Anda di halaman 1dari 25

DAFTAR ISI

Daftar Isi 2
Kata pengantar 3
Bab I Pendahuluan 4
1.1 Latar belakang
4
I.1 Rumusan Masalah 4
I.2 Tujuan Penelitian 4
I.3 Manfaat Penelitian
Bab II Tinjauan Pustaka 5
II.1 Anemia 5
II.1.1 Defenisi Anemia 5
II.1.2 Penyebab Anemia 6
II.1.3 Gejala Anemia 9
II.1.4 Pemeriksaan Fisis 10
II.1.5 Diagnosis Anemia 11
II.1.6 Penatalaksanaan 12
II.2 Status Gizi Pada Balita 13
II.2.1 Defenisi Gizi 13
II.2.2 Pembagian Status Gizi 13
II.2.3 Etiologi 14
II.2.4 Diagnosis 14
II.2.5 Pemeriksaan Penunjang 16
II.2.6 Penatalaksanaan dan Medikamentosa 16
Bab III Metode Penelitian 19
III.1 Desain Penelitian 19
III.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 19
III.3 Populasi dan Sampel 19
III.3.1 Populasi 19
III.3.2 Sampel 19
III.3.3 Cara Pengambilan Sampel 19
III.4 Defenisi Operational dan Variable penelitian 19
III.4.1 Defenisi Operational 19
III.4.2 Variable penelitian 19
III.5 Instrumen Penelitian 19
III.6 Managemen Data 19
III.6.1 Pengumpulan Data 19
III.6.2 cara pengumpulan Data 20
III.7 Pengolahan Data 20
III.8 Penyajian Data 20
Bab IV Hasil dan Pembahasan 21
IV.1 Hasil 21
IV.2 Pembahasan 21
Bab V Kesimpulan dan Saran 24
V.1 Kesimpulan 24
V.2 Saran 24
Daftar Pustaka 25
Lampiran Tabel

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
Anemia merupakan masalah medis dan masalah kesehatan utama masyarakat
yang sering dijumpai di seluruh dunia, terutama di Negara berkembang seperti
Indonesia. Kelainan ini adalah merupakan penyebab debilitas kronik yang mempunyai
dampak besar terhadap kesehatan, ekonomi dan kesejahteraan sosial. Diperkirakan
lebih dari 30% penduduk dunia atau 1,5 miliar orang menderita anemia dengan
sebagian besar diantaranya tinggal di daerah tropis.1 Prevalensi anemia secara global
sekitar 51%.2 Menurut Departemen Kesehatan tahun 2014, prevalensi anemia pada
remaja dan usia produktif sebesar 17-18%. 1
Anemia merupakan penurunan kadar hemoglobin, hitung eritrosit, dan hematokrit
sehingga jumlah eritrosit dan/atau kadar hemoglobin yang beredar tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Biasanya anemia
ditandai dengan penurunan kadar hemoglobin kurang dari 13,5 g/dL pada pria dewasa
dan kurang dari 11,5 g/dL pada wanita dewasa. Penyebab terjadinya anemia, yaitu:
asupan yang tidak adekuat, hilangnya sel darah merah yang di sebabkan oleh trauma,
infeksi, perdarahan kronis, menstruasi, dan penurunan atau kelainan pembentukan sel,
seperti: hemoglobinopati, talasemia, sferositosis herediter, dan defisiensi glukosa 6
fosfat dihidrogenase.1
Anak anemia berkaitan dengan gangguan psikomotor, kognitif, prestasi sekolah
buruk,dan dapat terjadi hambatan pertumbuhan dan perkembangan. Anak usia kurang
dari 12 bulan dengan anemia terutama defisiensi besi kadar hemoglobinnya bisa
normal, dengan nilai prediktif positif 10-40%. Oleh karena itu diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik teliti untuk mendeteksi dan menentukan penyebabnya sehingga
pemeriksaan laboratorium dapat seminimal mungkin. Tubuh bayi baru lahir
mengambildan menyimpan kembali besi menyebabkan hematokrit menurun selama
beberapa bulan pertama kehidupan. 2
Di Indonesia masalah gizi kurang atau malnutrisi masih menjadi salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang utama (Riskesdas, 2010). Malnutrisi memberikan

2
kontribusi terhadap tingginya rata-rata angka kematian di negara sedang berkembang.
Anak-anak yang malnutrisi tidak mempunyai cadangan lemak dan sangat sedikit otot.
Perkembangan otak menjadi lambat oleh karena anak-anak mengalami insiden
penyakit yang tinggi karena tubuh tidak mampu melawan infeksi. Fakta menunjukkan
bahwa angka kematian akibat penyakit infeksi pada anak yang malnutrisi 3 hingga 27
kali lebih besar daripada anak-anak yang gizinya baik, sehingga malnutrisi merupakan
faktor risiko yang signifikan penyebab kematian pada anak (UNS/SCN, 2005). 3
Seringkali anak yang malnutrisi juga mengalami anemia. Malnutrisi maupun anemia
dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, penurunan fungsi kognitif, psikomotor
dan daya tahan tubuh anak, karena pada umumnya anak yang malnutrisi selain
kekurangan energi dan protein juga mengalami kekurangan berbagai mikronutrien.
Sementara itu, prevalensi anemia pada anak-anak di dunia mencapai angka 47,4%
atau sekitar 300 juta anak menderita anemia. Bila prevalensi ini didasarkan pada
wilayah, maka separuh (47,7%) atau sekitar 170 juta dari anak-anak yang anemia ini
berada di wilayah Asia, sehingga Asia merupakan wilayah dengan peringkat tertinggi,
yang masih sangat jauh dibandingkan dengan angka anemia di Eropa yang mencapai
16,7% dan Amerika Utara yang hanya mencapai 3,4% (Khan, et al, 2008; Geogieff,
2007). Dari sejumlah anak-anak yang anemia tersebut, sekitar 200 juta anak
mengalami “kegagalan” untuk mencapai perkembangan kognitif dan sosio-emosional
(Darnton-Hill, et al., 2007). Selain itu, anemia pada anak-anak menyebabkan
pertumbuhan yang lebih lambat (Sharieff, et al., 2006).3

