Anda di halaman 1dari 73

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kompleksitas pelayanan kesehatan saat ini semakin meningkat.

Mulai dari pelayanan pasien, hingga tugas administrasi yang menjadi

sistem penyimpanan digital dan pendokumentasian digital. Hal ini

menyebabkan tanggungjawab kerja semakin menantang dan secara

teknis semakin kompleks sehingga beban kerja harian semakin menuntut

(Heard P. L., Hartman S., & Bushardt S. C. (2013). Bekerja dengan

kondisi seperti ini dari hari kehari akan meningkatkan stress. Survei yang

dilakukan oleh American Psychological Association (APA) dalam (NetCe,

2012), menunjukkan bahwa hampir 75 % orang Amerika mengalami stres

pada pekerjaan mereka dan hampir setengahnya menyatakan

produktivitas mereka menurun karena mengalami stres. Stres terhadap

pekerjaan yang tidak dikelola dengan baik dan berlangsung lama

berpotensial mengarah pada burnout (NetCe, 2012).

Dalam Career Builder Survei yang dilakukan oleh Harris Interactive

online di USA antara tanggal 11 februari hingga 6 maret tahun 2013,

menunjukkan bahwa 60 % pekerja pelayanan kesehatan merasakan

burnout pada pekerjaan mereka. Hal ini disebabkan oleh banyaknya

jumlah pasien, sedikitnya jumlah staf, dan tingginya tingkat stress.


2

Sehingga pekerja pelayanan kesehatan cukup banyak yang mencari

pekerjaan baru (turnover). Hasil penelitian Gosseries et al. (2012), yang

meneliti tingkat burnout pada pekerja pelayanan kesehatan di Belgia yang

merawat pasien kronis dengan gangguan kesadaran, juga menunjukkan

bahwa dari 523 pekerja dalam pelayanan kesehatan 18 % menunjukkan

burnout yang disebabkan profesi mereka, tempat kerja dan jumlah waktu

yang dihabiskan bersama pasien.

Pines & Aronson (1988), menyatakan burnout adalah suatu

keadaan yang sangat lelah secara fisik, emosional, dan mental sebagai

akibat keterlibatan yang lama dalam situasi yang penuh dengan tuntutan

emosional. Burnout adalah sindrom multidimensional yang terdiri dari tiga

komponen yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion),

depersonalisasi (depersonalization), dan penurunan pencapaian pribadi

(reduced personal accomplishment), (Maslach et al., 1996). Maslach juga

mengungkapkan burnout berdampak bagi individu, orang lain, dan

organisasi. Dampak pada individu terlihat adanya gangguan fisik seperti

sulit tidur, rentan terhadap penyakit, munculnya gangguan psikosomatik,

maupun gangguan psikologis yang meliputi penilaian yang buruk terhadap

diri sendiri yang dapat mengarah pada terjadinya depresi. Burnout dapat

menurunkan sikap empati dan mempengaruhi pelayanan pada pasien.

Selanjutnya dampak burnout bagi organisasi adalah meningkatnya

frekuensi tidak masuk kerja, berhenti dari pekerjaan atau job turnover,
3

sehingga kemudian berpengaruh pada efektivitas dan efisiensi kerja

dalam organisasi.

Perawat adalah profesi yang rentan untuk mengalami burnout,

Maslach (2003). Hal ini disebabkan beberapa alasan. Pertama, perawat

adalah pemberi pelayanan dengan jumlah terbesar dimana mereka adalah

bagian terdepan (frontline) dalam memberikan pelayanan kesehatan

secara langsung (direct care). Kedua, ketidakpuasan kerja sangat

berhubungan dengan turnover perawat, yang menyebabkan kekurangan

tenaga dan beban kerja yang meningkat. Ketiga, tidak adekuatnya jumlah

tenaga keperawatan secara signifikan berhubungan dengan kesalahan

(nursing errors) dan rendahnya outcome pasien. Ermak L.(2014)

menuliskan bahwa menurut Dawn Kettinger, seorang pembicara dari

Michigan Nurses Association mengatakan, suatu hal yang sangat

stressfull jika anda merawat tujuh orang pasien disaat anda seharusnya

hanya merawat empat orang pasien.

Menurut Michigan Nurses Association dalam Ermak L. (2014), rata-

rata beban kerja perawat saat ini lebih tinggi dibandingkan 10 atau 15

tahun yang lalu, hal ini disebabkan oleh kemajuan teknologi, dokumentasi,

elektronic medical records, dan tanggungjawab tambahan lainnya untuk

perawat. Burnout dapat disebabkan beberapa faktor, termasuk kurangnya

dukungan sosial, ketidakmampuan mengontrol tugas dan jadwal kerja,

pekerjaan yang monoton atau chaos dan ketidakseimbangan kerja-

kehidupan (work life imbalance). Namun, menurut Kettinger dalam Ermak


4

L. (2014), kurangnya staf perawat merupakan kontributor utama yang

menyebabkan burnout. Beberapa perawat menyatakan kadang-kadang

mereka merasa frustasi dan merasa bersalah, saat harus bekerja di garis

depan dan mengetahui dengan jelas kewajiban untuk memberikan

pelayanan yang berkualitas dan aman, tetapi tidak tersedia peralatan yang

memadai.

Di Asia seperti di Cina yang memiliki budaya dan sistem kesehatan

yang berbeda dari negara barat, telah dilakukan beberapa penelitian

mengenai hal yang sama. Salah satunya yang dilakukan oleh Lin et al.

(2013), yang melakukan survei mengenai burnout perawat di China,

menemukan bahwa perawat di China menunjukkan kelelahan emosional

dan personal accomplishment yang sedang dan depersonalisasi yang

rendah. Hu & Liu dalam Lin (2013) mengatakan absensi dan turnover

perawat di China dapat tinggi karena perawat bekerja full-time 40 jam

perminggu, dimana tidak ada perawat on call, yang bisa menggantikan

tugas mereka jika mereka sakit, selain itu reward yang diberikan juga

cenderung rendah dibandingkan dengan industri lain.

Di Indonesia, Desima (2013), menyebutkan menurut survey PPNI

tahun 2007, sekitar 50,9% perawat yang bekerja di empat propinsi

mengalami stres kerja, sering pusing, tidak bisa istirahat karena beban

kerja yang terlalu tinggi dan menyita waktu, serta gaji rendah tanpa diikuti

insentif yang memadai. Tetapi keadaan yang paling mempengaruhi stres

perawat adalah kehidupan kerja (PPNI, 2008, dalam Desima, 2013).


5

Cho, Laschinger, & Wong (2006), menemukan bahwa perawat

yang baru lulus memiliki tingkat burnout yang lebih tinggi. Sebanyak 66 %

dari mereka mengalami burnout yang berat, yang terutama dipengaruhi

oleh kondisi tempat kerja. Lulusan baru mengalami burnout dapat

disebabkan oleh kurangnya dukungan dari supervisor (Spooner-Lane &

Patton, 2007), ketidakhadiran dan turnover ( Rudman & Gustavson, 2011),

beban kerja yang tidak diatur (Laschinger, Wong & Grau, 2012) serta

rendahnya komitmen organisasi (Cho et al., 2006). Tingginya tingkat

burnout pada perawat juga disebabkan oleh tingginya tingkat kebutuhan

fisik dan emosional dalam bekerja (Greenglass, Burke, & Fiksenbaum,

2001; Leiter & Maslach, 1998). Level burnout juga dipengaruhi oleh

tingginya beban kerja (Laschinger, Finegan & Wilk, 2001), tidak

adekuatnya staf perawat (Aiken & Salmon, 1994), dan ketidakpuasan

kerja (Aiken et al, 2002).

Banyak penelitian yang dilakukan mengenai stres dan burnout dan

bagaimana mereduksi kedua hal tersebut. Diantaranya adalah penelitian

Karimi & Alipour (2011), tentang bagaimana peran locus of control dalam

mengurangi job stress dalam organisasi. Mereka menyatakan bahwa

Locus of control dapat menjadi faktor yang efektif untuk menurunkan

stres kerja. Seseorang yang memiliki locus of control yang tinggi dikatakan

bahwa ia mampu melindungi bagian rawan dari kondisi mental seseorang,

yaitu: self esteem (harga diri) dan confidence (percaya diri). Suatu hal

penting bagi seseorang untuk memahami keadaan stabil dan labil,


6

sehingga mereka mampu mengontrol sikap dan perilaku mereka untuk

mempertahankan performa.

Locus of control adalah aspek dari personality yang merupakan

suatu bentuk yang merefleksikan kepercayaan dan persepsi seseorang

mengenai siapa yang mengontrol hidup dan lingkungan (Lefcourt,1976

dalam April, Dharani & Peters, 2012). Kepercayaan individu mengenai

kemampuan mengontrol terhadap apa yang terjadi dalam kehidupan

mereka merupakan elemen inti dari pemahaman mereka tentang

bagaimana kehidupan mereka di dunia (Shapiro,Schwartz & Austin,1996).

Kepercayaan ini bisa berbeda tingkatan, yang mereflesikan derajat

persepsi kontrol pribadi terhadap hidup dan lingkungannya (Connolly,

1980).

Rotter (1966), menyebutkan bahwa locus of control terbagi dalam

dua konstruk yaitu internal dan eksternal. Rotter (1975) menyatakan

bahwa internal dan eksternal mewakili dua ujung kontinum, bukan secara

terpisah. Kreitner & Kinichi (2005) mengatakan bahwa hasil yang dicapai

locus of control internal dianggap berasal dari aktifitas dirinya. Sedangkan

seseorang dengan locus of control eksternal menganggap bahwa

keberhasilan yang dicapai dikontrol dari keadaan sekitarnya. Seseorang

yang mempunyai locus of control internal akan memandang dunia sebagai

sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turut berperan di

dalamnya. Pada individu yang mempunyai locus of control eksternal akan

memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan,


7

demikian juga dalam mencapai tujuan sehingga perilaku individu tidak

akan mempunyai peran di dalamnya. Internal cenderung menyatakan

bahwa sebuah peristiwa berada pada kontrol mereka sendiri, sementara

eksternal lebih cenderung menyalahkan faktor luar yang mempengaruhi

suatu kejadian yang menimpa mereka.

Schmitz N., Neumann W. & Oppermann R., (1999) dalam penelitian

mereka mengenai stress, burnout dan locus of control pada perawat

Jerman menemukan bahwa stress terhadap pekerjaan dan burnout

berhubungan dengan rendahnya locus of control yang dimiliki perawat.

Lam & Schaubroeck (2000), menemukan dalam penelitiannya bahwa

individu dengan internal locus of control dapat bertahan lebih baik dalam

situasi yang stressful atau dengan kata lain lebih mudah beradaptasi

dengan masalah dan kejadian yang mereka alami di tempat kerja.

Individu dengan locus of control internal dapat mengatasi stres kerja

dengan lebih mudah, mereka merasakan tingkat stress yang lebih rendah

dan menunjukkan tingkat performa yang lebih tinggi (Chen & Silverthorne,

2008). Meier et al., (2008), juga membuktikan bahwa orang dengan locus

of control internal memiliki job control yang tinggi untuk menghindari sakit

fisik sebaliknya orang dengan locus of control eksternal memiliki job

control yang rendah dan menderita nyeri muskuloskeletal. Locus of control

internal menunjukkan hubungan yang positif terhadap kepuasan kerja dan

rendahnya persepsi terhadap stress (Ress & Cooper, 1992). Hal ini

disebabkan karena seseorang dengan LoC internal terlibat dengan


8

lingkungan kerjanya, merasakan kelelahan emosional yang lebih rendah,

dan merasakan kepuasan kerja yang lebih tinggi (Fuqua & Couture,

1986).

Selain locus of control, penelitian mengenai pengaruh

kesejahteraan spiritual (spiritual well-being) terhadap burnout juga

berkembang. Spiritualitas dalam banyak penelitian di identifikasi sebagai

faktor protektif dalam mekanisme pertahanan (coping mechanism)

terhadap stress. Spiritualitas dan agama dapat mendukung sumber daya

psikologis termasuk mekanisme koping, mendukung perilaku sehat, yang

akan meningkatkan perasaan sehat dan mendukung

psikoneoruimunologis, neuroendokrin, dan sistem psikologis (Ellison,

1998). Young J. S., et al. (2000) menemukan secara konsisten bahwa

spiritualitas memainkan peran yang penting sebagai mekanisme koping,

melawan pengalaman negatif dan stres terhadap kerja. Parachin (2010)

menemukan bahwa perawatan spiritual dapat menurunkan level burnout.

Fisher (2011) mengatakan spiritual well-being atau kesejahteraan

spiritual adalah keadaan dinamis makhluk, yang ditunjukkan oleh sejauh

mana seseorang hidup secara harmoni dalam hubungannya dengan

domain kesejahteraan spiritual, yaitu : Domain personal, intra seseorang

yang berkaitan dengan diri sendiri dalam hubungannya dengan dengan

makna, tujuan dan nilai-nilai dalam kehidupan. Domain komunal yang

ditunjukkan melalui kualitas dan kedalaman hubungan interpersonal,

antara diri seseorang dan orang lain, dalam hal moralitas, budaya dan
9

agama. Domain lingkungan yang merupakan gagasan kesatuan dengan

lingkungan. Domain transcendental yang merupakan hubungan

seseorang dengan sesuatu atau seseorang yang melampaui tingkat

manusia (seperti Tuhan).

