Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

Asuhan Keperawatan Tentang Anak dengan Narapidana


Dosen pembimbing
Ns. Masyitah Wahab, S.Kep.,M.Kes

Disusun Oleh :

Riza Aryanti

P.18.013

Stikes Bina Generasi Polewali Mandar

T.A 2020/202

i
DAFTAR ISI

COVER........................................................................................

DAFTAR ISI...............................................................................i

KATA PENGANTAR................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................1

1.1 Latar Belakang....................................................................4


1.2 Rumusan Masalah...............................................................6
1.3 Tujuan.................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN.............................................................3

2.1 Definisi Narapidana............................................................5


2.2 Penggolongan Narapidana..................................................7
2.3 Bentuk-Bentuk Pelayanan terhadap Narapidana................16
2.4 Asuhan Keperawatan..........................................................16

BAB III PENUTUPAN...............................................................23

3.1 Kesimpulan.........................................................................23
3.2 Saran...................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA..................................................................26

ii
KATA PENGANTAR

Dengan Mengucap syukur kehadirat Allah SWT. yang hanya dengan rahmat serta
petunjuk-nya, penulis berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Tentang Anak dengan Narapidana Untuk memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan Jiwa

Dalam penulisan ini tidak lepas dari pantauan bimbingan saran dan nasehat dari
berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kapada yang terhormat dosen Pmebimbing yang telah memberikan tugas dan
kesempatan kepada kami untuk membuat dan menyusun makalah ini. Serta semua
pihak yang telah membantu dan memberikan masukan serta nasehat  hingga
tersusunnya makalah ini hingga akhir.

Karena keterbatasan ilmu dan pengalaman, penulis sadar masih banyak


kekurangan dalam penyusunan makalah dan Askep ini. Oleh karena itu kritik dan
saran yang berkaitan dengan penyusunan makalah dan Askep ini akan penulis terima
dengan senang hati untuk menyempurnakan penyusunan makalah dan Askep tersebut.
Semoga makalah Keprawatan Jiwa yang berjudul ““Asuhan Keperawatan
Tentang Anak dengan” ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Wonomulyo, 24 Oktober 2020
Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak menuju masa dewasa
yang mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial, dan
emosional. Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi yang bergejolak,
sedangkan pengendalian diri belum sempurna (Ali & Asrori, 2016) .Berdasarkan proyeksi
penduduk pada tahun 2015 menunjukan bahwa jumlah remaja (usia 10-24 tahun)
Indonesia mencapai lebih dari 66,0 juta dari jumlah penduduk Indonesia 255 juta
(Bapenas, BPS, UNFPA 2013). Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya
krisis identitas atau pencarian identitas diri, karakteristik remaja 2 yang sedang berproses
untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja(Ali &
Asrori, 2016). ).

Konsep diri yang rendah dan ketidakmatangan moral membuat remaja menjadi
destruktif, membuat remaja melakukan kenakalan, seperti tawuran atau berkelahi, sikap
antisosial, merusak, perilaku kriminal, merampok atau menggunakan narkoba (Pieter &
lubis, 2012). Kenakalan remaja berupa tindak kriminal dapat membawa remaja
berhadapan dengan hukum. Hal ini membuat remaja divonis bersalah yang kemudian
menyebabkan remaja menjalani masa-masa berada di Lapas sebagai 4 narapidana.

Penelitian Effendi. Z, Poeranto,S & Supriyanti. L (2016), diperoleh persentase


narapidana remaja yang berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I
Palembang adalah 80% mengala1mi harga diri rendah dengan menyebarkan kuesioner
kepada 20 orang narapidana remaja. Menurut penelitian Basaran, Z (2016), mengatakan
bahwa seseorang yang berada ditahanan akan mengalami harga diri rendah, yaitu
mengatakan bahwa dia merasa sulit untuk diajak bicara di depan orang lain, ingin
mengubah banyak hal pada dirinya jika dia bisa, dan sering bermimpi menjadi orang lain.