1.2 Rumusan Masalah


1. Berapakah Prevalensi anemia pada balita 1-5 tahun di Puskesmas Wasior
Kabupaten Teluk Wondama
2. Bagaimana hubungan status gizi dan anemia pada balita usia 1-5 tahun di
Puskesmas Wasior Kabupaten Teluk Wondama

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum

3
Mengetahui Prevalensi anemia pada balita usia 1-5 tahun di Puskesmas Wasior
di Kabupaten Teluk Wondama
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui Prevalensi kejadian anemia pada balita usia 1-5 tahun di
Puskesmas Wasior Kabupaten Teluk Wondama
2. Mengetahui hubungan anemia dengan status gizi pada balita usia 1-5 tahu di
Puskesmas Wasior Kabupaten Teluk Wondama
1.4 Manfaat Penelitian
1. Memberikan gambaran tentang prevalensi anemia pada balita usia 1-5 tahun
di Puskesmas Wasior Kabuoaten Teluk Wondama
2. Sebagai bahan masukan kepada pihak yang berkepentingan, terutama bagi
pemegang program gizi dalam menetapkan kebijakan dan perencanaan
program perbaikan gizi khususnya pada balita usia 1-5 tahun.
3. Menambah pengetahuan di bidang kesehatan dan gizi serta memberikan
informasi untuk penelitian selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

4
II.I Anemia
II.I.IDefenisi anemia
Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit atau
konsentrasi hemoglobin. Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan dapat
disebabkan oleh bermacam-macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia ringan
hingga sedang mungkin tidak menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut ke
keadaan anemia berat dengan gejala-gejala keletihan, takipnea, napas pendek saat
beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal jantung. 2
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur dan jenis kelamin dengan
melihat jumlah hemoglobin, hematokrit, dan ukuran eritrosit . Selain itu dengan dasar
ukuran eritrosit (mean corpuscular volume/MCV) dan kemudian dibagi lebih dalam
berdasarkan morfologi eritrositnya. Pada klasifikasi jenis ini, anemia dibagi menjadi
anemia mikrositik, normositik dan makrositik. Klasifikasi anemia dapat berubah sesuai
penyebab klinis dan patologis. Penyebab anemia secara garis besar dibagi menjadi dua
kategori yaitu gangguan produksi eritrosit yaitu kecepatan pembentukan eritrosit
menurun atau terjadi gangguan maturasi eritrosit dan perusakan eritrosit yang lebih
cepat. Kedua kategori tersebut tidak berdiri sendiri, lebih dari satu mekanisme dapat
terjadi.2
Masalah anemia gizi besi (AGB) adalah masalah gizi mikro terbesar dan tersulit
diatasi di seluruh dunia, terutama pada bayi, anak prasekolah, dan wanita usia subur.
Anemia gizi dapat mengakibatkan antara lain: kematian janin di dalam kandungan,
abortus, cacat bawaan, berat badan lahir rendah (BBLR), abruptio plasenta, cadangan
zat besi yang berkurang pada bayi atau bayi dilahirkan sudah dalam keadaan anemia. 4
Anemia defesiensi besi (ADB) adalah anemia akibat kekurangan zat besi untuk
sintesis hemoglobin dan merupakan defesiensi nutrisi yang paling banyak pada anak
dan menyebabkan masalah kesehatan yang paling besar diseluruh dunia terutama
disemua Negara berkembang termasuk Indonesia. Dari hasil SKRT 1992 diperoleh
prevalensi ADB pada anak balita di Indonesia adalah 55.5%. Komplikasi ADB akibat
akibat jumlah total besi tubuh yang rendah dan gangguan pembetukan hemoglobin(Hb)
dihubungkan dengan fungsi kognitif, perubahan tingkah laku, tumbuh kembang yang
terlambat dan gangguan fungsi imun pada anak. 4

5
Prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi, awal masa anak-anak,
anak sekolah dan masa remaja karena adanya percepatan tumbuh pada masa tersebut
disertai asupan besi yang rendah, penggunaan susu sapi dengan kadar besi yang
kurang sehingga menyebabkan exudative enteropathy dan kehilangan darah akibat
mensturasi.4
Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya
anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia yang
terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik untuk
menyesuaikan dengan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen. 5

Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor


1. Berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan
2. Adanya hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan masif)
Pasokan oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan mekanisme
kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah jantung pada
kadar Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb turun di bawah 5 g%,
pada kadar Hb lebih tinggi selama aktivitas atau ketika terjadi gangguan mekanisme
kompensasi jantung karena penyakit jantung yang mendasarinya.Gejala utama adalah
sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat istirahat, fatigue, gejala dan tanda
keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung berdebar, dan roaring in the ears ).
Pada anemia yang lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang
mengancam jiwa (gagal jantung, angina, aritmia dan/ atau infark miokard). 5
Anemia yang disebabkan perdarahan akut berhubungan dengan komplikasi
berkurangnya volume intraseluler dan ekstraseluler. Keadaan ini menimbulkan gejala
mudah lelah,lassitude (tidak bertenaga), dan kram otot. Gejala dapat berlanjut menjadi
postural dizziness, letargi, sinkop; pada keadaan berat, dapat terjadi hipotensi
persisten, syok, dan kematian. 5