Wachholtz & Rogoff (2013) melakukan penelitian mengenai

pengaruh spiritualitas terhadap burnout pelajar medis, menemukan bahwa

pelajar yang memiliki skor kesejahteraan spiritual (spiritual well being)

rendah dan pengalaman spiritual rendah mereka mengalami tingkat

distress dan burnout yang tinggi. Tasharrofi, Hatami, Asgharnejad (2013)

melakukan penelitian mengenai hubungan inteligensi spiritual, resilience,

spiritual well being dan burnout kerja terhadap perawat dan menemukan

bahwa terdapat hubungan yang negatif antara inteligensi spiritual,

Spiritual well being, pada kelelahan emosional perawat. Para ahli klinik

yang memiliki existensial well being (bagian dari spiritual well being yang

dikembangkan oleh Ellison, 1983) yang tinggi dillaporkan lebih mampu

menghindari kelelahan emosional saat bekerja dengan klien yang

mengalami trauma yang berat (Hardiman & Simmonds, 2012).

Setelah mempelajari fenomena yang di temukan oleh banyak

peneliti di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji tingkat burnout

kerja pada perawat di RS Unhas Makassar dan bagaimana pengaruh

locus of control dan spiritual well being terhadap burnout kerja pada

perawat di RS tersebut. Maslach et al., (2001) mengungkapkan bahwa

burnout mempengaruhi outcome, dimana sebagian besar outcome yang


10

telah dipelajari sangat berhubungan dengan burnout adalah kinerja (job

performance). Selain itu menurut banyak peneliti bahwa burnout

mempengaruhi sikap empati dan kualitas pelayanan kesehatan pada

pasien, maka burnout pada perawat maupun praktisi kesehatan lainnya

tidak dapat kita abaikan.

Apakah perawat RS Unhas Makassar juga mengalami burnout

kerja seperti yang dialami sebagian besar perawat di tempat dan negara

lain, mengingat bahwa dari profil tenaga kerja perawat di RS Unhas

hampir keseluruhannya adalah lulusan baru (fresh graduate) dan

profesional muda (the young professionals), yang mana seperti

dikemukakan oleh Cho, Laschinger, & Wong (2006), bahwa perawat yang

baru lulus memiliki tingkat burnout yang lebih tinggi. Demikian juga yang

diungkapkan oleh Maslach (2003) bahwa burnout biasanya terjadi pada

awal karir seseorang (yaitu 1 sampai 5 tahun pertama kerja). Dengan

pengalaman kerja yang minim dan menghadapi permasalahan kesehatan

pasien yang kian kompleks saat ini, serta tuntutan organisasi yang

semakin tinggi terhadap mutu dan pasien safety, tidak menutup

kemungkinan bahwa perawat RS Unhas telah mengalami burnout tanpa

mereka menyadari gejalanya.

Schaufeli & Enzman (1998) mengemukakan bahwa salah satu

tanda (sign) seseorang mengalami burnout adalah resistensi untuk datang

bekerja. Salah satu bentuk resistensi tersebut adalah terlambat datang


11

kerja atau pulang lebih cepat. Berikut adalah data keterlambatan pegawai

khususnya perawat di RS Unhas pada empat bulan terakhir tahun 2014:

Grafik 1.1 Tingkat keterlambatan perawat RS UNHAS per unit pelayanan


pada bulan Desember & Nopember 2014
160

140
Jumlah jam keterlambatan

120 DESEMBE
R
100 SEPTEMB
ER
80

60

40

20

0
POLI IGD BEDAH VVIP ICU VIP RI 2 & NICU RI KLS KEMO HD RI
3 1 MATA
Unit pelayanan
Sumber : Data sekunder
12

Grafik 1.1 Tingkat keterlambatan perawat kontrak RS UNHAS per unit


pelayanan
pada bulan September & Oktober 2014
90
80
70
jumlah jam keterlambatan

60
50
40
30
20
10
0
POLI IGD BEDAH VVIP ICU VIP RI 2 & NICU RI KLS KEMO HD RI
3 1 MATA

unit pelayanan

OKTOBER Column1

Sumber : Data sekunder

Pada grafik yang ditunjukkan diatas, ada tiga unit yang memiliki

tingkat keterlambatan cukup signifikan dibandingkan dengan unit lainnya.

Unit tersebut adalah Poliklinik, Unit Gawat Darurat (UGD), dan Unit

Bedah. Seperti yang dikemukakan oleh Williams et al. (1997) dalam Aguir

V.E dan Hoyos S.P. (2006), bahwa staf medik yang bekerja pada unit

emergensi, terpapar pada sejumlah faktor resiko psikososial yang penting

sebagai konsekuensi atas tipe pekerjaan mereka yaitu; intensitas yang

tinggi pada beban kerja, bekerja sendirian, kurangnya dukungan sosial,

kurangnya waktu senggang, kekerasan, pasien dengan ketergantungan

tinggi, pasien dengan penyakit serius, dan lain-lain. Di antara yang

membuktikan tingginya tingkat burnout pada perawat emergensi adalah


13

Hooper C., et al. (2010), meneliti tentang tingkat burnout, compassion

fatigue dan compassion satisfaction pada perawat emergensi,

menunjukkan bahwa hampir 82 % perawat emergensi mengalami burnout

tingkat sedang ke tinggi, dan hampir 86 % mengalami compassion fatigue

tingkat sedang ke tinggi. Demikian juga Adriaenssens J., De Gucht V., dan

Maes S.(2014), yang mengkaji determinan dan prevalensi burnout pada

perawat emergensi selama 25 tahun terakhir, menemukan bahwa dari 17

studi yang mereka kaji, 26 % perawat emergensi menderita burnout.

Sedangkan determinan dari burnout perawat emergensi adalah faktor

demografi, karakteristik personal, strategi coping (pertahanan diri),

karakteristik pekerjaan, kejadian traumatik dan variabel organisasi.

Fenomena ini semakin menguatkan minat peneliti untuk mengkaji

lebih jauh burnout kerja pada perawat RS Unhas dan pengaruh locus of

control dan spiritual well being terhadap kejadian burnout kerja. Selain itu

bagi peneliti, memahami perilaku dan personaliti staf/karyawan dalam hal

ini perawat yang bekerja dan berhadapan secara langsung dengan

pasien, penting bagi seorang manajer rumah sakit untuk dapat memahami

dan menentukan intervensi bilamana terjadi masalah burnout yang dapat

berakibat pada tingginya kejadian error maupun rendahnya outcome

pasien. Barbarin (1993) dalam Amjad F., & Bokharey I.Z. (2014) dan

Hefty R. (2011) bahwa spiritualitas akan memperkuat internalitas locus of

control, sehingga variabel locus of control akan menjadi variabel moderasi

dalam penelitian ini.


14

Alasan lain mengapa peneliti mengambil pengaruh variabel

karakteristik individu (dalam hal ini locus of control) sebagai kajian dalam

mempengaruhi kejadian burnout kerja adalah sebab Locus of control

adalah salah satu atribut kepribadian yang merupakan suatu variabel

penting untuk menjelaskan perilaku individu dalam organisasi. Perilaku

individu sebagai akibat dari perilaku kelompok juga banyak dikaji dan

diteliti dalam manajemen. Locus of control baik internal maupun eksternal

telah dikaji dan dibuktikan secara empiris mempengaruhi kepuasan kerja,

komitmen organisasi dan kinerja karyawan. Sedangkan kinerja

karyawan/individu memberikan kontribusi pada kinerja kelompok, yang

seterusnya pada kinerja organisasi.

Dalam kajian-kajian yang dilakukan oleh Elton Mayo dan rekan-

rekannya (dalam Stoner, 1988; Koontz, 1995) yang dikenal dengan

penelitian Hawthorne menyimpulkan ada faktor-faktor lain dalam diri

karyawan seperti kepribadian, sikap, dan hubungan sosial dalam

kelompok kerja yang mempengaruhi tingkat produktivitas karyawan. Oleh

karena itu Mayo dan rekan-rekannya menekankan perlunya pemahaman

yang lebih luas dan lebih dalam mengenai aspek-aspek sosial dan aspek-

aspek perilaku dalam manajemen.

Timbulnya ilmu-ilmu perilaku ini berawal dari psikologi industri dan

teori sosial. Hugo Munsterberg, sebagai bapak psikologi industri, melihat

pentingnya penerapan ilmu perilaku pada gerakan manajemen ilmiah

(Koontz, 1995; Stoner 1988). Berawal dari pandangan Munsterberg inilah


15

kemudian berkembang praktek manajemen personalia seperti seleksi

yang efektif. Tujuan diterapkannya ilmu perilaku menurut Munsterberg

adalah menemukan (1) bagaimana mendapatkan orang-orang yang

memiliki kualitas mental yang paling cocok dengan pekerjaan yang harus

mereka lakukan, (2) dalam kondisi psikologis mana output yang paling

besar dan paling memuaskan dapat diperoleh dari pekerjaan setiap orang,

(3) bagaimana suatu perusahaan dapat mempengaruhi para pekerja

sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh hasil yang sebaik mungkin dari

mereka. Sehingga harapan kami bahwa dengan memahami Locus of

control atau letak kendali sebagai salah satu atribut atau tipe kepribadian

dari individu sebagai anggota organisasi, bermanfaat bagi Manajemen

Sumber Daya Manusia dalam pengambilan keputusan yang lebih efektif,

misalnya keputusan tentang perekrutan, seleksi, penempatan, pelatihan

dan pengembangan dan lain-lain.

Demikian juga halnya dengan spiritualitas. Peneliti mengangkat

variabel spiritual well being sebagai variabel independen karena

pertumbuhan terhadap pengkajian mengenai spiritualitas berkembang

pesat (Middlebrooks & Noghiu, 2010). Fry (2003) menyatakan bahwa

organisasi yang gagal menerapkan spiritualitas di tempat kerja pada

akhirnya akan gagal sebagai organisasi yang belajar (learning

organizations). Dalam studi terobosan mereka pada peran spiritualitas di

tempat kerja, Mitroff dan Denton (1999) dalam Middlebrooks & Noghiu,

(2010), memberikan pernyataan bahwa “Over the years we have tried all
16

of the conventional techniques known to organizational science to help

organizations change for the better … After years of study and practice we

have come to a painful conclusion: by themselves, all of the conventional

techniques in the world will not produce fundamental and long lasting

changes… We believe that today‘s organizations are impoverished

spiritually and that many of their most important problems are due to this

impoverishment… We believe that organizational science can no longer

avoid analyzing, understanding, and treating organizations as spiritual

entities.”

Mitroff dan Denton (1999) melihat pentingnya spiritualitas dalam

mengatasi berbagai masalah yang terjadi dalam organisasi dengan lebih

efektif, fundamental dan bertahan lebih lama. Demikian juga harapan kami

dengan penelitian ‘pengaruh spiritual well being dan locus of control

terhadap burnout kerja perawat, akan membantu organisasi dalam

memecahkan masalah-masalah yang terutama berkaitan dengan perilaku

karyawan, sehingga organisasi akan berubah menjadi lebih baik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan masalah diatas, maka kami bermaksud

melakukan pengkajian lebih lanjut dengan merumuskan masalah

penelitian sebagai berikut :


17

1. Bagaimana level burnout kerja pada perawat yang bekerja di RS

Universitas Hasanuddin Makassar.

2. Bagaimana pengaruh spiritual well being terhadap burnout kerja

perawat RS Universitas Hasanuddin Makassar.

3. Bagaimana pengaruh locus of control terhadap burnout kerja

perawat di RS Universitas Hasanuddin Makassar.

4. Bagaimana pengaruh spiritual well being terhadap locus of control.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui level burnout kerja pada perawat di RS Unhas serta

pengaruh spiritual well-being dan locus of control terhadap burnout

kerja .

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis level burnout kerja perawat RS Unhas tahun 2015.

b. Menganalisis pengaruh spiritual well being terhadap burnout kerja

perawat RS Unhas tahun 2015.


18

c. Menganalisis pengaruh locus of control terhadap burnout kerja

perawat RS Unhas tahun 2015.

d. Menganalisis pengaruh spiritual well being d terhadap locus of

control perawat RS Unhas tahun 2015.

D. Kegunaan Penelitian

1. Pengembangan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada

pengembangan literatur mengenai job burnout, locus of control dan

spiritual well being. Serta pengembangan literatur dalam Ilmu Perilaku

Organisasi maupun lmu Manajemen Sumber Daya Manusia.

2. Pengembangan Praktek

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

praktis bagi organisasi dan manajemen dalam mengelola SDM

khususnya dalam mengantisipasi job burnout, untuk mempertahankan

performa perawat dalam pemberian pelayanan kesehatan yang safety

dan quality. Selain itu penelitian ini dapat memberikan rekomendasi

tentang bagaimana meningkatkan locus of control individu serta

mencapai harmoni dalam spirital well being sehingga burnout pada

perawat maupun praktisi kesehatan lain dapat di minimalisir dan

diatasi sedini mungkin untuk mempertahankan performa organisasi.