Penelitian yang dilakukan oleh The American Academy of Psychiatry


(2014),mengatakan dampak narapidana yang berada di lapas berupa reaksi psikologis
yang dialami tahanan dewasa, seperti halusinasi, harga diri rendah, kecemasan dan

4
kegelisahan, gangguan emosi, impulsif, menarik diri dari lingkungan sosial, mimpi buruk,
melukai diri sendiri, depresi berat, trauma 5 hingga bunuh diri.Narapidana anak dan
remaja juga mengalami efek psikis yang sama dengan orang dewasa bahkan lebih buruk.
Bunuh diri merupakan dampak yang paling sering ditemui pada narapidana anak.
Penelitian tersebut juga menemukan bahwa narapidana anak lebih cenderung melakukan
percobaan bunuh diri, bunuh diri dan terlibat dalam tindakan-tindakan lain yang
merugikan diri sendiri (American Civil Liberties Union, 2014).

Narapidana yang sedang menjalani hukuman pidana tidak hanya akan mengalami
hukuman secara fisik, tetapi juga mengalami hukuman secara psikologis seperti
kehilangan kebebasan dan kasih sayang dari pasangan, anak, maupun orang tuanya. Frank
(Siahaan, 2008) menambhakan bahwa dampak fisik dan psikologis yang dialami
narapidana dapat membuat narapidana merasakan perasaan tidak bermakna yang ditandai
dengan perasaan hampa, gersang, bosan dan penuh dengan keputusasaan.

Rahmawati (Shofia, 2009) melalui penelitiannya tentang kepercayaan diri narapidana


pasca hukuman pidana menyatakan bahwa pada dasarnya mantan narapidana memiliki
harga diri rendah dan konsep diri yang negative. Secara garis besar hal ini disebabkan
karena masyarakat cenderung menolak kehadiran mereka dalam kehidupan yang normal.
Penolakan masyarakat terhadap narapidana dianggap sebagai masalah yang harus
diwaspadai.

5
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah defenisi dari Narapidana?
2. Apakah penyebab dari Narapidana?
3. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada Narapidana?

1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengetahui defenisi dari Narapidana.
2. Mahasiswa mengetahui penyebab dari Narapidana.
3. Mahasiswa mampu menguraikan asuhan keperawatan jiwa pada
Narapidana.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Narapidana


Narapidana adalah orang-orang sedang menjalani saksi kurungan
atau saksi lainnya, menurut perundang-undangan. Pengertian narapidana
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang hukuman (orang
yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana) atau terhukum.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor : 12 Tahun 1995 tentang
Permasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana
hilang kemerdekaan di Lembaga Permasyarakatan.
Selanjutnya Dirjosworo (dalam Lubis dkk, 2014) narapidana adalah
manusia biasa seperti manusia lainnya hanya karena melanggar norma
hukum yang ada, maka dipisahkan oleh hakim untuk menjalani hukuman.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
(dalam Lubis dkk, 2014) tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah
terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga
Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 (dalam Soraya, 2013) tentang Pemasyarakatan, terpidana
adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, pengertian narapidana adalah seseorang yang
melakukan tindak kejahatan dan telah dinyatakan bersalah oleh hakim di
pengadilan serta dijatuhi hukuman penjara.

2.2 Penggolongan Narapidana


Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan menentukan bahwa dalam rangka pembinaan terhadap
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas
dasar:

7
a. Umur
b. jenis kelamin
c. lama pidana yang dijatuhkan
d. jenis kejahatan.
e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan
pembinaan.
f. Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS
Wanita.

Dalam standar registrasi dan klasifikasi narapidana dan tahanan yang


ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: Pas-
170.Pk.01.01.02 Tahun 2015 tentang Standar Registrasi dan Klasifikasi
Narapidana dan Tahanan.