II.I.2 Penyebab
Terdapat dua pendekatan untuk menentukan penyebab anemia

6
1. Pendekatan kinetik
Pendekatan ini didasarkan pada mekanisme yang berperan dalam turunnya
Hb.5
2. Pendekatan morfologi

Pendekatan ini mengkategorikan anemia berdasarkan perubahan ukuran eritrosit


(Mean corpuscular volume/MCV) dan respons reti kulosit. 5
1. Pendekatan kinetic
Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen :
•Berkurangnya produksi sel darah merah
•Meningkatnya destruksi sel darah merah
•Kehilangan darah.
- Berkurangnya produksi sel darah merah
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah lebih rendah dari
destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah :
•Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh kekurangan diet,
malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau kehilangan darah (defi siensi Fe)
•Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia, mielodisplasia,
infl itrasi tumor)
•Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)
• Rendahnya trophic hormone untuk stimulasi produksi sel darah merah (eritro-
poietin pada gagal ginjal, hormon tiroid [hipotiroidisme] dan androgen
[hipogonadisme])
•Anemia penyakit kronis/anemia infl amasi, yaitu anemia dengan karakteristik
berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena berkurangnya absorpsi
Fe dari traktus gastrointestinal dan berkurangnya pelepasan Fe dari makrofag,
berkurangnya kadar eritropoietin (relatif ) dan sedikit berkurangnya masa hidup
erirosit.2

- Peningkatan destruksi sel darah merah

7
Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan karena berkurangnya
masa hidup sel darah merah (kurang dari 100 hari). Pada keadaan normal, umur
sel darah merah 110-120 hari. Anemia hemolitik terjadi bila sumsum tulang tidak
dapat mengatasi kebutuhan untuk menggganti lebih dari 5% sel darah
merah/hari yang berhubungan dengan masa hidup sel darah merah kira-kira 20
hari.5
Pendekatan morfologi
Penyebab anemia dapat diklasifi kasikan berdasarkan ukuran sel darah merah
pada apusan darah tepi dan parameter automatic cell counter . Sel darah merah normal
mempunyai volume 80-96 femtoliter (1 fL = 10-15liter) dengan diameter kira-kira 7-8
micron, sama dengan inti limfosit kecil. Sel darah merah yang berukuran lebih besar
dari inti limfosit kecil pada apus darah tepi disebut makrositik. 5
Sel darah merah yang berukuran lebih kecil dari inti limfosit kecil disebut
mikrositik. Automatic cell counter memperkirakan volume sel darah merah dengan
sampel jutaan sel darah merah dengan mengeluarkan angka mean corpuscular volume
(MCV ) dan angka dispersi mean tersebut. Angka dispersi tersebut merupakan koefi
sien variasi volume sel darah merah atau RBC distribution width (RDW ). RDW normal
berkisar antara 11,5-14,5%. Peningkatan RDW menunjukkan adanya variasi ukuran sel.
Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia diklasifi kasikan menjadi :5
Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia diklasifi kasikan menjadi:
- Anemia makrositik
Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV di atas 100 fL.
Anemia makrositik dapat disebabkan oleh: 5

1. Peningkatan retikulosit, Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal


retikulosit. Semua keadaan yang menyebabkan peningkatan retikulosit akan
memberikan gambaran peningkatan MCV.

2.Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah merah


(defisiensi folat atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam nukleat:
zidovudine, hidroksiurea)

3. Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia, leukemia akut).


8
4.Penggunaan alcohol ,penyakit hati hipotiroidisme.

- Anemia mikrositik

Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel darah merah yang
kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia mikrositik biasanya disertai penurunan
hemoglobin dalam eritrosit. Dengan penurunan MCH ( mean concentration hemoglobin)
dan MCV, akan didapatkan gambaran mikrositik hipokrom pada apusan darah tepi.
Penyebab anemia mikrositik hipokrom :a.Berkurangnya Fe: anemia defi siensi Fe,
anemia penyakit kronis/anemia infl amasi, defisiensi tembaga. b.Berkurangnya sintesis
heme: keracunan logam, anemia sideroblastik kongenital dan didapat. c. Berkurangnya
sintesis globin: talasemia dan hemoglobinopati. 5
- Anemia normositik
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-100 fL). Keadaan ini
dapat disebabkan oleh 1-3 :a. Anemia pada penyakit ginjal kronik. B, Sindrom anemia
kardiorenal: anemia, gagal jantung, dan penyakit ginjal kronik. C. Anemia hemolitik:
Anemia hemolitik karena kelainan intrinsik sel darah merah: Kelainan membran
(sferositosis herediter), kelainan enzim (defi siensi G6PD), kelainan hemoglobin
(penyakit sickle cell ). Anemia hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah merah:
imun, autoimun (obat, virus, berhubungan dengan kelainan limfoid, idiopatik), alloimun
(reaksi transfusi akut dan lambat, anemia hemolitik neonatal), mikroan giopati (purpura
trombositopenia trombotik, sindrom hemolitik uremik), infeksi (malaria), zat kimia dan
bisa ular .5
II.I.3 Gejala Umum anemia
Gejala anemia disebut juga sebagai sindrom anemia atau Anemia sindrome.
Gejala umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis
Anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun sedemikian rupa di bawah titik
tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi
tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan
menurut organ yang terkena adalah: 6
a)Sistem Kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas saat
beraktivitas, angina pektoris, dan gagal jantung.