19

3. Manfaat bagi Peneliti

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian-

penelitian selanjutnya.

E. Ruang Lingkup / Batasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Rumah Sakit Universitas Hasanuddin

Makassar, dengan jumlah perawat 191 orang baik yang bekerja di

Instalasi rawat inap maupun instalasi rawat jalan. Jumlah tempat tidur

yang tersedia saat ini adalah 218 sehingga perbandingan perawat dan

jumlah tempat tidur adalah hampir mendekati 1 : 1. Rumah sakit ini mulai

dioperasikan sejak tahun 2011 dan diresmikan pada tanggal 15 Februari

2012 di Makassar oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia, Prof. Dr. M. Nuh, sehingga operasionalnya baru berjalan

sekitar 4 tahun. Dibandingkan dengan rumah sakit yang lebih lama dan

perbandingan jumlah tempat tidur yang lebih besar, memungkinkan beban

pekerjaan yang berbeda pada perawat sehingga tingkat burnout kerja

dapat berbeda pula. Selain itu penelitian ini mengambil sampel perawat

sehingga tidak mewakili keseluruhan praktisi kesehatan yang ada di

rumah sakit tersebut.

F. Definisi dan Istilah, Glosarium

Locus of Control (LoC) : letak/pusat kendali


20

LoC internal : letak/pusat kendali dari dalam individu

LoC eksternal : letak/pusat kendali dari luar individu (orang/kekuatan lain)

Burnout kerja : kejenuhan dan kelelahan yang sangat akibat kerja

Spiritual health : kesehatan spiritual

Spritual well being : kesejahteraan spiritual

G. Organisasi/Sistematika

Proposal yang penulis ajukan ini terdiri dari tiga bab. Bab yang

pertama memuat 7 bagian. Bagian pertama, menjelaskan mengenai latar

belakang ketertarikan dan pentingnya tema/topik penelitian pengaruh

spiritual well being dan locus of control terhadap burnout kerja. Kedua,

rumusan masalah atau pertanyaan penelitian yang akan di kaji

jawabannya melalui penelitian ini. Ketiga, tujuan penelitian dilakukan baik

secara umum maupun khusus. Keempat, manfaat penelitian bagi

pengembangan teori, praktek maupun penelitian selanjutnya. Kelima

batasan penelitian, keenam adalah glosarium atau daftar istilah yang

digunakan dalam tulisan untuk memudahkan pembaca memahami isi

tulisan, dan yang ketujuh adalah sistematika penulisan.

Bab yang kedua terdiri dari 6 bagian. Bagian pertama menjelaskan

konsep dan teori locus of control serta dimensi-dimensinya, teori utama

yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Rotter (1996).

Bagian kedua menjelaskan konsep dan teori mengenai burnout kerja

serta dimensi-dimensinya, dengan menggunakan teori Maslach (1981).


21

Bagian ketiga menjelaskan mengenai teori dan konsep spiritual well-being

yang dikemukakan oleh Ellison (1981). Bagian keempat adalah kerangka

konsep penelitian yang menggambarkan variabel-variabel yang akan

diteliti, dimana variabel spiritual well being dan dimensinya, menjadi

variabel independent, emotional exhaustion, depersonalization, dan low

performance accomplishment yang merupakan dimensi burnout kerja

menjadi variabel dependent. Selain itu locus of control internal dan locus

of control eksternal akan menjadi variabel antara (moderating variabel)

yang dipengaruhi spiritual well being dan ikut mempengaruhi tingkat

burnout kerja. Bagian kelima adalah hipotesis penelitian dan bagian

keenam adalah definisi operasional masing-masing variabel yang akan

diteliti.

Bab ketiga atau Bab terakhir dalam proposal ini memuat 5 bagian.

Bagian yang pertama mengenai rancangan penelitian yang akan

dilakukan, bagian kedua menjelaskan lokasi dan waktu penelitian, bagian

ketiga populasi dan teknik pengambilan sampel dan bagian keempat

adalah penjelasan mengenai instrumen yang akan digunakan dalam

pengambilan data dan bagian kelima adalah jenis analisis data yang akan

digunakan dalam penelitian.


22

BAB II

TINJAUAN PUSTKA

A. Teori Locus of Control

1. Definisi Locus of Control

Locus of control menurut Rotter (1966) merupakan salah satu

variabel kepribadian, yang didefinisikan sebagai keyakinan individu

terhadap mampu tidaknya individu mengontrol nasib (destiny) sendiri.

Selanjutnya Rotter menyatakan bahwa locus of control baik internal

maupun eksternal merupakan tingkatan dimana seorang individu

berharap bahwa reinfocement atau hasil dari perilaku mereka

tergantung pada perilaku mereka sendiri atau karakteristik personal

mereka.

Locus of control mengandung arti kepercayaan seseorang

terhadap kemampuannya untuk mengontrol kejadian-kejadian dalam

kehidupan (Strausers, 2002). Locus of control juga dapat di

definisikan sebagai buah pikiran dari kepercayaan seseorang bahwa

kekuasaan atau kekuatan kontrolnya mempengaruhi setiap situasi

positif maupun negatif yang terjadi dalam kehidupannya (Sardogan,

2006).

Menurut Larsen & Buss (2002) locus of control merupakan

suatu konsep yang menunjuk pada keyakinan individu mengenai


23

sumber kendali akan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.

Locus of control menggambarkan seberapa jauh seseorang

memandang hubungan antara perbuatan yang dilakukannya (action)

dengan akibat/hasilnya (outcome).

Locus of control adalah aspek dari personality yang merupakan suatu

bentuk yang merefleksikan kepercayaan dan persepsi seseorang

mengenai siapa yang mengontrol hidup dan lingkungan

(Lefcourt,1976 dalam April, Dharani & Peters, 2012). Kepercayaan

individu mengenai kemampuan mengontrol terhadap apa yang terjadi

dalam kehidupan mereka merupakan elemen inti dari pemahaman

mereka tentang bagaimana kehidupan mereka di dunia

(Shapiro,Schwartz & Austin,1996).

Locus of control mengarah pada suatu ukuran yang

menunjukkan bagaimana seseorang memandang kemungkinan

adanya hubungan antara perbuatan yang dilakukan dengan akibat

atau hasil yang diperoleh. Jadi, locus of control adalah persepsi

seseorang terhadap keberhasilan ataupun kegagalannya dalam

melakukan berbagai kegiatan dalam hidupnya yang disebabkan oleh

kendali dirinya atau kendali di luar dirinya.

2. Dimensi-Dimensi Locus of Control

Rotter (1966) membagi orientasi locus of control menjadi dua,

yakni locus of control internal dan locus of control eksternal. Individu

dengan locus of control internal cenderung menganggap bahwa


24

ketrampilan (skill), kemampuan (ability), dan usaha (effort) lebih

menentukan apa yang mereka peroleh dalam hidup mereka.

Sedangkan individu yang memiliki locus of control eksternal

cenderung menganggap bahwa hidup mereka terutama ditentukan

oleh kekuatan dari luar diri mereka, seperti nasib, takdir,

keberuntungan, dan orang lain yang berkuasa.

Individu dengan locus of control internal bersikap

hati-hati, waspada, dominan, berfokus pada kesuksesan, percaya diri,

dan cerdik. Sebaliknya, individu dengan locus of control eksternal

kurang hati-hati, dipengaruhi oleh anggota kelompok, mudah

dipengaruhi oleh kekuatan eksternal, kurang percaya diri, dan mereka

menampilkan kinerja yang tidak stabil (Rotter, 1975). Individu

mengeluarkan dua sikap sebagai kontrol internal dan eksternal

dengan mempertimbangkan bahwa penguatan yang mereka miliki dari

pengalaman mereka sebelumnya dihasilkan dari sikap mereka sendiri

atau kekuatan eksternal (Cetin, 2008 dalam Kutanis, Mesci & Ovdur,

2011). Perbedaan antara locus of control internal dan locus of control

eksternal sesuai dengan kualitas individu ditunjukkan dalam tabel di

bawah ini.

Variabel
Internal LoC External LoC

Kemampuan Individu dengan locus of control Individu dengan locus of control


(Abilities) internal mempunyai kecenderung- eksternal memilih aktivitas dimana
an untuk memilih aktivitas dimana mereka melihat adanya kesempatan
mereka dapat menunjukkan ke- dalam hidupnya.
mampuannya.

Tanggung Mereka merasa bahwa mereka Mereka mencoba untuk meningkat-


25

jawab bertanggung jawab terhadap kan kondisi yang baik dalam


(Responsibility) keputusan mereka sendiri mereka kehidupannya, disisi lain mereka
beranggapan bahwa takdir juga berusaha untuk mengurangi
mereka tidak dipengaruhi oleh kondisi yang kurang baik.
faktor diluar kontrol mereka, tetapi
dari keputusan mereka sendiri.

Perubahan Keyakinan mereka bahwa mereka Mereka biasanya melihat perubahan


(Change) memiliki kontrol atas nasib sebagai suatu bahaya seperti
mereka mencegah mereka dari mereka tidak merasakan kontrol
rasa curiga pada periode kekuatan yang mempengaruhi hidup
perubahan karena mereka mereka. Mereka biasanya bertahan
merasa bertanggung jawab atas pada kondisi menjadi orang yang
tindakan mereka sendiri. pasif dalam perubahan.

Lingkungan Mereka berusaha mengontrol Mereka menunjukkan perilaku


(Environment) lingkungan dan menunjukkan komplen yang rendah dibandingkan
kinerja yang baik. Ketika informasi dengan individu dengan internal LoC
menyangkut diri mereka sendiri, .
mereka secara aktif akan mencari
informasi baru. Dan mereka akan
menggunakan informasi yang
lebih baik yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan masalah yang
kompleks.

Dapat disimpulkan bahwa


Stress memiliki internal locus of control Karyawan dengan eksternal LoC
dapat membantu karyawan tidak dapat bertahan dengan stres
mengatasi stres dan kesulitan lain dan kesulitan dengan cara yang
dalam bisnis. sesuai.

Kepuasan kerja Kepuasan kerja individu dengan Eksternal LoC mempunyai


(Job internal LoC lebih tinggi hubungan yang negatif dengan
Satisfaction) dibandingkan dengan individu kepuasan kerja; tetapi mempunyai
dengan eksternal LoC. Mereka hubungan positif dengan kesehatan
dapat mengerjakan bisnis yang mental dan fisik.
baik dan mendapat keuntungan
dan mereka cenderung ber-
kembang pesat dan mendapat
upah lebih.

Motivasi kerja Sebagian besar percaya bahwa Jika tidak ada penghargaan
(Work usaha mereka akan berakhir terhadap kinerja, mereka tidak akan
Motivation). dengan kinerja yang baik. Mereka memberikan kinerja yang berbeda
lebih percaya diri dan seperti ekspektasi dari individu
mempercayai kemampuannya. dengan internal LoC.
Mereka mempunyai ekspektasi
bahwa kinerja mereka yang baik
akan mendapat penghargaan dan
mereka cenderung beranggapan
bahwa status mereka dalam
bisnis lebih tepat & lebih adil.
Source: Demirkan, Selcan (2006:36) dalam Kutanis R.O.,Mesci M.,& Ovdur Z.(2011)
26

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Locus of Control

Berdasarkan beberapa hasil penelitian faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi perkembangan locus of control adalah sebagai

berikut:

a. Faktor keluarga

Perkembangan locus of control dihubungkan dengan tipe

keluarga, sumber daya, stabilitas budaya dan pengalaman.

Banyak individu yang internalitasnya tinggi berasal dari keluarga

dengan keyakinan internal yang khas, misalnya keluarga yang

menekankan usaha, pendidikan, tanggung jawab, pemikiran, dan

orang tua yang memberikan penghargaan terhadap anak.

Sebaliknya, eksternalitas lebih dihubungkan dengan status sosial

ekonomi yang rendah. Schultz dan Schultz (2005), juga

menyatakan bahwa anak-anak dalam keluarga yang mendukung

dan konsisten dalam disiplin akan cenderung internal.

b. Usia dan jenis kelamin

Rotter (1975) menyatakan saat seseorang menjadi tua mereka

cenderung menjadi lebih internal. Hal ini mungkin disebabkan

oleh kenyataan bahwa anak-anak tidak memiliki banyak kontrol

atas kehidupan mereka. Selanjutnya Rotter (1975) juga

menyatakan pria cenderung lebih internal dalam hal keberhasilan

pribadi. Hal ini mungkin karena norma-norma budaya yang


27

menegaskan perilaku agresif pada laki-laki dan perilaku patuh

pada wanita.

c. Isu lintas budaya dan regional

Menurut Berry J.W. et al. (1992), orang Jepang lebih eksternal

dibandingkan dengan orang Amerika, sedangkan orang Amerika

dan beberapa negara Eropa cenderung tidak jauh berbeda.

Selanjutnya, Berry J.W. et al. (1992), menemukan bahwa orang

Amerika kulit hitam cenderung lebih eksternal dibandingkan

dengan kulit putih, bahkan ketika status sosial ekonomi

dikendalikan. Sims dan Baumann (1972) menjelaskan

bagaimana daerah di Amerika Serikat menghadapi bencana

alam yang berbeda. Mereka "menerapkan teori Rotter untuk

menjelaskan mengapa lebih banyak orang tewas dalam tornado

di Alabama daripada di Illinois". Warga Alabama memiliki cara

yang lebih eksternal dalam pengolahan informasi, mereka

mengambil lebih sedikit tindakan pencegahan sebelum

munculnya tornado. Mereka di Illinois, lebih siap, sehingga

korban lebih sedikit.

B. Teori Burnout

1. Definisi Burnout
28

Burnout adalah istilah psikologi yang pertama kali

diperkenalkan oleh Freudenberger pada tahun 1974. Freudenberg

(1974) dalam Burke & Richardsen (2001) menyatakan burnout sebagai

kelelahan yang sangat akibat tuntutan yang berlebih terhadap energi,

kekuatan dan sumber daya. Chernis (1980) dalam Burke & Richardsen

(2001) menyatakan, burnout adalah proses transaksional yang terdiri

dari stres kerja, ketegangan pekerja dan akomodasi psikologis. Secara

spesifik burnout terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama diikuti oleh

ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan dengan sumber daya

individu untuk memenuhi tuntutan pekerjaan tersebut. Tahap kedua,

segera setelah itu, respon emosional jangka pendek terhadap

ketidakseimbangan tersebut, dengan karakteristik perasaan cemas,

tegang, fatigue, dan sangat lelah. Tahap ketiga ditandai dengan

sejumlah besar perubahan sikap dan perilaku. Termasuk didalamnya

adalah suatu kecenderungan untuk merawat pasien dengan kaku atau

sinis. Sehingga burnout menjadi suatu proses dimana pekerja

menjauhkan diri dari pekerjaan sebagai respon terhadap stress dan

ketegangan yang dialami saat melaksanakan tugas.

Burnout merupakan sindrom kelelahan, baik secara fisik maupun

mental yang termasuk di dalamnya berkembang konsep diri yang

negatif, kurangnya konsentrasi serta perilaku kerja yang negatif (Pines

& Maslach, 1993). Burnout adalah sindrom multidimensional yang

terdiri dari tiga komponen yaitu kelelahan emosional (emotional


29

exhaustion), depersonalisasi, dan reduced personal accomplishment

(Maslach et al., 1996). Maslach & Leiter (1997) mendefinisikan burnout

sebagai indeks dislokasi antara siapa orangnya dan apa yang harus

dilakukannya.. Keadaan ini membuat suasana di dalam pekerjaan

menjadi dingin, tidak menyenangkan, dedikasi dan komitmen menjadi

berkurang, performansi, prestasi pekerja menjadi tidak maksimal. Hal

ini juga membuat pekerja menjaga jarak, tidak mau terlibat dengan

lingkungannya. Burnout juga dipengaruhi oleh ketidak sesuaian antara

usaha dengan apa yang di dapat dari pekerjaan.

Menurut Pines dan Aronson (1989), burnout merupakan kelelahan

secara fisik, emosional, dan mental yang disebabkan keterlibatan

jangka panjang dalam situasi yang penuh dengan tuntutan emosional.

Schaufelli (1993) mendefinisikan burnout sebagai sindrom psikologis

yang terdiri atas tiga dimensi yaitu kelelahan emosional,

depersonalisasi, dan penurunan pencapaian prestasi pribadi.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa burnout

adalah sindrom psikologis berupa perasaan kegagalan dan kelelahan

yang luar biasa, baik secara fisik, mental maupun emosional akibat

tuntutan yang terlalu membebankan tenaga dan kemampuan

seseorang yang menyebabkan seseorang terganggu dan terjadi

penurunan pencapaian prestasi pribadi.

2. Dimensi Burnout
30

Maslach et al. (1996) mengemukakan tiga dimensi burnout pada

pekerja pelayanan jasa, yaitu:

a. Kelelahan emosional (emotional exhaustion) yaitu habisnya

sumber-sumber emosional dari dalam individu yang ditandai

perasaan frustasi, putus asa, sedih, perasaan jenuh, mudah

tersinggung, mudah marah tanpa sebab, mudah merasa lelah,

tertekan dan perasaan terjebak dalam pekerjaan.

b. Depersonalisasi (depersonalization) yaitu kecenderungan individu

untuk menjauhi lingkungan sosialnya, bersikap sinis, apatis, tidak

berperasaan, tidak peduli terhadap lingkungan dan orang-orang

sekitarnya. Dimensi ini menggambarkan burnout secara eksklusif

untuk pekerjaan di bidang pelayanan kemanusiaan (human

service).

c. Rendahnya penghargaan atas diri sendiri (low personal

accomplishment) yaitu suatu tendensi individu untuk

mengevaluasi

kinerjanya secara negatif. Individu yang menilai rendah dirinya

sering mengalami ketidakpuasan terhadap hasil kerja sendiri serta

merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi

diri sendiri maupun bagi orang lain.

3. Dampak Burnout pada Pekerja

Adapun dampak dari burnout menurut Leiter & Maslach (2005) adalah:

a. Burnout is Lost Energy


31

Pekerja yang mengalami burnout akan merasa stress, kewalahan

dan kelelahan yang luar biasa. Pekerja juga akan sulit untuk tidur,

menjaga jarak dengan lingkungan. Hal ini akan mempengaruhi

kinerja dari pekerja. Produktivitas dalam bekerja juga semakin

menurun.

b. Burnout is Lost Enthusiasm

Keinginan dalam bekerja semakin menurun, semua hal yang

berhubungan dengan pekerjaan menjadi tidak menyenangkan.

Kreatifitas, ketertarikan terhadap pekerjaan semakin berkurang

sehingga hasil yang diberikan sangat minim.

c. Burnout is Lost Confidence

Tanpa adanya energi dan keterlibatan aktif pada pekerjaan akan

membuat pekerja tidak maksimal dalam bekerja. Pekerja semakin

tidak efektif dalam bekerja yang semakin lama membuat pekerja itu

sendiri merasa ragu dengan kemampuannya. Hal ini akan

memberikan dampak bagi pekerjaan itu sendiri.

4. Faktor-Faktor Penyebab Burnout

Menurut Leiter & Maslach (1997) burnout biasanya terjadi

karena adanya ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan pekerja.

Ketika terjadi perbedaan yang sangat besar antara individu yang

bekerja dengan pekerjaannya maka akan mempengaruhi performa

kerja. Leiter & Maslach (1997) membagi beberapa faktor lingkungan


32

kerja atau faktor organisasi yang mempengaruhi munculnya burnout,

yaitu:

a. Beban kerja berlebihan (Work Overloaded)

Work overload atau beban kerja berlebihan kemungkinan terjadi

akibat ketidaksesuaian antara pekerja dengan pekerjaannya.

Pekerja terlalu banyak melakukan pekerjaan dengan waktu yang

sedikit. Berlebihan terjadi karena pekerjaan yang dikerjakan

melebihi kapasitas kemampuan manusia yang memiliki

keterbatasan. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas

pekerja, hubungan yang tidak sehat di lingkungan pekerjaan,

menurunkan kreativitas pekerja, dan menyebabkan burnout.

b. Kurangnya kontrol kerja (Lack of Work Control) ;

Semua orang memiliki keinginan untuk memiliki kesempatan dalam

membuat pilihan, keputusan, menggunakan kemampuannya untuk

berfikir dan menyelesaikan masalah, dan meraih prestasi. Adanya

aturan terkadang membuat pekerja memiliki batasan dalam

berinovasi, merasa kurang memiliki tanggung jawab dengan hasil

yang mereka dapat karena adanya kontrol yang terlalu ketat dari

atasan.

c. Penghargaan terhadap kerja (Rewarded for Work)

Kurangnya apresiasi dari lingkungan kerja membuat pekerja

merasa tidak bernilai. Apresiasi bukan hanya dilihat dari pemberian

bonus (uang), tetapi hubungan yang terjalin baik antar pekerja,


33

pekerja dengan atasan turut memberikan dampak pada pekerja.

Adanya apresiasi yang diberikan akan meningkatkan afeksi positif

dari pekerja yang juga merupakan nilai penting dalam menunjukkan

bahwa seseorang sudah bekerja dengan baik.

d. Kegagalan hubungan dalam komunitas (Breakdown in

Community).

Pekerja yang kurang memiliki rasa memiliki terhadap lingkungan

kerjanya (komunitas) akan menyebabkan kurangnya rasa

keterikatan positif di tempat kerja. Seseorang akan bekerja dengan

maksimal ketika memiliki kenyamanan, kebahagiaan yang terjalin

dengan rasa saling menghargai, tetapi terkadang lingkungan kerja

melakukan sebaliknya. Ada kesenjangan baik antar pekerja

maupun dengan atasan, sibuk dengan diri sendiri, tidak memiliki

waktu yang berkualitas dengan rekan kerja. Terkadang teknologi

seperti handphone, computer membuat seseorang cenderung

menghilangkan kontak sosial dengan orang disekitar. Hubungan

yang baik seperti bertukar pendapat, bercanda bersama perlu

untuk dilakukan dalam menjalin ikatan yang kuat dengan rekan

kerja. Hubungan yang tidak baik membuat suasana di lingkungan

kerja tidak nyaman, penuh dengan kemarahan, frustasi, cemas,

merasa tidak dihargai. Hal ini membuat dukungan sosial menjadi

tidak baik, kurang rasa saling membantu antar rekan kerja.

e. Perlakuan adil (Treated Fairly)


34

Perasaan tidak diperlakukan adil juga merupakan faktor terjadinya

burnout. Adil berarti saling menghargai dan menerima perbedaan.

Adanya rasa saling menghargai akan menimbulkan rasa

keterikatan dengan komunitas (lingkungan kerja). Pekerja merasa

tidak percaya dengan lingkungan kerjanya ketika tidak ada

keadilan. Rasa ketidakadilan biasa dirasakan pada saat masa

promosi kerja, atau ketika pekerja disalahkan ketika mereka tidak

melakukan kesalahan.

f. Menghadapi konflik nilai (Dealing with Conflict Values)

Pekerjaan dapat membuat pekerja melakukan sesuatu yang tidak

sesuai dengan nilai mereka. Misalnya seorang sales terkadang

harus berbohong agar produk yang ditawarkan bisa terjual. Namun

hal ini dapat menyebabkan seseorang menurunkan performa,

kualitas kerjanya karena tidak sesuai dengan nilai yang dimiliki.

Seseorang akan melakukan yang terbaik ketika melakukan apa

yang sesuai dengan nilai, kepercayaan, menjaga integritas dan

harga diri.

Faktor personal atau faktor individu yang mempengaruhi

terjadinya burnout menurut Maslach, Schaufeli, & Leiter (2001),

adalah sebagai berikut :

a. Karakteristik demografi

Dari semua variabel demografis yang telah dipelajari, usia

adalah salah satu variabel yang memiliki hubungan paling


35

konsisten dengan burnout. Di antara karyawan muda tingkat

burnout dilaporkan lebih tinggi daripada mereka yang berusia di

atas 30 atau 40 tahun.

Variabel demografis jenis kelamin belum merupakan

prediktor kuat terhadap terjadinya burnout (Meskipun beberapa

argumen menyatakan burnout lebih mengarah pada pengalaman

perempuan). Beberapa studi menunjukkan burnout lebih tinggi

pada perempuan, beberapa menunjukkan skor yang lebih tinggi

pada laki-laki, dan yang lain menemukan tidak ada perbedaan

antara keduanya. Tapi, yang konsisten dari perbedaan jenis

kelamin adalah bahwa laki-laki sering memiliki skor lebih tinggi

pada dimensi sinisme/depersonalisasi. Ada pula kecenderungan

dalam beberapa penelitian bahwa perempuan memiliki skor

sedikit lebih tinggi pada kelelahan yang sangat (exhaustion). Hasil

ini dapat dikaitkan dengan stereotip peran gender, tetapi

hubungan inipun dapat diganggu oleh jenis pekerjaan yang

berhubungan dengan jenis kelamin (misalnya polisi lebih

cenderung laki-laki, perawat lebih banyak perempuan).

Faktor demografis status perkawinan, untuk mereka yang

belum menikah (terutama laki-laki) tampaknya menjadi lebih

rentan terhadap burnout dibandingkan dengan mereka yang

sudah menikah. Single terlihat mengalami tingkat burnout bahkan

lebih tinggi dari mereka yang bercerai. Adapun etnis, sangat


36

sedikit penelitian yang menilai variabel demografis ini, sehingga

tidak mungkin untuk meringkas setiap tren empiris.

