KELAS: 3.1
NIM : 180204039
ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK (PJR)/ Rheumatic Heart Disease (RHD)
A. PENGERTIAN
Penyakit jantung reumatik adalah penyakit yang di tandai dengan kerusakan pada katup jantung
akibat serangan karditis reumatik akut yang berulang kali. (kapita selekta, edisi 3, 2000)
Demam Reumatik / penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik akut atau
kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A
yang mekanisme perjalanannya belum diketahui, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu
Poliarthritis migrans akut, Karditis, Korea minor, Nodul subkutan dan Eritema marginatum.
B. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya penyakit jantung reumatik diperkirakan adalah reaksi autoimun
(kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik. Infeksi streptococcus β hemolitikus grup
A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik baik demam reumatik serangan
pertama maupun demam reumatik serangan ulang.
Faktor-faktor predisposisi terjadinya penyakit jantung rematik / Rheumatic Heart Desease
terdapat pada diri individu itu sendiri dan juga faktor lingkungan.
Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik menunjukan
hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status
reumatikus.
Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik /
penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan
puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat
jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai
dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa
penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.
Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor
predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam reumatik lebih
sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus
dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan
tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.
Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi
data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi
tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin.
Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel streptokokus
beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya
miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever.
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya
demam rematik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun
sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan yang
buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk
segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya
untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor yang
memudahkan timbulnya demam reumatik.
Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian atas
meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah yang
beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai
insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi
agaknya angka kejadian demam rematik lebih tinggi daripada didataran rendah.
C. PATOFISIOLOGI
Terjadinya jantung rematik disebabkan langsung oleh demam rematik, suatu penyakit
sistemik yang disebabkan oleh infeksi streptokokus grup A. demam rematik mempengaruhi semua
persendian, menyebabkan poliartritis. Jantung merupakan organ sasaran dan merupakan bagian
yang kerusakannya paling serius.
Kerusakan jantung dan lesi sendi bukan akibat infeksi, artinya jaringan tersebut tidak
mengalami infeksi atau secara langsung dirusak oleh organism tersebut, namun hal ini merupakan
fenomena sensitivitas atau reaksi, yang terjadi sebagai respon terhadap streptokokus hemolitikus.
Leukosit darah akan tertimbun pada jaringan yang terkena dan membentuk nodul, yang kemudian
akan diganti dengan jaringan parut. Miokardium tentu saja terlibat dalam proses inflamasi ini;
artinya, berkembanglah miokarditis rematik, yang sementara melemahkan tenaga kontraksi jantung.
Demikian pula pericardium juga terlibat; artinya, juga terjadi pericarditis rematik selama perjalanan
akut penyakit. Komplikasi miokardial dan pericardial biasanya tanpa meninggalkan gejala sisa yang
serius. Namun sebaliknya endokarditis rematik mengakibatkan efek samping kecacatan permanen.
Endokarditis rematik secara anatomis dimanifestasikan dengan adanya tumbuhan kecil yang
transparan, yang menyerupai manik dengan ukuran sebesar kepala jarum pentul, tersusun dalam
deretan sepanjang tepi bilah katup. Manic-manik kecil itu tidak tampak berbahaya dan dapat
menghilang tanpa merusak bilah katup, namun yang lebih sering mereka menimbulkan efek serius.
Mereka menjadi awal terjadinya suatu proses yang secara bertahap menebalkan bilah-bilah katup,
menyebabkan menjadi memendek dan menebal disbanding yang normal, sehingga tidak dapat
menutup dengan sempurna. Terjadilah kebocoran, suatu keadaan yang disebut regurgitasi katup.
Tempat yang palinh sering mengalami regurgitasi katup adalah katup mitral.
Penyimpangan KDM
DEMAM REMATIK
sarcolemma myocardial
Bersifat toxik
Gejala jantung yang muncul tergantung pada bagian jantung yang terkena. Katup mitral
adalah yang sering terkena, menimbulkan gejala gagal jantung kiri: sesak napas dengan krekels dan
wheezing pada paru. Beratnya gejala tergantung pada ukuran dan lokasi lesi.
Gejala sistemik yang terjadi akan sesuai dengan virulensi organisme yang menyerang. Bila ditemukan
murmur pada seseorang yang menderita infeksi sistemik, maka harus dicurigai adanya infeksi
endokarditis.
E.
Pasien demam rematik 80% mempunyai ASTO positif. Ukuran proses inflamasi dapat
dilakukan dengan pengukuran LED dan protein C-reaktif.
G. PENATALAKSANAAN
Tata laksana demam rematik aktif atau reaktivitas adalah sebagai berikut:
2. Eradikasi terhadap kuman streptokokus dengan pemberian penisilin benzatin 1,2 juta unit IM
bila berat badan > 30 kg dan 600.000-900.000 unit bila berat badan < 30 kg, atau penisilin 2x500.000
unit/hari selama 10 hari. Jika alergi penisilin, diberikan eritromisin 2x20 mg/kg BB/hari untuk 10 hari.
