Anda di halaman 1dari 7

BAB III

PEMBAHASAN

A. Masalah Transportasi Laut Di Indonesia


Dalam periode 5 tahun (1996-2000) jumlah perusahaan pelayaran di
Indonesia meningkat, dari 1,156 menjadi 1,724 buah, atau bertambah
perusahaan (peningkatan rata-rata 10.5% p.a). Sementara kekuatan armada
pelayaran nasional membesar, dari 6,156 menjadi 9,195 unit (peningkatan
rata-rata 11.3% p.a). Tapi dari segi kapasitas daya angkut hanya naik
sedikit, yaitu dari 6,654,753 menjadi 7,715,438 DWT. Berarti kapasitas
rata-rata perusahaan pelayaran nasional menurun. Sepanjang periode
tersebut, volume perdagangan laut tumbuh 3% p.a. Volume angkutan naik
dari 379,776,945 ton (1996) menjadi 417,287,411 ton (2000), atau
meningkat sebesar 51,653,131 ton dalam waktu lima tahun, tapi tak semua
pertumbuhan itu dapat dipenuhi oleh kapasitas perusahaan pelayaran
nasional (kapal berbendera Indonesia), bahkan untuk pelayaran domestic
(antar pelabuhan Inonesia). Pada tahun 2000, jumlah kapal asing yang
mencapai 1,777 unit dengan kapasitas 5,122,307 DWT meraup muatan
domestic sebesar 17 juta ton atau sekitar 31%.Walhasil, saat ini industri
pelayaran Indonesia sangat buruk. Perusahaan pelayaran nasional kalah
bersaing di pasar pelayaran nasional dan internasional, karena kelemahan di
semua aspek, seperti ukuran, umur, teknologi, dan kecepatan kapal. Di
bidang muatan internasional (ekspor/import) pangsa perusahaan pelayaran
nasional hanya sekitar 3% to 5%, dengan kecenderungan menurun. Proporsi
ini sangat tidak seimbang dan tidak sehat bagi pertumbuhan kekuatan
armada pelayaran nasional.
Data tahun 2002 menunjukan bahwa pelayaran armada nasional
Indonesia semakin terpuruk dipasar muatan domestic. Penguasaan
pangsanya menciut 19% menjadi hanya 50% (2000:69%). Sementara untuk
muatan internasional tetap dikisaran 5%. Dari sisi financial, Indonesia
kehilangan kesempatan meraih devisa sebesar US$10.4 Milyar, hanya dari
transportasi laut untuk muatan ekspor/ import saja. Alih-alih memperoleh
manfaat dari penerapan prinsip cabotage (yang tidak ketat) industri
pelayaran Indonesia malah sangat bergantung pada kapal sewa asing.
Armada nasional pelayaran Indonesia menghadapi banyak masalah, seperti :
banyak kapal, terutama jenis konvensional, menganggur Karena waktu
tunggu kargo yang berkepanjangan; terjadi kelebihan kapasitas, yang
kadang-kadang memicu perang harga yang tidak sehat; terdapat cukup
banyak kapal, tetapi hanya sedikit yang mampu memberikan pelayanan
memuaskan; tingkat produktivitas armada dry cargo sangat rendah, hanya
7,649 ton-miles/ DWT atau sekitar 39.7% dibandingkan armada sejenis di
Jepang yang 19,230 ton-miles.

B. Hambatan dalam Pendanaan Kapal


Dunia pelayaran Indonesia menghadapi banyak hambatan structural
dan sistematis di bidang financial, seperti di paparkan di bawah ini:
1. Keterbatasan lingkup dan skala sumber dana : Official Development
Assistance(ODA), terkonsentrasi untuk investasi public di berbagai
sector pembangunan, kecuali pelayaran. Other Official
Finance (OOF), kredit ekspor dari Jepang sedang terjadwal
ulang. Foreign Direct Investment (FDI), sejauh ini tidak ada anggaran
pemerintah hanya dialokasikan untuk pengadaan kapal pelayaran
perintis. Pinjaman Bank asing tersedia hanya untuk perusahaan
pelayaran besar (credit worthby) pinjaman Bank swasta nasional
hanya disediakan dalam jumlah sangat kecil.
2. Tingkat suku bunga  pinjaman domestic 15-17% p.a untuk jangka
waktu pinjaman 5 tahun.
3. Jangka waktu pinjaman yang hanya 5 tahun terlalu singkat untuk
industri pelayaran.
4. Saat ini kapal yang dibeli tidak bisa dijadikan sebagai kolateral.
5. Tidak ada program kredit untuk kapal feeder termasuk pelayaran
rakyat, kecuali pinjaman jangka pendek berjumlah sangat kecil dari
bank nasional.
6. Tidak ada kebijakan pendukung.
7. Prosedur peminjaman (appraisal, penyaluran, angsuran) kurang
ringkas.