Beberapa studi telah menemukan bahwa orang-orang

dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat

burnout lebih tinggi dibanding karyawan yang kurang

berpendidikan. Tidak jelas bagaimana menafsirkan temuan ini,

mengingat bahwa variabel pendidikan dapat diganggu oleh

variabel lain, seperti pekerjaan dan status. Ada kemungkinan

bahwa orang dengan pendidikan tinggi memiliki pekerjaan

dengan tanggung jawab yang lebih besar dan stres yang lebih

tinggi. Atau mungkin orang yang berpendidikan tinggi memiliki

harapan yang lebih tinggi untuk pekerjaan mereka, dengan

demikian lebih tertekan jika harapan tersebut tidak terwujud.

b. Karaktersitik personal

Beberapa ciri kepribadian telah dipelajari dalam upaya untuk

menemukan jenis orang yang mungkin berada pada risiko yang

lebih besar untuk mengalami burnout. Orang-orang yang

menampilkan rendahnya tingkat tahan banting (mis: dalam hal

keterlibatan dalam kegiatan sehari-hari, rasa kontrol atas

peristiwa, dan keterbukaan untuk perubahan) memiliki nilai yang

lebih tinggi pada burnout, terutama pada dimensi kelelahan yang

sangat (exhaustion). Burnout juga lebih tinggi di antara orang-

orang yang memiliki locus of control eksternal (Menghubungkan


37

peristiwa dan prestasi orang lain yang kuat atau kebetulan)

daripada locus of control internal (atribusi kemampuan sendiri dan

usaha). Mereka yang mengalami burnout mengatasi peristiwa

stres dalam agak pasif, cara defensif, sedangkan mengatasi

(coping) dengan cara aktif dan konfrontatif dikaitkan

denganrendahnya burnout. Dalam penelitian lain, ketiga dimensi

burnout berhubungan dengan rendahnya harga diri. Telah

dikemukakan bahwa rendahnya tingkat tahan banting, harga diri

rendah, eksternal locus of control, dan gaya koping (mekanisme

koping) yang menghindar biasanya merupakan profil dari individu

rawan stres (Semmer, 1996 dalam Maslach et al., 2001).

Penelitian tentang lima besar dimensi kepribadian telah

menemukan bahwa burnout terkait dengan dimensi neurotisme.

Neurotisme termasuk sifat kecemasan, permusuhan, depresi,

kesadaran diri, dan kerentanan. Individu neurotik adalah individu

dengan emosional tidak stabil dan rentan terhadap tekanan

psikologis. Dimensi kelelahan (exhaustion) pada burnout juga

terkait dengan perilaku Tipe-A (kompetisi, gaya hidup dengan

keterbatasan waktu, permusuhan, dan kebutuhan yang

berlebihan untuk mengontrol). Ada juga indikasi bahwa jenis

individu yang mengutamakan perasaan daripada pikiran (Dalam

analisis Jungian), lebih rentan terhadap burnout, terutama

dimensi sinisme/depersonalisasi.
38

c. Perilaku kerja

Setiap orang memiliki perbedaan mengenai harapan yang

mereka bawa ke pekerjaan mereka. Dalam beberapa kasus

harapan ini sangat tinggi, baik dari segi sifat pekerjaan (misalnya

menarik, menantang, menyenangkan), maupun kemungkinan

mencapai keberhasilan (misalnya menyembuhkan pasien,

dipromosikan). Apakah harapan yang tinggi tersebut dianggap

idealis atau tidak realistis, satu hipotesis yang dimiliki adalah

bahwa mereka adalah faktor risiko untuk burnout. Sepertinya,

harapan yang tinggi ini menyebabkan orang bekerja terlalu keras

dan terlalu banyak, sehingga menyebabkan kelelahan dan

akhirnya menunjukkan sinisme ketika upaya yang tinggi tidak

sesuai dengan hasil yang diharapkan. Hipotesis ini telah

menerima dukungan empiris yang berbeda, dimana setengah dari

studi menemukan korelasi hipotesis, sedangkan sisanya tidak.

Namun, ini adalah contoh di mana korelasi tidak benar-benar

menguji hubungan kausal yang melekat dalam hipotesis.

5. Tanda dan Gejala burnout kerja

Schaufeli & Enzman (1998), mengidentifikasi beberapa tanda

burnout pada level individu, interpersonal dan organisasi. Banyak

peneliti yang sepakat bahwa setiap orang tidak mengindikasikan tanda

yang sama, atau tidak semua tanda akan nampak jika seseorang
39

menderita burnout . Dibawah ini adalah beberapa tanda burnout yang

penting, yang dikemukakan oleh Schaufeli & Enzman (1998).

Tipe Level
tanda Individu Interpersonal Organisasi
Afektif - Suasana hati selalu - Lekas marah - Ketidakpuasan kerja
berubah - Menjadi sensitif
- Kelelahan emosional - Empati emosional
- Peningkatan berkurang pada
ketegangan/kecemasan klien/pasien
Kognitif - Ketidakberdayaan/kehilang - Persepsi sinis terhadap - Sinisme tentang peran
an makna dan harapan. pasien kerja,
- Perasaan tidak - Negativisme/pesimisme - Ketidakpercayaan dgn
berdaya/perasaan yang terhadap pasien manajemen, rekan-rekan
terperangkap - Labeling yang negatif & supervisor.
- Rasa kegagalan
- Harga diri rendah
- Ide bunuh diri
- Ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi/mudah
lupa/kesulitan dengan
tugas-tugas yang kompleks.
Fisik - Sakit kepala
- Mual
- Pusing
- Nyeri otot
- Gangguan tidur
- Maag/gangguan
gastrointestinal
- Kelelahan kronis
Perilaku - Hiperaktif/ impulsif - Kecenderungan untuk - mengurangi
- Peningkatan konsumsi: perilaku kekerasan dan efektivitas/kinerja yg
Kafein, tembakau, alkohol, agresif buruk/ produktivitas
obat-obatan terlarang - Agresif terhadap klien/ menurun.
- Pengabaian kegiatan pasien - turnover.
rekreasi - Menarik diri - Peningkatan cuti sakit/
- Mengeluh kompulsif/ - Menanggapi klien/pasien ketidakhadiran
penolakan dengan cara mekanik - Menjadi lebih
tergantung pada
supervisor.
- Peningkatan kesalahan
Motivasi - Kehilangan semangat/ - Kehilangan minat - Kehilangan motivasi
hilangnya idealisme - Ketidakpedulian terhadap kerja
- Pengunduran diri klien/pasien - Resistensi datang
- Kekecewaan bekerja
- Kebosanan - Moral rendah

C. Teori Spiritual Well Being (kesejahteraan spiritual)

1. Spiritualitas

Spiritualitas manusia semakin diakui sebagai fenomena nyata

dan bukan hanya sekedar "ilusi mental" [Rose & Seaward dalam
40

Fisher 2011). Beberapa pengkajian yang valid dan reliabel telah

dilakukan untuk memperluas pengetahuan tentang kesehatan

spiritual. Banyak dan beragam upaya untuk mendefinisikan

spiritualitas mulai dari agama hingga spektrum humanistik.

"Spiritualitas" dan "kesejahteraan" keduanya adalah konstruksi

multifaset yang agak sulit digambarkan atau dipahami, tapi hal ini

tidak mencegah orang untuk mencoba mendefinisikan spiritualitas dan

kesejahteraan, serta keterkaitan mereka dalam bentuk spiritual well-

being (SWB) atau kesejahteraan spiritual.

Banyak perdebatan tentang sifat spiritualitas yang telah

berlangsung selama berabad-abad. Spiritualitas dapat berarti banyak

hal, dan sering dipahami secara berbeda oleh orang yang berbeda.

Secara umum, istilah ini muncul untuk menunjukkan pendekatan

dalam menemukan, mengalami, dan implikasi hidup dari kehidupan

manusia yang otentik (Muldon & King, 1995). Menurut Fisher (2011),

secara umum spirit merupakan prinsip penting yang memberi hidup,

yang melampaui suatu material dan mekanik. Hal ini mengacu pada

sifat penting dari keberadaan manusia, kekuatan tujuan mereka,

persepsi, kekuatan mental, serta kerangka pikiran. Spiritual bisa

merujuk ke kualitas moral yang lebih tinggi, dengan beberapa konotasi

agama dan bagian yang lebih tinggi dari pikiran.

2. Kesehatan dan Kesejahteraan Spiritual


41

Konsep kesejahteraan spiritual (spiritual well being) dinyatakan

oleh Ellison (1983) adalah keadaan yang mendasari kepuasan dalam

hidupnya dan kemampuan mengekspresikan hubungan dirinya

dengan pencipta. Fehring, Miller dan Shaw dalam Fisher (2011),

mendukung pandangan ini dengan menambahkan, " kesejahteraan

spiritual merupakan indikasi kualitas hidup individu dalam dimensi

spiritual atau indikasi kesehatan spiritual mereka ". Dalam kerangka

definisi spritual well-being (SWB) yang diusulkan oleh National

Interfaith Coalitin on Aging (NICA) (1975), di Washington DC, empat

tema utama muncul sebagai kesejahteraan spiritual, dimana

kesejahteraan spiritual dipandang sebagai "penegasan hidup dalam

hubungan dengan Tuhan, diri sendiri, masyarakat dan lingkungan

dengan cara memelihara keyakinan, keutuhan untuk bersama dalam

kedamaian pribadinya”.

Kesejahteraan spiritual adalah proses menguraikan sifat ikatan

yang dinamis antara pribadi dan pencipta, hubungan yang harmonis

tergantung pada pengembangan diri yang dilakukan secara sengaja,

yang biasanya datang atas dasar kesesuaian antara pengalaman

hidup yang bermakna, memiliki tujuan dan nilai-nilai kehidupan

pribadi. Pengembangan diri ini juga dijadikan sebagai tantangan

pribadi, dilakukan dengan cara meditasi atau perenungan mengarah

pada keadaan bahagia yang dirasakan secara internal (Ellison, 1983).


42

Fisher (2010) menyebutkan 4 aspek yang mengidentifikasikan

kesejahteraan spiritual. Empat aspek tersebut adalah; a). Domain

Personal, berkaitan dengan diri sendiri, pencarian makna pribadi,

pencarian tujuan dan nilai-nilai kehidupan. Domain pribadi ini

berkaitan dengan kesadaran diri, yaitu kekuatan pendorong jiwa

manusia untuk mencapai identitas dan harga diri; b). Domain

Communal, berupa kualitas dan kemampuan interpersonalnya dengan

tingkat kualitas lebih mendalam, menjalin hubungan dengan orang

lain, berkaitan dengan moralitas dan budaya. Adanya kasih sayang,

pengampunan, kepercayaan, harapan dan kemampuan

mengaktualisasikan iman terhadap sesama; c). Domain

Environmental, berupa keterikatan terhadap lingkungan secara

natural, kepuasan saat mengalami pengalaman puncak (peak

experience), menikmati keindahan alam, kemampuan untuk

memelihara lingkungan agar dapat memberi manfaat terhadap sekitar;

d). Domain Transcendental, kemampuan untuk menjalin hubungan

dengan pencipta, melibatkan iman, pemujaan dan penyembahan

terhadap realitas transenden yaitu Tuhan. Ada kepercayaan/keimanan

(faith) terhadap Tuhan. Definisi ini menguraikan sifat keterikatan dan

dinamika kesehatan spiritual, dimana harmoni internal tergantung

pada intensitas pengembangan diri, yang berasal dari keselarasan

antara pengungkapan dan pengalaman akan makna, tujuan dan nilai-

nilai dalam kehidupan di tingkat personal. Intensitas pengembangan


43

ini akan mengarah pada kondisi bahagia, yang dirasakan oleh

beberapa orang sebagai harmoni internal.

Gomez & Fisher (2005) menyebutkan kesejahteraan spiritual

adalah konsep mengenai keadaan bawaan, ada unsur motivasi atau

dorongan untuk menemukan tujuan hidupnya, sifatnya dinamis dan

subyektif serta memusat pada sesuatu yang khas kemudian diyakini

sebagai kebenaran. Sejahtera secara spiritual didalamnya ada

tindakan nyata berhubungan dengan esensi keberadaan, pengalaman

batin dan keyakinan tertentu. Semuanya memberikan tujuan, arti dan

nilai untuk kehidupannya yang berkualitas misalnya, dengan

mengucap syukur kepada Tuhan, mengasihi sesama, dan belajar dari

pengalaman hidup sebelumnya (Gomez & Fisher, 2005).

3. Model Kesehatan Spiritual

a. Menurut Fisher J. (2010)

Tabel dibawah ini menggambarkan hubungan timbal balik

yang dinamis antara bagian komponen dari definisi kesehatan

spiritual yang digambarkan oleh Fisher (2011). Di sini, setiap

domain kesehatan spiritual terdiri dari dua aspek pengetahuan

dan inspirasi. Aspek Pengetahuan (ditulis dalam huruf tebal di

bawah judul untuk setiap domain) memberikan kerangka kognitif

yang membantu orang untuk menafsirkan aspek Inspirational atau

aspek transenden kesehatan / kesejahteraan spiritual, yang


44

merupakan esensi dan motivasi masing-masing domain

kesehatan spiritual. Di sini kita melihat metafora "kepala" dan

"hati" bekerja sama, berjuang untuk harmoni. Setelah tercapai,

harmoni ini tercermin dalam ekspresi kesejahteraan, contoh yang

disajikan di bagian bawah setiap domain pada tabel ini.

Menurut Fisher (2011), bahwa kualitas, atau kebenaran

hubungan bahwa seseorang bersama diri mereka sendiri, dengan

orang lain, dengan alam dan/atau dengan Tuhan merupakan

kesejahteraan spiritual seseorang dalam empat domain.

Kesehatan spiritual individu ditunjukkan oleh efek gabungan dari

kesejahteraan spiritual di setiap domain yang dianut oleh individu.

Kesehatan spiritual ditingkatkan dengan mengembangkan

hubungan yang positif dalam setiap domain, dan dapat

ditingkatkan dengan merangkul lebih domain.

Tabel 1. Empat Domain Model Kesehatan dan Kesejahteraan

Spiritual.

DOMAINS OF SPIRITUAL WELL-BEING


PERSONAL COMMUNA ENVIRONMENTA TRANSCENDENTA

L L L
Knowledge meaning, morality, care, nurture and Transcendent Other
aspect purpose, and culture (and stewardship of the - ultimate concern
- filtered by values religion) physical, eco- Tillich
world-view - human spirit -in-depth political and social - cosmic force
Inspirationa creates interpersonal environment New Age
l aspect awareness Relations connectedness - God, for
- essence -self- with theists
and consciousness -reaching the Nature/Creation Faith
motivation heart of
- filtered by humanity
beliefs
45

Expressed -joy, fulfillment, - love - sense of awe and adoration & worship,
-peace, - forgiveness wonder being:
as patience, - justice - valuing Nature/ - at one with Creator
- freedom, - hope & faith Creation - of the essence of the
- humility in humanity universe
- identity, - trust - in tune with God
integrity,
creativity,
intuition
- self-worth

Selanjutnya Fisher (2011) menyatakan, ketika hubungan

domain tidak benar, atau tidak ada, tidak memiliki keutuhan, atau

kesehatan; dapat terjadi penyakit spiritual. Kualitas hubungan di

masing-masing domain akan bervariasi dari waktu ke waktu, atau

bahkan tidak ada, tergantung pada keadaan, usaha dan

pandangan pribadi dan keyakinan orang tersebut. Hubungan

seseorang dengan transenden lain mencakup hubungan tiga

domain yang lain. Sebagai contoh, dari sudut pandang teistik

bahwa iman yang kuat kepada Tuhan harus meningkatkan semua

hubungan lainnya untuk SWB. Sehingga kesehatan spiritual

merupakan entitas yang dinamis, yang dapat ditingkatkan atau

diperkecil melalui kemampuan seseorang untuk berinteraksi

dengan keempat domain.

b. Menurut Ellison (1983)

Moberg dan Brusek (1978), yang menyatakan bahwa

kesejahteraan spiritual merupakan dua bentuk dimensi yang terdiri

atas dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal

adalah hubungan individu dengan Tuhan sedangkan dimensi


46

horizontal adalah persepsi individu terhadap tujuan dan kepuasan

hidup yang terlepas dari referensi agama. Berdasarkan

pandangan ini, Ellison menyarankan bahwa kesejahteraan

spiritual terdiri dari element psikologis-sosial dan elemen reliji.

Kesejahteraan reliji memberikan indikator elemen vertikal reliji,

yang membawa individu untuk berhubungan dengan kekuatan

yang tertinggi yaitu Tuhan. Sedangkan, kesejahteraan eksistensial

memberikan indikator bagi elemen psikologis-sosial, sehingga

individu menyadari apa yang akan dilakukan dan mengapa, siapa

dirinya, dan dimana dia berada.

Ellison (1983), menyatakan kesejahteraan reliji dan

kesejahteraan eksistensial melibatkan transendensi, bergerak

diluar diri. Jika dikiaskan, dimensi vertikal, kesejahteraan reliji,

membawa kita mendekat dengan Allah, sedangkan dimensi

horizontal, kesejahteraan eksistensi, membawa kita keluar dari diri

kita untuk mencapai ke arah orang lain dan lingkungan kita, tapi

masih dalam pesawat di mana kita ada. Hal ini disebabkan fungsi

individu sebagai sistem yang terintegrasi,sehingga

walaupunberbeda kedua dimensi ini saling mempengaruhi satu

sama lain. Jika spiritual kita sehat, kita akan merasa puas, bahagia,

bermakna sehingga kita dapat menghindari penderitaan fisik yang

mungkin kita alami (Ellison, 1983).


47

Dari kedua model kesejahteraan spiritual diatas,

dalampenelitian ini, kami akan menggunakan model yang

dikembangkan Ellison (1983), yang terdiri dari dua dimensi yaitu,

kesejahteraan reliji (religious well-being), dan kesejahteraan

eksistensial (existential well-being).


48

D. Penelitian Terkait

Jenis
No Peneliti Tahun Tujuan Penelitian Responden Hasil
Penelitian
1 Hardiman P. & 2012 Mengetahui hubungan Kuantitatif 89 konselor & terapis Hasil penelitian menemukan bahwa
Simmonds J.G. spiritual well being dan yang bergabung da- ahli klinik yang memiliki skor tinggi
kejadian burnout dengan lam Australian Coun- pada kesejahteraan eksistensi dalam
perhatian diutamakan selling Association & kesejahteraan spiritual lebih mampu
pada persepsi ahli klinik Australian Psycho- menghindari kelelahan emosional saat
terhadap trauma. logical Society berhadapan dengan klien dengan
College of trauma berat.
Counselling
Psychologists.

2 Wachholtz A. & 2013 Mengetahui hubungan Kuantitatif 259 mahasiswa Mahasiswa yang memiliki tingkat yang
Rogoff M. spiritualitas terhadap kedokteran yang tinggi dalam kesejahteraan spiritual
kejadian burnout pada mengambil program dan pengalaman spiritual sehari-hari,
mahasiswa kedokteran. MD/PhD di sekolah menunjukkan kepuasan terhadap
kedokteran Amerika. kehidupan mereka secara umum
sebaliknya mahasiswa yang memiliki
tingkat yang rendah dalam
kesejahteraan spiritual dan
pengalaman spiritual sehari-hari
menunjukkan skor yang tinggi pada
stres psikologis dan burnout.

3 Tasharrofi Z., 2013 Mengetahui hubungan Kuantitatif 160 perawat yang Hasil penelitian menunjukkan ada
Hatami H.R., & inteligensi spiritual, ke- bekerja di Rumah hubungan positif antara kecerdasan
Asgharnejad A. A. tahanan & kesejahteraan sakit Shafa
spiritual, ketahanan, kesejahteraan
spiritual terhadap burnout Yahyaiyan, Tehran
kerja pada perawat. childreen & Tehran spiritual dengan fungsi personal yang
Heart Center. berarti bahwa kecerdasan spiritual,
49

ketahanan dan kesejahteraan rohani


dapat menjadi faktor yang paling
berpengaruh mencegah dan
mengurangi kolaps pada pekerjaan
dan unsur-unsurnya antara perawat.

4 Bonet M. 2009 Meneliti hubungan antara Kuantitatif 120 Mahasiswa Hasil penelitian menunjukkan ada
spiritualitas, paparan ter- pascasarjana dari hubungan yang signifikan dan positif
hadap peristiwa Universitas Katolik antara tingginya paparan terhadap
kehidupan yang penuh Swasta timur laut. peristiwa kehidupan yang penuh stres
stres, dan stres traumatik. Sampel termasuk 93 dengan spiritual well being, dimana
perempuan dan 27 semakin tinggi paparan terhadap
laki-laki; usia mereka peristiwa kehidupan yang penuh stres
berkisar 21-66. maka spiritual well being, semakin
tinggi dan skala traumatik stres juga
semakin tinggi, hal ini menunjukkan
individu cenderung meningkat
spiritualitasnya saat mereka terpapar
pada kejadian yang penuh stres.

5. Robert T. E., 2006 Mengetahui hubungan Kuantitatif 200 orang dewasa Hasil menunjukkan hubungan yang
Young J. S., & antara kesejahteraan yang bekerja full time positif dan signifikan antara
Kelly V. A. spiritual orang dewasa di tujuh lokasi bisnis keseluruhan domain kesejahteraan
terhadap kepuasan kerja. yang mewakili tujuh spiritual dengan kepuasan kerja
sektor industri (yaitu, secara umum, dimana semakin tinggi
perawatan, telekomu- tingkat kesejahteraan spiritualmaka
nikasi, jasa pemasar- semakin tinggi tingkat kepuasan kerja.
an, penerbitan,
pamer-an dagang,
pendidikan tinggi, &
seni budaya) dan
orang dewasa yang
terdaftar 10
50

Universitas Swasta di
Norteast.
6. Sliskovic, Sersic & 2011 Mengetahui adanya Kuantitatif 1170 staf pengajar di Terdapat hubungan antara fungsi
Buric hubungan antara fungsi 4 Universitas di parsial work locus of control dengan
parsial mediasi work locus Kroasia sumber dan stres kerja pada staf
of control terhadap pengajar universitas Kroasia.
sumber stres kerja &
kebahagiaan serta
motivasi para staf
pengajar universitas

7. Hans A., Mubeen 2013 Penelitian ini bertujuan Kuantitatif 100 karyawan Hasil menunjukkan bahwa karyawan
S. A. & Al untuk mengidentifikasi manaje-men tingkat manajemen tingkat menengah dalam
Ghabshi A.S. Locus of Control dan mene-ngah dari 25 organisasi semi-pemerintah terutama
tingkat Kepuasan Kerja per-usahaan yang didorong oleh locus of control internal
antara manajemen meru-pakan delapan dan sebagian besar karyawan di
tingkat menengah dalam sektor dalam sektor ini memperolah skor yang
organi-sasi semi- organisasi rendah dalam skala kepuasan kerja.
pemerintah di Kesultanan pemerintah.
Oman.

8. April, Dharani & 2012 Mengetahui dampak locus Kuantitatif 11 orang responden Penelitian ini menunjukkan tingkat
Peters of control terhadap tingkat terdiri dari 68 orang kebahagiaan maksimal dicapai
kebahagiaan individu lulusan sekolah individu melalui adanya
Bisnis, 46 orang keseimbangan antara locus of control
mahasiswa MBA di harapan dengan gabungan antara
Afrika Selatan locus of control internal dan eksternal.

9. Schmitz N., 2000 Mengevaluasi pengaruh Kuantitatif 361 staf perawat dari Hasil menunjukkan bahwa tingginya
Neumann W., locus of control dan stres 9 unit di 5 Rumah stres terhadap kerja dan burnout
Oppermann R. yang berhubungan sakit Jerman. berhubungan dengan rendahnya
dengan kerja terhadap locus of control pada perawat.
51

burnout pada staf perawat


di Rumah sakit.
10. Kalantarkousheh, 2013 Untuk mengetahui Kuantitatif 130 mahasiswa dari Hasil menunjukkan adanya hubungan
Araqi, Zamanipour pengaruh locus of control berbagai jenjang yang positif antara locus of control
& Fandokht terhadap burnout (B.A., M.A., Ph.D.) eksternal dengan tingkat burnout
akademik pada Universitas Allameh pada mahasisiwa Universitas Allameh
mahasiswa Universitas Tabataba'i Tehran Tabataba'i.
Allameh Tabataba'i Iran.

11. Serin N. B., Serin 2010 Untuk menganalisis dan Kuantitatif 380 mahasiswa dari Hasil penelitian menunjukkan bahwa
O., & Sahin F. H. membandingkan faktor Cyprus International mahasiswa laki-laki lebih internal dari
yang mempengaruhi University (CIU), mahasiswa perempuan. Mahasiswa
locus of control pada Fakultas pendidikan yang penghasilannya tinggi lebih
mahasiswa dimana. Responden internal dari mahasiswa berpeng-
perempuan 176, dan hasilan menengah kebawah,
107 laki-laki. Mahasiswa yang tinggal bersama
keluarga lebih internal dibandingkan
dengan mahasiswa yang tinggal di
asrama atau rumah lain, Mahasiswa
yang memiliki saudara kandung 4
atau lebih lebih internal dari
mahasiswa yang mempunyai saudara
kandung lebih sedikit.