Untuk profilaksis diberikan penisilin benzatin tiap 3 atau 4 minggu sekali. Bila alergi penisilin,
diberikan sulfadiazin 0,5 g/hari untuk berat badan < 30 kg atau 1 g untuk yang lebih besar. Jangan
lupa menghitung sel darah putih pada minggu-minggu pertama, jika leukosit < 4.000 dan neutrofil <
35% sebaiknya obat dihentikan. Diberikan sampai 5-10 tahun pertama terutama bila ada kelainan
jantung dan rekurensi.
3. Antiinflamasi
Salisilat biasanya dipakai pada demam rematik tanpa karditis, dan ditambah kortikosteroid jika ada
kelainan jantung. Pemberian salisilat dosis tinggi dapat menyebabkan intoksikasi dengan gejala
tinitus dan hiperpnea. Untuk pasien dengan artralgia saja cukup diberikan analgesik.
Pada artritis sedang atau berat tanpa karditis atau tanpa kardiomegali, salisilat diberikan 100 mg/kg
BB/hari dengan maksimal 6 g/hari, dibagi dalam 3 dosis selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan 75
mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu kemudian.
Kortikosteroid diberikan pada pasien dengan karditis dan kardiomegali. Obat terpilih adalah
prednison dengan dosis awal 2 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 dosis dan dosis maksimal 80 mg/hari.
Bila gawat, diberikan metilprednisolon IV 10-40 mg diikuti prednison oral. Sesudah 2-3 minggu
secara berkala pengobatan prednison dikurangi 5 mg setiap 2-3 hari. Secara bersamaan, salisilat
dimulai dengan 75 mg/kg BB/hari dan dilanjutkan selama 6 minggu sesudah prednison dihentikan.
Tujuannya untuk menghindari efek rebound atau infeksi streptokokus baru.
H. PENCEGAHAN
Dapat dicegah melalui penatalaksanaan awal dan adekuat terhadap infeksi streptokokus pada
semua orang.
Langkah pertama dalam mencegah serangan awal adalah mendeteksi adanya infeksi
streptokokus untuk penatalaksanaan yang adekuat, dan pemantauan epidemi dalam komunitas.
Setiap perawat harus mengenal dengan baik tanda dan gejala faringitis streptokokus; panas tinggi
(38,9 sampai 40C atau 101 sampai 104F), menggigil, sakit tenggorokan, kemerahan pada
tenggorokan disertai aksudat, nyeri abdomen, dan infeksi hidung akut.
Kultur tenggorok merupakan satu-satunya metode untuk menegakkan diagnosa secara akurat.
Pasien yang rentan memerlukan terapi antibiotika oral jangka panjang atau perlu menelan
antibiotika profilaksis sebelum menjalani prosedur yang dapat menimbulkan invasi oleh
mikroorganisme ini. Pemberian penisilin sebelum pemeriksaan gigi merupakan contoh yang baik.
Pasien juga harus diingatkan untuk menggunakan antibiotika profilaksis pada prosedur yang lebih
jarang dilakukan seperti sitoskopi.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a. Aktivitas/istrahat
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat penyakit jantung kongenital, IM, bedah jantung. Palpitasi, jatuh pingsan.
Tanda : Takikardia, disritmia, perpindahan TIM kiri dan inferior, Friction rub, murmur, edema,
petekie, hemoragi splinter.
c. Eliminasi
d. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri pada dada anterior yang diperberat oleh inspirasi, batuk, gerakan menelan,
berbaring; nyeri dada/punggung/ sendi.
e. Pernapasan
Tanda : takipnea, bunyi nafas adventisius (krekels dan mengi), sputum banyak dan berbercak
darah (edema pulmonal).
f. Keamanan
Tanda : Demam.
b. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan
kebutuhan.
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan dalam preload/peningkatan tekanan
atrium dan kongesti vena.
C. INTERVENSI
Intervensi :
1. Selidiki laporan nyeri dada dan bandingkan dengan episode sebelumnya. Gunakan skala nyeri (0-
10) untuk rentang intensitas. Catat ekspresi verbal/non verbal nyeri, respons otomatis terhadap
nyeri (berkeringat, TD dan nadi berubah, peningkatan atau penurunan frekuensi pernapasan).
R/ : Perbedaan gejala perlu untuk mengidentifikasi penyebab nyeri. Perilaku dan perubahan tanda
vital membantu menentukan derajat/ adanya ketidaknyamanan pasien khususnya bila pasien
menolak adanya nyeri.
R/ : aktivitas yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokardia (contoh; kerja tiba-tiba, stress,
makan banyak, terpajan dingin) dapat mencetuskan nyeri dada.
R/ : Mengarahkan kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat aktivitas individu.
R/ : Membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian sehingga
menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.
R/ : Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respons inflamasi dan meningkatkan kenyamanan.
b. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan
kebutuhan.
Intervensi :
1. Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas menggunakan parameter berikut: frekuensi nadi
20/menit diatas frekuensi istirahat; catat peningkatan TD, dispnea atau nyeri dada; kelelahan berat
dan kelemahan; berkeringat; pusing; atau pingsan.
R/ : Parameter menunjukkan respons fisiologis pasien terhadap stres aktivitas dan indikator derajat
pengaruh kelebihan kerja/jantung.
R/ : Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual.
R/ : Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah oksigen
yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.
4. Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat gigi/rambut
dengan duduk dan sebagainya.
R/ : Seperti jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah kelemahan.
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan dalam preload/peningkatan tekanan
atrium dan kongesti vena.
Intervensi :
R/ : Indikator klinis dari keadekuatan curah jantung. Pemantauan memungkinkan deteksi
dini/tindakan terhadap dekompensasi.
2. Tingkatkan/dorong tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 45 derajat.
R/ : Menurunkan volume darah yang kembali ke jantung (preload), yang memungkinkan
oksigenasi, menurunkan dispnea dan regangan jantung.
3. Bantu dengan aktivitas sesuai indikasi (mis: berjalan) bila pasien mampu turun dari tempat tidur.
R/ : Melakukan kembali aktivitas secara bertahap mencegah pemaksaan terhadap cadangan
jantung.
R/ : Memberikan oksigen untuk ambilan miokard dalam upaya untuk mengkompensasi
peningkatan kebutuhan oksigen.
5. Berikan obat-obatan sesuai indikasi. Mis: antidisritmia, obat inotropik, vasodilator, diuretik.
R/ : pengobatan distritmia atrial dan ventrikuler khusnya mendasari kondisi dan simtomatologi
tetapi ditujukan pada berlangsungnya/meningkatnya efisiensi/curah jantung. Vasodilator digunakan
untuk menurunkan hipertensi dengan menurunkan tahanan vaskuler sistemik (afterload). Penurunan
ini mengembalikan dan menghilangkan tahanan. Diuretic menurunkan volume sirkulasi (preload),
yang menurunkan TD lewat katup yang tak berfungsi, meskipun memperbaiki fungsi jantung dan
menurunkan kongesti vena.
Tujuan : Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital
dalam rentang normal, dan tak ada edema.
Intervensi :
1. Pantau pemasukan dan pengeluaran, catat keseimbangan cairan (positif atau negatif), timbang
berat badan tiap hari.
R/ : Penting pada pengkajian jantung dan fungsi ginjal dan keefektifan terapi diuretik.
Keseimbangan cairan positif berlanjut (pemasukan lebih besar dari pengeluaran) dan berat badan
meningkat menunjukkan makin buruknya gagal jantung.
2. Berikan diuretik contoh furosemid (Lazix), asam etakrinik (Edecrin) sesuai indikasi.
R/ : Menghambat reabsorpsi natrium/klorida, yang meningkatkan ekskresi cairan, dan menurunkan
kelebihan cairan total tubuh dan edema paru.
3. Pantau elektrolit serum, khususnya kalium. Berikan kalium pada diet dan kalium tambahan bila
diindikasikan.
R/ : Nilai elektrolit berubah sebagai respons diuresis dan gangguan oksigenasi dan metabolisme.
Hipokalemia mencetus pasien pada gangguan irama jantung.
Intervensi :
1. Pantau respons fisik, contoh palpitasi, takikardi, gerakan berulang, gelisah.
R/ : Membantu menentukan derajat cemas sesuai status jantung. Penggunaan evaluasi seirama
dengan respons verbal dan non verbal.
2. Berikan tindakan kenyamanan (contoh mandi, gosokan punggung, perubahan posisi).
3. Dorong ventilasi perasaan tentang penyakit-efeknya terhadap pola hidup dan status kesehatan
akan datang. Kaji keefektifan koping dengan stressor.
R/ : Mekanisme adaptif perlu untuk mengkoping dengan penyakit katup jantung kronis dan secara
tepat mengganggu pola hidup seseorang, sehubungan dengan terapi pada aktivitas sehari-hari.
4. Libatkan pasien/orang terdekat dalam rencana perawatan dan dorong partisipasi maksimum
pada rencana pengobatan.
R/ : Keterlibatan akan membantu memfokuskan perhatian pasien dalam arti positif dan
memberikan rasa kontrol.
5. Anjurkan pasien melakukan teknik relaksasi, contoh napas dalam, bimbingan imajinasi,
relaksasi progresif.
D. EVALUASI
d. Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital dalam
rentang normal, dan tak ada edema.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.3.EGC. Jakarta.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 1. Media Aesculapius. Jakarta.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Ed. 6 Vol 1. EGC.
Jakarta.
Slamet suyono, dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.