Anda di halaman 1dari 9

Review Jurnal Zoonosis

RABIES DI PULAU JAWA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

MUTMAINNAH O11113002
NURMAULIAH S O11114001
MUTHIA MILASARI O11114010
A FIDIAH FASIRAH JAFAR O11114004
ANGGUN WIDJA ARLIN O11114005
UMMI FAHMI O11114017
WINDU SARI ASIH SL O11114018
NUR FAATIMAH AZZAHRAH O11114506

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan menular yang
disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus (dari bahasa Yunani Lyssa yang berati
mengamuk atau kemarahan), bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat,
hewan berdarah panas dan manusia. Rabies berasal dari bahasa latin “robere” yang
berarti marah, menurut bahasa Sansekerta “rabhas” yang berarti kekerasan
(PUSDATIN, 2016).
Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh virus rabies, dan ditularkan melalui gigitan Hewan Penular Rabies
(HPR) terutama anjing. Virus ini terlacak dalam otak anjing yang terinfeksi dengan
bantuan antibody monoklonal. Pada hewan penderita rabies, virus terdapat di
susunan syaraf pusat dan ditemukan dengan jumlah yang banyak pada liurnya. Virus
ditularkan ke hewan lain atau ke manusia melalui luka gigitan hewan penderita
rabies dan luka yang terkena air liur hewan atau manusia penderita rabies. Rabies
menyebabkan kematian pada manusia dengan Case Fatality Rate (CFR) dapat
mencapai 100% (Sopi dan Fridolina, 2015).
Di Indonesia rabies pertama kali dilaporkan secara resmi oleh Esser di Jawa
Barat pada tahun 1884 pada seekor kerbau. Kemudian oleh Penning pada anjing
pada tahun 1889 dan oleh E.V. de Haan pada manusia tahun 1894 pada manusia
tahun 1894. Penyebaran rabies di Indonesia bermula dari 3 provensi yaitu Jawa
Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan sebelum Perang Dunia ke-2 meletus.
Sampai dengan tahun 2015, rabies tersebar di 25 provinsi dengan jumlah kasus
gigitan yang cukup tinggi (PUSDATIN, 2016).
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. LATAR BELAKANG


Rabies adalah suatu penyakit lnfeksi yang akut pada mammalia, terutama
pada kelompok karnivoral, yang disebabkan oleh virus neurotropik dengan gejala
rangsangan susunan saraf pusat diikuti kelumpuhan dan kematian. Berdasarkan
kejadian penyakit rabies yang terjadi di Indonesia, maka dilakukan perbandingan
terhadap 3 jurnal yang membahas tentang rabies yang ada di Indonesia khusunya di
pulau jawa.
Dalam Maroef (1989) membahas tentang sumber penularan penyakit
rabies melalui gigitan anjing, yang dilatarbelakangi menurut laporan Direktorat
Jenderal PPM & PLP, pada tahun 1985 ditemukan 1.069 hewan terjangkit rabies
pada 17 provinsi di Indonesia4, di antaranya di Jawa Barat. Di DKI Jakarta tidak
dilaporkan adanya rabies tetapi ia termasuk daerah endemis. Dalam rangka
memberikan masukan informasi untuk program penanggulangan rabies di Indonesia,
maka dilakukan observasi tentang kepadatan populasi anjing di DKI Jakarta dan
Jawa Barat pada tahun 1986 yang dibiayai oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal PPM & PLP.
Sari, dkk (2014) dalam penelitiannya membahas tentang penyakit rabies
yang penularannya melalui salah satu jenis kelelawar pemakan buah “Rousettus sp.”
(Codot) yang ada di Indonesia. Keanekaragaman jenis kelelawar yang sangat besar
membuka kemungkinan untuk dilakukannya berbagai macam penelitian.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui struktur anatomi otak codot secara makroskopik sehingga diharapkan
dapat memberi informasi dasar mengenai anatomi otak codot.
Toews, dkk (1990) menyajikan penelitian yang membahas tentang
epidemik dari rabies pada anjing di pulau jawa Indonesia. Berdasarkan latar
belakang pada bulan September tahun 1985 timbul kekhawatiran besar ketika kasus
anjing menggigit manusia tanpa diduga dan tanpa provokasi, dilaporkan dari
Kabupaten Wonogiri di Jawa Tengah. Beberapa anjing ini terbunuh dan otaknya
diserahkan ke Pusat Investigasi Penyakit Yogyakarta (untuk histopatologi) dan ke
laboratorium Bio Farina di Bandung (untuk pengujian fluorescent antibodi) (FAT)
dengan dugaan diagnosis rabies. Diagnosis ini dikonfirmasi. Laboratorium di
Yogyakarta juga mengkonfirmasi rabies, dengan histopatologi, pada satu orang yang
meninggal setelah digigit. Karena tidak ada kasus rabies terlihat di daerah ini
setidaknya selama 10 tahun jumlah kasus terlihat jelas melebihi harapan normal dan
epidemi diumumkan sedang dalam proses.