C. Permasalahan Dalam Pengelolaan Transportasi Laut Nasional


Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas. Terdiri dari 17.000
pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke atau sepanjang jarak
antara London menuju Siberia. Untuk menghubungkan pulau-pulau tersebut
tentunya dibutuhkan sarana transportasi laut yang handal untuk melayani
berbagai aktivitas masyarakat di seluruh pulau di Indonesia.
Namun, berdasarkan data yang diungkapkan oleh Sekertariat DPR RI
(Wirabrata; 2013) mengatakan bahwa masih terdapat banyak kekurangan di
dalam sector transportasi laut di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari
fakta bahwa masih rendahnya dukungan infrastruktur. Infrastruktur di
Indonesia masih belum memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas,
diantaranya masih belum tersedianya hub port, serta kurangnya kualitas
serta kuantitas sumber daya manusia dalam sector ini.
Selain itu, banyak pelabuhan di Indonesia juga belum mendukung
tercapainya kondisi transportasi laut yang ideal. Pelabuhan memiliki andil
besar dalam mendukung kelancaran transportasi laut. Pelabuhan digunakan
sebagai tempat bersandar sekaligus bongkar-muat muatan kapal.
Di Indonesia terdapat beberapa permasalahan pada bidang pelabuhan
yang belum diselesaikan dengan baik. Terminal pelabuhan utama di
Indonesia, The Jakarta International Container Terminal, telah diketahui
sebagai salahsatu terminal utama yang paling tidak efisien di Asia Tenggara,
dalam hal produktivitas dan biaya unit. Namun demikian JICT masih
merupakan salah satu pelabuhan Indonesia yang berkinerja baik. Indikator
kinerja untuk semua pelabuhan komersial utama menunjukkan keseluruhan
system pelabuhan sangat tidak efisien dan sangat memerlukan peningkatan
mutu. Data mengenai tikat okupansi tambatan kapal, rata-rata waktu
perjalanan pulang (turn around) dan waktu kerja sebagai presentase waktu
turn around berada di bawah standar internasional dan mengindikasikan
bahwa kapal-kapal terlalu banyak menghabiskan waktu di tempat tambatan
kapal atau untuk mengantri di luar pelabuhan (Ray; 2008).
Sebagai contoh adalah pada tahun 2002, waktu yang dibutuhkan untuk
memmindahkan peti kemas di Pelabuhan Jakarta adalah sekitar 30-40 peti
kemas/jam. Peningkatan dalam hal teknis dan operasional menunjukkan
peningkatan produktivitas, pada pertengahan tahun 2007 pemindahan peti
kemas per jam mencapai sekitar 60 peti kemas. Akan tetapi, meningkatnya
lalu lintas peti kemas dan kemacetan di pelabuhan disertai permasalahan
yang berkaitan dengan ketenagakerjaan serta keterlambatan kepabeanan
menyebabkan turunnya produktivitas menjadi sekitar 40-45 peti kemas/jam
di paruh pertama tahun 2008.
Selain permasalahan di atas, terdapat faktor-faktor geografis seperti
kurangnya pilihan pelabuhan air dalam dan banyaknya pelabuhan
pedalaman yang berlokasi di sungai-sungai dan memerlukan pengerukan
terus-menerus merupakan halangan utama terhadap kinerja pelabuhan (Ray;
2008).
Permasalahan transportasi laut di Indonesia juga disumbangkan dari
sisi armada pelayaran itu sendiri. Menurut Prof. Daniel M. Rosyid PhD,
M.RINA (2012; 18) dari Institut Sepuluh Nopember (ITS) sampai saat ini
sector perbankan belum berpihak pada industry perkapalan. Hal ini
ditunjukan dengan tingginya bunga modal, apalagi dibandingkan dengan
Singapura dan Malaysia. “Akibatnya perusahaan pelayaran pesan ke luar
negeri karena biaya modalnya murah,” kata pakar teknik kelautan yang
masih langka di Indonesia ini .
Permasalahan lain dari Industri perkapalan nasional adalah bahan
baku pembuatan kapal yang masih di dominasi produk impor. Daniel (2012;
19) mengusulkan supaya Pemerintah mau member insentif fiskal untuk
komponen-komponen pembuatan kapal yang masih diimpor sembari
menguatkan industri penunjang. Dengan masih bergantungnya industry
dalam negeri kepada komponen yang sebagian besar masih di impor maka
Indonesia kurang memiliki kedaulatan terhadap pengelolaan transportasi
lautnya serta resiko tersedotnya devisa keluar untuk membayar komponen
impor tersebut.