 Penggolongan narapidana berdasarkan umur terdiri atas:


a. Anak (12 s.d. 18 tahun)
b. Dewasa (diatas 18 tahun)
 Penggolongan narapidana berdasarkan jenis kelamin, terdiri atas:
a. Laki –laki
b. Wanita
 Penggolongan narapidana berdasarkan lama pidana, terdiri atas:
a. Pidana 1 hari sd 3 bulan ( Register B.II b )
b. Pidana 3 bulan sd 12 bulan 5 hari (1 tahun) (Register B.II a)
c. Pidana 12 bulan 5 hari (1 tahun keatas ) (Register B.I)
d. Pidana Seumur Hidup (Register Seumur Hidup)
e. Pidana Mati (Register Mati)
 Penggolongan narapidana berdasarkan jenis kejahatan, terdiri atas:
a. Jenis kejahatan umum
b. Jenis kejahatan khusus

8
Di Indonesia terdapat penggolongan lembaga pemasyarakatan, yaitu lapas
umum dan lapas khusus seperti Lapas Perempuan, Lapas Anak, Lapas Narkotika
dan Lapas untuk tindak pidana berat seperti yang ada di Nusakambangan Cilacap.
Namun tidak di semua daerah di Indonesia memunyai lapas-lapas khusus.
Biasanya daerah yang tidak memunyai lapas khusus contohnya untuk narapidana
anak, maka akan dititipkan di lapas anak di daerah lain yang paling dekat.
Jadi seorang narapidana ditempatkan sesuai dengan penggolongan atas
daras umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan dan
kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Artinya,
seorang narapidana herus ditempatkan dengan narapidana lainnya yang
golongannya sama sebagaimana yang telah ditentukan. Seperti halnya narapidana
dengan jenis kejahatan berbeda tidak ditempatkan dalam satu sel secara
bersamaan

2.3 Jenis Masalah Kejiwaan Narapidana

Narapidana yang terkucilkan dari masyarakat umum, akan mengalami berbagai


masalah kejiwaan narapidana kemungkinan akan muncul, diantaranya:

1. Harga Diri Rendah dan Konsep Diri yang Negative


A. Definisi
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negative, dapat secara langsung atau tidak
langsung di ekspresikan. Seseorang yang dikatakan mempunyai konsep
diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak
berdaya, tidak dapat berbuat apa – apa, tidak kompeten, gagal, malang,
tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup.
Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik
terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Akan ada dua
pihak yang bisa disalahkannya, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara
negatif) atau menyalahkan orang lain (Rini, J.F, 2002).

9
Konsep diri terdiri atas komponen-komponen berikut ini :

a. Citra Tubuh (Body Image)


Citra tubuh (Body Image) adalah kumpulan dari sikap individu
yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya. Termasuk
persepsi masa lalu dan sekarang, serta perasaan tentang ukuran,
fungsi, penampilan, dan potensi. Yang secara berkesinambungan
dimodifikasi dengan persepsi dan pengalaman yang baru (Stuart
& Sundeen, 1998).
b. Ideal Diri (Self Ideal)
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus
berperilaku sesuai dengan standar, aspirasi, tujuan atau nilai
personal tertentu (Stuart & Sundeen, 1998). Sering juga disebut
bahwa ideal diri sama dengan cita – cita, keinginan, harapan
tentang diri sendiri.
c. Identitas Diri (Self Identifity)
Identitas adalah pengorganisasian prinsip dari kepribadian
yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kesinambungan,
konsistensi, dan keunikkan individu (Stuart & Sundeen, 1998).
Pembentukan identitas dimulai pada masa bayi dan terus
berlangsung sepanjang kehidupan tapi merupakan tugas utama
pada masa remaja.
d. Peran Diri (Self Role)
Serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan
sosial berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok
sosial. Peran yang diterapkan adalah peran dimana seseorang tidak
mempunyai pilihan. Peran yang diterima adalah peran yang terpilih
atau dipilih oleh individu (Stuart & Sundeen, 1998).
e. Harga Diri (Self Esteem)

10
Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal
yang diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku
seseorang sesuai dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah
perasaan yang berakar dalam penerimaan diri tanpa syarat,
walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, tetap merasa sebagai
seorang yang penting dan berharga (Stuart & Sundeen, 1998).

B. Etiologi
Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping individu yang
tidak efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya system
pendukung kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan balik yang
negatif, difungsi system keluarga serta terfiksasi pada tahap perkembangan
awal (Townsend, M.C. 1998 : 366).
menurut Townsend, M.C (1998 : 312) koping individu tidak efektif
merupakan kelainan perilaku adaptif dan kemampuan memecahkan masalah
seseorang dalam memenuhi tuntutan kehidupan dan peran. Adapun
Penyebab Gangguan Konsep Diri Harga Diri Rendah, yaitu :
a. Faktor Presdisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah
penolakan orangtua, penolakan orangtua yang tidak realistis,
kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai tanggung
jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang
tidak realistis.
b. Faktor Presipitasi
Faktor Presipitasi Terjadinya harga diri rendah biasanya
adalah kehillangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk
tubuh, kegagalan atau produktifitas yang menurun.

C. Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah :


- Mengejek dan mengkritik diri

11
- Merasa bersalah dan khawatir, menghukum dan menolak diri
sendiri
- Mengalami gejala fisik, misal: tekanan darah tinggi
- Menunda keputusan
- Sulit bergaul
- Menghindari kesenangan yang dapat meberi rasa puas
- Menarik diri dari realitas, cemas, panic, cemburu, curiga,
halusinasi
- Merusak diri: harga diri rendah menyokong pasien untuk
mengakhiri hidupnya
- Merusak/melukai orang lain
- Perasaan tidak mampu
- Pandangan hidup yang pesimistis
- Tidak menerima pujian
- Penurunan produktivitas
- Penolakan terhadap kemampuan diri
- Kurang memerhatikan perawatan diri
- Berpakaian tidak rapih
- Berkurang selera makan
- Tidak berani menatap lawan bicara
- Lebih banyak menunduk
- Bicara lambat dengan nada suara lemah

D. Penatalaksanaan Terapi (Psikoterapi)


Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan
orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak
mengasingkan diri lagi karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk
kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau
latihan bersama. (Maramis, 2005, hal.231).

12
2. Risiko Bunuh Diri
Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat
mengarah pada kematian. Bunuh diri adalah pikiran untuk menghilangkan
nyawa sendiri. Jadi bunuh diri adalah suatu tindakan agresif yang merusak
diri sendiri dengan mengemukakan rentang harapan-harapan putus asa,
sehingga menimbukan tindakan yang mengarah pada kematian.
A. Rentang Respon
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara
ekspresi orang yang penuh stress Perilaku bunuh diri berkembang
dalam beberapa rentang. Respon adaptif merupakan respon yang
dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan yang
secara umum berlaku, sedangkan respon maladaptif merupakan
respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah
yang kurang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya
setempat. Respon maladaptif antara lain:
a. Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis: Individu yang tidak
berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan masalah,
karena merasa tidak mampu mengembangkan koping yang
bermanfaat sudah tidak berguna lagi, tidak mampu
mengembangkan koping yang baru serta yakin tidak ada yang
membantu.
b. Kehilangan, ragu-ragu: Individu yang mempunyai cita-cita
terlalu tinggi dan tidak realistis akan merasa gagal dan kecewa
jika cita-citanya tidak tercapai. Misalnya: kehilangan pekerjaan
dan kesehatan, perceraian, perpisahan individu akan merasa
gagal dan kecewa, rendah diri yang semua dapat berakhir
dengan bunuh diri.
c. Depresi: Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan
yang ditandai dengan kesedihan dan rendah diri. Biasanya
bunuh diri terjadi pada saat individu ke luar dari keadaan
depresi berat.

13
d. Bunuh diri adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri
sendiri untuk mengkahiri kehidupan. Bunuh diri merupakan
koping terakhir individu untuk memecahkan masalah yang
dihadapi.

B. Etiologi Bunuh Diri


1. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Sundeen (1997), faktor predisposisi
bunuh diri antara lain:
a. Diagnostik > 90% orang dewasa yang mengakhiri
hidupnya dengan bunuh diri, mempunyai hubungan
dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat
membuat individu beresiko untuk bunuh diri yaitu
gangguan apektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
b. Sifat kepribadian. Tiga aspek kepribadian yang berkaitan
erat dengan besarnya resiko bunuh diri adalah rasa
bermusuhan, implisif dan depresi.
c. Lingkungan psikososial. Seseorang yang baru mengalami
kehilangan, perpisahan/perceraian, kehilangan yang dini
dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor
penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
d. Riwayat keluarga/faktor genetic. Factor genetik
mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada
keturunannya serta merupakan faktor resiko penting untuk
prilaku destruktif.. Disamping itu adanya penurunan
serotonin dapat menyebabkan depresi yang berkontribusi
terjadinya resiko buuh diri.
e. Faktor biokimia. Data menunjukkan bahwa secara
serotogenik, apatengik, dan depominersik menjadi media
proses yang dapat menimbulkan prilaku destrukif diri.

14
2. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri
adalah:
a. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan
hubungan interpersonal/gagal melakukan hubungan yang
berarti.
b. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi
stres.
c. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan
hukuman pada diri sendiri.
d. Cara untuk mengakhiri keputusasaan

Selain itu terdapat pula beberapa motif terjadinya bunuh diri,


motif bunuh diri ada banyak macamnya, yaitu:
1. Dilanda keputusasaan dan depresi.
2. Cobaan hidup dan tekanan lingkungan.
3. Gangguan kejiwaan/tidak waras (gila).
4. Himpitan Ekonomi atau Kemiskinan (Harta/Iman/Ilmu).
5. Penderitaan karena penyakit yang berkepanjangan.
c. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang biasanya muncul yaitu:
a. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
c. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
d. Impulsif.
e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi
sangat patuh).
f. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
g. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan
tentang obat dosis mematikan).

15
2.4 Bentuk-Bentuk Pelayanan terhadap Narapidana
1. Pelayanan Kesehatan
Didalam rumah tahanan sangat penting adanya fasilitas kesehatan guna untuk
melayani setiap narapidana yang sakit.dengan adanya pelayanan kesehatan
maka narapidana yang mengalami sakit akan secepatnya bisa tertolong untuk
mendapatkan kesembuhan.
2. Pelayanan Konsumsi
Konsumsi adalah sutu kebutuhan makanan dan minuman yang dibutuhkan oleh
seseorang pada setiap harinya untuk menjaga kesehatan tubuh seseorang maka
harus mendapatkan atau mengkonsumsi makanan ataupun minuman yang sehat
agar terhindar dari segala penyakit yang bisa menyerang tubuh seseorang.
Pelayanan konsumsi adalah bentuk pelayanan yang sangat penting dan sangat
di butuhkan oleh narapidana yang sedang menjalani hukuman
3. Pelayanan Penjagaan
Pelayanan penjagaan narapidana adalah bentuk kegiatan dalam
melindungi,menjaga serta memperhatikan narapidana di rumah tahanan agar
terhindar dari kekerasan ataupun kerusuhan antar sesama narapidana.
4. Pelayanan Kunjungan
Pelayanan kunjungan narapidana adalah suatu bentuk pelayanan dari pihak
keluarga maupun kerabat untuk dapat mengunjungi narapidana yang sedang
menjalani hukuman di rumah tahanan.

2.5 Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas klien meliputi Nama, umur, jenis kelamin, tanggal
dirawat, tanggal pengkajian, nomor rekam medis.
b. Faktor predisposisi merupakan faktor pendukung yang meliputi
faktor biologis, faktor psikologis, sosial budaya, dan faktor genetic.
c. Faktor presipitasi merupakan faktor pencetus yang meliputi sikap
persepsi merasa tidak mampu, putus asa, tidak percaya diri, merasa

16
gagal, merasa malang, kehilangan, rendah diri, perilaku agresif,
kekerasan, ketidak adekuatan pengobatan dan penanganan gejala
stress pencetus pada umunya mencakup kejadian kehidupan yang
penuh dengan stress seperti kehilangan yang mempengaruhi
kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan
menyebabkan ansietas.
d. Psikososial yang terdiri dari genogram, konsep diri, hubungan
social dan spiritual.
e. Status mental yang terdiri dari penampilan, pembicaraan, aktifitas
motorik, alam perasaan, afek pasien, interaksi selama wawancara,
persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat
kosentrasi dan berhitung, kemampuan penilaian, dan daya tilik diri.
f. Mekanisme koping: koping yang dimiliki klien baik adaptif
maupun maladaptive.
g. Aspek medik yang terdiri dari diagnosa medis dan terapi medis.