2.2. MATERI DAN METODE


Pada ketiga jurnal ini menggunakan metode yang berbeda dalam
pengujiannya yakni: pada jurnal pertama dari penelitian Salma Maroef pada tahun
1989 dalam melihat kaitan populasi dalam kecenderungan penularan rabies
menggunakan masing-masing 400 sampling yang diambil secara acak dari keempat Dati
II yang telah ditentukan, yang selanjutnya dilakukan pendataan dengan menggunakan
kuesioner.
Pada jurnal yang kedua yang dilakukan oleh Karina Mayang Sari dan
kawan-kawan pada tahun 2014 mengenai pengujian otak codot sebagai satwa liar
reservoir rabies menggunakan metode experimen laboratorik, yakni dengan
menggunakan otak codot yang diambil dari lima ekor codot dengan berat berkisar
antara 30 – 66 gram diambil dari daerah Kebumen, Jawa Tengah. Otak yang telah
dikeluarkan dari tengkorak kemudian dimasukkan ke dalam larutan fiksatif. Analisis
otak dilakukan secara makroskopik dan membandingkan otak codot tersebut dengan
otak kalong, anjing serta kucing. Dokumentasi dilakukan dengan pemotretan
menggunakan kamera SLR pada bagian dorsal, lateral, ventral dan sagital. Setelah
itu dilanjutkan dengan pembuatan gambar skematis otak menggunakan program
Correl Draw X6.
Jurnal yang terakhir yang merupakan hasil penelitian D. Waltner-Toews
dan kawan-kawan pada tahun 1990 mengenai An Epidemic of Canine Rabies in
Central Java, Indonesia menggunakan metode survei untuk pengumpulan data.
Anggota Pusat Investigasi Penyakit Yogyakarta di Jawa Tengah mengunjungi kantor
Dinas Peternakan Provinsi di Pusat Jawa, Kabupaten Yogyakarta, Jawa Barat,
Kabupaten Jakarta dan Jawa Timur. Data dikumpulkan pada hewan yang diduga rabies.
Untuk mengumpulkan data secara lebih rinci, dalam deskripsi epidemi peneliti fokus di
Jawa Tengah. Namun, dalam beberapa hal informasi dari Jawa Barat adalah instruktif
bila digunakan sebagai pembanding. Investigasi hanya mempertimbangkan kasus rabies
pada hewan yang dikonfirmasi melalui histopatologi dan uji FAT.