12. Laschinger & Fida 2013 Meneliti pengaruh model Kuantitatif Sebanyak 205 orang Interpersonal dan organizaional
kepemimpinan, sumber perawat yang bekerja resource memiliki peran protektif
daya organisasi, di RS Perawatan Akut dalam mencegah peningkatan burn
kemampuan psikologis (Critical care Unit & out, ketidakpuasan kerja dan
dan sumber intra personal Medical Surgical Unit) kesehatan mental.
terhadap peningkatan daerah Ontario.u
burn out pada perawat
baru, kepuasan kerja dan
kesehatan mental
lingkungan kerja
52

13. Ray, Wong, White 2013 Mengetahui hubungan Kuantitatif FMHPs sebanyak Terdapat hubungan antara
& Heaslip antara Compassion Satis- 169 orang, di RS Compassion Satisfaction(CS),
faction(CS), Compassion perawatan kesehatan Compassion Fatigue (CF) dan
Fatigue (CF) & mental bagian barat kesesuaian jenis pekerjaan dengan
kesesuaian jenis daya Ontario kejadian burn out, dimana semakin
pekerjaan dengan tinggi tingkat CS, kesesuaian dengan
kejadian burnout pada jenis pekerjaan, serta semakin rendah
Frontline Mental Health tingkat CF dapat berperan dalam
care Professionals menurunkan tingkat burn out.
(FMHPs).
14. Patrick & Lavery 2006 Mengkaji tingkat burn out Kuantitatif Sebanyak 574 orang Perawat anggota ANF Victoria tidak
pada perawat anggota Registered Nurse mengalami burn out namun bekerja
Victorian ANF dan ang-gota ANF di melebihi batas waktu mengakibatkan
mengidentifkasi karak- Victoria. terjadinya kelelahan secara
teristik individu yang emosional.
berhubungan dengan hal
tersebut.
.
15. Dhole & Tipnis 2013 Mengetahui peran stress Kuantitatif 60 orang pekerja di Stres berkorelasi negatif dengan
dan efek locus of control pabrik industri di India kepuasan kerja. Stres berkorelasi
terhadap kepuasan kerja negatif dengan kepuasan manajemen.
karyawan pabrik Locus of control berkorelasi negatif
dengan kepuasan kerja. Locus of
control berkorelasi negatif dengan
kepuasan manajemen.
16. Srivastava S. 2010 Untuk mengetahui Kuantitatif 550 Manajer tingkat Burnout kerja mempunyai hubungan
hubungan antara burnout menengah pada negatif dengan efektivitas manajerial
kerja dan efektivitas organisasi sektor dan persepsi terhadap dukungan
manajerial dengan swasta. organisasi, sedangkan locus of
variabel moderat persepsi control menjadi moderator/perantara
terhadap dukungan hubungan antara burnout kerja dan
organisasi dan locus of efektivitas manajerial.
53

control.

17. Akca F. & Yaman 2010 Untuk menentukan Kuantitatif 291 guru di Aksaray Analisis data menyimpulkan bahwa
B. apakah guru dikendalikan guru umumnya memiliki locus of
secara internal atau control internal dan mereka
eksternal dan untuk memandang diri mereka lebih burnout
menyelidiki apakah dari sudut ketidakpekaan dan
variabel ini mempengaruhi kelelahan emosional.
tingkat burnout mereka
dan gaya mereka
menjelaskan kejadian.
54

Ellison (1998); Young et al. (2000), gaya koping dipengaruhi oleh: Kesejahteraan spiritual E. Kerangka Konseptual Teori

Maslach, Leiter & Schaufeli (2001); Maslach & Leiter (2005); Maslach et al. (1996).Faktor Lingkungan kerja/Faktor O

Burnout kerja (Maslach et al.,1996)1. Kelelahan emosional 2. Depersonalisasi3. Rendahnya pencapaian pribadii

Maslach, Leiter & Schaufeli (2001); Maslach & Leiter (2005); Maslach et al. (1996).Faktor personal/individu :1. Fa

Maslach, Leiter & Schaufeli (2001); Maslach & Leiter (2005); Maslach et al. (1996).1. Tingkat tahan banting2. Locus of control3. Harga diri4. Gay

Karakteristik personal

Locus of control

Gaya koping
55

Kesejahteraan spiritual (Ellison, 1983):1. Kesejahteraan Reliji (Religious well being/ RWB)2. Ke

Burnout kerja (Maslach, et al., 1996):1. Kelelahan emosional2.Depersonalisasi3. Rendahnya pencapaian pribadi

Locus of Control (ROTTER, 1966):1.Locus of Control Internal.2. Locus of Control Eksternal.

Keterangan :

1. Hubungan ini telah di uji antara lain; Bonet M. (2009); Hardiman


& Simmonds (2012); Wachholtz & Rogoff (2013); Tasharrofi,
Hatami & Asgharnejad (2013);
2. Hubungan ini telah di uji antara lain oleh; Fuqua & Couture
(1986); Ress & Cooper, (1992); Schmitz et al (1999); Lam &
Schaubroeck (2000); Chen & Silverthorne (2008); Srivastava
(2010); Sliskovic et al (2011); Kalantarkousheh (2013).
3. Barbarin (1993) dalam Amjad F & Bokharey I.Z. (2014); Hefty
R. (2011).
56

F. Kerangka Penelitian

Kelelahan emosional

H1

Kesejahteraan spiritual
H2 H4

H3
H7 Depersonalisasi

H5

Locus of Control

Rendahnya pencapaian pribadi


H6

G. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian tesis ini adalah

sebagai berikut :

H1 : Kesejahteraan spiritual mempunyai pengaruh signifikan terhadap

kelelahan emosional perawat di RS Unhas Makassar.

H2 : Kesejahteraan spiritual mempunyai pengaruh signifikan terhadap

depersonalisasi perawat di RS Unhas Makassar.

H3 : Kesejahteraan spiritual mempunyai pengaruh signifikan terhadap

rendahnya pencapaian pribadi perawat di RS Unhas Makassar.


57

H4 : Locus of control mempunyai pengaruh signifikan terhadap

kelelahan emosional perawat di RS Unhas Makassar.

H5 : Locus of control mempunyai pengaruh signifikan terhadap

depersonalisasi perawat di RS Unhas Makassar.

H6 : Locus of control mempunyai pengaruh signifikan terhadap

rendahnya pencapaian pribadi perawat di RS Unhas Makassar.

H7 : Kesejahteraan spiritual mempunyai pengaruh signifikan terhadap

Locus of control perawat di RS Unhas Makassar.


58

H. Definisi Operasional

a. Variabel independen/ variabel bebas


Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Kriteria Obje9.;l/ Skala
]/ktif
Locus of control Keyakinan/kepercayaan Diukur dengan kuisioner Skor maksimal Semakin tinggi skor Ordinal
internal perawat yang bekerja di RS Work Locus of Control adalah: 96 yang diperoleh
Unhas Makassar bahwa (WLoC) (Spector, Skor minimal responden maka
kejadian yang dialami atau 1988),yang terdiri dari 8 adalah : 16 semakin tinggi
kendali pekerjaan berasal item pertanyaan dari 16 internalitas
dari diri sendiri. item pertanyaan WLoC responden tersebut
dimana masing-masing
pertanyaan diberi skor
menggunakan skala
Likert :
1. Sangat setuju
2. Setuju
3. Sedikit setuju
4. Sedikit tidak setuju
5. Tidak setuju
6. Sangat tidak setuju

Locus of control Keyakinan/kepercayaan Diukur dengan kuisioner Skor maksimal Semakin tinggi skor Ordinal
eksternal perawat yang bekerja di RS Work Locus of Control adalah: 96 yang diperoleh
Unhas Makassar bahwa (WLoC) (Spector, Skor minimal responden maka
kekuasaan orang lain, takdir, 1988),yang terdiri dari 8 adalah : 16 semakin tinggi
dan kesempatan merupakan item pertanyaan dari 16 eksternalitas
faktor utama yang item pertanyaan WLoC responden tersebut
59

mempengaruhi kejadian dimana masing-masing terhadap


yang dialami atau pertanyaan diberi skor kekuasaan/kekuatan
mempengaruhi menggunakan skala orang lain atau
pekerjaannya. Likert : terhadap
1 : Sangat setuju keberuntungan
2 : Setuju
3 : Sedikit setuju
4 : Sedikit tidak setuju
5 : Tidak setuju
6 : Sangat tidak setuju

Kesejahteraan Persepsi perawat yang Diukur dengan kuisioner Skor maksimal Semakin tinggi skor Ordinal
spiritual relijus bekerja diRS Unhas Spiritual well being scale adalah: 60 yang diperoleh
(kesejahteraan Makassar mengenai (SWBS) (Ellison,1983), Skor minimal responden maka
relijius /religious hubungannya dengan versi Malaysia, yang adalah : 10 semakin tinggi tingkat
well being). Tuhan. terdiri dari 10 item kesejahteraan relijius
pertanyaan dari 20 item dalam kesejahteraan
pertanyaan SWBS spiritual responden
dimana masing-masing tersebut
pertanyaan diberi skor
menggunakan skala
Likert :
1. Sangat setuju
2. Setuju
3. Sedikit setuju
4. Sedikit tidak setuju
5. Tidak setuju
6. Sangat tidak setuju
Kesejahteraan Persepsi individu perawat Diukur dengan kuisioner Skor maksimal Semakin tinggi skor Ordinal
spiritual eksistensi yang bekerja di RS Unhas Spiritual well being scale adalah: 60 yang diperoleh
(kesejahteraan Makassar akan makna, (SWBS) (Ellison,1983), Skor minimal responden maka
eksistensial tujuan dan kepuasan dalam versi Malaysia, yang adalah : 10 semakin tinggi tingkat
/existential well hidupnya. terdiri dari 10 item kesejahteraan
being). pertanyaan dari 20 item eksistensial dalam
60

pertanyaan SWBS kesejahteraan


dimana masing-masing spiritual responden
pertanyaan diberi skor tersebut
menggunakan skala
Likert :
1. Sangat setuju
2. Setuju
3. Sedikit setuju
4. Sedikit tidak setuju
5. Tidak setuju
6. Sangat tidak setuju

2. Variabel Dependen/ variabel terikat

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Kriteria Skala


Objektif
Kelelahan Sindrome psikologis berupa Diukur dengan kuisioner Skor maksimal Rendah : 0 - 16 Ordinal
emosional kelelahan emosional yang MBI-Human service survey, adalah 54 Sedang: 17 - 26
merupakan perasaan yang terdiri dari 9 item dari Skor minimal adalah Tinggi : 27 +
menjadi emosional yang 22 item MBI-HSS, dimana 0, semakin tinggi
berat dan disebabkan masing-masing pertanyaan hasil skor semakin
kelelahan karena bekerja, diberi skor tentang seberapa tinggi persepsi
yang dirasakan oleh sering responden responden terhadap
perawat yang bekerja di RS merasakan kelelahan burnout
Unhas Makassar emosional dengan
menggunakan 7 poin skala
Likert :
0 : tidak pernah
1 : ≤ beberapa kali setahun.
2 : ≤ sekali sebulan.
3 : beberapa kali sebulan.
61

4 : sekali seminggu.
5 : beberapakali seminggu.
6 : setiap hari.

Depersonalisasi Sindrome psikologis berupa Diukur dengan kuisioner Skor maksimal Rendah : 0 - 6 Ordinal
pemberian respon yang MBI-Human service survey, adalah 30 Sedang: 7 - 12
tidak perduli yang diberikan yang terdiri dari 5 item dari Skor minimal adalah Tinggi : 13 +
oleh perawat yang bekerja 22 item MBI-HSS, dimana 0, semakin tinggi
di RS Unhas Makassar masing-masing pertanyaan hasil skor semakin
terhadap penerima diberi skor tentang seberapa tinggi persepsi
pelayanan/ perawatan, sering responden responden terhadap
merasakan depersonalisasi burnout
dengan menggunakan 7
poin skala Likert :
0 : tidak pernah
1 : ≤ beberapa kali setahun.
2 : ≤ sekali sebulan.
3 : beberapa kali sebulan.
4 : sekali seminggu.
5 : beberapakali seminggu.
6 : setiap hari.

Rendahnya Sindrome psikologis berupa Diukur dengan kuisioner Skor maksimal Rendah : 0 - 31 Ordinal
pencapaian pribadi perasaan rendahnya tingkat MBI-Human service survey, adalah 48 Sedang: 32 - 38
kompetensi dan pencapaian yang terdiri dari 8 item dari Skor minimal adalah Tinggi : 39 +
keberhasilan dalam 22 item MBI-HSS, dimana 0, semakin rendah
melakukan pekerjaan masing-masing pertanyaan hasil skor semakin
sebagai perawat di RS diberi skor tentang tingkat tinggi persepsi
Unhas Makassar. pencapaian pribadi dalam responden terhadap
pekerjaan dengan burnout
menggunakan 7 poin skala
Likert :
0 : tidak pernah
1 : ≤ beberapa kali setahun.
62

2 : ≤ sekali sebulan.
3 : beberapa kali sebulan.
4 : sekali seminggu.
5 : beberapakali seminggu.
6 : setiap hari.
63

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif menggunakan studi

observasional analitik dengan desain cross sectional yaitu suatu

desain/rancangan yang mengkaji dinamika korelasi/asosoasi antara

variabel independen locus of control dan spiritual well being terhadap

variabel dependen job burnout pada saat yang bersamaan, dengan bagan

rancang sebagai berikut:

Sampel Perawat

- Locus of control internal tinggi - Locus of control internal rendah


- Locus of control eksternal rendah - Locus of control eksternal tinggi
- Spiritual well being tinggi - Spiritual well being rendah

Kelelahan Kelelahan
Kelelahan emosional emosional (+)
emosional (-) Kelelahan emosional
(+)
Depersonalisasi (-)
Depersonalisasi (+), Depersonalisasi (-),
(+), Depersonalisasi (-),
Pencapaian pribadi Pencapaian pribadi
rendah (-) Pencapaian pribadi Pencapaian pribadi
rendah (+) rendah (+) rendah (-)
64

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data akan dilakukan oleh peneliti di Rumah Sakit

Universitas Hasanuddin Makassar. Waktu penelitian direncanakan pada

bulan Mei 2015.

C. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat kontrak

maupun organik yang bekerja di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin

Makassar yang berjumlah 191 orang baik perawat di Instalasi rawat inap

maupun di Instalasi rawat jalan. Perawat ini terdiri dari 50 orang lulusan

D3 keperawatan dan 141 orang lulusan sarjana keperawatan.

D. Cara Penarikan Sampel

Besar sampel yang digunakan didapatkan dengan menggunakan

perhitungan dengan cara rule of thumb, dimana perhitungan ini digunakan

untuk penelitian yang menggunakan analisis multivariat seperti penelitian

ini. Cara ini merekomendasikan besar sampel sebanyak 5-50 kali lebih

banyak dari variabel independen. Pada penelitian ini ada 2 variabel

independen yaitu kesejahteraan spiritual dan locus of control dimana

masing-masing variabel ada 2 indikator 4 variabel. Peneliti mengambil

angka 20 kali lebih banyak dari jumlah variabel independen, sehingga

besar sampel yang didapatkan adalah 80 orang perawat.


65

Stratified random sampling digunakan untuk mendapatkan

responden jumlah perawat yang merata untuk lulusan D3 keperawatan

dan sarjana keperawatan. Dengan menggunakan perhitungan sebagai

berikut :

Perawat D3 : (50/191) x 80 = 21 orang

Perawat S1 Ners : (141/191) x 80 = 59 orang

E. Instrumen Pengumpulan Data

Kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis yaitu:

1. Work Locus of Control Scale (Spector, 1988)

Meskipun peneliti banyak membahas konsep locus of control

dalam teori yang dikembangkan oleh Rotter (1996) namun dalam

penelitian ini, ukuran yang digunakan dalam mengukur locus of

control responden adalah skala yang dikembangkan oleh Spector

P.E., (1988), yaitu The Work Locus of Cotrol Scale (WLCS). Skala ini

di desain untuk mengukur kepercayaan terhadap kendali

kejadian/pekerjaan dalam lingkungan pekerjaan. Skala ini adalah

domain khusus skala locus of control yang mempunyai hubungan 0.50

– 0.55 dengan locus of control umum. Skala ini telah di uji validitas

dan realibilitasnya oleh beberapa peneliti dari berbagai negara, dan

telah dialihbahasakan dalam beberapa bahasa di dunia. Test


66

reliabilitas dari Bond & Bunce (2003) adalah 0.57. Skala ini terdiri dari

16 item pertanyaan, yang masing-masing setengahnya mengarah

pada internalitas dan eksternalitas. Skor/nilai berkisar dari 16-96,

dimana setiap item memberikan 6 pilihan respon yang dinilai dari 1

hingga 6.

2. Maslach Burnout Inventory-Human service survey (MBI-HSS).

Kuisioner ini dikembangkan oleh Maslach & Jackson (1996).

Kuisioner ini adalah kuisioner yang paling sering digunakan untuk

mengukur tingkat burnout kerja pada organisasi human service. The

Maslach Burnout Inventory-Human Service Scale (MBI-HSS) / MBI-

survei pelayanan jasa terhadap manusia adalah ukuran asli yang

dirancang untuk para profesional di bidang pelayanan jasa terhadap

manusia, yang menilai :

a. Emotional exhaustion (EE) /kelelahan emosional yang mengukur

perasaan menjadi emosional secara berlebihan dan kelelahan

akibat pekerjaan seseorang.

b. Depersonalisasi (DP) yang mengukur respon tidak berperasaan

dan tidak adil terhadap penerima pelayanan , perawatan

pengobatan, atau instruksi.

c. Low personal accomplishment (PA) / rendahnya pencapaian

pribadi yang mengukur perasaan terhadap rendahnya kompetensi

dan pencapaian prestasi dalam pekerjaan seseorang.


67

MBI-Human service survey adalah kuisioner yang terdiri dari 22

item pertanyaan yang menilai 3 skala burnout tersebut. MBI HSS

secara spesifik divalidasi untuk profesi kesehatan dan memungkinkan

untuk mengkategorikan skor dari rendah, sedang dan tinggi, yaitu :

untuk EE, rendah 0 - 16, sedang 17-6, tinggi > 27; untuk DP, rendah

0 - 6, sedang 7 - 12, tinggi > 13; untuk PA, rendah 0 - 31, sedang 32

-38, tinggi 39 (skala ini terbalik, semakin tinggi PA semakin rendah

tingkat burnout).

3. Spiritual Well Being Scale (SWBS) yang dikembangkan oleh

Pauloutzian & Ellison (1983).

Spiritual well being scale (SWBS) yang dikembangkan oleh

Pauloutzian & Ellison (1983) memberikan ukuran keseluruhan persepsi

kualitas kehidupan spiritual. SWBS terdiri dari dua sub skala yaitu

kesejahteraan relijius dan eksistensial. Subskala kesejahteraan relijius

memberikan penilaian diri (self assesment) terhadap hubungan

seseorang dengan Tuhan. Sedangkan subskala kesejahteraan

eksistensial memberikan penilaian diri terhadap perasaan akan makna,

tujuan dan kepuasan hidup seseorang. SWBS terdiri dari 20 item, 10

item menilai secara spesifik dimensi kesejahteraan relijius, sedangkan

10 item lainnya menilai dimensi kesejahteraan eksistensial.

Kesejahteraan relijius dinilai oleh item 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 17, 19.

Sedangkan kesejahteraan eksistensial dinilai oleh item 2, 4, 6, 8, 10,


68

12, 14, 16, 18, 20. SWBS adalah ukuran yang sudah sering digunakan

dan telah diuji validitas dan reliabilitasnya, dan telah diterjemahkan

dalam beberapa versi bahasa. Versi yang akan kami gunakan adalah

SWBS versi Malaysia, dengan koefisien konsistensi internal untuk

SWB, RWB dan EWB adalah.88, .86, and .81. Pemberian skor dengan

menggunakan poin skala Likert dengan rentang dari sangat tidak

setuju (STS) yang diberikan skor 1, hingga sangat setuju (SS) yang

diberikan skor 6. SWBS akan menghasilkan 3 skor, yaitu; 1)total SWB

skor (RWB + SWB), 2) RWB skor (skor kesejahteraan relijius), 3) EWB

skor (skor kesejahteraan eksistensial). Kemungkinan skor akan

bervariasi dari 10-120, dimana semakin tinggi skor semakin tinggi

tingkat kesejahteraan spiritual.

4. Lembar checklist Observasi tanda dan gejala burnout.

Lembar checklist Observasi tanda dan gejala burnout kami

susun berdasarkan tanda dan gejala burnout yang dikemukakan oleh

Schaufeli dan Enzman (1998). Kami memilih tanda dan gejala burnout

yang dapat diobservasi pada perilaku individu. Lembar checklist ini

terdiri dari 20 item tanda dan gejala burnout. Pengamat akan

mengamati beberapa orang dari responden, dan memberikan respon

tanda cek (√), pada lembar observasi jika responden yang diamati ini

menampilkan gejala dan tanda burnout yang sesuai.

5. Analisis Data
69

1. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data adalah sebagai berikut:

a. Screening

Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan seberapa banyak data yang

missing yang ditemukan dalam kuesioner.

b. Editing

Pada tahap ini semua kesalahan yang telah didapatkan pada tahap

screening akan divalidasi dengan cara membuka kembali kuesioner

yang datanya tidak sesuai. Ini dilakukan dengan tujuan agar data

yang diperoleh merupakan informasi yang benar dan lengkap

sesuai dengan variabel yang direncanakan.

c. Coding

Pada tahap ini variabel yang datanya kualitatif diberikan kode

numerik. Pengkodean ini dimaksudkan untuk menyingkat data yang

diperoleh untuk mempermudah mengolah dan menganalisis data

dengan memberi kode dalam bentuk angka.

d. Tabulasi

Kegiatan ini dilakukan dengan cara menampilkan nilai minimum,

maksimum, mean, dan standar deviasi sesuai dengan tujuan

penelitian agar selanjutnya mudah dianalisa.

e. Processing
70

Dalam kegiatan ini jawaban dari responden yang telah

diterjemahkan menjadi bentuk angka, selanjutnya diproses agar

mudah dianalisis.

f. Cleaning

Kegiatan ini merupakan pembersihan data dengan cara

pemeriksaaan kembali data yang sudah dimasukkan dalam master

tabel, apakah ada kesalahan atau tidak. Pemeriksaan ini meliputi

pemeriksaan ulang terhadap data, dan pengkodean.

2. Analisis Data

Analisis data yang akan dilakukan adalah analisis univariat,

bivariat dan multivariat. Analisis univariat yaitu analisis distribusi

frekuensi dan persentase tunggal terkait dengan tujuan penelitian.

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel

independen dan dependen dalam bentuk tabulasi silang (crosstab)

dengan menggunakan sistem komputerisasi program SPSS (Statistical

Package and Social Siences) maupun dengan cara manual dengan uji

statistik Chi-Square.

Adapun tahapan analisis multivariate sebagai berikut:

Memasukkan variabel kandidat dalam proses analisa multivariat

Regresi Logistik, dengan cara memilih variabel independen yang

memiliki nilai p < 0,25. Alasan penggunaan standar nilai p < 0,25

adalah karena penetapan nilai standar dengan p value < 0,05

seringkali gagal dalam menjelaskan variabel-variabel yang dianggap


71

penting. Dengan penggunaan nilai p value < 0,25 beberapa variabel

yang secara terselubung sesungguhnya sangat penting dimasukkan di

dalam analisa multivariat (Murti B., 1997).

Melakukan analisis semua variabel independen yang masuk dalam

pemodelan, dengan cara mengeluarkan variabel independen yang

memiliki nilai p terbesar, sehingga didapatkan model awal dengan

variabel faktor penentu yang memiliki p ≤ 0,05.

Hasil uji multivariat yang mempunyai nialai p ≤ 0,05 merupakan

model akhir dari penentu pengaruh yang berhubungan dengan

burnout. Analisa multivariat bertujuan untuk mendapatkan model yang

terbaik dalam menentukan variabel dominan yang mempengaruhi

kejadian burnout kerja. Dalam pemodelan ini semua kandidat

dimasukkan secara bersama kemudian variabel yang memiliki nilai p >

0,25 akan dikeluarkan secara berurutan dimulai dari nilai p terbesar

(backward selection).

6. Etika Penelitian

Dalam penelitian ini responden dilindungi dengan memperhatikan

aspek-aspek beneficence, self determination, privacy, anonymity, justice,

protection from(Polit and Beck, 2008). Peneliti juga membuat informed

consent sebelum penelitian dilakukan. Peneliti akan mengusulkan

rekomendasi ethical clearance untuk proses pengumpulan tersebut.

1. Prinsip Etika

a. Benefience
72

Responden dijamin akan terbebas dari resiko yang membahayakan

fisik, psikologikal, sosial dan ekonomi. Penelitian ini juga menjamin

bahwa tidak ada ekploitasi informasi yang diberikan responden.

b. Self determination

Responden diberi kebebasan untuk menentukan pilihan bersedia

atau tidak bersedia untuk mengikuti kegiatan penelitian setelah

semua informasi yang berkaitan dengan penelitian dijelaskan.

c. Privacy

Kerahasian informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya

kelompok data tersebut saja yang akan disajikan atau dilaporkan

sebagai hasil penelitian. Data yang telah dikumpulkan peneliti akan

disimpan dengan baik dan jika sudah tidak diperlukan lagi, data

responden akan dimusnahkan.

d. Anonymity

Selama kegiatan penelitian, seluruh responden diberikan kode

penomoran tanpa mencantumkan nama. Responden sejak awal

diberikan informasi bahwa namanya tidak akan dicantumkan dalam

laporan hasil penelitian ini.

e. Justice

Peneliti tidak melakukan diskriminasi saat memilih responden

penelitian. Pada penelitian ini responden dipilih berdasarkan kriteria

inklusi dan ekslusi penelitian.

f. Protection from discomfort


73

Peneliti memberikan kesempatan kepada responden untuk

menyampaikan ketidaknyamanan selama penelitian yang dapat

menimbulkan masalah psikologis atau fisik. Peneliti menjalain

hubungan saling percaya dengan responden dengan menjelaskan

lembar informed consent serta bila responden merasa kelelahan

memberitahu peneliti sehingga proses pengumpulan data melalui

angket akan ditunda dan akan dilanjutkan sesuai keinginan

responden.

2. Informed consent

Perlindungan hak-hak responden dijamin dan tercantum dalam lembar

persetujuan. Sebelum responden setuju berpartisipasi dalam

penelitian, responden harus memahami tentang penelitian yang akan

dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai