17 Mei 2020
Refleksi arah kebijakan negara beberapa tahun terakhir ini yang coba dibenturkan
dengan demonstrasi mahasiswa.
Komposisi parlemen hari ini sangat mempengaruhi kebijakan yang dibuat. Secara
komposisi dapat dilihat, potensi kebijakan untuk melindungi kepentingan bisnis dapat
dilihat dengan kuantitas 675 anggota DPR-RI, terdapat 262 anggota dengan kualifikasi
sebagai Pengusaha. Semua partai dalam parlemen dipastikan pernah dan korupsi bahkan
sedang korupsi.
1. Demo Mahasiswa
Aksi Gejayan Memanggil dan memakan waktu hampir setengah bulan,
Mahasiswa bergerak menuntut dibatalkannya Pembahasan untuk pengesahaan Paket
UU, beberapa diantaranya UU KPK, R-Kuhp, Hingga UU Minerba, sayangnya
Decision Maker dalam membuat kebijakan hanya dimiliki oleh Parlemen bersama
Presiden bukan Mahasiswa.
2. UU KPK Tetap disahkan
Perjuangan mahasiswa dan rakyat dalam menyuarakan ketidakberpihakannya
pada UU KPK tidak digubris sedikitpun oleh Negara. implikasinya KPK dinilai tidak
bertaji lagi. Hal ini dapat dilihat pada kisah Kasus suap Harun Masiku dan
Komisioner KPU yang sampai hari ini belum juga diproses hukum. KPK lembaga
yang konsen dalam memberatas korupsi seakan sedang dikondisikan guna kelancaran
transaksi kepentingan kedepan. Padahal jika melihat realitas indeks korupsi di
Indonesia ditambah kredibilitas KPK sebagai lembaga aling kredibel pertama
seyogyanya penguatan KPK sebagai keniscayaan bukan malah pelemahannya.
3. UU Cipta Kerja
(Khas dengan Kepentingan Perusahaan dengan cara Menekan Upah Buruh dan
Merusak Lingkungan (No Amdal) dengan klaster-klasternya, Hilangnya Pidana Bagi
Perusahaan diganti menjadi Administratif, Hilangnya Otonomi Daerah dalam
Melakukan pengawasan dan memberikan Perizinan )
4. UU Minerba
Hilangnya Pidana bagi Pejabat yang mengeluarkan izin sekalipun
bertentangan dengan hukum dan hadirnya Pidana bagi Rakyat yang menolak sepakat
menyerahkan lahan kepada Perusahaan.
Bagaimana Revisi UU Minerba hari ini ? yang sekarang telah disahkan menjadi
UU Minerba ?
Problem Hukum Formil dalam Revisi UU Minerba
1. Tidak Memenuhi Kaedah Kepentingan Mendesak
UU Minerba yang lama dengan segala revisi Putusan MK dinilai lebih
demokratis di banding UU Minerba yang baru. Dan sejauh ini, UU Minerba yang
lama sudah cukup memadai untuk mengakomodasi kepentingan pertambangan di
republic ini. Selain itu, tidak etis jika dilihat pada masa pandemic, dimana konstrasi
seyogyanya full untuk keselamatan rakyat, tetapi nalar parlemen hari ini justru bisnis..
arah kebijakn idnonesia selama pandemic tetap saja prioritas keuntungan bisnis,
masih segar dala ingatan kita dimasa awal pandemic, akses investasi dan pariwisata di
deklarasikan kepada dunia, menunjukan seakan Indonesia aman dari corona virus.
2. Tidak Demokrtatis Substansif (Cepat dan Tiba-Tiba tanpa melibatkan stake holder
khususnya Masyarakat)
2 April RUU Minerba selesai dibuatkan Daftar Inventarisir Masalahnya, 11
Mei DPR melalui Komisi Energi menyetujui untuk dilakukan pembahasan dan pada
14 Mei 2020 RUU Minerba disahkan bersama DPR dan Presiden. Tidak ada Tanya
jawab bersama, tidak ada duduk bersama dengan pemangku kepentingan, dan tidak
etis dibahas dimasa paceklik pandemic hari ini belum berhenti merenggut nyawa
warga negara.
3. Tidak Memiliki Ruh Konstitusi Melalui Virtual
Pembahasan RUU yang dihadiri pimpinan DPR dan selebihnya melalui virtual
dirasa tidak selaras dengan ruh konstitusi, bahwa demokrasi membutuhkan eksistensi
fisik dari pemangku kepetingan, bukan problem kuantitas kuorom, tetapi kualitas
demokrasi yang lemah. Selain juga tidak dilibatkannya DPD dalam pembahasan.