9
b) Sistem Saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang -kunang,
kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta perasaan dingin pada ekstremitas.
c) Sistem Urogenital: g angguan haid dan libido menurun.
d) Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, serta rambut
tipis dan halus.
2)Gejala Khas Masing-masing anemia
Gejala khas yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia adalah sebagai
berikut:
a)Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis.
b) Anemia defisisensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)
c) Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali.
d)Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi. 6
3)Gejala Akibat Penyakit Dasar
Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia. Gejala ini timbul karena
penyakit-penyakit yang mendasari anemia tersebut. Misalnya anemia defisiensi besi
yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan gejala seperti
pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. anemia pada
akhirnya menyebabkan kelelahan, sesak nafas, kurang tenaga dan gejala lainnya.
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tidak dijumpai pada anemia jenis lain,
seperti : 6
a. Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil
lidah menghilang
b. Glositis : iritasi lidah
c. Keilosis : bibir pecah-pecah
d. Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti sendok. 6
II.I.4 Pemeriksaan fisik
Menujukkan adanya pucat tanpa tanda-tanda perdarahan (petekie, ekimosis,
atau hematoma) maupun hepatomegali. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar
hemoglobin yang rendah. Jumlah leukosit, hitung jenis, dan trombosit normal, kecuali
apabila disertai infeksi.7

10
II.I.5 Diagnosis Anemia

Anak anemia berkaitan dengan gangguan psikomotor, kognitif, prestasi sekolah


buruk,dan dapat terjadi hambatan pertumbuhan dan perkembangan. Anak usia kurang
dari 12 bulan dengan anemia terutama defi siensi besi kadar hemoglobinnya bias
normal, dengan nilai prediktif positif 10-40%.Oleh karena itu diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik teliti untuk mendeteksi dan menentukan penyebabnya sehingga
pemeriksaan laboratorium dapat seminimal mungkin. 2
Tubuh bayi baru lahir mengambil dan menyimpan kembali besi menyebabkan
hematokrit menurun selama beberapa bulan pertama kehidupan. Oleh karena itu, pada
bayi cukup bulan kekurangan zat besi dari asupan gizi jarang menyebabkan anemia
sampai setelah enam bulan. Pada bayi prematur, kekurangan zat besi dapat terjadi
setelah berat dua kali lipat berat lahir. Penyakit terkait kromosom X seperti defi siensi
glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), harus dipertimbangkan pada anak laki-laki.
Defisiensi piruvat kinase bersifat autosomal resesif dan berhubungan dengan anemia
hemolitik kronis. Pemeriksaan fisik penting dilakukan temuan yang menunjukan anemia
kronis termasuk pucat (biasanya tidak terlihat sampai tingkat hemoglobin kurang dari 7
g/dL), glositis, hepatosplenomegali, murmur, dan gagal jantung kongestif. Pada anemia
akut dapat ditemukan jaundice, takipnea, takikardi, dan hematuria.2,7,9,10 Anemia
didefi nisikan sebagai penurunan konsentrasi hemoglobin dan massa eritrosit, MCV
menjadi salah satu standar klasifikasi anemia menjadi mikrositik, normositik, dan
makrositik.2
Pemeriksaan darah perifer adalah prosedur tunggal paling berguna sebagai
evaluasi awal. Pertama-tama harus diperiksa distribusi dan pewarnaan sel. Tanda
sediaan yang tidak baik adalah hilangnya warna pucat di tengah eritrosit, bentuk
poligonal, dan sferosit artefak. Sferosit artefak, berlawanan dengan artefak asli, tidak
menampakkan variasi kepucatan di tengah sel dan lebih besar dari eritrosit yang
normal. Sediaan yang tidak baik tidak boleh diinterpretasikan.2 Setelah sediaan telah
dipastikan kelayakannya, diperiksa pada pembesaran 50x dan kemudian dengan
1000x. Sel-sel digradasikan berdasarkan ukuran, intensitas pewarnaan, variasi warna,
dan abnormalitas bentuk. Gangguan hemolysis eritrosit dapat diklasifi kasikan menurut
morfologi predominannya. Terdapatnya stippling basofi lik dan sel inklusi juga perlu

11
diperhatikan. Dua Langkah berikut adalah pengukuran jumlah retikulosit, bilirubin, tes
Coombs, jumlah leukosit, dan trombosit. Morfologi eritrosit pada apusan darah tepi
dapat menunjukkan etiologi anemia.9 Pengambilan dan analisis sumsum tulang dapat
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kelainan sumsum tulang yang berkaitan
dengan penyebab anemia pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan terakhir
seandainya penyebab anemia masih belum diketahui. 2

II.I.6 Penatalaksanaan

Anemia (yang tidak berat)

Anak (umur < 6 tahun) menderita anemia jika kadar Hb < 9,3 g/dl (kira-kira sama
dengan nilai Ht < 27%). Jika timbul anemia, atasi - kecuali jika anak menderita gizi
buruk beri pengobatan (di rumah) dengan zat besi (tablet besi/folat atau sirup setiap
hari) selama 14 hari. Jika anak sedang mendapatkan pengobatan sulfadoksin-
pirimetamin, jangan diberi zat besi yang mengandung folat sampai anak datang untuk
kunjungan ulang 2 minggu berikutnya. Folat dapat mengganggu kerja obat anti malaria.
untuk pemberian zat besi pada anak dengan gizi buruk. Minta orang tua anak untuk
datang lagi setelah 14 hari. Jika mungkin, pengobatan harus diberikan selama 2 bulan.
Dibutuhkan waktu 2 - 4 minggu Untuk menyembuhkan anemia dan 1-3 bulan setelah
kadar Hb kembali normal untuk mengembalikan persediaan besi tubuh. 7

- Jika anak berumur ≥ 2 tahun dan belum mendapatkan mebendazol dalam kurun
waktu 6 bulan, berikan satu dosis mebendazol (500 mg) untuk kemungkinan
adanya infeksi cacing cambuk atau cacing pita.
- Ajari ibu mengenai praktik pemberian makan yang baik. 7

Anemia Berat

Beri transfusi darah sesegera mungkin (lihat di bawah) untuk:

 semua anak dengan kadar Ht ≤ 12% atau Hb ≤ 4 g/dl


 anak dengan anemi tidak berat (haematokrit 13–18%; Hb 4–6 g/dl) dengan
beberapa tampilan klinis berikut:
o Dehidrasi yang terlihat secara klinis
o Syok
o Gangguan kesadaran
o Gagal jantung
o Pernapasan yang dalam dan berat
o Parasitemia malaria yang sangat tinggi (>10% sel merah berparasit).

12
 Jika komponen sel darah merah (PRC) tersedia, pemberian 10 ml/kgBB selama
3–4 jam lebih baik daripada pemberian darah utuh. Jika tidak tersedia, beri darah
utuh segar (20 ml/kgBB) dalam 3–4 jam.
 Periksa frekuensi napas dan denyut nadi anak setiap 15 menit. Jika salah satu di
antaranya mengalami peningkatan, lambatkan transfusi. Jika anak tampak
mengalami kelebihan cairan karena transfusi darah, berikan furosemid 1–2
mg/kgBB IV, hingga jumlah total maksimal 20 mg.
 Bila setelah transfusi, kadar Hb masih tetap sama dengan sebelumnya, ulangi
transfusi.
 Pada anak dengan gizi buruk, kelebihan cairan merupakan komplikasi yang
umum terjadi dan serius. Berikan komponen sel darah merah atau darah utuh,
10 ml/kgBB (bukan 20 ml/kgBB) hanya sekali dan jangan ulangi transfusi. 8

II.II Status Gizi pad Balita

II.II.1 Defenisi Gizi

Gizi merupakan hal penting dalam menentukan status gizi kesehatan seseorang.
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan prevalensi balita dengan status
gizi kurang mencapai 13,9 % dan status gizi buruk mencapai 5,7 %.1 Makanan yang
kurang bergizi dan variasi makanan yang buruk dapat menyebabkan kurangnya zat gizi
sehingga menimbulkan masalah kesehatan salah satunya adalah anemia.
Permasalahan gizi terjadi di setiap siklus kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan
(janin), bayi, anak, dewasa, dan usia lanjut. 9
Periode dua tahun pertama kehidupan merupakan masa kritis dan pada masa ini
terjadi pertumbuhan serta perkembangan yang sangat pesat. Dengan demikian, peran
penimbangan balita secara teratur untuk dapat diikuti pertumbuhan berat badannya
menjadi penting. Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat
dan faktor penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktorial, untuk itu pendekatan
dan penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor yang terkait. 9

II.II.2 Pembagian Status Gizi


Di Indonesia sampai kini masih terdapat empat masalah gizi utama yang harus
ditangulangi dengan program perbaikan gizi, yaitu: 9
1) masalah kurang energi protein (KEP)
2) masalah kurang vitamin A
3) masalah anemia zat gizi
13
4) masalah gangguan akibat kekurangan yodium.

II.II.3 Etiologi
Dilihat dari etiologinya, status gizi penduduk dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang kompleks, seperti: sosial, ekonomi, budaya, kesehatan, lingkungan alam, maupun
penduduk yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Terjadinya krisis ekonomi, telah
terjadi peningkatan kasus gizi kurang, dan bahkan kasus gizi buruk di Indonesia yang
sebenarnya dapat ditanggulangi sejak dini dengan pemantauan secara rutin setiap
bulannya. 9
Kurang Energi Protein (KEP) sampai saat ini masih merupakan salah satu
masalah gizi utama di Indonesia. Kurang Energi Protein (KEP) sendiri dikelompokkan
menjadi dua yaitu gizi kurang (bila berat badan menurut umur di bawah 2 SD), dan gizi
buruk (bila berat badan menurut umur di bawah 3 SD). Pada tahun 2003, diperkirakan
27,5% balita mengalami gangguan gizi kurang, 8,5% di antaranya mengalami gizi
buruk. Pada tahun 1996, WHO menyatakan bahwa prevalensi KEP di Indonesia
termasuk tinggi Gizi kurang pada balita tidak terjadi secara tibatiba, tetapi diawali
dengan kenaikan berat badan anak yang tidak cukup. Perubahan berat badan anak dari
waktu ke waktu merupakan petunjuk awal tentang perubahan status gizi anak. 9

II.II.4 Diagnosis
- Anamnesis
Keluhan yang sering ditimbulkan adalah pertumbuhan yang kurang, anak kurus
atau berat badannya kurang. Selain itu ada keluhan anak kurang/tidak mau
makan sering menderita sakit yang berulang atau timbulnya bengkak pada
kedua kaki, kadang sampai seluruh tubuh. 9
- Pemeriksaan Fisis
MEP Ringan
Sering ditemukan gangguan pertumbuhan:
o Anak tampak kurus
o Pertumbuhan linier berkurang atau berhenti
o Berat badan tidak bertambah, ada kalanya bakal turun

