(Pulex Irritans)
NIM : AK816007
Semester : IV
Kelas : B
BANJARBARU
2018
1. Pinjal Manusia (Pulex irritans)
Pinjal adalah jenis serangga yang masuk dalam ordo Siphonaptera yang secara
morfologis berbentuk pipih lateral dibanding dengan kutu manusia (Anoplura) yang
berbentuk pipih, tetapi rata atau horizontal khas, yakni berbentuk pipih horizontal,
tidak bersayap, tanpa mata majemuk, memiliki dua oseli, antena pendek tetapi kuat,
alat-alat mulut dimodifikasi dalam bentuk menusuk dan menghisap, bagian eksternal
tubuh memiliki struktur seperti sisir dan duri-duri, bersifat ektoparasit pada hewan-
hewan berdarah panas. Pinjal termasuk ordo Sinophonaptera yang mulanya dikenal
sebagai ordo Aphniptera. Terdapat sekitar 3000 spesies pinjal yang masuk ke dalam
200 genus. Sekarang ini baru 200 spesies pinjal yang telah diidentifikasi.
Secara kasat mata pinjal agak sulit ditemui bila jumlah populasinya sedikit,
namun dapat dikenali dari kotorannya yang menempel pada bulu. Kotoran pinjal
berwarna hitam yang sebenarnya merupakan darah kering yang dibuang pinjal
dewasa. Pinjal yang menghisap darah inang juga menimbulkan rasa sangat gatal
karena ludah yang mengandung zat sejenis histamine dan mengiritasi kulit.
Akibatnya hewan terlihat sering menggaruk maupun mengigit daerah yang gatal
terutama di daerah ekor, selangkangan dan punggung.
Pinjal dapat mengganggu manusia dan hewan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung biasanya berupa reaksi kegatalan pada kulit dan bentuk-
bentuk kelainan kulit lainnya. Infestasi pinjal merupakan penyebab kelainan kulit atau
dermatitis yang khas. Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitifitas kulit terhadap
komponen antigenik yang terdapat pada saliva pinjal.
Pupa pinjal dapat bertahan di alam tanpa keberadaan inangnya, akan tetapi sangat
sensitive terhadap perubahan kadar CO2 dan vibrasi. Sehingga begitu terdeteksi
perubahan factor tersebut, pupa tahap akhir yang telah siap menjadi dewasa segera
keluar dari kulit pelindungnya untuk mencari dan menghisap darah inangnya. Itulah
sebabnya serangan pinjal terhadap manusia umumnya terjadi pada keadaan tersebut.
Selain gangguan langsung, pinjal juga berperan di dalam proses penularan
beberapa penyakit yang berbahaya bagi manusia dan hewan. Jenis-jenis pinjal yang
lain secara eksperimental dapat menularkan penyakit tetapi dianggap bukan vektor
alami (Soviana dkk, 2003).
Pulex irritans
- Pinjal dengan host manusia (Pulex irritans) dapat menghisap darah untuk
sumber makanan dan mematangkan telur nya.
- Sebagai hospes perantara untuk Rickettsia typhi Penyebab Typhus Endemik
- Sebagai hospes perantara untuk Dipylidium caninum
1) Klasifikasi
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Alpha Proteobacteria
Order : Rickettsiales
Family : Rickettsiaceae
Genus : Rickettsia
Species : Rickettsia typhi
Rickettsia typhi adalah bakteri intraselular obligat berukuran kecil, di mana
morfologi dinding selnya menunjukkan bahwa bakteri ini merupakan bakteri gram
negatif berb entuk basil. Bakteri ini memiliki membran luar dan lapisan murein yang
tipis. Murein adalah polimer yang ditemukan pada dinding sel dari organisme
prokaryotik. Lipopolisakarida yang merupakan ciri bakteri gram negatif dapat
ditemukan dengan jelas pada membran luarnya. Secara filogenetik bakteri ini
termasuk anggota subkelompok alfa dari Proteobacteria, R. typhi bersama dengan
Rickettsia prowazekii dimasukkan ke dalam kelompok rickettsia penyebab typhus.
Kelompok rickettsia penyebab typhus memiliki ciri yait u dinding selnya berisi
limpahan lipopolisakarida serta protein pada membran luarnya tersusun oleh OmpB
atau protein antigen spesifik (SPA). Secara umum R. typhi telah meningkatkan
berbagai karakteristik ya ng berguna bagi intrasitosolnya untuk memperoleh ATP,
asam amino, gula, dan produk-produk metabolisme yang lain dari sel inang.
2) Siklus Hidup
Rickettsia typhi bersimbiosis dengan vektornya yang merupakan salah satu
jenis arthropoda, yaitu Pinjal Manusia (Pulex irritans). Hal ini dikenal dengan siklus
zoonotik. R. typhi memperoleh bahan maka nan dari darah yang diambil oleh
spesies inang. R. typhi masuk dan tumbuh di dalam sel epitel usus dari kutu dan
keluar bersama dengan tinja yang dikeluarkan pinjal. R. typhi yang berada pada tinja
dari pinjal tersebut menjangkiti tikus dan manusia melalui inokulasi intrakutan
dengan penggarukan kulit, atau perpindahan oleh jari ke dalam membran lendir.
Selain itu bakteri ini juga mampu menjangkiti manusia dan tikus melalui gigitan
oleh kutu tikus tersebut. R. typhi tidak menyebar secara efektif ke sel-sel lainnya
sampai pertumbuhannya di dalam sel inang (yang dilakukan secara pembelahan
biner) telah selesai melakukan penggandaan jumlah bakteri, yang pada akhirnya
membuat sel inang retak dan pecah serta membebaskan sejumlah besar R. typhi .
Penggandaan diri oleh mikroba ini terutama terjadi di jari ngan endothelium.
Kehancuran sel endothelial menyebabkan kerusakan jari ngan, organ, dan kehilangan
darah.
R. typhi berkembang dengan subur di lingkungan dengan konsentrasi
potassium yang tinggi dan konsentrasi glukosa yang rendah. Sistem transpor pada
membran sel digunakan oleh ba kteri ini untuk memperoleh molekul seperti ATP dan
asam amino dari se l inang. Ketidak-mampuannya untuk menjaga kadar nutrisi yang
penting seperti ATP, membuat R. typhi relatif non-motile. Sifat non-motile ini meng
akibatkan bakteri tersebut melakukan penggandaan di dalam sel inang, yang
akhirnya membuat sel inang tersebut pecah. Meskipun begitu, R. typhi juga memiliki
proses metabolisme sendiri yang dapat menghasilkan ATP dan protein bagi dirinya.
R. typhi masuk ke sel secara fagositosis, yakni suatu proses di mana mikroorganisme
masuk ke sel melalui membran sel dan kemudian mele paskan diri dan melakukan
replikasi dalam sitoplasma dari sel lain. R. typhi tidak dapat dibiakkan pada media
tiruan seperti yang tersedia di laboratorium. Organisme ini harus ditumbuhkan
dengan cara lain, contohnya dengan kultur sel atau pada hewan.
b. Dipylidium caninum
Dipylidium caninum ,juga disebut cacing pita atau double-pore dog tapew
organismeorm adalah cestoda yang menginfeksi anjing,kucing, dan pemilik hewan
peliharaan.( Anonimous.2014). Cacing ini juga terdapat pada manusia, terutama
anak-anak,pada tahun 1962 sejumlah 32 kasus pada manusia dilaporkan di AS.
Dipylidium caninum terdapat pada usus halus.(Levine.1994.)Dipylidium caninum
adalah parasit di seluruh dunia dari anjing dan kucing yang membutuhkan hospes
perantara untuk berkembang. Oleh karena itu jangkauan tergantung pada ketersediaan
kedua hospes tersebut, serta kemampuan untuk bertahan hidup di luar hospes sampai
tertelan oleh pinjal. (Roberts dan Janovy, 1996).
1) Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Platythelminthes
Class : Cestoda
Order : Cyclophyllidea
Family : Dipylidiidae
Genus : Dipylidium
Species : D. Caninum
2) Siklus Hidup
Proglottids gravid dilewatkan utuh dalam tinja atau muncul dari daerah
perianal dari hospes. Selanjutnya mereka menjadi paket telur khas. Pada kesempatan
langka, proglotid pecah dan paket telur terlihat pada sampel tinja . Setelah menelan
telur oleh antara host ( tahap larva dari anjing atau kucing), Sebuah oncosphere
dilepaskan ke usus pinjal itu . Oncosphere menembus dinding usus , menyerang
hemocoel serangga ( rongga tubuh) , dan berkembang menjadi larva cysticercoid.
Larva berkembang menjadi dewasa , dan pinjal yang terdapat cysticercoid infektif.
Vertebrata inang terinfeksi dengan menelan pinjal dewasa yang mengandung
cysticercoid tersebut .Anjing adalah hospes definitif utama untuk Dipylidium
caninum . Host potensial lainnya termasuk kucing , rubah , dan manusia ( kebanyakan
anak-anak ). Manusia mendapatkan infeksi dengan menelan pinjal yang
terkontaminasi cysticercoid . Dalam usus halus dari vertebrata inang cysticercoid
berkembang menjadi cacing pita dewasa yang mencapai kematangan sekitar 1 bulan
setelah infeksi. Cacing pita dewasa (berukuran panjang sampai 60 cm dan 3 mm
lebar ) berada di usus halus l dari hospes. Mereka menghasilkan proglotid ( atau
segmen ) yang memiliki dua pori-pori genital ( maka nama " double- berpori " cacing
pita ) . proglotid matang , menjadi gravid , melepaskan diri dari cacing pita , dan
bermigrasi ke anus atau lulus dalam tinja(1).(Anonimos.2014).
Dipylidiasis pada manusia umumnya dilaporkan terjadi pada anak – anak
usia di bawah 8 tahun. Penularan biasanya terjadi per oral malalui makanan ,
minuman atau tangan yang tercemar pinjal anjing atau kucing serta kutu anjing yang
mengandung cysticercoid . (Soedarto,2003). Orang yang mempunyai resiko tinggi
adalah yang mempunyai hewan peliharaan anjing atau kucing yang menderi ta
dipylidiasis. Rupanya orang – orang yang menyayangi hewan peliharaannya pasti
selalu kontak dan adakalanya menciumi atau membawa hewan tersebut ke kamar
tidur, sehingga ada kemungkinan terjadi infeksi dipylidiasis melalui tertelannya pinjal
dari hewan tersebut. Terdapat kemungkinan lain mengenai tertelannya pinjal
tersebut yaitu melalui tangan yang tercemar pinjal ke mulut. Penyebaran penyakit ini
pada hewan maupun manusia sangat tergantung pada ada atau tidaknya hospes
perantara karena perkembangan telur Dipylidium caninum untuk menjadi larva yang
infektif yaitu cysticercoid harus di dalam tubuh hospes perantara yaitu pinjal atau
kutu anjing.
4) Pengobatan
Anthelmintik yang dapat digunakan untuk dipylidiasis adalah praziquantel
600 mg dosis tunggal, niclosamide (Yomesan) dosis tunggal 2 gr untuk dewasa atau
1,5 gr untuk anak dengan berat badan lebih dari 34 kg at au 1 gr untuk anak dengan
berat badan 11 - 34 kg. Selain itu Quinakrin (atabrin) dapat juga digunakan. (
Natadisastra D & Agoes R, 2009; Markell EK, et al, 1992) Pada anjing dan kucing
anthelmimtik yang digunakan adalah arecoline hydrobromide, arecolineaceta sol,
Bithional, Niclosamide atau Praziquantel (Soulsby EJL,1982) PENCEGAHAN
Penularan dan infeksi dapat dicegah dengan cara menghindari kontak antara anak –
anak dengan anjing atau kucing. Anjing atau kucing penderita dipylidiasis harus
diobati. Selain it u perlu dilakukan pemberantasan pinjal atau kutu dengan insektisida
( Soedarto,2007).
Dharmawan NS. Suratma NA, Damriyasa M, Merdana IM.2003. Infeksi Cacing Pit a
pada Anjing Bali dan Gambaran Morfologinya.Jvet.Vol 4(1).