2.3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Jurnal pertama membahas tentang kepadatan populasi anjing sebagai
penular rabies di DKI Jakarta, Bekasi, dan Karawang dengan menggunakan metode
survai sehingga diperoleh data bahwa keluarga di daerah perkotaan memiliki hewan
kesayangan lebih banyak (46,6%) dibandingkan dengan keluarga yang tinggal di
daerah pedesaan, (36,9%). Lebih dari dua per tiga dari keluarga yang memiliki
hewan kesayangan di pedesaan (77,676) dan perkotaan (75,2%) memilih anjing
sebagai hewan kesayangannya. Dari survai ini terlihat bahwa anjing merupakan
pilihan pertama sebagai hewan kesayangan. Hal ini disebabkan anjing dapat
membantu pemiliknya untuk pengamanan dan dalam perburuan. Oleh sebab itu
anjing sangat dibutuhkan oleh keluarga di daerah pedesaan. Sehubungan dengan data
dari penelitian lain yang membandingkan potensi penularan dari berbagai macam
hewan yang menunjukkan bahwa anjing merupakan hewan berpotensi tinggi sebagai
penular rabies, maka dapat disimpulkan bahwa tingginya populasi anjing pada
penelitian ini merupakan sumber penularan rabies yang potensial dimasa mendatang.
Oleh sebab itu kegiatan pemeliharaan yang baik dan pemberian imunisasi khususnya
pemberian vaksin anti rabies terhadap anjing, perlu diperhatikan agar penularan
rabies pada penduduk khususnya pemilik anjing tersebut dapat dicegah. Bila dilihat
kepadatan anjing per keluarga yang dicakup, dalam survai ini, maka pada setiap 10
keluarga terdapat 4 sampai 5 ekor anjing dan rata-rata setiap keluarga pemilik anjing
mempunyai lebih dari satu ekor anjing. Perbedaan kepadatan populasi anjing ini
untuk daerah pedesaan dan daerah perkotaan terlihat bermakna p = 0,001.Tidak
adanya kasus rabies di daerah perkotaan DKI Jakarta disebabkan karena mungkin
kesadaran masyarakat untuk mengvaksinasi,anjingnya dan memeliharanya dengan
baik.
Jurnal keduaa membahas tentang studi anatomi otak codot (rousettus sp)
sebagai satwa liar reservoir alami penyakit rabies dengan menganalisis otak codot.
Penelitian ini menggunakan otak codot yang diperoleh dari daerah Kebumen, Jawa
Tengah. Secara umum, otak codot memiliki kesamaan dengan otak anjing. Terdapat
tiga bagian otak yaitu serebrum, serebelum dan batang otak. Kesamaan dengan
anjing sebagai hewan yang rentan terharap virus rabies dapat menjadikan potensi
codot sebagai hewan reservoir alami virus rabies. Perbedaan yang terlihat adalah
pada sulkus dan girus pada serebrum dan lobus paraflokulus. Perbedaan secara
makroskopik adalah adanya bentukan sulkus dan girus serebrum pada otak codot
tidak sebanyak pada anjing. Sulkus pada otak codot hanya sebatas garis saja. Codot
memiliki girus dan sulkus marginal yang terletak di lateral dari fisurra longitudinal,
girus dan sulkus suprasilvian, girus dan sulkus ektosilvian serta sulkus rhinal.
Kedalaman sulkus pada codot dan anjing juga memiliki perbedaan. Pada codot
sulkus hanyalah seperti garis, sedangkan pada anjing memiliki kedalaman yang lebih
dalam dibanding codot dan kalong. Pada anjing bentukan sulkus dan girus sangat
kompleks dan memiliki lekukan yang sangat dalam. Pada codot bentukan sulkus dan
girus tidak sekompleks pada anjing. Anjing memiliki sulkus dan girus anterior dan
posterior sulkus rhinal, sulkus dan girus marginal baik ektomarginal, postmarginal,
maupun marginal. Pada otak lateral anjing memiliki sulkus ektosilvian, suprasilvian
baik anterior, posterior maupun medial. Otak codot terbagi atas serebrum, serebelum
dan batang otak. Secara umum otak codot memiliki struktur yang sama dengan
hewan rentan rabies (anjing) sehingga codot diduga potensial sebagai reservoir
rabies. Sulkus dan girus pada serebrum otak codot kurang berkembang dibandingkan
dengan anjing yang menunjukkan tingkat kecerdasan dari hewan tersebut Lobus
Paraflokulus pada otak codot kurangberkembang dibandingkan dengan anjing.
Jurnal ketiga membahas tentang epidemi anjing rabies di jawa tengah,
dengan kasus yang terjadi di ujung barat dari provinsi Jawa Tengah mungkin berasal
dari daerah endemik yang berdekatan di Jawa Barat, meskipun kami tidak memiliki
data yang cukup lengkap untuk menetapkan ini dengan pasti. Anak-anak usia
sekolah, terutama anak laki-laki, memiliki risiko paling besar menjadi korban karena
mereka memiliki waktu dan keinginan untuk bermain atau menggoda anjing.
Beberapa laporan sebelumnya menunjukkan bahwa seekor anjing bisa menjadi
rabies tanpa menunjukkan tanda klinis yang jelas, atau mungkin mengalami
beberapa tanda klinis dan kemudian pulih. Anjing yang dilaporkan dalam penelitian
ini, dibunuh setelah 14 hari di karantina dan positif untuk rabies berbasis pada
histologi FAT. Meski begitu, kasus seperti itu, kalau begitu memang bonafide,
sangat langka dan tidak akan mempengaruhi keseluruhan program epidemi. Tidak
dapat ditemtukan dalam penelitian ini mengapa pihak berwenang akhirnya
memutuskan untuk membunuh anjing tersebut. Di sebagian besar wilayah Indonesia,
rabies di perkotaan di Indonesia memiliki tipe sylvatic, yaitu anjing adalah hewan
utama yang terlibat dalam transmisi infeksi pada manusia dan hewan lainnya. Hal ini
sesuai dengan apa yang dilihat negara tropis di seluruh dunia. Penghapusan rabies
dari Jawa akan menurunkan secara drastis penularan rabies ini. Hasil penelitian ini
menekankan bahwa meskipun epidemi mungkin terjadi, risiko seseorang terkena
mungkin ada akan tetapi tidak begitu menimbulkan kepanikan. Untuk anjing,
risikonya dari kontrak rabies di kabupaten yang paling parah terkena dampak
diperkirakan menjadi sekitar 1: 1000. Bagi manusia, risikonya antara saya dan 4: 106
untuk paparan anjing rabies. Di Jawa Tengah dan Jawa Barat, anjing domestik jauh
lebih banyak daripada anjing liar. Namun, di Jawa Barat, sudah lama ada program
vaksinasi Anjing domestik karena rabies diketahui endemik. Makanya, sebagian
besar yang dikonfirmasi Kasus rabies terjadi pada anjing liar. Kebalikannya adalah
Jawa Tengah, tidak ada program vaksinasi rabies dan sebagian besar kasus yang
dikonfirmasi terjadi pada anjing domestik. Mengingat jumlah sebenarnya dari anjing
liar yang terlibat dalam epidemi, vaksinasi Anjing domestik dengan vaksin yang
cukup ampuh bisa jadi cukup memadai tindakan untuk mengendalikan epidemi.
Tingkat rabies yang sangat rendah di Jawa, kekurangan reservoir sylvatic dan
keterlibatan anjing sebagai sumber utama membuat penghapusan rabies, pertama
dari zona epidemi dan kemudian dari seluruh Jawa, tujuan yang realistis. Hambatan
dari vaksinasi berkaitan dengan keuangan (kekurangan uang untuk membeli atau
menghasilkan vaksin berkualitas tinggi).
BAB III
KESIMPULAN

Ketiga jurnal tersebut sama-sama membahas tentang penyakit rabies


akan tetapi jurnal kedua membahas tentang pengamatan otak codot sebagai hewan
liar reservoir rabies sedangkan pada jurnal pertama dan ketiga membahas penyakit
rabies di Anjing dengan wilayah yang berbeda dan tujuan penelitian yang berbeda
pula. Pada jurnal pertama menjelaskan tentang penyakit rabies pada anjing
kesayangan di daerah DKI Jakarta,Bekasi dan Karawang, daerah tersebut
mempunyai masyarakat yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang vaksinasi
rabies sehingga anjing kesayangan masyarakat dapat hidup sehat tanpa rabies
sedangkan pada jurnal ketiga membahas tentang daerah endemik rabies di Jawa
Tengah disebabkan oleh masyarakat yang masih sedikit pengetahuan tentang
vaksinasi rabies dan juga karena faktor keuangan sehingga tidak dilakukan vaksinasi
rabies maka dari itu ditakutkan daerah tersebut terdapat banyak korban dari penyakit
ini.
Pada ketiga jurnal ini walaupun menggunakan materi ataupun metode
penelitian yang berbeda, namun tujuan penelitiannya sama-sama menguji kemungkinan
kejadian rabies pada spesies disuatu daerah.
DAFTAR PUSTAKA

Maroef, Salma. 1989. Kepadatan Populasi Anjing Sebagai Penular Rabies Di DKI
Jakarta, Bekasi Dan Karawang 1986. Bun Penelitian Kesehat 17 (1)
1989.

PUSDATIN. 2016. Jangan Ada Lagi Kematian Akibat Rabies. Pusat Data Dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI. Jakarta.

Sari, Karina Mayang, Siti Khomariyah, Nur Arofah, Sabrina Wahyu Wardhani Dan
Tri Wahyu Pangestiningsih. 2014. Studi Anatomi Otak Codot (Rousettus
sp) Sebagai Satwa Liar Reservoir Alami Penyakit Rabies. Jurnal Sains
Veteriner 32 (2), Desember 2014.

Sopi, Ira Indriaty P.B dan Fridolina Mau. 2015. Gambaran Rabies Di Kabupaten
Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2006-2014. BALABA Vol.
11 No.01, Juni 2015: 43-50.

Toews, D Waltner, A Maryono, B. T. Akoso, S. Wisynu Dan D.H.A. Unhur. 1990.


An Epidemic Of Canine Rabies In Central Java, Indonesia. Preventive
Veterinary Medicine, 8 (1990) 295-303.

Anda mungkin juga menyukai