Disusun Oleh :
Kusuma Intan
2011730145
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-NYA saya dapat
menyelesaikan refreshing pada stase Bedah ini khususnya tentang Initial Assessment Trauma
selesai sesuai dengan yang diharapakan.
Saya ucapkan terima kasih banyak kepada dokter pembimbing yaitu: dr. M. Riza
E.A., Sp.B yang telah bersedia meluangkan waktunya dalam menyelesaikan tugas ini dengan
baik. Semoga refreshing ini bermanfaat dalam rangka membina dokter – dokter yang bernilai
lebih dalam menangani kesehatan masyarakat.
Kurang lebihnya saya mohon maaf, kebenaran datangnya dari Allah SWT dan
kesalahan datangnya dari diri kami sebagai manusia. Mudah-mudahan refreshing ini dapat
bermanfaat bagi kita semua terutama untuk pembaca sekalian.
Waalaikumussalam wr.wb
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Penilaian awal/Initial Assessment merupakan salah satu item kegawatdaruratan yang sangat
mutlak harus dilakukan untuk mengurangi resiko kecacatan bahkan kematian. Sistem
Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma
yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera. Pada penelitian
yang dilakukan di Kanada selama 5 tahun, 96,3% trauma disebabkan oleh trauma tumpul.
Penyebab trauma tumpul berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas (70%), bunuh diri
(10%), jatuh (8%), pembunuhan (7%), dan lain-lain (5%). Banyak kejadian tersebut yang
akhirnya menuju kedalam kegawatdaruratan.
Berdasarkan penelitian diatas, seorang tenaga kesehatan harus mampu melakukan penilaian
awal, sehingga mampu memberikan tindakan yang tepat sesuai dengan tujuan penilaian awal.
Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera / kelainan
yang mengancam jiwa dan untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk mengatur kecepatan
dan efisiensi tindakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Initial Assessment adalah proses penilaian awal pada penderita trauma disertai pengelolaan
yang tepat guna untuk menghindari kematian. Ketika melakukan pengkajian, pasien harus
aman dan dilakukan secara cepat dan tepat dengan mengkaji tingkat kesadaran (Level Of
Consciousness) dan pengkajian ABC (Airway, Breathing, Circulation), pengkajian ini
dilakukan pada pasien memerlukan tindakan penanganan segera dan pada pasien yang
terancam nyawanya.
Initial assesment meliputi :
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey
6. Secondary survey (anamnesis dan pemeriksaan fisik)
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
9. Penanganan definitive
1. Persiapan
Persiapan pada penderita berlangsung dalam dua fase yang berbeda, yaitu fase pra rumah
sakit / pre hospital, dimana seluruh penanganan penderita berlangsung dalam koordinasi
dengan dokter di rumah sakit. Fase kedua adalah fase rumah sakit/hospital dimana dilakukan
persiapan untuk menerima penderita sehingga dapat dilakukan resusitasi dengan cepat.
a. Fase pra rumah sakit
Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas di lapangan akan
menguntungkan penderita. Pada fase pra rumah sakit, hal yang perlu diperhatikan
adalah penjagaan airway, kontrol pendarahan dan syok, imobilisasi penderita dan
segera dibawa ke rumah sakit terdekat dengan fasilitas yang memadai.
Waktu di tempat kejadian (scene time) yang lama harus dihindari. Selain itu juga
penting mengumpulkan keterangan yang nanti dibutuhkan di rumah sakit, seperti
waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian, serta riwayat penderita.
Sehingga dapat ditentukan jenis dan berat dari trauma.
Yang harus dilakukan oleh seorang paramedik adalah :
2. Triase
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang
tersedia. Terapi didasarkan pada prioritas ABC (Airway dengan kontrol vertebra servikal),
Breathing, dan Circulation dengan kontrol perdarahan.
