Anda di halaman 1dari 21

Clinical Science Sesion

Diagnosis dan tatalaksana Typhus abdominalis

Oleh:

Della Sylviani 1940312049


Nugraha Adyan Putra Tarsa 1940312070

Preseptor:

Dr.dr. Irza Wahid, SpPD-KHOM, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2020
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Typus abdominalis merupakan penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Bakteri ini ditularkan melalui makanan
dan minuman yang tekontaminasi oleh kotoran atau tinja dari penderita typus abdominalis.
Penyakit ini banyak ditemukan dinegara-negara berkembang seperti di Indonesia. Penyakit ini
dianggap serius karena dapat disertai berbagai penyakit dan juga mempunyai angka kematian
yang cukup tinggi, yaitu 1-5 % dari penderita.1
Menurut WHO, kasus typus abdominalis di dunia sebesar 21 juta kasus sekitar
220.000 kematian setiap tahunnya dengan kasus terbanyak terdapat di Asia Selatan dan Asia
Tenggara. Kasus typus abdominalsi di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat
setiap tahunnya dengan rata – rata kesakitan 350-810/100.000 penduduk dengan kematian 0,6
– 5%.2 Penyakit menular ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan jumlah
kasus sebanyak 22 juta per tahun di dunia dan menyebabkan 216.000– 600.000 kematian.3
Tanda dan gejala typus abdominalis akan muncul setelah terinfeksi dan menyebabkan
masalah bagi penderitanya. Umumnya gejala klinis timbul 8-14 hari setelah infeksi yang
ditandai dengan demam yang tidak turun selama lebih dari 1 minggu terutama sore hari, pola
demam yang khas adalah kenaikan tidak langsung tinggi tetapi bertahap seperti anak tangga
(stepladder), sakit kepala hebat, nyeri otot, kehilangan selera makan, mual, muntah, sering
sukar buang air besar (konstipasi) dan sebaliknya dapat terjadi diare. 4
Menurut thomas dalam Sucipto (2015) masa inkubasi penyakit 7-14 hari dengan
rentang 3- 30 hari, tergantung jumlah bakteri yang masuk sehingga gejala yang muncul juga
tergantung usia penderita. Gejala klinis bervariasi mulai yang ringan seperti demam ringan,
lemas, batuk ringan hingga berat berupa keluhan abdomen hingga komplikasi multipel. 5
Typus abdominalis memiliki komplikasi pada berbagai sistem organ seperti
komplikasi pada intestinal, komplikasi kardiovaskuler, darah, paru, hepar, ginjal, dan
neuropsikiatrik. Hal ini dapat terjadi pada tatalakasana yang tidak tepat. 6 Pentingnya istirahat
yang cukup dan perawatan serta diet yang tepat untuk mencegah dari komplikasi,
mempercepat penyembuhan dan mengembalikan pasien secara optimal. Pemberian anti
mikroba dibutuhkan untuk
menghentikan dan mencegah dari penyebaran kuman.6

1.2 Batasan Masalah


Batasan penulisan clinical science section ini membahas mengenai definisi,
klasifikasi,epidemiologi, etiologi, faktor risiko, pathogenesis, patofisiologi, manifestasi
klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis Thypus Abdominalis.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan clinical science section ini bertujuan untuk memahami serta menambah
pengetahuan mengenai definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko,
pathogenesis, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan
prognosis Thypus Abdominalis.

1.4 Manfaat Penulisan


Penulisan clinical science section ini menggunakan metode penulisan tinjauan kepustakaan
yang merujuk ke berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan
Etiologi
Typus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan demam satu
minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran. Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhosa dan hanya didapatkan pada
manusia. Penularan penyakit ini hampir selalu terjadi melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi.7

Typus abdominalis merupakan infeksi sistemik akut yang menyerang usus halus manusia
yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Thypii dan Salmonella paratyphii A,B,C.6 Bakteri ini
merupakan bakteri Gram-negatif,berbentuk basil, bergerak, tidak berkapsul, tidak membentuk
spora tetapi memiliki fimbria bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Bakteri ini dapat hidup sampai
beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah, dan debu. Manusia adalah satu-
satunya reservoir dari bakteri ini.8 Penyakit ini mudah berpindah dari satu orang ke orang lain
secara feko-oral, dan lebih mengenai orang yang kurang menjaga kebersihan diri dan
lingkungannya. Secara langsung bakteri ini terdapat pada feses, urine atau muntahan penderita
dapat menularkan kepada orang lain dan secara tidak langsung melalui makanan atau minuman.9

