaan mempunyai tugas melaksanakan
kekuasaan Negara di bidang penuntutan, dan tugas-tugas lain
berdasarkan peraturan perundang-undangan serta turut
menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan
30
pembangunan di bidang hukum. Surat Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Umum (Jamdatun) No, B-404/E/6/1994 tentang
Pengisian Formulir Daftar Perkara Tilang dan Penyelesaian serta
laporannya angka 1 huruf a, b,c dan angka 2 huruf a, serta angka
4 dan 5 menetapkan dengan penggunaan formulir tersebut,
diharapkan beban administrasi akan semakin ringan, mengingat
formulir-formulir tersebut mempunyai fungsi ganda dan
diharapkan pula adanya kesamaan data antara Kepolisian Rl,
Kejaksaan dan Pengadilan.
Dalam ha! pengelolaan barang rampasan telah diatur dalam
Keputusan Jaksa Agung Rl No.KEP-112/JA/10/1989 tentang
Mekanisme Penerimaan, Penyimpanan dan Penataan Barang Bukti.
paragraf 2 menyatakan : untuk menjaga agar supaya sifat,
jumlah dan atau bentuk barang bukti tidak berubah, sehingga
akan menyulitkan Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan
kesalahan terdakwa, dan Bab II tentang Penyimpanan Barang
Bukti point 5 b menyatakan bahwa barang bukti berbentuk logam
mulia, perhiasan, uang dan barang berharga lainnya yang nilainya
diatas Rp 10 juta hams dititipkan/disimpan pada Bank Milik
Pemerintah atas barang bukti yang dititipkan harus ada Berita
Acara Penitipan Barang Bukti (B-2)-nya.
Proses yang ditempuh untuk menyita benda bergerak sebagai
berikut (Pasal 128 – 130KUHAP):
Penyidik menunjukkan tanda pengenalnya, dan juga surat izin
Ketua Pengadilan Negeri jika ada;
Benda yang akan disita diperlihatkan kepada orang yang
bendanya disita itu atau keluarganya; dapat juga minta
disaksikan oleh Kepala Desa/Ketua Lingkungan dengan dua
saksi;
Dibuat berita acara penyertaan dan dibacakan kepada orang
tersebut pada b dan dimintakan tanda tangan kepada mereka
31
itu; dalam hal yang bersangkutan, tidak bersedia
menandatangani, hal itu dicatat dengan menyebutkan
alasannya;
Benda dicatat dengan cermat tentang beratnya, jumlahnya, ciri-
cirinya, tempat dan hari penyertaan, dan sebagainya kemudian
dibubuhi cap jabatan dan ditandatangani penyidik, kemudian
dibungkus, dalam hal benda itu tidak dapat dibungkus maka
catatan-catatan itu ditulis di atas label yang
ditempatkan/dikaitkan pada benda tersebut.
32
disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat,
Menteri dan Kepala Badan Pengawasan Obat dan
Makanan.
Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur bahwa
:
Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan penyitaan
terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib membuat
berita acara penyitaan dan menyerahkan barang sitaan tersebut
beserta berita acaranya kepada penyidik BNN atau penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dalam waktu
paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak
dilakukan penyitaan dan tembusan berita acaranya disampaikan
kepada kepala kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan
negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
Penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
jika berkaitan dengan daerah yang sulit terjangkau karena
faktor geografis atau transportasi.
Pasal 89 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur
bahwa :
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88
bertanggung jawab atas penyimpanan dan pengamanan barang
sitaan yang berada di bawah penguasaannya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika dan
Prekursor Narkotika yang disita sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
33
(1) Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadifan, penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, penyidik BNN, dan penyidik pegawai negeri sipil
menyisihkan sebagian kecil barang sitaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika untuk dijadikan sampel guna pengujian di
Laboratorium tertentu dan dilaksanakan dalam waktu paling lama
3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pengambilan dan pengujian sampei di laboratorium tertentu
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pemusnahan Barang Bukti
Secara umum, ada dua proses atau tahap pemusnahan barang
bukti yang diatur dalam KUHAP, yaitu :
Pemusnahan barang bukti pada tahap penyidikan, dan
Pemusnahan barang bukti berdasarkan putusan pengadilan.