14
o Ukuran lingkar lengan atas lebih kecil dari normal
o Maturasi tulang terlambat
o Rasio berat badan terhadap tinggi badan normal/menurun
o Tebal lipatan kulit normal/ menurun
o Anemia ringan
o Aktivitas dan perhatian berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat
MEP Berat
- Kwaishorkor
o Perubahan mental sampai apatis
o Anemia
o Perubahan warna dan tekstur dan rambut, mudah di cabut/ rontok
o Gangguan system gastrointestinal
o Pembesaran hati
o Perubahan kulit
o Atrofi otot
o Edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh
- Marasmus
o Penampilan wajah seperti orangtua, terlihat sangat kurus
o Perubahan mental, cengeng
o Kulit kering dan menggendor, keriput
o Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang
o Otot atrofi sehingga kontur tulang terlihat jelas
o Kadang-kadang terdapat bradikardi
o Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya 9
- Marasmus-Kwahiorkor:
o Terdapat gejala dan tanda marasmus dan kwashiorkor secara
bersamaan9
Kriteria diagnosis
1. Terlihat sangat kurus
2. Edema nutrisional, simetris
15
3. BB/TB<-3SD
4. Lingkar lengan atas <11.5 cm

II.II.5 Pemeriksaan Penunjang


- Kadar gula darah, darah tepi lengkap, urin lengkap, feses lengkap, elektrolit
serum, protein serum,(albumin, globulin), ferritin
- Tes mantoux
- Radiologi(dada, ap, dan lateral)
- EKG9
Tata Laksana
MEP berat ditata laksana melalui 3 fase(stabilisasi, transisi dan rehabilitasi) dengan 10
langkah tindakan:
II.II.6 Medikamentosa
- Pengobatan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
- Rehidrasi secara oral dan resomal, secara parentral hanya pada dehidrasi berat
atau syok
- Atasi/ cegah hipoglikemia
- Atasi/gangguan elektrolit
- Atasi/ cegah Hipotermi
- Antibiotika:
 Bila tidak jelas ada infeksi, berikan cotrimoksasol selama 5 hari
 Bila infeksi nyata: ampisilin IV selama 2 hari, dilanjutkan dengan
oral smapi 7 hari ditambah dengan gentamisin IM selama 7 hari.
- Atasi penyakit penyerta yang sesuai pedoman
- Vitamin A(dosis sesuai usia, yaitu <6 bulan: 50.000SI, 6-12 bulan:100.000SI,
>1tahun:200.000SI) pada awal hari perawatan dan hari ke 15 atau sebelum
pulang
- Multivitamin-mineral, khusus asam folt hari pertama 5 mg selanjutnya 1mg per
hari
Suportif/ Dietetik
- Oral(enteral)

16
Gizi kurang kebutuhan energi dihitung sesuai RDA untuk umur TB(height-age)
dikalikan berat badan ideal
Gizi buruk
- Intravena(parenteral): hanya atas indikasi yang tepat
Pemantauan
Kriteria sembuh
- BB/TB>-2sd
Edukasi
Memberikan pengetahuan pada orang tua tentang:
1. Pengetahuan gizi
2. Melatih ketaan dan pemberian diet
3. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
Langkah Promotif/Preventif
Malnutrisi energy protein merupakan masalah gizi yang multifactorial. Tindakan
pencehana bertujuan untukmenurangi insidens dan menurunkan angka
kejadiankematian. Oleh karena itu ada beberapa factor yang menjadi penyebab
timbulnya masalah tersebut. Maka untuk mencegahnya dilakukan beberapa langkah,
antara lain:
- Pola makan
Penyuluhan pada masyarakat mengenai gizi seimbang ( perbandingan Jumlah
karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral berdasarkan umur dan berat
bdan)
- Pemantauan tumbuh kembang dan pemantauan status gizi secara berkala
sebulan sekali pada tahun pertama
- Factor social
Mencari kemungkinan adnya pantangan untuk menggunakan bahan makanan
tertentu yang sudah beralngsung secara turun temurun dan menyebabkan
terjadinya MEP
- Factor Ekonomi
Dala world food Conference di Roma pada tahun 1974 telah dikemukan bahwa
meningkatnya jumlah pendudk merupakan akibat lanjutannya.

17
- Factor Infeksi10

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

18
Desain penelitian ini merupakan penelitian observasional deksriptif dengan
pendekatan Cross sectional study
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi : Puskesmas Wasior
Waktu : Desember 2018-januari 2019
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh balita yang berobat usia 1-5 tahun di
Puskesmas Wasior kab. Teluk Wondama
3.3.2 Sampel
Jumlah sampel adalah 100 anak balita usia 1-5 tahun yang berobat di
Puskesmas Wasior
3.3.3 Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel secara systemic sampling, sampel memenuhi
kriteria sebagai berikut
Kriteria Sampel
Kriteria Inklusi
 Balita yang umurnya diketahui dengan pasti sesuai dengan
regitrasi diPuskesmas
 Balita yang berumur 1-5 tahun
 Balita yang hadir saat penelitian
Kriteria Ekslusi
 Orangtua balita yang menolak penelitian
 Balita yang tidak kooperatif.
3.4 Defenisi operational dan Variable Penelitian
3.4.1 defenisi Operational
1. anemia adalah suatu kadar hemoglobin pada balita kurang dari
12g/dl berdasarkan kriteria
2. kadar Hb adalah jumlah g/dl yang diukur dengan metode
cyanmethemoglobin, menggunakan alat easy touch Hb
3. balita laki-laki dan perempuan usia 1-5 tahun yang berobat di
puskesmas wasior

3.4.2 Variable Penelitian


Variable yang diteliti adalah kadar hemoglobin pada balita
3.5 Instrumen Penelitian
1. Kapas alcohol, lancet, pipet untuk menghisap darah.
2. Alat pengukur kadar hemoglobin: blood hemoglobin easy touch

3.6 Managemen Data


3.6.1 Pengumpulan Data
-Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder, meliputi:
-Data umur, jenis kelamin, pekerjaan orangtua
-Data kadar hemoglobin balita usia 1- 5 tahun
-Data status gizi balita

19
3.6.2 Cara pengumpulan Data
1. Data Primer
Data kadar Hemoglobin
Seluruh sampel pada 100 orang balita usia 1-5 tahun diambil darahnya
oleh seorang petugas laboratorium.
Prosedur pengukuran kadar hemoglobin sebagai berikut:
1. Siapkan kapas alcohol dan stik hemoglobin easy touch
2. Bersihkan tangan yang akan ditusuk
3. Tusuk menggunakan lancet
4. Dekatkan jari yang ditusuk pada stik hb
2. Data Sekunder
Data balita usia 1-5 tahun
Pengumpulan data balita usia 1-5 tahun yaitu data umur, jenis kelamin,
pekerjaan orang tua, dan diagnose didapatkan dari identitas di status
pasien yang berobat.

3.7 Pengolahan Data


Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi dan manual
kadar Hb adalah jumlah g/dl yang diukur dengan metode cyanmethemoglobin,
menggunakan alat easy touch Hb dengan presentasi kadar normal Hb:
1. Usia 1-2 tahun 10,5-13,5 gr/dl
2. Usia 3-6 tahun 12-14 gr/dl
Data kadar hemoglobin yang didapat kemudian ditabulasi untuk mendapatkan
informasi mengenai rata-rata kadar hemoglobin menurut umur, kadar
hemoglobin menurut jenis kelamin dan untuk memperoleh prevalensi anemia
pada balita usia 1-5 tahun.

3.8 Penyajian Data


Penyajian data yang diolah dan dianalisis disajikan dalam bentuk narasi dan
dalam bentuk table distributive frekuensi

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

20
IV.1.1 Hasil
Dari pemeriksaan 100 balita usia 1-5 tahun untuk menggambarkan karakteristik
variabel yang diteliti Hasil analisis univariat menggunakan uji statistik frekuensi dan
histogram menurut jenis datanya. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Berdasarkan output di atas diketahui bahwa dari 100 responden terdapat 52 responden
(52%) laki-laki dan 48 responden (48%) perempuan.(tabel 1.1)

Berdasarkan output di atas diketahui bahwa dari 100 responden terdapat 84


responden (84%) dengan gizi baik, 12 responden (12%) dengan gizi kurang, 2
responden (2%) dengan gizi lebih dan 2 responden (2%) dengan gizi buruk. (tabel 1.2).

Berdasarkan output di atas diketahui bahwa dari 100 responden terdapat 79


responden (79%) dengan tinggi badan normal, 15 responden (15%) dengan tinggi
badan tergolong pendek, 1 responden (1%) dengan tinggi badan tergolong sangat
pendek dan 5 responden (5%) dengan tinggi badan tergolong tinggi.(tabel 1.3).

Berdasarkan output di atas diketahui bahwa dari 100 responden terdapat 13


responden (13%) berusia 1 tahun, 37 responden (37%) berusia 2 tahun, 14 responden
(14%) berusia 3 tahun, 18 responden (18%) berusia 4 tahun dan 18 responden (18%)
berusia 5 tahun.(tabel 1.4)

Berdasarkan output di atas diketahui bahwa dari 100 responden terdapat 11


respomden (11%) dengan berat badan tegrolong kurus, 6 responden (65) dengan berat
badan tergolong sangat kurus dan 83 responden (83%) dengan berat badan
normal(tabel 1.5)

Berdasarkan output di atas diketahui bahwa dari 100 responden terdapat 35


responden (35%) mengalami anemia dan 65 responden (65%) tidak anemia.(tabel 1.6)

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara jenis
kelamin, tinggi badan, berat badan, usia dan gizi dengan anemia. Analisis ini
mengunakan uji chi-square untuk jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, usia dan gizi
dengan anemia Kedua variabel dapat dikatakan memliki korelasi jika memilki nilai
probabilitas < 0,05. Hasil uji chi-square dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Berdasarkan output di atas diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.111 > 0.05
sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara
jenis kelamin dengan kejadian anemia(tabel 2.1)

Berdasarkan output di atas diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.678 > 0.05
sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara
gizi dengan kejadian anemia.(tabel 2.2)
21
Berdasarkan output di atas diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.248 > 0.05
sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara
berat badan dengan kejadian anemia.(tabel 2.3)

Berdasarkan output di atas diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.764> 0.05


sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara
tinggi badan dengan kejadian anemia(tabel 2.4)

Berdasarkan output di atas diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.029 < 0.05
sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif signifikan usia
dengan kejadian anemia.(tabel 2.5)