2.2 Epidemiologi
Typus abdominalis, saat ini terutama ditemukan di negara sedang berkembang dengan
kepadatan penduduk tinggi, serta kesehatan lingkungan yang tidak memenuhi syarat. Angka
kejadian penyakit ini tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pengaruh cuaca.7
Typus abdominalis dapat dijumpai diseluruh dunia, terutama di negara-negara yang
sedang berkembang khususnya di daerah tropis dan subtropis. Penyakit typus telah ada sejak
beberapa abad lalu. Menurut World Health Organization, terdapat 21 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dan sekitar 220.000 orang meninggal setiap tahun. 2 Kejadian demam tifoid di
berbagai negara berbeda-beda, dan perbedaan tersebut terlihat antara negara maju dan negara yang
masih berkembang. Di negara maju, kejadian typus masih ada namun bersifat sporadis terutama
apabila berhubungan dengan kegiatan wisata ke negara berkembang. Sedangkan di negara
berkembang, kejadian Typus abdominalis masih banyak ditemukan dan bersifat endemis. 10,11
Mayoritas insiden Typus abdominalis yang tinggi terjadi di daerah endemik Asia, terdapat 13 juta
kasus dengan 400.000 kematian setiap tahun. Kejadian typus terjadi karena kepadatan penduduk
tinggi, serta kesehatan lingkungan yang tidak memenuhi syarat . 10,12 Adapun 5 besar negara Asia
endemik Typus abdominalis adalah Pakistan, Vietnam, India, China, dan Indonesia. 2,10,12 Di
Indonesia, insiden Typus abdominalis masih tinggi, sekitar 350-810 per 100.000 penduduk dan
morbiditas yang cenderung meningkat setiap tahun sekitar 500-100.000 penduduk dengan angka
kematian sekitar 0,6-5 %.10
2.3 Patogenesis
Patogenesis tyfus abdominalis melibatkan 4 proses mulai dari penempelan bakteri ke
lumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, bertahan hidup di aliran darah dan
menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke lumen intestinal.
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi
melalui makanan yang terkontaminasi kuman.Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau
minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam
banyak bakteri yang mati.Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus, melekat pada sel
mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding usus tepatnya di ileum dan jejunum. Sel M,
sel epitel yang melapisi Peyer’s patch merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi
Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada mukosa
usus. Tukak dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus.Kemudian mengikuti aliran ke
kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan
Reticulo Endothelial System (RES) di organ hati dan limpa.Setelah periode inkubasi, Salmonella
Typhi keluar dari habitatnya melalui duktus torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai hati,
limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal.10,13
Ekskresi bakteri di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui
feses. Endotoksin merangsang makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika
untuk melepaskan produknya yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestinal ataupun sel hati
dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis pada tyfus abdominal. Penularan Salmonella typhi
sebagian besar jalur fekal oral, yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri
yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama dengan feses. Dapat
juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada pada keadaan bakterimia
kepada bayinya.10,13
2.4 Manifestasi Klinik

Masa inkubasi typus berlangsung selama 10-14 hari. Pada minggu pertama gejala klinis
penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam,
nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi, dan epistaksis. Sifat demam
adalah meningkat perlahan- lahan terutama pada sore hingga malam hari. 14
Gejala klinis yang ditemukan pada minggu kedua menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit),
lidah berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium atau psikosis. Rose spots
jarang ditemukan pada orang Indonesia.15
8,10
Beberapa gejala klinis yang sering pada typus abdominalis :

1. Demam

Demam adalah gejala khas typus. Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-
samar saja. Selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih rendah atau
normal, sore dan malam lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke hari
intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala
yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal- pegal, insomnia, anoreksia,
mual dan muntah. Pada minggu ke-2 intensitas demam makin tinggi, kadang-
kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik, maka pada minggu
ke-3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-
3. Perlu diperhatikan terhadap laporan, bahwa demam yang khas typus tidak selalu
ada. Tipe demam menjadi tidak beraturan.
2. Gangguan saluran pencernaan