Terdapat 2 jenis keadaan triase yang dapat terjadi :
Multiple casualties
Triase juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah sakit yang akan
dirujuk. Ada beberapa tingkatan triase yang dijelaskan berikut ini :
Merah / Urgent
Korban dengan luka yang mengancam jiwa membutuhkan perawatan lebih lanjut
atau tindakan operasi sesegera mungkin <1 jam dari waktu kejadian. Contohnya,
cedera kepala sedang-berat, peritonitis, tetanus, syok, dll.
Kuning / Delayed
Korban yang dapat ditunda evakuasi medis setelah korban merah selesai di
evakuasi. Korban dalam kondisi stabil tetapi tetap memerlukan perawatan lebih lanjut.
Contohnya, diare dengan dehidrasi sedang yang sudah stabil, HNP, dll.
Hijau / Minor
Korban ini akan dievakuasi setelah prioritas 1 dan 2 selesai dievakuasi. Pasien
dengan luka ini memerlukan pertolongan dokter tetapi bisa ditunda beberapa jam/hari.
Tetapi, akan dimonitor terus sambil menunggu giliran dievakuasi dan korban masih
dapat berjalan.
Hitam
Korban ini sudah meninggal atau tidak bernafas meskipun jalan nafas sudah
dibebaskan. Korban meninggal dibiarkan di tempat kejadian dan diangkat belakangan
setelah semuanya tertolong.
3. Primary Survey
Pada tahap ini harus dicari keadaan yang mengancam nyawa, tetapi sebelum
memegang penderita trauma selalu harus proteksi diri terlebih dahulu untuk
menghindari tertular penyaklit seperti hepatitis, dan AIDs.
Lakukan Primary Survey atau mencari keadaan yang mengancam nyawa adalah:
Airway dengan kontrol servikal (gangguan airway adalah pembunuh
tercepat)
Breathing dan Ventilasi
Circulation dengan kontrol perdarahan
Disability : status neurologis dan nilai GCS
Exposure/environmental : buka baju penderita tetapi cegah hipotermia
Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan
jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme trauma. Pada primary survey dilakukan
usaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu dengan berpatokan
pada urutan berikut :
A : Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maxilla, fraktur laring/trakhea. Usaha untuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal (servical spine control), dimulai dengan melakukan chin lift
atau jaw trust. Jika dicurigai ada kelainan pada vertebra servikalis berupa fraktur maka harus
dipasang alat immobilisasi serta dilakukan foto lateral servikal.
Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS
(Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada penderita dengan gerakan motorik yang tidak bertujuan.
B : Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat
ekspansi pernafasan dan dilakukan auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam
paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura.
Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi dan mengenali kemungkinan terdapat distensi vena jugularis, deviasi
trakhea, ekspansi pernafasan, dan trauma dinding dada.
Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension
pneumothoraks, flailchest dengan kontusio paru dan open pneumotoraks. Sedangkan trauma
yang dapat mengganggu ventilasi dengan derajat lebih ringan adalah hematothoraks, simple
pneumothoraks, patahnya tulang iga, dan kontusio paru.
C : Circulation
1. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi dengan terapi yang
cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada trauma harus dianggap
disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka
diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita yang meliputi :
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
c. Nadi
Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri
karotis kiri dan kanan untuk melihat kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang
tidak cepat, kuat, dan teratur, biasanya merupakan tanda normovolemia. Nadi yang
cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, sedangkan nadi yang tidak teratur
merupakan tanda gangguan jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi dari arteri besar
maka merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi segera.
2. Pengelolaan circulation dengan control perdarahan
D : Disability/neurologic evaluation
Pada tahapan ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat atau level cedera spinal. GCS / Glasgow Coma Scale adalah sistem
skoring sederhana dan dapat meramal outcome penderita. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan oleh penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan
trauma langsung.
E : Exposure/environmental
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan cara menggunting dengan
tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka penderita harus
diselimuti dan ditempatkan pada ruangan yang cukup hangat..
4. Resusitasi
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam nyawa merupakan hal
yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.
A. Airway
Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai nasofaringeal airway. Bila penderita
tidak sadar dan tidak ada refleks batuk (gag refleks) dapat dipakai orofaringeal
airway.
B. Breathing
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor mekanik, ada
gangguan ventilasi dan atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi
endotrakheal baik oral maupun nasal. Surgical airway / krikotiroidotomi dapat
dilakukan bila intubasi endotrakheal tidak memungkinkan karena kontraindikasi atau
karena masalah teknis.
C. Circulation
Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua IV line. Kateter IV yang
dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena pada
lengan. Selain itu bisa juga digunakan jalur IV line yang seperti vena seksi atau vena
sentralis. Pada saat memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk
pemeriksaan laboratorium rutin serta pemeriksaan kehamilan pada semua penderita
wanita berusia subur.
Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 1-2 liter cairan kristaloid, sebaiknya
Ringer Laktat. Bila tidak ada respon, berikan darah segulungan atau (type specific).
Jangan memberikan infus RL dan transfusi darah terus menerus untuk terapi syok
hipovolemik. Dalam keadaan harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan
perdarahan.
(mL/jam)
(Hukum 3:1)
Kateter uretra
Produksi urine merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan perkusi
ginjal dan hemodinamik penderita. Kateter urin jangan dipasang jika dicurigai ada
ruptur uretra yang ditandai dengan :
1. Adanya darah di orifisium uretra eksterna (metal bleeding)
2. Hematom di skrotum atau perineum
3. Pada Rectal Toucher, prostat letak tinggi atau tidak teraba.
B. Monitor
Monitoring hasil resusitasi sebaiknya didasarkan pada penemuan klinis seperti laju
nafas, nadi, tekanan nadi, tekanan darah, ABG (Arterial Blood Gases), suhu tubuh
dan keluaran (output) urin hasil pemeriksaan di atas harus didapat secepatnya setelah
menyelesaikan survei primer.
1. Laju nafas dan ABG dipakai untuk menilai airway dan breathing. ETT dapat
berubah posisi pada saat penderita berubah posisi. Alat pengukur CO2 secara
kolorimetrik mengukur End-Tidal CO2 dan merupakan cara yang baik untuk
menetapkan bahwa posisi ETT dalam trakhea, dan bukan dalam esofagus.
Penggunaan alat ini tidak dapat menentukan bahwa letak ETT sudah tepat.
2. Penggunaan Pulse oximetri mengukur kadar O2 saturasi, bukan PaO2. Suatu sensor
diletakkan pada ujung jari atau cuping telinga, dan kemudian mengukur saturasi O2,
biasanya sekaligus tercatat denyut nadi.
3. Pada penilaian tekanan darah harus disadari bahwa tekanan darah ini merupakan
indikator yang kurang baik guna menilai perfusi jaringan.
Pasang EKG
i. Monitor EKG dipasang pada semua penderita trauma
ii. Disritmia, fibrilasi atrium atau ekstra-sistol dan perubahan segmen ST dapat
disebabkan kontusio jantung
iii. Pulseless Electrical Activity mungkin disebabkan tamponade jantung, tension
pneumothoraks dan atau hipovolemia berat
iv. Bila ditemukan bradikardi, konduksi aberan atau ekstrasistole harus dicurigai
adanya hipoksia dan hipoperfusi
v. Hipotermia dapat menampakkan gambaran disritmia
6. Secondary survey
Survei sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe examination),
termasuk re-evaluasi pemeriksaan tanda vital.
A. Anamnesis
Setiap pemeriksaan lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat perlukaan.
Biasanya data ini tidak bisa didapat dari penderita sendiri dan harus didapat dari
keluarga atau petugas lapangan.
A : alergi
M : medikasi atau obat obatan
P : penyakit sebelumnnya yang diderita: hipertensi, DM
L : last meal (terakhir makan jam berapa, bukan makan apa)
E : events , hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cidera
Dapatkan riwayat AMPLE dari penderita keluarga atau petugas praRS
B. Pemeriksaan Fisik
Meliputi insfeksi , auskutasi , palpasi dan perkusi.
1. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Cukup sering terjadi bahwa penderita yang
nampaknya cidera ringan, tiba tiba ada darah dilantai yang berasal dari tetesan luka
dibelakang kepala. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk
adanya laserasi, kontusi, fraktur dan luka termal.
2. Wajah
Apabila cidera sekitar mata maka jangan lalai memeriksa mata, karna
pembengkakan dimata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi
sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan score GCS.
- mata : periksa korena ada cidera atau tidak, pupil isokori serta refleks cahaya,
acies visus dan acies campus.
- hidung : apabila pembengkakan, dilakukan palpasi akan kemungkinnan akan
krepitasi dari suatu faktor.
- zygoma : apabila ada pembengkakan jangan lupa mencari krepitasi akan adanya
fraktur zigoma.
- telinga : periksa dengan senter mengenai keutuhan membran timpani atau adanya
hemotimpanum.
- rahang atas : periksa stabilitas rahang atas.
- rahang bawah : periksa akan adanya fraktur.
3. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan lupa untuk seorang
pembantu tetap melakukan fiksasi. Periksa adanya cidera tumpul atau tajam,
devisiasi trakea , dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri,
deformitas , pembengkakan , emfisima subkutan , deviasi trakea, dan simetri
pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway
pernafasan dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder,
dan lepaskan lensa kontak .
4. Toraks
Inspeksi dinding dada bagian depan samping dan belakang untuk adanya trauma
tumpul atau tajam pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspamsi toraks
bilateral. Auskultasi pada bagian depan untuk bising nafas (bilateral) dan bising
jantung. Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam atau tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi. Perkusi untuk adanya hipersonar dan
keredupan. Ingat bahwa setiap cidera dibawah puting susu ada kemungkinan cidera
intra abdominal pula.
5. Abdomen
Cidera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis,misalnya pada keadaan
cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan
(penderita tidak akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/ lepas
tidak ada). Infeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma
tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal. Auskultasi bising usus, perkusi
abdomen untuk mendapatkan nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk nyeri
tekan ,defans ,muskuler, ngeri lepas yang jelas, atau uterus yang hamil. Bila ragu-
ragu akan adanya perdarahan intra-abdominal dapat dilakukan pemeriksaan DPL
(diagnostic peritoneal lavage), ataupun USG (ultra-sonography).
Ingat bahwa pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin
tidak akan nampak dengan segera, karena itu memerlukan re-evaluasi berulang-
kali.
Pengelolaan: Transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan.
6. Pelvis
Cedera pada pelvis yang berat,akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis
menjadi tidak stabil). Pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk
dalam keadaan syok, yang aharus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/
gurita untuk kontrol perdarahan dari fraktur pelvis.
7. Ekstermitas
Pada saat inspeksi, jangan lupa untuk memeriksa adanya luka dekat daerah fraktur
(fraktur terbuka) , pada saat palpasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi
distal dari fraktur , pada saat menggerakkan , jangan dipaksakan bila jelas fraktur.
Sindroma kompartemen (tekanan intra-kompartemen dalam ekstremitas meninggi
sehingga membahayakan aliran darah) mungkin luput terdiagnosis pada penderita
dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan.
8. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dengan ‘log roll’ (memiringkan penderita dengan
tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan pemeriksaan
punggung.
Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Rasa nyeri dan ketakuatan akan
timbul pada penderita trauma, terutama pada perlukaan muskuloskeletal. Golongan opiat
atau anxiolitika harus diberikan secara intravena dan sebaiknya jangan intra-muskular.
9. Penanganan definitif
Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria. Kriteria
ini memakai data fisiologis penderita, cedera anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit
penyerta serta faktor – faktor yang dapat mempengaruhi prognosis.
DAFTAR PUSTAKA