34
disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;
Apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda
tersebut dapat di amankan atau dijual lelang oleh penuntut
umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan
disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang
dipakai sebagai barang bukti.
Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan
sebagian kecil dari benda sebagaimana dimaksud dalam ayat(1).
Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk
diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan
negara atau untuk dimusnahkan.
Pasal 91 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur bahwa
.
Kepala kejaksaan negeri setempat setelah menerima
pemberitahuan tentang penyitaan barang Narkotika dan
Prekursor Narkotika dari penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau penyidik BNN, dalam waktu paling lama 7 (tujuh)
hari wajib menetapkan status barang sitaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika tersebut untuk kepentingan pembuktian
perkara, kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau
dimusnahkan.
Barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang berada
dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah
ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak menerima penetapan
pemusnahan dari kepala kejaksaan negeri setempat,
Penyidik wajib membuat berita acara pemusnahan dalam waktu
paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak
35
pemusnahan tersebut dilakukan dan menyerahkan berita acara
tersebut kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia setempat dan tembusan berita acaranya
disampaikan kepada kepala kejaksaan negeri setempat, ketua
pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
Dalam keadaan tertentu, batas waktu pemusnahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk
jangka waktu yang sama.
Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 75 huruf k.
Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi diserahkan kepada Menteri dan untuk
kepentingan pendidikan dan pelatihan diserahkan kepada Kepala
BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak menerima
penetapan dari kepala kejaksaan negeri setempat.
Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menyampaikan laporan
kepada Menteri mengenai penggunaan barang sitaan untuk
kepentingan pendidikan dan pelatihan.
Pasal 92 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur
bahwa :
Penyidik Kepoiisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN
wajib memusnahkan tanaman Narkotika yang ditemukan dalam
waktu paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak
saat ditemukan, setelah disisihkan sebagian kecil untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang
pengadilan, dan dapat disisihkan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta untuk
kepentingan pendidikan dan pelatihan.
36
Untuk tanaman Narkotika yang karena jumlahnya dan daerah
yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi,
pemusnahan dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari.
Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
Nama, jenis, sifat, dan jumlah;
Keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan,
dan tahun ditemukan dan dilakukan pemusnahan;
Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
tanaman Narkotika; dan
Tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan
pejabat atau pihak terkait lainnya yang menyaksikan
pemusnahan.
Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan oleh penyidik
untuk kepentingan pembuktian.
Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan oleh Menteri dan
Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
sebahagian kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan
sebagaimana di maksud pada ayat (1) disimpan oleh BNN untuk
kepentingan pendidikan dan pelatihan.
Pemusnahan Barang Bukti Berdasarkan Putusan Pengadilan
Putusan pemidanaan di jatuhkan menurut pasal 139 ayat (1)
KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindakan pidana yang di dakwakan kepadanya, maka
pengadilan menjatuhkan pidana”. Van Bemmelen (Andi Hamzah,
2000:281) menyatakan:
37
eenvaroordelingzal de rechteruitspreken, alshij de overtuiging
heft verkregen, dat de verdachte het de lastegeledgefeit heft
began en hijfeit en verdachteookstrafbaaracht (artinya putusan
pemidanaan di jatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat
keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang di
dakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa
dapat di pidana).
kaitannya dengan pemusnahan barang bukti berdasarkan putusan
pengadilan, Pasal 46, KUHAP mengatur bahwa:
benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau
kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang
atau kepada mereka yang lebih berhak apabila:
Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi,
perkara tersebut tidak jadi di tuntut karena tidak cukup bukti
atau ternyata tidak merupakan tindak pidana,
perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau
perkara tersebut di tutup demi hukum, kecuali apabila benda itu
dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan lagi atau jika
benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam
perkara lain.
Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan
penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang
disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan
hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau
untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lags atau jika
benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam
perkara lain.
Selanjutnya Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 menetapkan bahwa :
Apabila berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap terbukti bahwa barang sitaan yang telah
38
dimusnahkan menurut ketentuan Pasal 91 diperoleh atau dimiliki
https://sangrajalangit99.wordpress.com/2016/12/04/bnn-
sosialisasikan-uu-nomor-35-tahun-2009-tentang-narkotika-
pecandu-narkoba-wajip-di-rehabilitasi-bukannya-di-penjara/
BAB III
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini adalah empiris – yuridis. Tipe penelitian
empiris adalah penelitian dengan menggunakan hasil temuan di
39
lapangan, sedangkan penelitian yuridis menggunakan pendekatan
normatif berupa asas-asas hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan Polres Banyuasin dan Kejaksaan
Negeri Banyuasin. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada
pertimbangan sebagai berikut:
Pada Polres Banyuasin, Kejaksaan Negeri Banyuasin dan
Pengadilan Negeri Banyuasin telah mencatat sejumlah barang
bukti hasil sitaan penyidik dan sekaligus Jarang sekali melakukan
pemusnahan.
Sejumlah barang bukti terkadang di isukan telah disalahgunakan
oleh oknum aparat penegakan hukum di lembaga hukum tersebut.
Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini dipergunakan jenis dan sumber data yaitu
data primer, data sekunder, dan data tersier:
Data primer adalah data diperoleh secara langsung di lapangan
melalui wawancara mendalam dengan informan atau narasumber.
Adapun informan atau narasumber dalam penelitian ini adalah :
penyidik Polri/Sat-Reskrim, penyidik PPNS, jaksa penyidik,
hakim, Ketua Pengadilan Negeri, Kepala Kejaksaan Negeri dan
narapidana.
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dan dikumpulkan
melalui kajian literatur atau studi kepustakaan, internet, buku-
buku ilmu hukum, hasil penelitian, surat kabar, majalah, koran
dan lain sebagainya yang relevan dengan kebutuhan data
penelitian.
Data tersier, yaitu data yang diperoleh sumber bahan hukum
yang ada dan relevan dengan kebutuhan penelitian ini seperti:
KUHAP, undang-undang, peraturan-peraturan, keputusan
presiden, keputusan menteri.
40
Teknik Pengumpulan Data
Upaya untuk memperoleh data, peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
Observasi, yaitu pengamatan langsung terhadap barang bukti
narkotika/psikotropika serta berbagai aktivitas pemusnahannya.
Interview, yang melalui wawancara langsung, berstruktur dan
mendalam dengan informan atau narasumber. Wawancara
mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara.
Dokumentasi, yaitu melalui kajian literatur/kepustakaan,
dokumen peraturan perundang-undangan, surat-surat keputusan,
dan sumber tertulis lainnya yang ada kaitannya dengan
kebutuhan data dan informasi dalam penelitian ini,
41
berdasarkan teknik analisis kualitatif. Sekalipun dalam
penelitian ini diperoleh data kuantitatif, akan tetapi data
kuantitatif hanya digunakan untuk memperjelas dan
memperlancar analisis kualitatif.
Mungkin kah adanya keterlibatan dua orang pejabat Kabupatan banyuasin ini Plt Bupati dan
Kepala DPRD Kab Banyuasin atas peredaran Narkoba di wilaya yang mereka Pimpin BNK Banyuasin
Mana Tangung jawap Nya.
42
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
43
khususnya, termasuk guna pencegahan terhadap adanya
penyalahgunaan wewenang oleh aparat yang menangani perkara
dan sebagainya.
Proses pemusnahan barang bukti merupakan serangkaian tahapan
kegiatan yang dilakukan oleh pihak penyidik untuk melakukan
pemusnahan barang bukti hasil sitaan di suatu lokasi, pada waktu
tertentu dengan menggunakan peralatan, tenaga dan sarana
prasarana serta melibatkan pihak berkompeten (stakeholder)
dan masyarakat.
Proses pemusnahan barang bukti diiakukan setelah pihak
penyidik membuat berita acara. Hal ini tercermin dalam Pasal 91
ayat (1) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang mengatur bahwa :
Kepala kejaksaan negeri setempat setelah menerima
pemberitahuan tentang penyitaan barang Narkotika dan
Prekursor Narkotika dari penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau penyidik BNN, dalam waktu paling lama 7 (tujuh)
hari wajib menetapkan status barang sitaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika tersebut untuk kepentingan pembuktian
perkara, kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau
dimusnahkan.
Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
mengatur bahwa :
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau penyidik
BNN yang melakukan penyitaan Narkotika dan Prekursor
Narkotika, atau yang diduga Narkotika dan Prekursor
Narkotika, atau yang mengandung Narkotika dan Prekursor
Narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita
acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-
kurangnya memuat:
44
Nama, jenis, sifat, dan jumlah;
Keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan
tahun dilakukan penyitaan;
Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
Tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang
melakukan penyitaan.
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada kepala
kejaksaan negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga
kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan
tembusannya disampaikan kepada ketua pengadilan negeri
setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
45
tertentu.
Kejaksaan membentuk Tim pemusnahan barang bukti
Mengundang tokoh-tokoh masyarakat, LSM, pejabat terkait
Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Membuat berita acara
Pemusnahan barang bukti narkotika.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa :
Pemusnahan barang bukti narkotika biasanya dilakukan oleh
Kejaksaan setempat karena dikhawatirkan atau ditakutkan
adanya penyalahgunaan barang bukti tersebut. Pemusnahan awal
biasanya dilakukan setelah barang bukti disetujui sebagian
disisihkan untuk dihadirkan di persidangan dan dibuatkan Berita
Acara Pemusnahan Barang Bukti. Proses pemusnahan barang
bukti terlebih dahulu dibuatkan registrasi (di register) atau dl
tata dan dikumpulkan jadi satu lalu kemudian dibuatkan surat
perintah pemusnahan barang bukti, dan setelah barang bukti itu
dimusnahkan maka dibuatkan lagi berita acara pemusnahan
barang bukti.
Hasil wawancara penulis dengan Sala satu Jaksa (Jaksa pada
Kejaksaan Negeri Banyuasin) menjelaskan bahwa :
Sebelum dilakukan pemusnahan barang bukti narkotika, terlebih
dahulu dibentuk Tim Pemusnahan Barang Bukti (TPBB) yang
terdiri dari unsur petugas dari Polres Banyuasin, Dinas
Kesehatan Kabupaten Banyuasin, Pemda Kabupaten Banyuasin,
dan Anggota DPRD Kabupaten Banyuasin. Kepala Kejaksaan
Negeri Banyuasin biasanya mengeluarkan Surat Perintah kepada
penyidik untuk melaksanakan perintah pemusnahan barang bukti
dengan disaksikan atau bersama-sama dengan Tim Pemusnahan
Barang Bukti. Lanjut dijelaskan, Tim Pemusnahan Barang Bukti
mengemban tugas yaitu :
Pemusnahan barang bukti narkotika merupakan bagian integral
46
dari sistem hukum yaitu substansi hukum (legal substance),
struktur hukum (legal Structure) dan kultur hukum (legal
culture) (Friedmann, 2002).
Ditinjau dari konsepsi sistem hukum tersebut, maka proses
pemusnahan barang bukti narkotika sudah seharusnya didukung
substansi hukum yang kuat (legal substance), didukung
kemampuan aparatur dan kelembagaan penegak hukum (legal
structures) serta didukung partisipasi masyarakat dalam
melaporkan setiap kejadian penggunaan/pemanfaatan narkotika
dan obat-obatan terlarang (legal cultures).
Dari hasil penelitian diketahui masih adanya kelemahan-
le;emahan baik dari aspek substansi hukum, struktur hukum
maupun kultur hukum. substansi hukum terutama yang
terkandung dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika masih memiliki beberapa kelemahan terutama
dalam kewenangan pemusnahan barang bukti dan pelaksanaannya
sehingga masih mudah disalah tafsirkan. Dalam hal struktur
hukum juga dinilai masih lemah karena belum optimalnya peran
kelembagaan hukum dalam memberantas penyalahgunaan
narkotika dan obat-obatan terlarang; sedangkan dari aspek
kultur hukum juga dinilai masih rendah oleh karena kesadaran
hukum baik aparat penegak hukum maupun masyarakat masih
kurang menaruh perhatian atau merasa takut melaporkan setiap
kejadian penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang di
lingkungan sekitarnya.
upaya melaksanakan pemusnahan barang bukti narkotika mutlak
melalui suatu proses sebagaimana sudah diatur dalam Undang-
Undang Nomr 35 Tahun 2009. Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 mengatur bahwa:
Penyidik kepolisian negara Republik Indonesia atau penyidik
BNN yang melakukan penyitaan Narkotika dan Prekursor
47
Narkotika, atau yang di duga Narkotika dan Prekursor
Narkotika, atau yang mengandung Narkotika dan Prekursor
Narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita
acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-
kurangnya memuat:
Nama, Jenis, sifat dan jumlah
Keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan
tahun dilakukan penyitaan;
Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika
dan prekursor narkotika; dan
Tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang melakukan
penyitaan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyidik dari Kepolisian
(Polres Banyuasin) dan Kejaksaan Negeri Banyuasin biasanya
melakukan penyegelan atas setiap barang bukti narkotika namun
dalam pembuatan berita acara perkara (BAP) terkadang kurang
sesuai terutama jumlah/kadar antara yang disita dengan yang
dilaporkan.
Pasal 87 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
mengatur bahwa :
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada kepala
kejaksaan negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga
kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan
tembusannya disampaikan kepada ketua pengadilan negeri
setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
Menurut hemat Saya mewakili MBM meski penyidik diberi
kewenangan untuk melakukan penyitaan, Pasal 38 KUHAP
mengharuskan penyidik mendapatkan surat izin dari ketua
Pengadilan Negeri. Keharusan itu hanya dapat dikecualikan dalam
48
keadaan amat perlu dan mendesak yang mengharuskan penyidik
melakukan tindakan segera. Meski demikian, setelah penyitaan
karena alasan darurat dilakukan, penyidik wajib segera
melaporkan kepada ketua pengadilan.
49
kesulitan mengecek kebenaran jumlah data yang dikemukakan
penyidik, penyalahgunaan barang bukti sudah dapat terjadi
dalam rentang waktu beberapa saat setelah penyitaan. Artinya,
semua barang bukti yang tidak dicatat dalam berita acara
penyitaan dapat dimanfaatkan segera usai penyitaan.
51
kemudian dimusnahkan, sesuai dengan ketentuan pasal di atas
sehingga dinilai efektif.
Dalam hal proses pemusnahan barang bukti, Pasal 92 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur bahwa :
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN
wajib memusnahkan tanaman Narkotika yang ditemukan dalam
waktu paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak
saat ditemukan, setelah disisihkan sebagian keci! untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang
pengadilan, dan dapat disisihkan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta untuk
kepentingan pendidikan dan pelatihan.
Untuk tanaman Narkotika yang karena jumlahnya dan daerah
yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi,
pemusnahan dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari.
Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
Nama, jenis, sifat, dan jumlah;
Keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan
tahun ditemukan dan dilakukan pemusnahan;
Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
tanaman Narkotika; dan
Tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat
atau pihak terkait lainnya yang menyaksikan pemusnahan.
Dalam Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banyuasin didapat
bahwa penyidik belum pernah menyita barang bukti tanaman
narkotika melainkan dalam bentuk paket yang sudah diolah atau
dikemas dan siap untuk dikonsumsi, sehingga tidak ada kegiatan
pemusnahan barang bukti berupa tanaman narkotika yang
52
dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri Banyuasin.
Selanjutnya Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 menetapkan bahwa :
Apabila berdasarkan putusan pengadilan yang teiah memperoleh
kekuatan hukum tetap terbukti bahwa barang sitaan yang telah
dimusnahkan menurut ketentuan Pasal 91 diperoleh atau dimiliki
secara sah, kepada pemilik barang yang bersangkutan diberikan
ganti rugi oleh Pemerintah.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa barang bukti
berupa narkotika tidak ada alasan untuk penerapan ketentuan
Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tersebut di atas, karena secara prinsipil harus dimusnahkan dan
tidak ada alasan untuk mengembalikan ataupun mengganti
kerugian bagi pemiliknya, sehingga substansi dari ketentuan
tersebut tidak sesuai atau lemah diterapkan untuk barang bukti
narkotika.
Pasal 101 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
menetapkan bahwa:
Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang
digunakan di dalam tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan Prekursor
Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk negara.
Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang beritikad baik,
pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan
tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan dalam jangka
waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan
pengadilan tingkat pertama.
Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak
pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan
53
Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan
digunakan untuk kepentingan :
Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
Upaya rehabilitasi medis dan sosial.
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa barang bukti
berupa narkotika tidak ada alasan untuk penerapan ketentuan
Pasal 101 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut di
atas, karena secara prinsipil harus dirampas dan dimusnahkan,
dan tidak ada alasan untuk menerima keberatan dari pemilik
barang bukti, sehingga substansi dari ketentuan ayat (2)
tersebut tidak sesuai atau lemah diterapkan untuk barang bukti
narkotika.
KEPJA No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001
tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia
No. 132/JA/11/1994 tanggal 7 Nopember 1994 Pasal III ayat
(1) menyatakan bentuk/model formulir yang merupakan lampiran
tersebut adalah sebagai bahan acuan, sedangkan pelaksanaannya
disesuaikan dengan situasi/kondisi di daerah masing-masing
serta perkembangan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penatausahaan dan pencatatan barang bukti pada Buku Register
Barang Bukti (Rb-2) Tidak Tertib Sesuai KEPJA No-
518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 buku Register
Barang Bukti (RB-2) digunakan untuk mencatat seluruh kegiatan
yang berkaitan dengan barang bukti/rampasan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa barang bukti berupa
narkotika yang disita penyidik sudah seharusnya dibuatkan
catatan tersendiri dalam bentuk laporan tertulis, namun dalam
penelitian ini penulis kesulitan mengakses informasi mengenai hal
54
itu dengan alasan bahwa jumlah kasus narkotika di wilayah
hukum Pengadilan Negeri Banyuasin sangat Sangat Tinggi
Dari hasil wawancara penulis dengan xxx (Se orang Jaksa pada
Kejaksaan Negeri Banyuasin ) bahwa :
Dengan alasan kurangnya personil yang melaksanakan
administrasi sehingga untuk urusan administrasi seringkali
terabaikan. Selain itu berkas putusan Pengadilan Negeri
seringkali terlambat diterima oleh petugas pencatat buku
register sehingga petugas yang mengerjakan administrasi tidak
mengetahui apakah perkara dan barang bukti tersebut telah
dieksekusi sesuai bunyi amar putusan atau belum (wawancara
tanggal 2 Mei 2015).
Begitu juga pemusnahan barang bukti. Pasal 45 Ayat (4) KUHAP
menentukan, benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang
untuk diedarkan harus dimusnahkan. Untuk mematuhi ketentuan
itu, penyidik sering mempertontonkan pemusnahan barang bukti
yang dilarang untuk diedarkan itu. Seperti penyitaan, karena
tidak mudah dan hampir tidak mungkin mengecek kebenaran
55
data yang diumumkan penyidik dalam pemusnahan barang bukti.
Berkembangnya isu penggelapan barang bukti yang dilakukan
oknum aparat penegak hukum tidak jarang menyebabkan
lepasnya tersangka dan hilangnya barang bukti dalam kasus
narkoba yang ditangani Penyidik. Disinyalir ada oknum aparat
hukum yang pada saat pemeriksaan perkara pidana mengambil
sebagian barang bukti yang dimusnahkan.
https://sangrajalangit99.wordpress.com/2016/11/08/mesteri-
dan-dinamika-peradapan-hukum-narkoba-di-tanah-sedulang-
setudung-kab-banyuasin-sum-sel/
http://sumsel.tribunnews.com/2015/05/25/polsek-rambutan-
gagalkan-pengiriman-satu-kilogram-sabu
56