Anda di halaman 1dari 17

REFRESHING

INITIAL ASSESSMENT TRAUMA


Pembimbing :

dr. M. Riza E.A., Sp.B

Disusun Oleh :

Kusuma Intan

2011730145

KEPANITRAAN KLINIK STASE BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
2020

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-NYA saya dapat
menyelesaikan refreshing pada stase Bedah ini khususnya tentang Initial Assessment Trauma
selesai sesuai dengan yang diharapakan.
Saya ucapkan terima kasih banyak kepada dokter pembimbing yaitu: dr. M. Riza
E.A., Sp.B yang telah bersedia meluangkan waktunya dalam menyelesaikan tugas ini dengan
baik. Semoga refreshing ini bermanfaat dalam rangka membina dokter – dokter yang bernilai
lebih dalam menangani kesehatan masyarakat.
Kurang lebihnya saya mohon maaf, kebenaran datangnya dari Allah SWT dan
kesalahan datangnya dari diri kami sebagai manusia. Mudah-mudahan refreshing ini dapat
bermanfaat bagi kita semua terutama untuk pembaca sekalian.
Waalaikumussalam wr.wb

Jakarta, Mei 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Penilaian awal/Initial Assessment merupakan salah satu item kegawatdaruratan yang sangat
mutlak harus dilakukan untuk mengurangi resiko kecacatan bahkan kematian. Sistem
Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma
yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera. Pada penelitian
yang dilakukan di Kanada selama 5 tahun, 96,3% trauma disebabkan oleh trauma tumpul.
Penyebab trauma tumpul berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas (70%), bunuh diri
(10%), jatuh (8%), pembunuhan (7%), dan lain-lain (5%). Banyak kejadian tersebut yang
akhirnya menuju kedalam kegawatdaruratan.

Berdasarkan penelitian diatas, seorang tenaga kesehatan harus mampu melakukan penilaian
awal, sehingga mampu memberikan tindakan yang tepat sesuai dengan tujuan penilaian awal.
Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera / kelainan
yang mengancam jiwa dan untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk mengatur kecepatan
dan efisiensi tindakan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian initial assesment

Initial Assessment adalah proses penilaian awal pada penderita trauma disertai pengelolaan
yang tepat guna untuk menghindari kematian. Ketika melakukan pengkajian, pasien harus
aman dan dilakukan secara cepat dan tepat dengan mengkaji tingkat kesadaran (Level Of
Consciousness) dan pengkajian ABC (Airway, Breathing, Circulation), pengkajian ini
dilakukan pada pasien memerlukan tindakan penanganan segera dan pada pasien yang
terancam nyawanya.
Initial assesment meliputi :
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey
6. Secondary survey (anamnesis dan pemeriksaan fisik)
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
9. Penanganan definitive

Penilaian awal ini intinya adalah :


1. Primary survey, yaitu penanganan ABCDE dan resusitasi. Disini dicari keadaan yang
mengancam nyawa, dan apabila menemukan harus dilakukan resusitasi.
2. Secondary survey, yaitu head to toe/ pemeriksaan yang teliti dari ujung kepala sampai
kaki
3. Penanganan definitive atau menetap

1. Persiapan

Persiapan pada penderita berlangsung dalam dua fase yang berbeda, yaitu fase pra rumah
sakit / pre hospital, dimana seluruh penanganan penderita berlangsung dalam koordinasi
dengan dokter di rumah sakit. Fase kedua adalah fase rumah sakit/hospital dimana dilakukan
persiapan untuk menerima penderita sehingga dapat dilakukan resusitasi dengan cepat.
a. Fase pra rumah sakit
Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas di lapangan akan
menguntungkan penderita. Pada fase pra rumah sakit, hal yang perlu diperhatikan
adalah penjagaan airway, kontrol pendarahan dan syok, imobilisasi penderita dan
segera dibawa ke rumah sakit terdekat dengan fasilitas yang memadai.
Waktu di tempat kejadian (scene time) yang lama harus dihindari. Selain itu juga
penting mengumpulkan keterangan yang nanti dibutuhkan di rumah sakit, seperti
waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian, serta riwayat penderita.
Sehingga dapat ditentukan jenis dan berat dari trauma.
Yang harus dilakukan oleh seorang paramedik adalah :

- Menjaga Airway dan Breathing,


- Kontrol perdarahan dan syok,
- Imobilisasi penderita,
- Pengiriman kerumah sakit terdekat yang cocok

Pada fase ini dibutuhkan :


 Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas lapangan.
 Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum
penderita mulai diangkut dari tempat kejadian.
 Pada fase pra-rumah sakit titik berat diberikan pada penjagaan airway,
kontrol perdarahan dan syok, imobilisasi penderita dan segera ke rumah
sakit terdekat.
 Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti
waktu kejadian, sebab kejadian. Mekanisme kejadian dapat menerangkan
jenis dan berat perlukaan.

b. Fase rumah sakit


Pada fase rumah sakit perlu dilakukan perencanaan sebelum penderita tiba, sebaiknya
ada ruangan khusus resusitasi serta perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal
tube) yang sudah dipersiapkan. Selain itu, perlu dipersiapkan cairan kristaloid (mis :
RL) yang sudah dihangatkan, perlengkapan monitoring serta tenaga laboratorium dan
radiologi. Semua tenaga medik yang berhubungan dengan penderita harus
dihindarkan dari kemungkinan penularan penyakit menular dengan cara penganjuran
menggunakan alat-alat protektif seperti masker/face mask, kaca mata/google, baju
kedap air, sepatu dan sarung tangan kedap air.

2. Triase

Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang
tersedia. Terapi didasarkan pada prioritas ABC (Airway dengan kontrol vertebra servikal),
Breathing, dan Circulation dengan kontrol perdarahan.
Terdapat 2 jenis keadaan triase yang dapat terjadi :
 Multiple casualties

Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah


sakit. Penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan
mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
 Mass casualties

Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit.


Penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu,
perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit akan mendapatkan prioritas penanganan
lebih dahulu.

Triase juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah sakit yang akan
dirujuk. Ada beberapa tingkatan triase yang dijelaskan berikut ini :
 Merah / Urgent
Korban dengan luka yang mengancam jiwa membutuhkan perawatan lebih lanjut
atau tindakan operasi sesegera mungkin <1 jam dari waktu kejadian. Contohnya,
cedera kepala sedang-berat, peritonitis, tetanus, syok, dll.

 Kuning / Delayed
Korban yang dapat ditunda evakuasi medis setelah korban merah selesai di
evakuasi. Korban dalam kondisi stabil tetapi tetap memerlukan perawatan lebih lanjut.
Contohnya, diare dengan dehidrasi sedang yang sudah stabil, HNP, dll.

 Hijau / Minor
Korban ini akan dievakuasi setelah prioritas 1 dan 2 selesai dievakuasi. Pasien
dengan luka ini memerlukan pertolongan dokter tetapi bisa ditunda beberapa jam/hari.
Tetapi, akan dimonitor terus sambil menunggu giliran dievakuasi dan korban masih
dapat berjalan.

 Hitam
Korban ini sudah meninggal atau tidak bernafas meskipun jalan nafas sudah
dibebaskan. Korban meninggal dibiarkan di tempat kejadian dan diangkat belakangan
setelah semuanya tertolong.
3. Primary Survey

Pada tahap ini harus dicari keadaan yang mengancam nyawa, tetapi sebelum
memegang penderita trauma selalu harus proteksi diri terlebih dahulu untuk
menghindari tertular penyaklit seperti hepatitis, dan AIDs.

Alat proteksi diri sebaiknya :


- Sarung tangan
- Kaca mata terutama apabila penderita menyemburkan darah
- Apron, melindungi pakaian sendiri
- Sepatu

Langkah pertama : memakai alat proteksi diri

Lakukan Primary Survey atau mencari keadaan yang mengancam nyawa adalah:
 Airway dengan kontrol servikal (gangguan airway adalah pembunuh
tercepat)
 Breathing dan Ventilasi
 Circulation dengan kontrol perdarahan
 Disability : status neurologis dan nilai GCS
 Exposure/environmental : buka baju penderita tetapi cegah hipotermia

Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan
jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme trauma. Pada primary survey dilakukan
usaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu dengan berpatokan
pada urutan berikut :
A : Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maxilla, fraktur laring/trakhea. Usaha untuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal (servical spine control), dimulai dengan melakukan chin lift
atau jaw trust. Jika dicurigai ada kelainan pada vertebra servikalis berupa fraktur maka harus
dipasang alat immobilisasi serta dilakukan foto lateral servikal.
Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS
(Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada penderita dengan gerakan motorik yang tidak bertujuan.
B : Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat
ekspansi pernafasan dan dilakukan auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam
paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura.
Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi dan mengenali kemungkinan terdapat distensi vena jugularis, deviasi
trakhea, ekspansi pernafasan, dan trauma dinding dada.
Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension
pneumothoraks, flailchest dengan kontusio paru dan open pneumotoraks. Sedangkan trauma
yang dapat mengganggu ventilasi dengan derajat lebih ringan adalah hematothoraks, simple
pneumothoraks, patahnya tulang iga, dan kontusio paru.
C : Circulation
1. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi dengan terapi yang
cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada trauma harus dianggap
disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka
diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita yang meliputi :

a. Tingkat kesadaran

Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
b. Warna kulit

Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
c. Nadi

Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri
karotis kiri dan kanan untuk melihat kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang
tidak cepat, kuat, dan teratur, biasanya merupakan tanda normovolemia. Nadi yang
cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, sedangkan nadi yang tidak teratur
merupakan tanda gangguan jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi dari arteri besar
maka merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi segera.
2. Pengelolaan circulation dengan control perdarahan

a. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal 


b. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi
pada ahli bedah
c. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah
untuk pemeriksaan  rutin, kimia  darah, tes  kehamilan  (pada wanita usia
subur), golongan darah serta Analisis Gas Darah.
d. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e. Cegah hipotermia

D : Disability/neurologic evaluation
Pada tahapan ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat atau level cedera spinal. GCS / Glasgow Coma Scale adalah sistem
skoring sederhana dan dapat meramal outcome penderita. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan oleh penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan
trauma langsung.
E : Exposure/environmental
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan cara menggunting dengan
tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka penderita harus
diselimuti dan ditempatkan pada ruangan yang cukup hangat..

4. Resusitasi

Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam nyawa merupakan hal
yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.
A. Airway
Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai nasofaringeal airway. Bila penderita
tidak sadar dan tidak ada refleks batuk (gag refleks) dapat dipakai orofaringeal
airway.
B. Breathing
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor mekanik, ada
gangguan ventilasi dan atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi
endotrakheal baik oral maupun nasal. Surgical airway / krikotiroidotomi dapat
dilakukan bila intubasi endotrakheal tidak memungkinkan karena kontraindikasi atau
karena masalah teknis.
C. Circulation
Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua IV line. Kateter IV yang
dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena pada
lengan. Selain itu bisa juga digunakan jalur IV line yang seperti vena seksi atau vena
sentralis. Pada saat memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk
pemeriksaan laboratorium rutin serta pemeriksaan kehamilan pada semua penderita
wanita berusia subur.
Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 1-2 liter cairan kristaloid, sebaiknya
Ringer Laktat. Bila tidak ada respon, berikan darah segulungan atau (type specific).
Jangan memberikan infus RL dan transfusi darah terus menerus untuk terapi syok
hipovolemik. Dalam keadaan harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan
perdarahan.

Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah, Berdasarkan Presentasi Penderita Semula

KELAS I Kelas II Kelas III Kelas IV

Kehilangan Darah Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000


(mL)
Kehilangan Darah Sampai 15% 15%-30% 30%-40% >40%
(% volume darah)

Denyut Nadi <100 >100 >120 >140

Tekanan Darah Normal Normal Menurun Menurun

Tekanan nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun


Naik
(mm Hg)

Frekuensi 14-20 20-30 30-40 >35


Pernafasan

Produksi Urin >30 20-30 5-15 Tidak berarti

(mL/jam)

CNS/ Status Sedikit cemas Agak cemas Cemas, Bingung,lesu

Mental bingung (lethargic)

Penggantian Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan


Cairan darah darah

(Hukum 3:1)

5. Tambahan pada primary survey

A. Kateter urin dan lambung

 Kateter uretra

Produksi urine merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan perkusi
ginjal dan hemodinamik penderita. Kateter urin jangan dipasang jika dicurigai ada
ruptur uretra yang ditandai dengan :
1. Adanya darah di orifisium uretra eksterna (metal bleeding)
2. Hematom di skrotum atau perineum
3. Pada Rectal Toucher, prostat letak tinggi atau tidak teraba.

Adanya fraktur pelvis.


Bila dicurigai ruptur uretra harus dilakukan uretrogram terlebih dahulu.
 Kateter lambung atau NGT
Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan mengurangi
kemungkinan muntah. Isi lambung yang pekat mengakibatkan NGT tidak
berfungsi, lagipula pemasangannya sendiri dapat mengakibatkan muntah. Darah
dalam lambung dapat disebabkan darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatik
atau perlukaan lambung. Bila lamina kribosa patah atau diduga patah, kateter
lambung harus dipasang melalui mulut untuk mencegah masuknya NGT dalam
rongga otak. Dalam keadaan ini semua pipa jangan di masukkan lewat jalur naso-
faringeal.

B. Monitor
Monitoring hasil resusitasi sebaiknya didasarkan pada penemuan klinis seperti laju
nafas, nadi, tekanan nadi, tekanan darah, ABG (Arterial Blood Gases), suhu tubuh
dan keluaran (output) urin hasil pemeriksaan di atas harus didapat secepatnya setelah
menyelesaikan survei primer.

1. Laju nafas dan ABG dipakai untuk menilai airway dan breathing. ETT dapat
berubah posisi pada saat penderita berubah posisi. Alat pengukur CO2 secara
kolorimetrik mengukur End-Tidal CO2 dan merupakan cara yang baik untuk
menetapkan bahwa posisi ETT dalam trakhea, dan bukan dalam esofagus.
Penggunaan alat ini tidak dapat menentukan bahwa letak ETT sudah tepat.
2. Penggunaan Pulse oximetri mengukur kadar O2 saturasi, bukan PaO2. Suatu sensor
diletakkan pada ujung jari atau cuping telinga, dan kemudian mengukur saturasi O2,
biasanya sekaligus tercatat denyut nadi.
3. Pada penilaian tekanan darah harus disadari bahwa tekanan darah ini merupakan
indikator yang kurang baik guna menilai perfusi jaringan.

C. Pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan tambahan lainnya

Pasang EKG
i. Monitor EKG dipasang pada semua penderita trauma
ii. Disritmia, fibrilasi atrium atau ekstra-sistol dan perubahan segmen ST dapat
disebabkan kontusio jantung
iii. Pulseless Electrical Activity mungkin disebabkan tamponade jantung, tension
pneumothoraks dan atau hipovolemia berat
iv. Bila ditemukan bradikardi, konduksi aberan atau ekstrasistole harus dicurigai
adanya hipoksia dan hipoperfusi
v. Hipotermia dapat menampakkan gambaran disritmia

 Pasang kateter uretra


i. Kecurigaan adanya ruptur uretra ditandai oleh adanya darah di orifisium uretra
eksterna, hematoma diskrotum dan perineum, pada colok dubur prostat letak tinggi
atau tidak teraba, adanya fraktur pelvis merupakan kontra indikasi pemasangan
kateter uretra.
ii. Bila terdapat kesulitan pemasangan kateter karena striktur uretra atau BPH,
jangan dilakukan manipulasi atau instrumentasi, segera konsultasikan pada
bagian bedah.
iii. Ambil sampel urine untuk pemeriksaan urine rutine.
iv. Produksi urine merupakan indikator yang peka untuk menilai perfusi ginjal dan
hemodinamik penderita. Urine normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang
dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam pada bayi.

 Pasang kateter lambung


i. Digunakan untuk mengurangi distensi lambung dan mengurangi kemungkinan
muntah.
ii. Selalu tersedia alat suction selama pemasangan kateter lambung, karena bahaya
aspirasi bila pasien muntah.
iii. Bila terdapat kecurigaan fraktur basis kranii atau trauma maksilofacial yang
merupakan kontraindikasi pemasangan nasogastric tube, gunakan orogastric tube.

 Monitoring hasil resusitasi dan laboratorium


Monitoring didasarkan atas penemuan klinis; nadi, laju nafas, tekanan darah, Analisis
Gas Darah (BGA), suhu tubuh dan output urine dan pemeriksaan laboratorium darah.

 Pemeriksaan foto rontgen dan pemeriksaan tambahan lainnya


i. Pemeriksaan foto rotgen harus selektif dan jangan sampai menghambat proses
resusitasi. Bila belum memungkinkan, dapat dilakukan pada saat secondary survey
ii. Foto thoraks dapat mengenali kelainan yang mengancam jiwa, foto pelvis
menunjukan adanya fraktur pelvis yang kemudian membutuhkan pemberian darah
dan foto servikal lateral yang menunjukan fraktur merupakan penemuan yang
sangat penting, tetapi bila tidak tampak fraktur belum menyingkirkan
kemungkinan fraktur.
iii. Pemeriksaan DPL ( Diagnostic Peritoneal Lavage) dan USG abdomen merupakan
pemeriksaan yang bermanfaat untuk menentukan adanya perdarahan
intraabdomen.

6. Secondary survey
Survei sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe examination),
termasuk re-evaluasi pemeriksaan tanda vital.

A. Anamnesis
Setiap pemeriksaan lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat perlukaan.
Biasanya data ini tidak bisa didapat dari penderita sendiri dan harus didapat dari
keluarga atau petugas lapangan.
A : alergi
M : medikasi atau obat obatan
P : penyakit sebelumnnya yang diderita: hipertensi, DM
L : last meal (terakhir makan jam berapa, bukan makan apa)
E : events , hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cidera
Dapatkan riwayat AMPLE dari penderita keluarga atau petugas praRS
B. Pemeriksaan Fisik
Meliputi insfeksi , auskutasi , palpasi dan perkusi.
1. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Cukup sering terjadi bahwa penderita yang
nampaknya cidera ringan, tiba tiba ada darah dilantai yang berasal dari tetesan luka
dibelakang kepala. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk
adanya laserasi, kontusi, fraktur dan luka termal.
2. Wajah
Apabila cidera sekitar mata maka jangan lalai memeriksa mata, karna
pembengkakan dimata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi
sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan score GCS.
- mata : periksa korena ada cidera atau tidak, pupil isokori serta refleks cahaya,
acies visus dan acies campus.
- hidung : apabila pembengkakan, dilakukan palpasi akan kemungkinnan akan
krepitasi dari suatu faktor.
- zygoma : apabila ada pembengkakan jangan lupa mencari krepitasi akan adanya
fraktur zigoma.
- telinga : periksa dengan senter mengenai keutuhan membran timpani atau adanya
hemotimpanum.
- rahang atas : periksa stabilitas rahang atas.
- rahang bawah : periksa akan adanya fraktur.
3. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan lupa untuk seorang
pembantu tetap melakukan fiksasi. Periksa adanya cidera tumpul atau tajam,
devisiasi trakea , dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri,
deformitas , pembengkakan , emfisima subkutan , deviasi trakea, dan simetri
pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway
pernafasan dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder,
dan lepaskan lensa kontak .
4. Toraks
Inspeksi dinding dada bagian depan samping dan belakang untuk adanya trauma
tumpul atau tajam pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspamsi toraks
bilateral. Auskultasi pada bagian depan untuk bising nafas (bilateral) dan bising
jantung. Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam atau tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi. Perkusi untuk adanya hipersonar dan
keredupan. Ingat bahwa setiap cidera dibawah puting susu ada kemungkinan cidera
intra abdominal pula.
5. Abdomen
Cidera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis,misalnya pada keadaan
cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan
(penderita tidak akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/ lepas
tidak ada). Infeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma
tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal. Auskultasi bising usus, perkusi
abdomen untuk mendapatkan nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk nyeri
tekan ,defans ,muskuler, ngeri lepas yang jelas, atau uterus yang hamil. Bila ragu-
ragu akan adanya perdarahan intra-abdominal dapat dilakukan pemeriksaan DPL
(diagnostic peritoneal lavage), ataupun USG (ultra-sonography).
Ingat bahwa pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin
tidak akan nampak dengan segera, karena itu memerlukan re-evaluasi berulang-
kali.
Pengelolaan: Transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan.
6. Pelvis
Cedera pada pelvis yang berat,akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis
menjadi tidak stabil). Pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk
dalam keadaan syok, yang aharus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/
gurita untuk kontrol perdarahan dari fraktur pelvis.
7. Ekstermitas
Pada saat inspeksi, jangan lupa untuk memeriksa adanya luka dekat daerah fraktur
(fraktur terbuka) , pada saat palpasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi
distal dari fraktur , pada saat menggerakkan , jangan dipaksakan bila jelas fraktur.
Sindroma kompartemen (tekanan intra-kompartemen dalam ekstremitas meninggi
sehingga membahayakan aliran darah) mungkin luput terdiagnosis pada penderita
dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan.
8. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dengan ‘log roll’ (memiringkan penderita dengan
tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan pemeriksaan
punggung.

7. Tambahan terhadap secondary survey


Dalam melakukan secondary survey, dapat dilakukan pemeriksaan diagnostic yang lebih
spesifik seperti misalnya foto tambahan dari tulang belakang serta ekstremitas, CT-Scan
kepala, dada, abdomen dan spine, urografi dan angiografi, USG transesofageal,
bronkoskopi, esofagoskopi dan prosedur diagnostic lain.

8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan


Penurunan keadaan dapat dikenali apabila dilakukan evaluasi ulang secara terus menerus,
sehingga gejala yang baru timbul, segera dapat dikenali dan dapat ditangani secepatnya.
Monitoring tanda vital dan produksi urin sangat penting. Produksi urin pada orang dewasa
sebaiknya dijaga ½ cc/kgBB/jam, pada anak 1 cc/kgBB/jam.

Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Rasa nyeri dan ketakuatan akan
timbul pada penderita trauma, terutama pada perlukaan muskuloskeletal. Golongan opiat
atau anxiolitika harus diberikan secara intravena dan sebaiknya jangan intra-muskular.

9. Penanganan definitif
Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria. Kriteria
ini memakai data fisiologis penderita, cedera anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit
penyerta serta faktor – faktor yang dapat mempengaruhi prognosis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Advanced Trauma Life Support (ATLS) for Doctors. (2015).8th Edition.


2. Agus, Purwanto. 2010. Basic Trauma Life Support dan Basic Cardiac Life Support
ed. III. Jakarta: Yayasan ambulans Gawat Darurat 118

Anda mungkin juga menyukai