Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PEMERIKSAAN FUNGSI KOGNITIF DAN

INTRAPERSONAL DAN PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIK


DAN SOMATO SENSORIK
MATA KULIAH FISIOTERAPI GERIATRIK

DISUSUN OLEH:
GABRIELA FEBRIADUM RANDA
PO714241181017
D.IV A TK.III

PRODI D.IV FISIOTERAPI


POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hikmat dan karunia-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan makalah mengenai Pemeriksaan Fungsi Kognitif dan
Intrapersonal dan Pemeriksaan fungsi sensorik dan somatosensorik ini dengan tepat
waktu.

Terima kasih kepada bapak Yonathan Ramba yang telah memberikan tugas
makalah ini dalam mata kuliah Fisioterapi Geriatrik.

Saya menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan


makalah ini. Oleh sebab itu, saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
dapat membantu dan membangun semangat penulis untuk memperbaiki kesalahan dan
menjadi lebih baik.

Semoga makalah ini dapat memenuhi standar nilai untuk tugas mata kuliah
Fisioterapi Geriatrik. Serta dapat menambah wawasan para pembaca dan dapat
bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Jumat, 2 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................. 1
C. Tujuan............................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 2
A. Pemeriksaan Fungsi Kognitif dan Intrapersonal................................. 2
B. Pemeriksaan Fungsi Sensorik dan Somatosensorik............................ 4
1. Pemeriksaan Fungsi Sensorik....................................................... 4
2. Pemeriksaan Fungsi Somatosensorik............................................ 7
BAB III PENUNTUP...................................................................................... 20
A. Kesimpulan..................................................................................... 20
B. Saran............................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fungsi kognitif adalah suatu proses pengolahan masukan sensoris (taktil, visual
dan auditorik) untuk diubah, diolah, dan disimpan serta selanjutnya digunakan
untuk hubungan interneuron secara sempurna sehingga suatu individu mampu
melakukan penalaran terhadap masukan sensoris tersebut. Fungsi kognitif meliputi
aspek-aspek tertentu yang dikenal dengan domain kognitif yaitu atensi, memori,
bahasa, kemampuan visuospasial, dan fungsi eksekutif (fungsi perencanaan,
pengorganisasian dan pelaksanaan). Kemunduran fungsi kognitif dapat berupa
mudah lupa (forgetfulness), gangguan kognitif ringan (Mild Cognitive Impairment /
MCI), sampai ke demensia sebagai bentuk klinis yang paling berat.
Gangguan fungsi sensorik lansia mengakibatkan gangguan penerimaan
informasi dari reseptor sensorik sehingga mengakibatkan penurunan kontrol
motorik atau gangguan gerak.
Fungsi somatosensorik mencakup persepsi sentuhan ringan, suhu, nyeri,
vibrasi, posisi sendi, dan sensasi diskriminatif. Kondisi atau cedera yang
memengaruhi sistem saraf pusat atau tepi dapat mengurangi atau menghilangkan
kemmapuan individu untuk merasakan salah satu atau semua fungsi.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang menjadi pembahasan dari makalah ini yaitu:
1. Pemeriksaan fungsi kognitif dan intrapersonal
2. Pemeriksaan fungsi sensorik dan somatosensorik

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu mengetahui bagaimana pemeriksaan gangguan
gerak fungsional lansia (motorik) pada:
1. Bagaimana pemeriksaan fungsi kognitif dan intrapersonal
2. Bagaimana pemeriksaan fungsi sensorik dan somatosensorik

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemeriksaan Fungsi Kognitif dan Intrapersonal


Batasan fungsi kognitif meliputi komponen atensi, konsentraasi, memori,
pemecahan masalah, pengambilan sikap, integrasi belajar, dan proses
komprehensif. Alat ukur atau metode pemeriksaan fungsi kognitif dan intrapersonal
disesuaikan dengan aspek kognitif dan intrapersonal yang akan diperiksa, yang
dapat dilakukan dengan cara tanya jawab, kuesioner, atau peragaan.

Tujuan Pemeriksaan Fungsi Kognitif dan Intrapersonal

 Membantu menegakkan diagnosis


 Sebagai acuan untuk Menyusun program fisioterapi serta pelaksanaannya
 Sebagai alat evaluasi
 Sebagai data/informasi yang dapat dipergunakan oleh pihak lain yang
berkepentingan.

Prosedur Pemeriksaan Fungsi Kognitif dan Intrapersonal

 Melakukan rencana pemeriksaan yang berorientasi pada masalah lansia.


 Pemeriksaan dimulai dari yang bersifat umum, sederhana serta mudah
aplikasinya. Apabila hasil pemeriksaan tidak sesuai dengan Batasan normal baru
ditingkatkan ke pemeriksaan yang lebih khusus dan kompleks.

Bentuk Pemeriksaan fungsi kognitif dan intrapersonal antara lain status mini
mental, tes memorial visual, tes memori pendek, tes memori panjang, orientasi, tes
kemampuan mengikuti instruksi, dan tes atensi.

1. Status mini mental. Status mini mental untuk mengetahui kemampuan kognitif
(orientasi, registrasi, atensi, kalkulasi, memori dan Bahasa) yang dilakukan
secara sederhana dan cepat. Alat ukur kuesioner dengan nilai yang telah
ditentukan. Waktu untuk mengerjakan berkisar 5-10 menit. Interpretasi hasil
pemeriksaan dapat dibaca dari total jumlah nilai yang diperoleh selama
pemeriksaan di mana bila semua jawaban benar maka total nilai yang diperoleh
adalah 30.
2. Tes memori visual.
a. Tes reproduksi desain. Tes itu digunakan untuk melihat adanya gangguan
intermediate recall dari memori visual. Lansia diperlihatkan gambar bentuk
bangun selama lima detik kemudian diminta menggambarkan sesuai
dengan ingatannya.
b. Tes dengan memperlihatkan sepuluh gambar, misalnya buah-buahan atau
alat-alat kantor, selama sepuluh detik kemudian lansia diminta mengingat
gambar yang diperlihatkan tersebut. Bila lansia hanya menyebutkan kurang
dari tiga berarti ada gangguan memori.

2
3. Tes memori pendek. Tes ini ditujukan untuk mengetahui memori lansia
terhadap kejadian atau hal-hal yang dialaminya dalam jangka waktu relatif
pendek. Misalnya tentang:
a. Apa yang dimakan waktu sarapan pagi;
b. Koran apa yang dibaca;
c. Menunjuk gambar buah yang berjumlah sepuluh dalam waktu sepuluh
detik. Selanjutnya, lansia diminta untuk menyebutkan Kembali. Bila yang
benar kurang dari tiga gambar, lansia mengalami gangguan memori.
d. Lansia juga dapat diminta menirukan kata-kata yang diucapkan oleh terapis,
misalnya cangkir, mawar, atau kijang dan diulang sampai tiga kali. Setelah
lima menit, lansia diminta untuk menyebutkan kembali kata-kata tersebut.
4. Tes memori jangka panjang. Tes itu bertujuan mengetahui memori lansia
terhadap kejadian atau hal-hal yang terjadi pada waktu lalu, seperti masa kecil,
masa sekolah, dan sebagainya. Misalnya:
a. Siapa nama guru anda ketika kelas satu SD? Siapa teman duduk satu
bangku anda?
b. Dimana alamat teman akrab anda ketika duduk di SMP?
c. Menyebutkan tempat dan tanggal kelahiran sendiri, dll.
5. Orientasi. Tes itu dapat berupa orientasi waktu, tempat atau seseorangyang
mempunyai hubungan dengan lansia. Contoh:
a. Sekarang hari apa?
b. Sekarang bulan apa?
c. Sekarang tahun berapa?
d. Anda sekarang berada dimana?
e. Berapa anggota keluarga anda, siapa saja mereka?
Bilang terdapat jawaban yang curiga ke penolakan (denial) maka dilanjutkan ke
pertanyaan sebagai berikut:
a. Apakah itu lengan anda?
b. Dapatkah anda memindahkan lengan itu?
c. Tidakkah anda lihat bahwa kedua lengan anda tidak sama tingginya?
(disuruh angkat kedua tangan)
d. Periksa lapangan pandang.
6. Tes kemampuan mengikuti instruksi. Kemampuan mengikuti intstruksi dapat
digolongkan menjadi tiga tingkatan yaitu:
a. Dejarat 1, missal, ambil kertas berwarna biru!;
b. Derajat 2, missal, ambil kertas berwarna biru kemudian diremas!;
c. Derajat 3, missal, ambil kertas berwarna biru, remas dan buang!
Dari hasil pengetesan itu dapat diketahui derajat kemampuan penderita dalam
mengikuti perintah.
7. Tes atensi (perhatian terhadap rangsang). Dapat diperiksa dengan cara melihat
kemampuan lansia untuk melaksanakan tugas motoric dengan waktu yang
proporsional. Tes dapat berupa digit repetition. Lansia diberi tahu bahwa
pemeriksa akan menyebutkan beberapa angka dan diminta mendengarkan
dengan saksama. Ketika pemeriksa selesai mengucapkan, lansia diminta untuk

3
menirukannya. Pemeriksaan dimulai dengan menyebutkan dua angka
kemudian dilanjutkan sampai lansia gagal.
Materi tes:
3–7
7–4–9
8–5–2–7
2–9–6–8–3
5–7–2–9–4–6
8–1–5–9–3–6–2
3–9–8–2–5–1–4–7
7–2–8–5–4–6–7–3–9
Dalam keadaan inteligensi normal, lansia mampu mengulangi 5 – 7 digit tanpa
kesulitan.

B. Pemeriksaan Fungsi Sensorik dan Somatosensorik


1. Pemeriksaan Fungsi Sensorik
Fungsi sensorik yang berkaitan dengan lansia antara lain sensasi protektif
(protopatik) yang meliputi nyeri, temperatur, atau sentuhan ringan; dan sensasi
diskriminatif (epikritik) yang meliputi taktil, diskriminasi dua titik, kinestesia,
dan proprioseptif.

Tujuan Pemeriksaan Fungsi Sensorik


 Menentukan derajat gangguan sensorik dalam hubungannya dengan
gangguan gerak.
 Sebagai acuan untuk reedukasi sensorik.
 Mencegah terjadinya komplikasi sekunder.
 Menyusun sasaran dan rencana terapi.

Dalam pemeriksaan, fungsi sensorik dimulai dengan pemeriksaan sensasi


protektif kemudian diikuti dengan pemeriksaan sensasi diskriminatif. Hal itu
dilakukan karena sensasi protektif merupakan respons yang lebih primitive. Jika
pemeriksaan menunjukkan adanya gangguan respon protektif, kemungkinan
besar juga akan terjadi gangguan pada sensasi diskriminatif.
Prosedur pengujian terdiri dari dua komponen, yaitu aplikasi stimulus dan
respons terhadap stimulus. Selama pemeriksaan, data yang harus dikumpulkan
meliputi tipe sensasi yang terkena, kuantitas atau derajat kerusakan, lokalisasi,
dan perasaan subjektif penderita terhadap perubahan yang dialaminya.
Peralatan yang diperlukan dalam pemeriksaan fungsi sensorik antara lain jarum
yang berujung tajam/runcing dan tumpul, tabung reaksi, sikat bulu atau kain
katun, dan dematom chart dan formular pemeriksaan sensorik.
Pelaksanaan pemeriksaan fungsi sensorik meliputi pemeriksaan nyeri
superfisial, pemeriksaan suhu, pemeriksaan sentuhan ringan, pemeriksaan

4
taktil, pemeriksaan diskriminasi dua titik, pemeriksaan kinestesia, pemeriksaan
proprioseptif, dan pemeriksaan nyeri.

Pelaksanaan Pemeriksaan Fungsi Sensorik

Cara/Tujuan Respons
Pemeriksaan nyeri superfisial Lansia diminta menyatakan bentuk
Jarum yang berujung runcing dan rangsangan yang diterima yaitu tajam
tumpul diaplikasikan secara acak atau tumpul.
pada daerah yang diperiksa, guna
memperoleh respons yang akurat
dan mengurangi respons kebetulan.
Pemeriksaan temperature Penderita diminta merasakan dan
Dua tabung reaksi, satu tabung diisi mengatakan apakah terasa panas
air dingin dengan temperature 5- atau dingin.
10°C dan yang lainnya diisi air panas
dengan temperature 40-45°C
Pemeriksaan sentuhan ringan Lansia diminta menjawab “ya”
Untuk tes diperlukan sikat bulu atau apabila merasa disentuh dan “tidak”
potongan kain katun. Daerah yang apabila merasa tidak disentuh, dan
dites disentuh dengna diminta menjelaskan lokasinya.
sikat/potongan kain katun. Stimulus
diacak dengan tidak memberikan
rangsangan sentuh. Jangan memberi
penekanan pada jaringan bawah
kulit karena dapat menimbulkan
rangsangan terhadap sistem
diskriminatif.
Pemeriksaan taktil/tekanan Lansia diminta menerangkan atau
Reseptor tekanan diperiksa dengan menyatakan bila ia merasakan
cara mengaplikasikan tekanan yang rangsangan dan diminta pula
kuat dengan menggunakan ibu jari menjelaskan derajat stimulus (ringan,
atau jari-jari pada daerah kulit yang moderat, atau tekanan dalam) dan
tidak berambut seperti telapak letak stimulus.
tangan, jari-jari atau tumit.
Pemeriksaan diskriminasi dua titik Lansia diminta mengidentifikasikan
Pemeriksaan itu untuk mengetahui persepsinya yaitu satu atau dua titik
kemampuan membedakan dua buah rangsang. Jarak terkecil ketika
stimulus yang diberikan secara penderita masih mampu
spontan. Dua rangsangan membedakan dua titik rangsang
diaplikasikan pada dua titik dicatat.
kemudian dua titik rangsangan
secara bertahap semakin didekatkan
sampai rangsangan diterima sebagai
satu rangsangan saja.
Pemeriksaan kinestesia Lansia diminta menjelaskan secara
Tes ini digunakan untuk memeriksa verbal arah dan LGS yang dirasakan

5
persepsi sensasi gerakan. Anggota (mis. Ke atas, ke bawah, menekuk,
gerak yang diperiksa digerakan lurus, ke luar, dsb)
secara pasif pada LGS tertentu dan
gerak tertentu.
Pemeriksaan proprioseptif Lansia diminta untuk menirukan
Digunakan untuk menentukan gerakan tersebut dengan anggota
kesadaran tentang perasaan posisi gerak pada samping yang lain atau
sendi. Terapis menggerakkan secara verbal menjelaskan arah dan
anggota gerak dengan LGS tertentu. LGS-nya.

Pemeriksaan nyeri dilakukan dengan cara-cara berikut.


a. Verbal Analog Scale (VAS). Pengukuran derajat nyeri dengan cara menunjuk
satu titik pada garis skala nyeri (0-10 cm). Satu ujung menunjukkan tidak
nyeri dan ujung yang lain menunjukkan nyeri hebat. Panjang garis mulai
dari titik tidak nyeri sampai titik yang ditunjuk menunjukkan besarnya nyeri.
Besarannya dalam satuan milimeter, misalnya 10-20-30 mm.
b. Verbal Descriptive Scale (VDS). Cara pengukuran derajat nyeri dengan tujuh
skala penilaian, yaitu nilai:
1 = tidak nyeri,
2 = nyeri sangat ringan,
3 = nyeri ringan,
4 = nyeri tidak begitu berat,
5 = nyeri cukup berat,
6 = nyeri berat,
7 = nyeri hampir tak tertahankan.
c. Skala lima tingkat merupakan parameter pengukuran derajat nyeri dengan
memakai 5 skala, yaitu derajat:
0 = tidak nyeri, tidak ada rasa nyeri pada waktu istirahat dan aktivitas;
1 = minimal, istirahat tidak ada nyeri, perasaan nyeri timbul sewaktu
bekerja lama, berat, dan pada penekanan kuat terasa sakit;
2 = ringan, rasa sakit terus-menerus atau kadang-kadang timbul, tetapi
masih dapat diabaikan/tidak mengganggu, LGS normal, pada penekanan
kuat teraasa sakit, fleksi dan ekstensi sakit;
3 = sedang, keluhan seperti derajat 2, ditambah keluhan tersebut
mengganggu aktivitas dan LGS terganggu;
4 = berat, nyeri menyulitkan lansia hamper tak tertahankan, dan gerakan
fleksi/ekstensi hampir tidak ada/tidak mampu.

6
2. Pemeriksaan Fungsi Somatosensorik
Pada istilah yang sederhana,
ketika reseptopr perifer (mis., dalam
kulit, ligament, otot, atau kapsul
sendi) distimulasi, informasi
dihantarkan disepanjang saraf aferen
ke medulla spinalis. Dalam medulla
spinalis pesan ini ke atas ke otak ke
kolumna posterior (sentuhan
halus/ringan, vibrasi, dan merasakan
posisi) atau tractus spinotalamus
(sentuhan kasar, nyeri, dan suhu).
Serabut saraf pada tractus
spinotalamik melintasi ke sisi
kontralateral dalam satu atau dua
tingkat medulla spinalis untuk masuk
ke serabut saraf dari kolumna
posterior melintasi tingkat medulla.
Serabut saraf terus ke atas ke
thalamus tempat sinapsnya dan
memproyeksikan informasi ke korteks
somatosensory otak (lobus parietal)
tempat informasi diproses.
Melalui berbagai bentuk pemeriksaan, identifikasi pola kehilangan sensori
dapat memberi keterangan pada jenis atau tingkat cedera atau proses penyakit.
Kerusakan disepanjang jarak sensori, dari reseptor sensori pada perifer ke
korteks somatosensory otak, dapat mengurangi, mengubah, atau
menghilangkan kemampuan seseorang untuk menerima dan
menginterpretasikan informasi penting ini. Jika terjadi penekanan atau
kerusakan khusus di radiks saraf, sensasi akan berkurang pada pola dermatom.
Dermatom merupakan garis kulit yang berkorespondensi ke radiks saraf
tertentu. Ketika radiks saraf tertekan, biasanya akibat penyempitan foramen
vertebral, hipertrofi faset, atau tekanan dari diskus intervertebral herniasi,
perubahan sensori terjadi di sepanjang dermatom. Dengan demikian, pasien
yang menunjukkan tanda dan gejala yang mencakup perubahan sensasi dalam
pola dermatom, kelemahan otot yang diinervasi oleh radiks saraf tersebut
(miotom), dan penurunan rekfleks tendon dalam kemungkinan besar
mengalami penekanan radiks saraf.
Disfungsi di tempat lain disepanjang jaras saraf akan ada pada pola
mondermatomal. Jika kerusakan terjadi pada saraf perifer spesifik (seperti saraf
radial di lengan atau sraf sefena di tungkai), kehilangan sensasi akan unilateral
dan terisolasi ke area yang sesuai. Hal ini dapat disebabkan oleh kompresi saraf
local, cedera penghancur, atau insisi bedah. Gejala terlokalisasi dan derajat

7
kesulitan fungsi dapat relative kecil. Jika kerusakan terjadi dalam medulla
spinalis atau pada otak, kehilangan somatosensory akan sering lebih ekstensif
dan fungsi kemungkinan akan terganggu ke tingkat yang lebih besar. Beberapa
contoh kondisi spesifik jaras saraf perifer atau pusat dijelaskan dalam daftar
berikut ini.
a. Sindrom Lorong karpal. Kondisi terlokalisasi ke distribusi saraf median (ibu
jari, jari kelingking, dan jari tengah) disebabkan oleh kompresi saraf. Hal ini
menyebabkan kebas, kesemutan, nyeri, kelemahan, dan atrofi.
b. Palsi saraf peroneal (atau fibular) yang umum. Kondisi yang disebabkan
oleh pukulan atau laserasi ke lutut lateral di area kepala fibular, atau dari
kompresi/penekanan yang lama, seperti selama duduk menyilangkan
tungkai atau menggunakan sepatu bot yang ketat. Hal ini dapat
menyebabkan kebas dan kesemutan pada dorsum kaki (dan juga kaki
lunglai akibat kelemahan atau tidak ada dorsifleksi).
c. Cedera medulla spinalis. Biasanya menyebabkan kerusakan ke beberapa
atau semua tractus saraf asendens dan desendens. Dapat menyebabkan
berbagai disfungsi somatosensory dan motoric (kehilangan minor atau
lengkap) di bawah tingkat lesi.
d. Tumor. Pada medulla spinalis atau otak, jika terletak dalam tractus medulla
spinalis yang membawa informasi somatosensory, thalamus, atau korteks,
dapat memiliki berbagai dampak pada fungsi somatosensory (dan motorik).
e. Lesi dalam otak. Baik lesi akibat stroke, cedera otak, traumatis, atau tumor
dapat memiliki dampak fungsi somatosensory (dan motorik) secara negatif.
Biasanya aka nada Bersama deficit somatosensory unilateral, pada sisi lesi
yang berlawanan, kecuali kedua hemisfer otak terkena.
Sejumlah proses penyakit menyebabkan kerusakan saraf nonselektif; pada
kasus kehilangan somatosensory biasanya akan terjadi secara bilateral dan
simetris. Hal tersebut juga tidak mengikuti semua jaras saraf yang diketahui.
Beberapa kondisi biasanya berkurang atau menghambat konduksi saraf sensori
dari ekstremitas distal (kaki, tungkai bawah, dan tangan), yang disebut
“distribusi stoking dan sarung tangan”. Dampak fungsional kondisi ini yang
berkaitan dengan kehilangan somatosensory dapat memiliki rentang dari minor
hingga berlebihan. Beberapa kondisi ini dijelaskan berikut.
a. Diabetes melitus. Penyakit metabolic ketika tubuh gagal menghasilkan atau
menggunakan insulin secara adekuat. Hal ini sering kali terjadi akibat
kerusakan saraf progresif yang mengenai sensasi di kaki, tungkai, atau
tangan (sering kali pada pola stoking dan sarung tangan). Perubahan dalam
sensasi sering kali merupakan salah satu gejala pertama yang diketahui lime
sering kali tidak terdiagnosis karena manifestasi dapat beragam dan dapat
menyerupai sejumlah kondisi lain. Bersama dengan berbagai tanda dan
gejala tambahan, kehilangan sensasi di lengan dan tungkai umum dilakukan
dan dapat berkembang secara cepat setelah individu terinfeksi.
b. Neuropati alkoholik. Dapat menyebabkan penurunan fungsi somatosensory
dan juga gangguan motoric, meskipun kehilangan sensori merupakan hal

8
pertama yang diketahui. Mekanisme kehilangan tampak pada degradasi
aksonal dan cenderung ada di distribusi stoking dan sarung tangan. Sekitar
1 dari setiap 12 individu (8%) di Amerika Serikat penyalahgunaan alcohol
atau bergantung alcohol, dan sejjumlah besar mengalami neuropati. Karena
banyak individu menyangkal masalah dengan alkoholm diagnosis diferensial
dapat sulit dilakukan.
Kemampuan untuk mengenal berbagai sensasi penting untuk pencegahan
cedera dan juga keamanan. Sayangnya, kehilangan somatosensory terjadi
secara bertahap pada sejumlah kondisi yang tidak disadari individu hingga
terjadi cedera. Penurunan kemampuan untuk merasakan nyeri dan tekanan
dapat memungkinkan stimulus berbahaya untuk merusak jaringan kutaneus
atau subkutaneus. Kehilangan sensasi ini di bawah kaki biasanya berbahaya
akibat sejumlah benda yang berpotensi membahayakan yang biasanya diinjak
individu. Satu pasien mengunjungi klinik dokter untuk menentukan sumber
nyeri, terapi terdapat area kemerahan membesar yang telah ada selama 2
buan. Radiograf menentukan bahwa sumber jari tukang kayu tertempel di kaki
pasien, yang tidak dirasakan pasien. Akibat osteomyelitis yang terjadi lebih dari
2 bulan. Kaki memerlukan amputasi. Sayangnya, cerita klinis yang serupa tidak
lazim.
Individu yang kekurangan input somatosensory normal juga beresiko
besar untuk jatuh. Bayangkan bagaimana sulitnya untuk berjalan pada lereng
berumput tanpa kemampuan merasakan ketidakrataan di lapangan melalui
reseptor tekanan di kaki Anda, posisi kaki dan sendi pergelangan kaki Anda
pada berbagai sudut pada lapangan, atau kaki Anda menyentuh lapangan.
Tubuh mengandalkan tiga sistem sensori untuk mempertahankan
keseimbangan: visual, vesibular, dan somatosensory. Dengan berkaitan dengan
semua sistem tersebut, resiko jatuh meningkat.

PROSEDUR
Metode umum yang menguji aspek berbeda sistem somatosensory akan
dijelaskan. Banyak uji yang dijelaskan mudah dilakukan, memerlukan sedikit
peralatan atau tanpa peralatan, dan dapat diselesaikan kurang dari 1 menit.
Dengan demikian, jika terdapat kecurigaan terhadap proses penyakit, cedera,
atau kondisi yang diketahui menyebabkan disfungsi somatosensory, terdapat
sedikit alasan mengapa uji ini tidak dapat dilakukan.
Konsep prosedur berikut ini harus dipikirkan dengan setiap pemeriksaan
yang dituliskan.
a. Banyak uji ini dilakukan dengan pasien menutup mata sehingga sangat
penting Anda menginformasikan terlebih dahulu tentang tujuan setiap
pemeriksaan, apa yang Anda lakukan, dan bagaimana pasien harus
berespons terhadap setiap stimulus.
b. Uji tidak dilakukan di atas pakaian.
c. Uji harus membandungkan sisi kanan dan sisi kiri (meskipun kedua sisi
terkena),

9
d. Uji harus membandingkan area distal dengan proksimal.
e. Area kulit yang tebal harus dihindari sebisa mungkin karena umumnya are
ini memiliki sensasi yang buruk.
f. Pola dan kecepatan pemeriksaan Anda beragam agar pasien tidak
mengenali pola dan berespons secara tepat akibat tebakan yang sudah
diberitahu.
g. Jika terdapat kehilangan somatosensory, usahakan untu memetakan area
dengan Batasan yang nyata untuk menentukan jenis, tingkat, dan
keparahan lesi atau kondisi dengan baik.
h. Dokumentasi temuan Anda harus lengkap dan deskriptif dengan
mempertimbangkan jenis pemeriksaan, pemeriksaan area spesifik, area
disfungsi yang diidentifikasi, dan perbedaan antara kedua sisi.

Sentuhan Ringan
Traktus spinal: Kolumna posterior (tractus spinotalamus membawa sentuhan
kuat/kasar)
Peralatan yang diperlukan: kapas, kasa, atau tanpa alat (meskipun penggunaan
kapas atau kasa kurang dapat memicu mekanoreseptor, yang sebaiknya tidak
distimulasi pada pemeriksaan sentuhan ringan, banyak klinisi lebih senang
menggunakan bantalan ibu jari atau jari telunjuk seperti memeriksa stimulus).
Persiapan:
a. Beri tahu pasien apa yang akan Anda lakukan dan beri tahu repsons verbal
yang diberikan pasien.
1) Anda dapat melakukan uji percobaan pada area yang tidak dikaji secara
formal untuk memastikan pasien memahami instruksi Anda.
b. Tentukan area kulit yang akan Anda kaji; posisikan pasien secara tepat agar
Anda memiliki akses lengkap ke area kulit yang tepat.
1) Jika Anda mencurigai disfungsi saraf perifer unilateral, memeriksa area
spesifik pada sisi yang terkena da ntidak terkena tepat dilakukan untuk
memungkinkan pasien secara langsung membandingkan sensasi normal
dengan sensasi tidak normal.
- Periksa area yang cukup untuk memungkinkan Anda untuk
“memetakan” Batasan sensasi sentuhan ringan “normal” dan
“abnormal”.
2) Jika kedua ekstremitas terkena, Anda harus memeriksa secara lengkap
pada satu ekstremitas sebelum berpindah ke ekstremitas yang lain.
- Dimulai secara distal (di jari kaki atau ujung jari) dan secara
proksimal hingga pasien merasa sentuhan ringan normal.
Melakukan uji:
a. Minta pasien menutup mata.
b. Minta pasien memberi tahu apa yang ia rasakan ketika disentuh.
c. Sentuh kulit pasien secara lembut, waspadai untuk tidak menyentuh kulit
yang “peyot” (yang menstimulasi mekanoreseptor)

10
1) Hindari godaan untuk menstabilkan ekstremitas yang diperiksa dengan
tangan lain karean pasien dapat merasakan sentuhan menstabilkan,
dan bukan sentuhan uji.
2) Jika pasien tidak mengenali/merasakan sentuhan Anda, Anda dapat
memeriksa area Kembali tetapi tidak meningkatkan tekanan sentuhan
Anda. Jika sentuhan tidak dirasakan setelah usaha kedua, catat area
sebagai “tidak sensitif”.
3) Sentuhan tidak boleh dilakukan dengan gerakan menggoncangkan atau
menyapu.
4) Pasien dapat merasakan sentuhan normal, penurunan sensasi sentuhan
(membandingkan kedua sisi atau secara proksimal dengan distal), atau
tidak tersentuh sama sekali.
5) Lanjutkan prosedur dengan interval acak hingga batasan sensasi normal
dan abnormal diketahui.

Sensasi Protektif
Tractus spinal: Kolumna spinotalamus dan posterior
Latar belakang informasi: Asesmen sensasi protekrif merupakan bentuk khusus
pemeriksaan sentuhan ringan. Sensasi portektif merupakan tingkat minimal
pengenalan sentuhan ringan yang memerlukan sistem somatosensory untuk
memberi tahu individu akan bahaya yang akan datang (seperti kaki diabetic
yang tidak merasakan batu kerikil di sepatu). Asesmen formal memerlukan
penggunaan benda yang disebut monofilamen, alat yang terpercaya dan valid
untuk mengidentifikasi individu beresiko mengalami ulkus kaki. Monofilament
pada set ekstensif dapat berukuran dari 1,65 – 6,65. Ukuran ini sesuai untuk
rentang 0,0008 – 300 g kekuatan uang diperlukan untuk menekan
monofilament pada kontak dengan permukaan. Monofilament dengan ukuran
kecil memerlukan sensivitas yang lebih besar untuk sentuhan rigan
dibandingkan dengna monofilamen ukuran yang lebih besar. Meskipun individu
sehat dengan sensasi normal biasanya dapat mendeteksi monofilamen 3,61
(0,4 gm) di aspek plantar kaki, studi menunjukkan bahwa individu harus mampu
merasakan monofilamen 5,07 (10 gm) untuk memiliki sensasi portektif plantar.
Dua metaanalisis penelitian yang dipublikasikan mengindikasikan bahwa uji
monofilament merupakan alat skrining terbaik untuk mengindikasikan
neuropati ekstremitas bawah signifikan secara klinis. Juga menunjukkan bahwa
individu yang beresiko cocok untuk melakukan pemeriksaan sensori yang
dilakukan sendiri di rumah menggunakan monofilament 10-gm yang berharga
murah.
Peralatan yang diperlukan: monofilament 5,07 (10 gm) adekuat untuk banyak
tujuan uji klinis: asesmen yang lebih ekstensif dapat dilakukan dengan set
monofilamen.
Persiapan: (diambil dari Touch Test Sensory Evaluators Manual)
a. Jelaskan kepada pasien apa yang akan dilakukan dan respons yang Anda
harapkan dari pasien.

11
- Anda dapat melakukan tes percobaan pada area yang tidak dikaji
secara formal untuk memastikan pasien memahami instruksi Anda.
b. Posisikan pasien telentang atau berbaring dengan ekstremitas bawah
disokong. Kaos kaki dan sepatu pasien dilepas dan kaki digosok agar bersih
dengan kain basah atau swab alcohol.
- Terdapat 12 area spesifik (9 plantar, 3 dorsal) pada kaki yang harus
di kaji.
Melakukan uji:
a. Minta pasien untuk menutup mata.
b. Minta pasien untuk mengatakan “ya” atau “sekarang” setiap kali
merasakan monofilament.
c. Dengan monofilament pada sudut 90° pada kulit pasien, sentuh area
dengan ujung filamen hingga sedikit menekuk. Pertahankan tekanan pada
posisi menekuk selama 1,5 detik, kemudian angkat monofilamen dari kulit.
1) Jangan letakkan monofilamen pada luka atau di atas kalus atau jaringan
parut.
2) Jika pasien tidak merasakan sentuhan monofilamen, pindah ke area
berikutnya.
3) Semua area yang tidak dirasakan pada usaha pertama dapat dilakukan
pemeriksaan Kembali setelah rangkaian pertama selesai. Kemampuan
pasien untuk merasakan kekuatan monofilamen tertentu kemungkinan
tidak ada.
d. Lakukan pada satu kaki, tearpi periksa kedua kaki selama sesi pemeriksaan.

Nyeri (juga dianggap uji Tajam/Tumpul)


Tractus spinal: Spinotalamus
Peralatan yang diperlukan: pilihan mencakup berikut ini:
a. Peniti aman yang bersih dan tidak digunakan
b. Lidi kapas steril (kayu dengan ujung patah untuk menghasilkan stimulus
tajam)
c. Sekrupkan ke dalam ujung palu refleks Buck
d. Klip kertas dengan ujung yang tidak tertekuk untuk memungkinkan satu
ujung tajam dan satu ujung tumpul
Persiapan:
a. Jelaskan kepada pasien apa yang akan Anda lakukan dan respons yang Anda
harapkan dari pasien.
1) Anda dapat melakukan uji percobaan pada area yang tidak dikaji secara
formal untuk memastikan pasien memahami instruksi Anda.
2) Pasien harus merasakan dan memahami perbedaan antara stimulus
tajam (nyeri) dan tumpul (tidak nyeri).
b. Tentukan area kulit yang akan dikaji, posisikan pasien dengan tepat
sehingga anda memiliki akses penuh ke area kulit yang akan diperiksa.
1) Jika anda mencurigai dosfungsi saraf perifer, bandingkan area serupa
pada sisi yang terkena dan tidak terkena.

12
- Uji cukup area pada sisi yang terkena untuk meyakinkan anda
“memetakan” batasan sensasi nyeri “normal” dan “abnormal”.
2) Jika kedua ekstremitas terkena, anda harus menyelesaikan uji pada satu
kestremitas sebelum berpindah ke ekstremitas yang lain.
- Mulai secara distal (di jari kkai atau ujung jari) dan secara proksimal
hingga pasien mampu membedakan stimulus tajam dan tumpul.
Melakukan uji:
a. Minta pasien menutup mata
b. Minta pasien memberi tahu ketika ia merasakan stimulus dengan
mengatakan “tajam” atau “tumpul”
c. Sentuh kulit pasien dengan stimulus tajam atau tumpul; tekanan harus
cukup sedikit masuk kedalam kulit, tetapi kulit tidak boleh luka
1) Jika pasien tidak merasakan stimulus tekanan, anda mungkin akan
melakukan uji pada area tersebut kembali, tetapi jangan meningkatkan
tekanan stimulus. Jika sensasi tidka dirasakan setelah usaha kedua, tulis
area sebagai “tidak sensitive”
2) Jika pasien mengindikasikan “tumpul” ketika stimulus tajam, jangan
meningkatkan tekanan stimulus; catat respons sebagai “tidak tepat”
3) Respon abnormal mencakup ketidakmampuan mebedakan stimulus
tajam dan tumpul atau tidak merasakan stimulus tersebut.
d. Lajutkan prosedur pada interval acak sehingga batasan sensasi nyeri
“normal” dan “abnormal” ditentukan.
1) Hindari pengulangan pola tajam, tumpul, tajam, tumpul, dst.

Vibrasi
Traktus spinal: Kolumna posterior
Peralatan yang diperlukan: garpu tala 128 Hz (mulai gerakan dengan mengetuk
di tumit tangan anda)
Persiapan:
a. Jelaskan kepada pasien apa yang anda lakukan dan respons yang anda
harapkan dari pasien
1) Anda harus merekomendasikan rasa vibrasi pada penonjolan tulang
yang tidak terkena (takik sternal dagu, atau sudut mandibular) untuk
memastikan pasien memahami sensasi dan juga instruksi anda.
2) Pasien harus memberi tahu anda ketika sensasi vibrasi dirasakan atau
tidak
- Jika dirasakan, pasien harus memberitahu kapan sensasi vibrasi
hilang.
b. Tentukan area yang akan anda kaji, posisikan pasien secara tepat sehingga
anda mendapatkan aksees penuh ke area yang akan di periksa.
1) Kaji area distal pertama kali
- Jika sensasi vibrasi normal secara distal, tidak perlu memeriksa area
proksimal.
Melakukan uji:

13
a. Minta pasien menutup mata.
b. Minta pasien untuk memberitahu ketika merasakan sensasi vibrasi
1) Periksa kurasi pasien dnegan menggunakan beberapa uji ketika garpu
tala tidak bergetar.
c. Mulai dengan meletakkan ujung garpu talayang bergetar pada penonjolan
tulang yang paling distal pada ekstremitas, biasanya distal sendi
interfalangeal ibu jari
1) Dengan memegan dengan enteng jari kaki atau jari tangan yang
diperiksa anda juga dapat merasakan vibrasi.
2) Respon abnormal mencakup ketidakmampuan meraksakan vibrasi atau
mengidentifikasi bahwa vibrasi berhenti ketika sebenarnya belum
berhenti.
d. Jika tidak dirasakan getaran/vibrasipada aspek distal elstremitas,
dilanjutkan pada arah proksimal hingga vibrasi dirasakan.
1) Untuk ekstremitas bawahlakukan pertama kali dengan sendi
metatarsophalangeal (MTP), malleolus medial, tuberositas tibia dan
spina iliaca anterior superior anterior (anterior superior iliac spine,
ASIS).
2) Untuk ekstremitas atas, lakukan dari sendi interfalangeal proksimal,
sendi metakarpofalangeal (MCP), prosesus stiloid ulna, olecranon atau
epikondil lateral, dan prosesus acromion.

Suhu
Traktus spinal: spinotalamik (catatan: uji ini sering kali diabaikan jika sensasi
nyeri utuh)
Peralatan yang diperlukan: pilihan mencakup berikut ini.
a. Dua tabung pemeriksaan diisi dengan air panas dan dingin.
1) Air pada tabung pemeriksaan panas tidak boleh lebih dari 45ºC untuk
menghindari luka bakar pasien dan untuk menghindari stimulasi
reseptor nyeri.
b. Dua garpu tala (satu didinginkan dengan air dingin dan satu dipanaskan
dengan air panas)
Persiapan:
a. Jelaskan kepada pasien apa yang akan anda lakukan dan respon ynag
diharapkan dari pasien.
1) Anda harus mendemonstrasikan stimulus panas dan dingin pada area
dengan sensasi normal sehingga pasien memahami dengan jelas apa
yang harus dirasakan.
2) Pasien harus memberitahu anda apakah sensasi “dingin” atau “panas”
b. Tentukan area kulit yang akan dikaji; posisikan pasien secara tepat agar anda
dapat memiliki akses penuh ke area yang akan diperiksa.
1) Jika anda mencurigai disfungsi saraf perifer unilateral, dibandingkan
area serupa pada sisi yang terkena dan tidak terkena

14
- Periksa pada area sisi yang terkena untuk memungkinkan anda
“memetakan” batasan sensasi suhu “normal” atau “abnormal”
2) Jika kedua ekstremitas terkena, anda akan menyelesaikan pemeriksaan
pada satu ekstremitas sebelum anda memeriksa ekstremitas yang
lainnya.
- Mulai secara dstal (dari jari kaki atau jari tangan) dan secara
proksimal hingga pasien mampu membedakan stimulus panas dari
dingin.
Melakukan uji:
a. Minta pasien menutup mata
b. Minta psien memberitahu anda ketika ia merasakan stimulus dengan
mengatakan “dingin” atau “panas”
c. Letakkan tbung secara lembut pada kulit pasien
1) Biarkan stimulus tetap pada kulit pasien minimal selama 2 detik
2) Respon abnormal mencakup ketidakmampuan untuk membedakan
antara dingin atau pansa atau ketidakmampuan merasakan adanya
stimulus sama sekali
d. Lanjutkan prosedur pada interval acak hingga batasan suhu “normal” dan
“abnormal” ditentukan.
1) Hindari pengulangan pola gingin, panas, dingin panas dst.

Kesadaran akan Posisi


Traktus spinal: kolumna posterior
Peralatan yang diperlukan: tidak ada
Latar belakang informasi: kesadaran kita akan posisi diri kita sendiri dan
gerakan dalm ruang dikenal sebagai propriosepsi (dari bahasa latin proprius,
yang berarti “milik seseorang” dan persepsi) propriosepsi secara umum
dianggap berbeda dari kinestesia karena kinestesia lebih menjelaskan
kesadaran seseorang bahwa sendi (atau bagian tubuh) telah bergerak
sedangkan propriosepsi lebih menjelaskan kewaspadaan akan kesadaran dan
ketidaksadaran tentang posisi statis sendi. Input dari reseptor pada otot
skeletal, tendon, dan sendi (termasuk ligament) memberikan informasi konstan
tentang posisi ekstremitas dan kerja otot dan juga membantu dalam koordinasi
gerakan ekstremitas. Terdapat beberapa uji yang dianggap mengukur
propriosepsi kesdaran individual. Tiga dari uji ini – uji posisi sendi, uji ruang
sendi (mirroring), dan uji jari ke hidung- dijelaskan dibawah. Uji prtama tidak
memerlukan akivitas motoric atau koordinasi motoric apapin dari pasien dan
harus dilakukan pertama kali ketika diketahui atau dicurigai gangguan.

Uji Posisi Sendi


Perisapan:
a. Jelaskan kepada pasien apa yang akan anda lakukan dan respon ynag
diharapkan dari pasien.

15
1) Dengan mata pasien terbuka, anda harus mendemonstrasikan dua posisi
“naik” (biasanya sesuai dengan ekstensi sendi) dan “turun” yang
biasanya sesuai dengan fleksi sendi). Hal ini terjadi pada sendi yang tidak
terkena untuk memastikan pasien memahamipperasaan akan posisi dan
juga instruksi anda.
- Tahan sisi falang distal antara dua jari anda, gerakkan sendi naik
(katakan “ini naik”) dan turun (katakana “ini turun”).
- Jangan menggenggam segmen distal pada aspek ventral dan dorsal
karena hal ini dapat memberikan stimulus tekanan pada gerakan
yang memberikan pasien “petunjuk” tentang arah gerakan.
- Jangan biarkan jari anda menyentuh jari tangan yang berdekatan
untuk tujuan yang sama.
2) Pada sendi yang digunakan untuk demonstrasi, anda harus mencoba
pemeriksaan ini dengan meminta pasien menutup matanya dan
mengatakan “naik” atau “turun” sebagai respon terhadap gerakan anda.
b. Tentukan sendi yang akan dikaji: posisikan pasein secara cepat agar anda
memiliki alses penuh ke area yang akan di periksa.
1) Area distal dikaji pertama kali
- Jika kesadaran akan posisi normal secara distal, tidak perlu
melakukan pemeriksaan area proksimal.
Melakukan uji:
a. Minta pasien untuk menutup mata.
b. Letakkan jari pada aspek lateral jari distal untuk diperiksa.
1) Pada ekstremitas bawah, mulai dengan sendi interfalangeal ibu jari
kaki.
2) Pada ekstremitas atas, mulai dengan sendi interfalangeal pada satu jari.
c. Gerakan sendi yang terpilih sedikit sehinggga posisi naik atau turun
1) Gerakan ekstrem tidak diperlukan; individu dengan fungsi
somatosensoris normal harus mampu mendeteksi perubahan posisi
beberapa derajat.
2) Beberapa percobaan harus dilakukan pada setiap sendi dan pada setiap
arah.
3) Sendi harus kembali untuk memulai posisi di antara setiap pecobaan.
d. Jika kesadaran akan gerakan sendi tidak ada pada aspekk distal ekstremitas,
lanjutkan pada arh proksimal hinggga dirasakan.
1) Untuk kestremitas bawah, mulai ke sendi MTP, pergelangan kakai, dan
lutut.
2) Untuk ekstremitas atas, mulai dengan sendi metakarpalfalangeal (MCP)
pergelangan tangan dan siku.

Uji Ruang Sendi (mencontoh kontralateral)


Persiapan:
a. Jelaskan kepada pasien apa yang akan anda lakukan dan respon ynag
diharapkan dari pasien.

16
1) Dengan pasien melihat, demonstrasikan pemeriksaan pada asisten atau
rekan.
2) Tanya pada pasien apakah ia mengerti uji yang akan silakukan atau
apakah memerlukan penjelasan atau demonstrasi lebih lanjut.
b. Tentukan sendi yang akan dikaji: posisikan pasein secara cepat agar anda
memiliki alses penuh ke area yang akan di periksa.
1) Kaji area distal pertama kali.
- Jika ruang sendi normal secara distal, tidak perlu melakukan
pemeriksaa area proksimal.
Melakukan uji:
a. Mintalah pasien untuk menutup mata.
b. Pindahkan jari tangan atau jari kaki pasien pada ekstremitas yang tidak
terlibat ke posisi tertentu.
1) Pada ekstremitas bawah, mulai dengan ibu jari kaki atau pergelangan
kaki.
2) Pada ekstremitas atas, mulai dengan jari kelingking atau pergelangan
tangan.
c. Mintalah pasien untuk mencontoh posisi dengan ekstremitas yang terlibat.
1) Beberapa percobaan harus dilakukan menggunakan posisi pemeriksaan
yang berbeda.
d. Jika kesadaran akan posisi tidak ada di ekstremitas distal, lanjutkan pada
area proksimal hingga pasien dapat mencontoh posisi ekstremitas yang
tidak terlibat secara akurat.
e. Individu yang mengalami deficit proprioseptif memiliki kesulitan melakukan
pemeriksaan ini secara akurat tanpa input visual.
f. Catatan: uji ini mungkin tidak memberikan temuan yang berguna pada
adanya keterlibatan ekstremitas bilateral karena pasien mungkin tidak
memiliki sisi normal untuk dicontoh.

Ujung Jari ke Hidung


Persiapan:
a. Jelaskan kepada pasien apa yang akan anda lakukan dan respon ynag
diharapkan dari pasien.
1) Dengan pasien mengobservasi, demonstrasikan uji pada pasien atau
rekan.
2) Tanya pada pasien apakah ia mengerti uji yang akan silakukan atau
apakah memerlukan penjelasan atau demonstrasi lebih lanjut.
b. Pasien harus duduk secar nyaman (uji ini juga dapat dilakukan pada posisi
terlentang).
Melakukan uji:
a. Mintalah pasien untuk menutup mata.
b. Sentuh dengan halus satu jaripasien dan minta pasien untuk menyentuh
hidungnya sendiri dnegan jari yang disentuh.

17
1) Lakukan dengan menyentuh jari lain (di kedua tangan) pada cara
random dan Tanya untuk respon yang sama.
c. Individu dengan deficit proprioseptif memiliki kesulitan melakukan
pemeriksaan ini secara akurat tanpa input visual.
d. Catatan: pemeriksaan ini mungkin sedikit sulit (dan dengan demikian tidak
valid) apakah pasien memiliki deficit lingkup gerak, kekuatan atau
koordinasi.

Sensasi Diskriminatif
Traktus spinal: koluma posterior (ditambah porsi korteks serebral)
Latar belakang informasi: uji sensai diskriminatif memerlukan integrasi,
analisis, dan interpretasi sentuhan, tekanan, dan kesadaran akan posisi pada
korteks sensori. Empat uji ini –stereognosis, grafestasia, diskriminasi dua titik,
dan lokalisasi titik – dijelaskan berikut ini. Jika terdapar gangguan berat akan
sensasi sentuhan atau kesadaran posisi, performa pasien pada pemeriksaan ini
kemungkinan akan buruk. Jika sensasi sentuhan dan kesadaran akan posisi
pasien baik atau hanya terganggu miimal, tentukan abnormal pada semua
pemeriksaan berikut ini dapat mengidentifikasi lesi pada korteks
somatosensori.

Stereognesis (dijelaskan sebagai “identifikasi objek semata-mata dengan


sentuhan”)
Peralatan yang diperlukan: Objek/benda yang familier bagi kebanyakan
individu (klip kertas, koin, bola kapas, kunci, atau gelag karet).
Melakukan uji:
a. Minta pasien untuk menutup mata dan mengulurkan/mengekstensikan
satu tangan (mulai dengan sisi yang tidak terkena: jika kedua sisi terkena,
mulai dengan tangan dominan).
b. Letakkan benda di telapak tangan pasien dan minta pasien untuk
mengidentifikasi benda tersebut.
1) Pasien dapat menggenggam atau memanipulasi benda, tetapi hanya
dengan tangan yang diperiksa.
c. Lakukan beberapa percobaan pada kedua tangan menggunakan benda
yang berbeda.
d. Diskriminasi halus dapat diperiksa dengan meminta pasien mengidentifikasi
sisi “kepala” atau “ekor” pada koin atauuntuk mengidentifikasi koin yang
dipegang.
e. Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi benda yang umum disebut
astereognosis.

Grafestesia (dijelaskan sebagai “ketidakmampuan mengidentifikasi tulisan


pada kkulit hanya dengan sentuhan”)
Peralatan yang diperlukan: Ujung tajam pulpen atau benda yang serupa.
Melakukan uji:

18
a. Lakukan demonstrasi dengan mata pasien terbuka sehingga ia terorientasi
pada atas dan bawah “kertas” (kulit pasien) yang akan anda tulis.
b. Minta pasien untuk menutup mata dan mengulurkan satu tangan (mulai
dengan sisi yang tidak terkena: jika kedua sisi terkena, mulai dengan tangan
dominan).
c. Tulis angka dalam ukuran besar di telapak tangan pasien.
d. Lakukan beberapa percobaan pada kedua tangan menggunakan angka yang
berbeda.
1) Jika pasien tidak akurat, coba uji lengan
e. Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi angka yang ditulis pada kulit
disebut agrafestasia.

Deskriminasi Dua Titik


Peralatan yang diperlukan: dua klip kertas (tidak ditekuk untuk memungkinkan
ujung yang tajam) atau alat khusus discriminator dua titik.
Melakukan uji:
a. Minta pasien untuk menutup mata dan mengulurkan satu tangan (mulai
dengan sisi yang tidak terkena: jika kedua sisi terkena, mulai dengan tangan
dominan).
b. Pada bantalan salah satu jari, sentuhpasien dengan dua titik secata
stimultan dan minta pasien apakah merasakan satu atau dua titik tersebut.
c. Sentuh satu dan dua titik secara acakpada beberapa tempat pada jari dan
tangan.
d. Normalnya, individu dapat mebedakan dua titik terpisah dengan jarak 5
millimeter pada bantalan jari.
e. Hal ini dapat dilakukan pada area lain tubuh, tetapi jarak normal beragam
dari satu area ke area berikutnya.

Lokalisasi Titik
Peralatan yang diperlukan: Tidak ada
Melakukan uji:
a. Minta pasien untuk menutup mata.
b. Sentuh halus area pada kuit pasien.
c. Minta pasien untuk mebuka mata dan kemudian tunjuk ke tempat yang
anda sentuh.
d. Ulangi hal ini pada kedua sisi dan pada berbagai area tubuh.
e. Individu dengan sensasi sentuhan ringan utuh dan korteks somatosensory
utuh biasanya dapat dilakukan ini dengan akurasi yang tinggi.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bentuk Pemeriksaan fungsi kognitif dan intrapersonal antara lain status mini
mental, tes memorial visual, tes memori pendek, tes memori panjang, orientasi, tes
kemampuan mengikuti instruksi, dan tes atensi.
Dalam pemeriksaan, fungsi sensorik dimulai dengan pemeriksaan sensasi
protektif kemudian diikuti dengan pemeriksaan sensasi diskriminatif. Hal itu
dilakukan karena sensasi protektif merupakan respons yang lebih primitive. Jika
pemeriksaan menunjukkan adanya gangguan respon protektif, kemungkinan besar
juga akan terjadi gangguan pada sensasi diskriminatif.
Melalui berbagai bentuk pemeriksaan, identifikasi pola kehilangan sensori
dapat memberi keterangan pada jenis atau tingkat cedera atau proses penyakit.
Kerusakan disepanjang jarak sensori, dari reseptor sensori pada perifer ke korteks
somatosensory otak, dapat mengurangi, mengubah, atau menghilangkan
kemampuan seseorang untuk menerima dan menginterpretasikan informasi
penting ini. Jika terjadi penekanan atau kerusakan khusus di radiks saraf, sensasi
akan berkurang pada pola dermatom.

B. Saran
Diharapkan kepada terapis dalam pelaksaan pemeriksaan fungsi kognitif dan
intrapersonal serta pemeriksaan fungsi sensorik dan somatosensorik lansia untuk
lebih memperhatikan tahap-tahap atau aturan dalam melakukan pemeriksaan agar
dapat mencapai hasil yang maksimal dan kepuasan bagi lansia.

20
DAFTAR PUSTAKA

Pudjiastuti, Sri Surini Dan Budi Utomo. (2003). Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta: EGC
Pramadita, A. P., Wati, A. P., & MUHARTOMO, H. (2019). HUBUNGAN FUNGSI
KOGNITIF DENGAN GANGGUAN KESEIMBANGAN POSTURAL PADA LANSIA: Studi
dilaksanakan pada Rumah Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pucanggading dan Kelurahan
Sampangan Semarang (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).

Fruth, Stacie J. 2020. Fisioterapi Pemeriksaan dan Pengukuran. Jakarta: EGC


ARORA, N. A. (2020). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Fungsi Kognitif pada
Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Pauh Kota Padang (Doctoral dissertation,
UNIVERSITAS ANDALAS).

Fadhia, N., Ulfiana, E., & Ismon, S. R. (2012). Hubungan Fungsi Kognitif Dengan
Kemandirian Dalam Melakukan Activities Of Daily Living (Adl) Pada Lansia Di Upt Pslu
Pasuruan. Indonesian Journal of Community Health Nursing, 1(1).

Pramadita, A. P., Wati, A. P., & Muhartomo, H. (2019). HUBUNGAN FUNGSI KOGNITIF
DENGAN GANGGUAN KESEIMBANGAN POSTURAL PADA LANSIA. DIPONEGORO
MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO), 8(2), 626-641.

DI POSYANDU, D. P. W., & SAVIRA, I. PENGARUH ANKLE STRATEGY EXERCISE


TERHADAP KESEIMBANGAN STATIS PADA LANJUT USIA.

iii

Anda mungkin juga menyukai