Pada proses pengkajian, data penting yang perlu diketahui saudara


dapatkan adalah:

MASALAH YANG PERLU DIKAJI

No Masalah Keperawatan Data Subyektif Data Obyektif


1 Masalah utama : gangguan Mengungkapkan ingin
Merusak diri sendiri,
konsep diri : harga diri diakui jati dirinya.
Merusak orang lain,
rendah Mengungkapkan tidak
Ekspresi malu,
ada lagi yang peduli.
Menarik diri dari
Mengungkapkan tidak
hubungan social,
bisa apa-apa.
Tampak mudah
Mengungkapkan
tersinggung,
dirinya tidak berguna.
Tidak mau makan dan
Mengkritik diri sendiri.
tidak tidur.
Perasaan tidak mampu.
2 Penyebab tidak efektifnya Mengungkapkan Tampak
koping individu ketidakmampuan dan ketergantungan

17
meminta bantuan orang terhadap orang lain
lain. Tampak sedih dan
Mengungkapkan malu tidak melakukan
dan tidak bisa ketika aktivitas yang
diajak melakukan seharusnya dapat
sesuatu. dilakukan
Mengungkapkan tidak Wajah tampak murung
berdaya dan tidak ingin
hidup lagi.
3 Akibat isolasi sosial Mengungkapkan Ekspresi wajah kosong
menarik diri enggan bicara dengan tidak ada kontak mata
orang lain ketika diajak bicara
Klien mengatakan malu Suara pelan dan tidak
bertemu dan jelas
berhadapan dengan Hanya memberi
orang lain jawaban singkat
(ya/tidak)
Menghindar ketika
didekati

2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data diatas, yang didapat melalui observasi, wawancara atau
pemeriksaan fisik bahkan melalui sumber sekunder, maka perawat dapat
menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien sebagai berikut:
a. Harga Diri Rendah
b. Isolasi Sosial
c. Defisit Perawatan Diri
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan berdasarkan jenis masalah jiwa pada narapidana
yaitu harga diri rendah dan risiko bunuh diri, sebagai berikut:
A. Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tidak efektif
(Keliat, 1999).
Tujuan umum: Klien dapat memiliki koping yang efektif.

18
Tujuan khusus:
1). Klien dapat mengungkapkan perasaannya secara bebas.
Kriteria evaluasi: Klien mengungkapkan perasaanya secara bebas.
Intervensi:
- Ijinkan klien untuk menangis.
- Sediakan kertas dan alat tulis jika klien belum mau bicara.
- Nyatakan kepada klien bahwa perawat dapat mengerti apabila
klien belum siap membicarakan permasalahannya.
2). Klien dapat mengidentifikasi koping dan perilaku yang berkaitan
dengan kejadian yang dihadapi.
Kriteria evaluasi: Klien dapat mengidentifikasi koping dan perilaku
yang berkaitan dengan kejadian yang dihadapi.
Intervensi:
- Tanyakan kepada klien apakah pernah mengalami hal yang sama.
- Tanyakan cara-cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi
perasaan dan masalah.
- Identifikasi koping yang pernah dipakai.
- Diskusikan dengan klien alternatif koping yang tepat bagi klien.
3). Klien dapat memodifikasi pola kognitif yang negatif.
Kriteria evaluasi: Klien memodifikasi pola kognitif yang negatif.
Intervensi:
- Diskusikan tentang masalah yang dihadapi klien.
- Identifikasi pemikiran negatif dan bantu untuk menurunkan
melalui interupsi atau substitusi.
- Bantu klien untuk meningkatkan pemikiran yang positif.
- Identifikasi ketetapan persepsi klien yang tepat tentang
penyimpangan dan pendapatnya yang tidak rasional.
- Kurangi penilaian klien yang negatif terhadap dirinya.
- Evaluasi ketepatan persepsi, logika, dan kesimpulan yang dibuat
klien.

19
- Bantu klien untuk menyadari nilai yang dimilikinya dan
perubahan yang terjadi.
4). Klien dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang
berkenaan dengan perawatan dirinya.
Kriteria evaluasi: Klien berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
yang berkenaan dengan perawatan dirinya.
Intervensi:
- Libatkan klien dalam menetapkan tujuan perawatan yang ingin
dicapai.
- Motivasi klien untuk membuat jadwal aktivitas perawatan diri.
- Berikan klien privasi sesuai dengan kebutuhan yang ditentukan.
- Berikan reinforcement positif untuk keputusan yang dibuat.
- Berikan pujian jika klien berhasil melakukan kegiatan atau
penampilannya bagus.
- Motivasi klien untuk mempertahankan kegiatan tersebut.
5). Klien dapat memotivasi untuk aktif mencapai tujuan yang realistik.
Kriteria evaluasi: Klien termotivasi untuk aktif mencapai tujuan yang
realistik.
Intervensi:
- Bantu klien untuk menetapkan tujuan yang realistik. Fokuskan
kegiatan pada saat sekarang bukan pada masa lalu.
- Bantu klien untuk mengidentifikasi area situasi kehidupan yang
dapat dikontrolnya.
- Identifikasi cita-cita yang ingin dicapai oleh klien.
- Dorong untuk berpartisipasi dalam aktivitas tersebut dan berikan
penguatan positif untuk berpartisipasi dan pencapaiannya.
- Motivasi keluarga untuk berperan aktif dalam membantu klien
menurunkan perasaan tidak bersalah.
B. Risiko Bunuh Diri
1) Sp I Pasien
- Membina hubungan saling percaya dengan klien.

20
- Mengidentifikasi benda-benda yang dapat membahayakan
pasien.
- Mengamankan benda-benda yang dapat membahayakan
pasien.
- Melakukan kontrak treatment.
- Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri.
2) Sp II Pasien
- Mengidentisifikasi aspek positif pasien
- Mendorong pasien untuk berfikir positif terhadap diri
sendiri
- Mendorong pasien untuk menghargai diri sebagai individu
yang berharga
3) Sp III Pasien
- Mengidentisifikasi pola koping yang biasa diterapkan
pasien
- Menilai pola koping yng biasa dilakukan
- Mengidentifikasi pola koping yang konstruktif
- Mendorong pasien memilih pola koping yang konstruktif
- Menganjurkan pasien menerapkan pola koping konstruktif
dalam kegiatan harian
4) Sp IV Pasien
- Membuat rencana masa depan yang realistis bersama
pasien
- Mengidentifikasi cara mencapai rencana masa depan yang
realistis
- Memberi dorongan pasien melakukan kehiatan dalam
rangka meraih masa depan yang realistis
5) SP 1 Keluaga
- Mendiskusikan massalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien

21
- Menjelaskan pengertia, tanda dan gejala resiko bunuh diri,
dan jenis prilaku yang di alami pasien beserta proses
terjadinya
- Menjelaskan cara-cara merawat pasien resiko bunuh diri
yang dialami pasien beserta proses terjadinya.
6) SP II Keluarga
- Melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien
dengan resiko bunuh diri
- Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung
kepada pasien resiko bunuh diri.
7) SP III Keluarga
- Melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien
dengan resiko bunuh diri
- Mendiskusikan sumber rujukan yang bias dijangkau oleh
keluarga.

4. Implementasi Keperawatan
Setelah dilakukan perencanaan tindakan keperawatan, maka
selanjutnya dilakukan implementasi sesuai waktu dan urutan
perencanaan tindakan keperawatan.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dilakukan setiap selesai tindakan asuhan keperawatan
jiwa pada klien untuk mengetahui perubahan kondisi yang baik
dirasakan oleh klien.

22
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian
narapidana adalah seseorang yang melakukan tindak kejahatan dan telah
dinyatakan bersalah oleh hakim di pengadilan serta dijatuhi hukuman
penjara. Karena terkucilkan dari masyarakat umum, berbagai masalah
kejiwaan narapidana kemungkinan akan muncul, diantaranya: harga diri
rendah dan konsep diri yang negative, lalu risiko bunuh diri.
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri
atau kemampuan diri yang negative, dapat secara langsung atau tidak
langsung diekspresikan. Konsep diri terdiri atas komponen-komponen
berikut ini : citra tubuh (Body Image), ideal Diri (Self Ideal), identitas Diri
(Self Identifity), peran Diri (Self Role), harga diri (Self Esteem). Harga
diri rendah sering disebabkan karena adanya koping individu yang tidak
efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya system
pendukung kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan balik
yang negatif, difungsi system keluarga serta terfiksasi pada tahap
perkembangan awal.
Jenis-jenis Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan
penggolongan atas dasar: Umur, jenis kelamin, lama pidana yang
dijatuhkan, jenis kejahatan, lalu kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan
atau perkembangan pembinaan. Penggolongan narapidana berdasarkan
umur terdiri atas: Anak (12 s.d. 18 tahun), lalu Dewasa (diatas 18 tahun).
Penggolongan narapidana berdasarkan jenis kelamin, terdiri atas: Laki –
laki dan Wanita. Penggolongan narapidana berdasarkan lama pidana,
terdiri atas: Pidana 1 hari sd 3 bulan ( Register B.II b ), Pidana 3 bulan sd
12 bulan 5 hari (1 tahun) (Register B.II a), Pidana 12 bulan 5 hari (1 tahun
keatas ) (Register B.I), Pidana Seumur Hidup (Register Seumur Hidup),
Pidana Mati (Register Mati. Penggolongan narapidana berdasarkan jenis

23
kejahatan, terdiri atas: Jenis kejahatan umum, lalu Jenis kejahatan khusus.
Jadi seorang narapidana ditempatkan sesuai dengan penggolongan atas
daras umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan
dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan
pembinaan. Artinya, seorang narapidana herus ditempatkan dengan
narapidana lainnya yang golongannya sama sebagaimana yang telah
ditentukan. Seperti halnya narapidana dengan jenis kejahatan berbeda
tidak ditempatkan dalam satu sel secara bersamaan.

3.2 Saran
1. Lembaga Pemasyarakatan
a) Memperbanyak kerja sama antara Instansi Pemerintah/pihak-pihak
di luar Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka untuk melakukan
pembinaan terhadap narapidana
b) Mempertahankan pihak-pihak yang telah membantu narapidana
dalam proses pembinaan bukan saja Insidensil melainkan harus
bersifat tetap atau seterusnya secara terjadwal, agar nantinya
narapidana mampu menyerap secara optimal.
c) Melaksanakan suatu kegiatan dimana dalam proses pembinaannya
harus dapat menampung aspirasi narapidana, atau apa yang
menjadi keinginan narapidana dengan cara menempatkan kotak-
kotak untuk kritik dan saran narapidana kepada petugas Lembaga
Pemasyarakatan, agar terjalin komunikasi yang baik antara
narapidana dan petugas hingga akhirnya akan tercipta suasana yang
kondusif
2. Masyarakat
Masyarakat diharapkan menghilang pendangan buruk terhadap
narapidana yang telah dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan, serta
mampu menerima dengan baik dan memperlakuan mantan narapidana
dengan baik didalam lingkungan agar mantan narapidana merasa

24
diterima oleh masyarakat dan mantan narapidana tersebut tidak akan
mengulangi atau melanggar hukum kembali.
3. Pemerintah
Pemerintah di harapkan memberikan bantuan program BPJS
kesehatan supaya kesehatan narapidana di lapas dapat di jamin atau
mendapat bantuan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Mareta, J. Rehabilitasi dalam Upaya Derradikalisasi Narapidana Terorisme.


Masalah-masalah Hukum, 47(4), 338-356.

https://www.scribd.com/document/327541806/askep-narapidana-1 dikutip pada


14 oktober 2020

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt598d737413c6a/penggolonga
n-penempatan-narapidana-dalam-satu-sel-lapas/ dikutip pada 14 Oktober 2020

https://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/download/587/526 dikutip pada


14 Oktober 2020

purwati.(2014). Kecemasan pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika


Kekas II A WAY HUI Babdar Lampung. Jurnal Keperawatan, Volume X, No. 1, April 2014
,ISSN 1907 - 0357

26
27

Anda mungkin juga menyukai