Pembahasan
Subjek peneltian ini yaitu balita usia 1-5 tahun di Puskesmas Wasior periode
desember 2018 sampai januari 2019. Pengambilan data diambil secara langsung pada
anak-anak yang hadir saat penelitian yang berjumlah 100 orang.
Pada penelitian ini sebagian besar subjek 52% laki-laki dan 48% perempuan. Dan
didapatkan hubungan antara usia dan angka kejadian anemia dengan presentase 35%
anemia dan 65% tidak anemia. Berdasarkan output di atas diperoleh nilai signifikansi
sebesar 0.029 < 0.05 sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan
positif signifikan usia dengan kejadian anemia.(tabel 2.5)

Namun tidak ditemukan hubungan antara jenis kelamin dan angka kejadian
anemia. Berdasarkan output di atas diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.111 > 0.05
sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara
jenis kelamin dengan kejadian anemia(tabel 2.1)
Banyak faktor bisa menyebabkan terjadinya anemia pada usia balita diantaranya
asupan gizi, pola pengasuhan orangtua, keadaan ekonomi orangtua, dan penyakit-
penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya anemia.
Seperti halnya status gizi seseorang. Dalam beberapa penelitian ditemukan
adanya hubungan status gizi yang kurang ataupun buruk dengan anemia. Berdasarkan
output di atas diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.678 > 0.05 sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara gizi dengan kejadian
anemia.(tabel 2.2)

Gizi memiliki pengaruh terhadap terjadinya anemia, hal ini juga dikarenakan
penyebab anemia salah satunya adalah berkaitan dengan gizi buruk. Banyak vitamin
dan mineral yang dibutuhkan untuk membuat sel-sel darah merah. Selain zat besi,
vitamin B12 dan folat diperlukan untuk produksi hemoglobin yang tepat. Kekurangan
salah satu dapat menyebabkan anemia karena kurangnya produksi sel darah merah.
Asupan makanan yang buruk merupakanpenyebab penting rendahnya kadar asam folat
dan vitamin B12. Diet vegetarian ketat yang tidak mengkonsumsi vitamin yang cukup
akan beresiko untuk berkembangnya defisiensi vitamin B12.

22
Anak dengan status gizi yang tinggi maka kejadian anemia rendah, bila status gizi
kurang maka kejadian anemia tinggi. Anemia ini dipengaruhi oleh pengetahuan, status
ekonomi, penyakit infeksi, kehilangan darah (menstruasi).
Gizi baik akan dapat dicapai dengan memberikan makanan yang seimbang bagi
tubuh menurut kebutuhan dan gizi kurang menggambarkan ketidak seimbangan
makanan yang dimakan dengan kebutuhan tubuh manusia. Ekonomi rendah cendrung
mengalami gizi kurang hal tersebut akan berpengaruh pada kemampuan untuk
konsumsi makanan dan zat gizi sehingga keadaan tersebut memungkinkan untuk
terjadinya anemia pada balita. Pada keadaan sakit asupan gizi tidak boleh dilupakan,
balita dianjurkan mengkonsumsi tablet mengandung zat besi atau makanan yang
mengandung zat besi seperti hati ayam, sayur-sayuran berwarna hijau dan sebagainya.
Demi kesuksesan gizi remaja harus mendapatkan tambahan protein, mineral, vitamin
dan energi. Setiap aktivitas memerlukan energi maka semakin banyak aktivitas yang
dilakukan maka semakin banyak energi yang dibutuhkan. Makanan yang dikonsumsi
oleh balita harus memiliki jumlah kalori dan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan
seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air sehingga status gizinya
dapat tercukupi dan tidak mengalami anemia.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat ditarik sebuah simpulan bahwa anemia sering terjadi
pada balita usia 1-5 tahun di Puskesmas Wasior dengan presentase 35 % anemia dan
65% tidak anemia. Namun tidak ditemukan hubungan antara status gizi dan angka
kejadian anemia.

23
V.2 Saran
1. Dalam mengukur hb sebaiknya menggunakan alat yang bukan memakai
metode easy touch
2. Dalam penelitian selanjutnya diharapkan lebih mendetail mencari hubungan
angka kejadian anemia disebabkan oleh faktor apa terutama status gizi lebih
di gali lagi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lestari Putri Istya, Liopoto Indrawati Nur, Almunid. 2017. Hubungan Konsumsi
Zat besi dengan kejadian anemia pada murid SMP 27 Padang.{Internet}.
Tersedia di: http//JurnalFKUnpad.AC.Id/indexphp/.
2. Irawan Hendry.2013. Pendekatan Diagnosis Anemia Pada Anak. {Internet}.
Tersedia di: http//www.researchgate.net//HenryIrawan.

24
3. Zulekasanti Siti, Purwanto Setiyo, Hidayanti Listayani. 2014. Anemia Terhadap
pertumbuhan anak malnutrisi. {Internet}. Ersedia di:
http//journalunncci.ac.id/indexphp.
4. Ppm idai
5. Ohadian Amelia.2002. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. {Internet}.
Tersedia di: http//www.academia.edu/…/04194.
6. Hardiyanti.2016.Anemia. {Internet}.tersedia di: http//www.digilibunum.ac.id.
7. Laila.2017. anemia defesiensi Besi. {Internet}. Tersedia di:
http//respiratory.umy.ac.id/bitstreamnudle.
8. Duke Trevor, Kelly Julian, Webar martin.2006.Tatalaksana Anemia. Journal Of
Tropical Pediatric. Volume 52
9. Ppm idai
10. Istiono Wahyudi, Suryadi Heni, Haris Muhamaad, 2009. Analisis Faktor-faktor
Yang mempengaruhi status GIzi. Journal Berita Kesehatan Masyarakat. Volume
25. Hal 150-155

25

Anda mungkin juga menyukai