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir
kering yang kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput
putih. Ujung dari tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue dan selaput
putih) dan pada penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering
mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik ,disertai nausea, mual dan muntah.
Pada awal sakit sering meteorismus dan konstipasi, pada minggu selanjutnya
kadang-kadang timbul diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan
kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran berkabut.
Bila klinis berat, tidak jarang penderita sampai somnolen dan koma atau dengan
gejala-gejala psikosis.
4. Hepatosplenomegali
Hati dan limpa ditemukan sering membesar. Hati teraba kenyal dan nyeri tekan.
5. Bardikardi relative dan gejala lain
Bradikardi relative adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah setiap peningkatan
suhu 10C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.

Gejala-gejala lain yang sering ditemukan adalah rose spot yang biasanya ditemukan di
region abdomen atas, serta gejala–gejala lain yang berhubungan dengan komplikasi. Pada anak
sangat jarang ditemukan dan lebih sering epistaksis. 8

2.5 Diagnosis

Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik

Typus abdominalis biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan


asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati
dan limpa, serta gangguan status mental. 8,10

Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu
kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan
sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia,
penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental
dan delirium.
Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada
kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari).
Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise
dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis pasti typus abdominalis berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada


3 prinsip, yaitu :
1. Isolasi bakteri.
2. Deteksi antigen mikroba.
3. Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab.
Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya positif pada 60-
80% pasien. Untuk daerah endemik dimana sering terjadi penggunaan antibiotik yang tinggi,
sensitivitas kultur darah rendah.16

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis typus abdominalis


dibagi dalam empat kelompok, yaitu :

1. Pemeriksaan darah tepi

Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukosistosis atau kadar leukosit normal.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Dapat pula ditemukan
anemia ringan dan trombositopeni. Pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi
aneosinofilia maupun limfopeni laju endap darah dapat meningkat.

2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis typus dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi
antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL
yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. 17
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada typus abdominalis meliputi :
A. Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal
terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang
berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum
terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.17
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita typus abdominalis yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis typus abdominalis. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Pada typus mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibody O. Antibodi H
timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun,
sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin
O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama
antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang
setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung
meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi,
17
tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
dengan penderita dan faktor teknis.
 Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.

6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam
akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
7. Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, yaitu :

a. Akibat aglutinin silang.

b. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

B. Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.17
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.17

Ada 4 interpretasi hasil:


 Skala < 2 Negatif : Tidak menunjukkan infeksi typus abdominalis

 Skala 3 Borderline : Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Sebaiknya dilakukan


pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi typus aktif
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi typus
C. Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan
IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase
awal infeksi pada Typus abdominalis sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan Typus abdominalis pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah
endemis dimana didapatkan tingkat transmisi typus yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus

akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan


modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
17
terhadap Ig M spesifik.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat
digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok
dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.17

D. Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai
pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan
alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas
18
laboratorium yang lengkap.
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis
typus dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika
tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas. 17
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti typus dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam
darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di
dalam urine dan feses.19
Hasil biakan yang positif memastikan typus akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan typus, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi :
(1) Jumlah darah yang diambil.
(2) Perbandingan volume darah dari media empedu.
(3) Waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur
hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi
oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa
kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah
walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi
antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah
media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut.19,20
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40- 80% atau 70-
90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu
ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan
antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media
kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-
15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama.
Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai
sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap
positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini
terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan
kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik
akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak.
Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah
19,20
dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam
darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang
19,20
tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang
rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta
peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak
19,20
tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

2.6 Diagnosis Banding


Pada stadium dini typus abdominalis, beberapa penyakit secara klinis dapat menjadi
diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa
penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur
sistemik, infeksi saluran kemih, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu
dipikirkan. Pada typus yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai
dignosis banding.20

2.7 Tatalaksana
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.16
Tirah baring sangat dibutuhkan untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan
perforasi. Bila penyakit membaik, pasien harus segera mobilisasi bertahap sesuai dengan
10
pulihnya kekuatan penderita.

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi
usus atau mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita typus, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa. Bila keadaan penderita
baik diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim (diet padat dini). Namun bila keadaan
klinik berat dapa dimulai dengan dengan diet bubur atau cair dan perlahan diubah sesuai
dengan tingkat kesembuhan pasien. Pasien dengan kesadaran menurun diberi diet entral
atau dengan NGT. Diet parenteral diberikan pada pasien dengan tanda-tanda perdarahan
dan atau perforasi.10
c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya. 10
Medika Mentosa
a) Simptomatik

Demam yang merupakan gejala utama pada typus dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol
dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan
turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran
cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin.
Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih
dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin. Selain
10
antipiretik juga dapat diberikan vitamin dan antiemetik bila penderita muntah hebat.
b) Antimikroba
10
Strategi pemberian antimikroba untuk Typus Abdominalis :

1. Antimikroba segera diberikan setelah diagnosis dibuat.

2. Antimikroba yang diberikan sebagai terapi awal adalah kelompok antimikroba


lini pertama. Antibiotik lini pertama adalah :10
 Kloramfenikol, masih merupakan pilihan untuk mengobati typus. Dosis
yang diberikan adalah 4x500 mg per hari dapat diberikan secara per oral
atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.
Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester
ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.
Kloramfenikol tidak diberikan bila leukosit <2000/mm3.
 Ampisilin dan Amoksilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan
demam lebih rendah dari kloramfenikol. Dosis yang diberikan sekitar
50-150mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu. 1Aman untuk wanita
hamil. Sering dikombinasikan dengan kloramfenikol pada pasien kritis.
Pemberian peroral dan intravena.
3. Pengobatan typus abdominalis pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ketiga kehamilan karena
dikhawatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey
syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama
kehamilan karena kemungkinan efek teratogenic terhadap fetus pada manusia.
6
Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksilin dan seftriakson.

2.8 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian:18
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda –
tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.

2. Komplikasi diluar usus halus

a) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang-kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas
normal. Bila disertai kejang-kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila
sembuh sering diikuti oleh gejala sisa sesuai dengan lokasi yang terkena.

b) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier temporer-
ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien
konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam
mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang
sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin
perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan kolelithiasis. Pasien dengan traktus
urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri
pada urinya dalam waktu yang lama.
2.9 Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. 20
2.10 Pencegahan

1. Meningkatkan hiegine perorangan dengan cara rajin mencuci tangan.

Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun selama 30 detik terutama sebelum makan atau mempersiapkan
makanan atau setelah menggunakan toilet. Jika tidak tersedia air bisa menggunakan
pembersih tangan berbasis alkohol. Setiap tangan yang berkontak dengan feses, urin,
atau dubur harus dicuci pakai sabun dan kalau perlu disikat.
2. Peningkatan hiegine makanan dan minuman

Transmisi utama Salmonella adalah melalui air minum dan makanan. Perlu
diingat “Golden rules of WHO” dalam promosi makanan yaitu:

a. Pilih hati-hati makanan yang sudah diproses, demi keamanan

b. Panaskan kembali secara benar makanan yang sudah dimasak.

c. Mencuci tangan dengan sabun.

d. Permukaan dapur dibersihkan dengan cermast

e. Lindungi makanan dari serangga, binatang pengerat dan binatang lainnya.

f. Gunakan air bersih.

3. Perbaikan sanitasi lingkungan

Beberapa hal yang menjadi masalah dalam kesehatan lingkungan adalah penyediaan
air minum, pengawasan terhadap makanan dan air serta sistem pembuangan kotoran dan
limbah.beberapa usaha dalam perbaikan sanitasi lingkungan adalah :
a. Penyediaan air besih yang aman, terkhlorinasi, terlindungi dan terawasi.
Sebaiknya untuk air minum, masyarakat memasaknya sampai mendidih, kurang
lebih 10 menit. Pemanasan sampai suhu 60°C beberapa menit dan secara merata
dapat membunuh kuman Salmonella typhi.
b. Jamban keluarga yang memenuhi standar kesehatan dan tidak terkontaminasi oleh
lalat dan serangga lain
c. Pengelolahan air limbah, kotoran dan sampah harus benar, sehingga tidak
mencemari lingkungan. Selokan dan saluran limbah lainnya jangan sampai
dicemaritinja manusia

4. Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi.


Terdapat beberapa jenis vaksin tifoid, yakni:10
a. Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a.Vaksin ini tersedia
dalam sediaan salut enterik dan cair. Diberikan per oral tiga kali dengan interval
pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil,
menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik,
dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2
tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun. Vaksin ini memberikan efikasi
perlindungan 67-82%.
b. Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa
0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2
dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek
samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan
nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam,
hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak
beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan
yang pendek.
BAB III

KESIMPULAN

Typus Abdominalis adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang dsebabkan
oleh bakteri Salmonella Typhi yang ditandai oleh demam, dan diperkuat dengan bakteremia.
Gejala klinis yang ditemukan berupa demam, bradikardia relatif, lidah berselaput, hepatomegali,
splenomegali, meteorismus, bahkan gangguan mental. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
anamnesia, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah, uji serologi,
dan pemeriksaan bakteriologis. Penatalaksanaan dari penyakit ini terdiri dari trilogi, yaitu tirah
baring, diet dan antibiotika.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan,
sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang
masih rendah. Sehingga diperlukan pencegahan dan promosi yang bermanfaat bagi masyarakat
seperti cara cuci tangan yang benar, konsumsi makanan dan minuman yang bersih, tidak
membuang sampah sembarangan dan tidak buang air besar di sungai.
Daftar Pustaka
1. Darmawati, S, 2009. Keanekaragaman Genetik Salmonella Typhi. Jurnal Kesehataan
FIKKSES UNIMUS, Semarang.
2. WHO. 2018. Weekly Epidemiological Record. Geneva: WHO
3. Centers for Disease Control and Prevenion. Morbidity and Mortality Weekly Report
(MMWR) 2008;83(6): 49–60.
4. Widoyono. Penyakit Tropis. Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Edisi kedua. Erlangga : Jakarta. 2011.
5. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment
and prevention of typhoid fever. World Health Organization; 2003.
6. Djoko Widodo. 2016. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi 6. Jakarta: Internal
7. Rampengan T.H dan Laurentz I.R. 2007. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta:
EGC.
8. Widiyono. Buku ajar Penyakit Tropis. Edisi II. Semarang: Penerbit Erlangga; 2011. 6.
9. Sherwood L. Energy Balance and Temperature Regulation. Dalam: Sherwood L, Editor
Human Physiology. From Cells To Systems. Edisi Keempat. Australia: Brooks/Cole;
2001: 613-614
10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.2006. Pedoman pengendalian demam tifoid.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
11. Nelwan R.H.H., 2012, Tata Laksana Terkini Demam Tifoid, Continuing Medical
Education, CDK- 192/Vol. 39, no 4, halaman 248-249.
12. Karyanti, M. R., 2012. Pemeriksaan Diagnostik Terkini Untuk Demam Tifoid. In: S. R.
hadinegoro, et al. eds. Update Management of Infectious Disease And Gastorintestinal
Disorders. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, pp. 1-7.
13. Gibani MM, Britto C, Jin C, Meiring J, Pollard A. The diagnosis, treatment and
prevention of typhoid fever. Geneva: World Health Organization (unpublished report);
2016.
14. Ardiaria M. Epidemiologi, manifestasi klinis, dan penatalaksanaan demam tifoid.Jurnal
of nutrition and health. 2019;7: 32-38.
15. Parry CM, Wijedoru L, Arjyal A, Baker S. The utility of diagnostic tests for enteric fever
in endemic locations. Expert Rev Anti Infect Ther. 2011;9(6):711–25.
16. Tjokroprawiro A. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi 1.
Surabaya: Airlangga University Press; 2015.
17. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya: FK UNAIR; 2010: 1-10.
18. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
19. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2003. h. 2-20.
20. Wibisono E, Ade S, Leonard N. Demam Tifoid. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran Jilid
2. Ed 4. Jakarta: Media Aesculapius. 2014. h. 721-723

Anda mungkin juga menyukai