D. Kebijakan Dalam Permasalahan Transportasi Laut


Untuk menyelesaikan masalah transportasi laut menuju revitalisasi
pengelolaan transportasi laut di Indonesia menuju Indonesia incorporated,
dibutuhkan upaya yang luar biasa para pihak yang berkepentingan dan
dilakukan dengan membenahi berbagai aspek dalam transportasi laut di
Indonesia. diantaranya Adalah:
1. Aspek Kebijakan
Pemerintah telah membuat banyak kebijakan yang baik terkait
dengan pengembangan transportasi laut yang lebih baik. Salah satunya
dengan membuat Rencana Induk pelabuhan Nasional (RIPN) yang
berlaku hingga tahun 2030 dan terintegrasi dengan program MP3EI.
Selain itu terdapat program pendulum nusantara yang digagas BUMN
nasional, yaitu Pelindo, yang berusaha untuk mengintegrasikan
seluruh pelabuhan di Indonesia. Program ini nantinya akan
menjadikan beberapa pelabuhan besar di Sumatera, Jawa, Sulawesi,
dan Papua sebagai pelabuhan transit utama untuk kemudian menuju
pelabuhan-pelabuhan tujuan di sekitarnya. Dengan program ini
diharapkan akan mempermudah alur transportasi laut nasional.
Namun, selain kebijakan untuk menata pelabuhan, pemerintah
juga harus membuat kebijakan terkait industry perkapalan nasional.
Selama ini industry perkapalan nasional tidak dapat berkembang
secara baik karena tidak adanya dukungan kebijakan yang memadai
dari pemerintah. Permasalahan seperti mahalnya biaya modal dan
tingginya komposisi komponen impor harusnya bisa diselesaikan
dengan pembuatan kebijakan yang baik.
Pemerintah diharapkan dapat menghimbau perbankan agar
memberikan biaya modal yang lebih rasional kepada industry kapal
nasional. Selain itu, untuk mengurangi komponen kapal yang di
import seharusnya pemerintah dapat memberikan insentif yang lebih
(seperti tax holiday, serta keringanan pajak lainnya) bagi perusahaan
komponen kapalan uar negeri yang memiliki teknologi yang
dibutuhkan serta mau melakukan transfer of technology.
2. Aspek Manajemen
Untuk meningkatkan profesionalitas pengelola pelabuhan,
sebaiknya peran swasta di pelabuhan-pelabuhan Indonesia
ditigkatkan. Sehingga dengan timbulnya kompetisi yang sehat di
pelabuhan akan meningkatkan kualitas pelayanan pelabuhan secara
keseluruhan.
Selain itu, kualitas armada pelayaran juga harus ditingkatkan,
baik dari segi pelayanan maupun keamanan. Tata kelola manajemen
pelayaran harus mengedepankan kepuasan konsumen, bukan hanya
sekedar menuntaskan kewajiban yang diamanahkan negara.
3. Aspek Infrastruktur
Banyak permasalahan transportasi laut yang disebabkan oleh
kurang mendukungnya infrastruktur yang ada. Seperti kurangnya
kedalaman dari pelabuhan-pelabuhan maupun alur laut yang ada. Hal
tersebut akan menghalangi kapal besar untuk bersandar terutama kapal
yang berukuran panama. Akibatnya adalah biaya logistic yang
semakin tinggi serta pembangunan yang terhambat.
Begitu juga permasalahan yang muncul di industry perkapalan
nasional. Kapasitas galangan kapal Indonesia masih belum dapat
membuat kapal yang berkapasitasi diatas 60.000 DWT. Ini akan
menjadi kerugian potensial Indonesia dimana permintaan kapal
dengan ukuran tersebut semakin meningkan seiring dengan
pertambahan volume perdagangan dunia.
Oleh karena itu pemerintah seharusnya memberikan perhatian
yang serius terhadap pengembangan infrastruktur transportasi laut di
Indonesia. perhatian tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya dengan memperbesar kapasitas pelabuhan yang ada,
meningkatkan teknologi navigasi laut di Indonesia, serta
meningkatkan keberadaan armada pengamanan laut di alur laut
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai