Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

‟KEKURANGAN (O₂)”
Dosen:
      Vanny Mokalu, S.kep., Ns

Disusun oleh :
KELOMPOK 2
1. NI WAYAN SRI ASTUTI 5. DESY AWUY
2. INDAH M ZACHAWERUS 6. LUCKY WALUKOW
3. STELLA SUPIT 7. I GEDE AGUS .S
4. SONIA SONGGIGILAN 8. I GEDE SUDARMAWAN

AKADEMI KEPERAWATAN RUMKIT TK. III


MANADO
T.A 2017/2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah , atas limpahan rahmat dan
hidayahnya penulis dapat menyelesaikan tugas tentang “Keracunan Oksigen”
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Hiperbarik.

Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada Yth :

1.        Vanny Mokalu, S.kep., Ns

2.        Rekan-rekan satu kelompok yang telah membantu dalam pembuatan


makalah.  Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari
sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasa, ataupun penulisannya. Oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya
dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami
untuk lebih baik  di masa yang akan datang.

Manado, November 2017

Penyusun

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR............................................................................................................. 1

DAFTAR ISI........................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................... 5

A. PENGERTIAN TOKSIKOLOGI...............................................................................5
B. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERACUNAN...............................................5
C. FAKTOR PENYEBAB KERACUNAN OKSIGEN...................................................................6
D. GEJALA KERACUNAN OKSIGEN......................................................................................7
E. MEKANISME TOKSISITAS OKSIGEN...................................................................8
F. MANIFESTASI KLINIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG.............................11
G. TERAPI DAN PENCEGAHAN................................................................................13
H. PENGGUNAAN OKSIGEN......................................................................................14
I. PEMANTAUAN TERAPI OKSIGEN......................................................................14

BAB III PENUTUP............................................................................................................... 16

A. KESIMPULAN......................................................................................................... 16

SOAL DAN JAWABAN........................................................................................................ 17

BAB I

PENDAHULUAN

3
Setiap sel tubuh manusia membutuhkan oksigen untuk melaksanakan
fungsi metabolisme, sehingga oksigen merupakan zat terpenting dalam kehidupan
manusia. Mempertahankan oksigenasi adalah upaya untuk memastikan
kecukupan pasokan oksigen ke jaringan atau sel. Oksigen adalah bagian dari
udara terpeting kedua yaitu sebanyak 20,93% setelah nitrogen (78,10%). Oksigen
memiliki fungsi yang sangat penting untuk kehidupan. Priestly, penemu yang
pertama kali mengenali oksigen, termasuk juga yang pertama kali mengemukakan
adanya efek samping pada pemberian “udara murni”. Keracunan oksigen pada
pasien sakit kritis masih kontroversial namun demikian pada kondisi tertentu
kelebihan oksigen dapat merupakan racun yang berbahaya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TOKSIKOLOGI

4
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun,
gejala-gejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan
pada korban yang meninggal. Toksikologi merupakan ilmu yang sangat luas
yang mencakup berbagai disiplin ilmu yang sudah ada seperti ilmu kimia,
Farmakologi, Biokimia, Forensic Medicine dan lain-lain. Disamping itu ilmu
ini terus berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu lainnya, dan ini
semua pada gilirannya akan menyulitkan kitadalam membuat definisi yang
singkat dan tepat mengenai Toksikologi. Sebagai contoh, menurut Ahli Kimia
Toksikologi adalah ilmu yang bersangkutan paut dengan efek-efek dan
mekanisme kerja yang merugikan dari agen-agen Kimia terhadap binatang dan
manusia. Sedangkan dari para ahli Farmakologi Toksikologi merupakan cabang
Farmakologi yang berhubungan dengan efek samping zat kimia didalam sistem
biologik. Dengan keluasan Toksikologi maka sejumlah besar ahli-ahli dibidang
yang masing-masing turut terlibat dalam Toksikologi dalam bidang yang
sesuai dengan keahliannya.
Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik
yang dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau
mengakibatkan kematian.

B. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERACUNAN


Beberapa hal yang mempengaruhi seberapa besar sebuah racun merusak
tubuh ada beberapa hal antara lain:
1. Cara masuk
Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara inhalasi.
Cara masuk lain secara berturut-turut melalui intravena, intramuskular,
intraperitoneal, subkutan, peroral dan paling lambat ialah melalui kulit yang
sehat.
2. Umur
Orang tua dan anak-anak lebih sensitif misalnya pada barbiturat. Bayi
prematur lebih rentan terhadap obat oleh karena eksresi melalui ginjal
belum sempurna dan aktifitas mikrosom dalam hati belum cukup.

5
3. Kondisi tubuh
Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah mengalami keracunan.
Pada penderita demam dan penyakit lambung absorbsi jadi lebih lambat.
4. Kebiasaan
Berpengaruh pada golongan alkohol dan morfin di karenakan terjadi
toleransi pada orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol.
5. Idiosinkrasi dan alergi pada vitamin E, penisilin, streptomisin dan prokain.
Pengaruh langsung racun tergantung pada takaran, makin tingi takaran maka
akan makin cepat (kuat) keracunan. Konsentrasi berpengaruh pada racun
yang bersifat lokal, misalnya asam sulfat.

C. FAKTOR PENYEBAB KERACUNAN OKSIGEN

1. Lamanya paparan terhadap oksigen

Seseorang yang biasanya terkena paparan terhadap oksigen terlalu lama


akan mengkonsumsi oksigen secara berlebih. Sehingga hal ini menyebabkan
seseorang yang terkena paparan terhadap oksigen terlalu lama mengalami
keracunan oksigen karena mengkonsumsi oksigen secara berlebihan.

2. Daya serap oksigen pada setiap orang

Setiap orang memiliki daya serap terhadap oksigen berbeda-beda. Bagi


mereka yang memiliki daya serap terhadap oksigen terlalu tinggi dapat
menyebabkan seseorang mengalami keracunan oksigen.

3. Tekanan Oksigen yang tidak sesuai

Memberikan tekanan Oksigen yang tidak sesuai juga dapat menjadi salah
satu faktor penyebab seseorang mengalami keracunan oksigen. Untuk itu jangan
sekali-sekali memberikan tekanan oksigen kepada seseorang tanpa pengawasan
dari dokter

6
Selain dari faktor-faktor Penyebab seseorang mengalami keracunan oksigen
alangkah lebih baik jika anda juga mengetahui apa saja gejala-gejala yang dapat
ditimbulkan dari seseorang yang mengalami keracunan oksigen.

D. GEJALA KERACUNAN OKSIGEN

1. Kejang-kejang

Seseorang yang mengalami keracunan pada oksigen biasanya memiliki


gejala-gejala salah satunya seperti kejang-kejang. Hal ini dapat terjadi karena
beberapa faktor penyebab yang telah dijelaskan di atas. Untuk itu bagi Anda
yang tidak ingin mengalami kejang-kejang karena keracunan oksigen maka
hindarilah berbagai macam penyebab yang dapat menyebabkan atau dapat
memicu keracunan oksigen.

2. Tidak sadarkan diri


Selain mengalami kejang-kejang seseorang yang keracunan Oksigen dapat
mengalami pingsan atau tidak sadarkan diri atau koma. Perhatikan dalam
menggunakan oksigen atau jangan pernah sekali-sekali menggunakan oksigen
tanpa dosis dari dokter karena dapat menyebabkan seseorang mengalami
keracunan oksigen. 

3. Sesak nafas
Mengalami sesak nafas juga menjadi salah satu gejala yang disebabkan
karena seseorang mengalami keracunan oksigen. Sesak nafas terjadi karena
adanya Oksigen yang berlebih di dalam tubuh. Hindarilah penggunaan oksigen
yang terlalu berlebih agar anda dapat terhindar dari sesak nafas. 
4. Sakit dada
Selain mengalami sesak nafas ternyata sakit dada juga dapat ditimbulkan
karena seseorang mengalami keracunan oksigen. Hal ini disebabkan karena
sesak nafas yang terus-menerus akan menyebabkan dada terasa sakit sehingga
Anda mengalami sakit pada dada.

7
5. rabun jauh
Selain pernafasan seseorang yang mengalami keracunan pada Oksigen
dapat mengalami gejala seperti rabun jauh. Meskipun ada banyak Faktor atau
penyebab yang menyebabkan seseorang mengalami rabun jauh namun pada
kenyataannya seseorang yang mengalami keracunan oksigen juga dapat terkena
rabun jauh.
Itulah beberapa gejala-gejala dari seseorang yang mengalami keracunan
oksigen, untuk mengetahui lebih lanjut tentang keracunan oksigen ada baiknya
jika anda mengetahui apa saja bahaya bahaya Ketika seseorang mengalami
keracunan oksigen.

E. MEKANISME TOKSISITAS OKSIGEN


Hiperoksia adalah suatu keadaan terjadinya kelebihan jumlah oksigen dalam
jaringan dan organ. Toksisitas oksigen terjadi saat tekanan parsial oksigen di
alveolar (PaO2) meningkat. Keadaan terjadinya paparan secara terus menerus pada
kondisi konsentrasi oksigen yang suprafisiologik, keadaan hiperoksia terbentuk.
Pada kondisi hiperoksi yang patologis terjadi influks besar-besaran dari oksigen
reaktif (reactive O2 species/ROS). Pada sistem biologis baik intraselular maupun
ekstraselular, efek peningkatan ROS yang diakibatkan oleh paparan oksigen
berlebihan akan mengganggu keseimbangan antara oksidan dan antioksidan, dan
gangguan homeostasis ini menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Lamanya
paparan, tekanan atmosfer, dan fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO 2) menentukan
dosis oksigen kumulatif yang bisa berakibat terjadinya toksisitas oksigen.
Oksigen akan menjadi zat beracun di paru jika dihirup dengan FiO2 yang
tinggi, yaitu >0,60 dalam waktu yang lama (≥24 jam) pada tekanan barometrik
normal, yaitu 1 atm (atmospheres absolute (ATA)). Tipe paparan ini disebut
keracunan oksigen bertekanan rendah, toksisitas pulmoner, atau efek Lorraine
Smith. Paparan oksigen setelah hampir 12 jam akan berakibat terjadinya kongesti
jalan napas, edem paru, dan atelektasis yang disebabkan oleh kerusakan dinding
bronkus dan alveolus. Terbentuknya cairan di paru menyebabkan sesak dan rasa
terbakar pada tenggorokan dan dada, sehingga akan terasa sakit saat menarik

8
napas. Penyebab terjadinya efek ini pada paru, namun tidak pada jaringan lain
adalah karena ruangan udara paru-lah yang terpapar langsung oleh oksigen
bertekanan tinggi tersebut. Oksigen diantarkan ke jaringan tubuh lain dengan
PaO2 yang hampir normal karena adanya sistem buffer hemoglobin-oksigen.
Toksisitas juga terjadi saat tekanan atmosfer tinggi (1,6 – 4 atm) dan
lamanya paparan dengan FiO2 tinggi hanya sebentar. Tipe paparan ini disebut
keracunan oksigen tekanan tinggi atau efek Paul Bert dan efek utamanya adalah
pada sistem saraf pusat (SSP). Toksisitas pada SSP menyebabkan terjadinya
kejang yang diikuti dengan koma pada hampir seluruh korban dalam waktu 30
hingga 60 menit. Kejang sering terjadi tanpa didahului gejala sebelumnya dan
cenderung mematikan. Gejala lain termasuk nausea, twitching otot, rasa berputar,
gangguan penglihatan, iritabilitas, dan disorientasi dengan keadaan sekitar. Yang
lebih sering mengalami toksisitas SSP adalah pada kasus penyelam. Endotel
kapiler paru dan sel epitel alveolar adalah target dari ROS yang berakibat pada
edem paru yang diakibatkan oleh cedera sel, perdarahan, dan deposit kolagen,
elastin, dan membran hyalin. Di atas PaO2 kritis, terjadi kegagalan mekanisme
buffer hemoglobin-O2 dan PO2 jaringan dapat meningkat hingga ratusan atau
ribuan mmHg. Pada O2 kadar tinggi, sistem enzim antioksidan endogen yang
bersifat protektif akan menjadi “mangsa” ROS yang akan mengakibatkan
kematian sel.

9
Sumber: Sawatzky D. Oxygen toxicity – signs and symptoms. Sport Diving
Medicine 2012; 12: 55.

Seperti terlihat pada diagram, efek toksik dari tekanan parsial oksigen antara
0,5 – 1,6 atm akan mengenai paru, sedangkan efek toksik pada tekanan parsial
lebih dari 1,6 atm lebih mengganggu otak.
Toksisitas oksigen yang disebabkan oleh ROS menyebabkan fase-fase
cedera terjadi tumpang tindih sesuai dengan keparahan dan reversibilitas cedera.
Fase tersebut adalah inisiasi, inflamasi, proliferasi, dan fibrosis. Diawali dengan
peningkatan ROS dan kekurangan kadar antioksidan, kemudian paru akan gagal
membersihkan mukus yang ada. Fase inflamasi atau fase eksudatif memiliki
karakteristik adanya destruksi dari dinding paru dan migrasi leukosit dan mediator
inflamasi lain ke tempat cedera. Fase proliferasi merupakan fase subakut dan
terjadi hipertrofi sel, peningkatan sekresi dari sel alveolar tipe 2 yang mensekresi
surfaktan dan peningkatan monosit. Fase akhir adalah fase fibrotik dimana terjadi
perubahan yang telah ireversibel dan permanen. Terjadi deposisi kolagen dan

10
penebalan ruang interstisial paru dan terjadi fibrosis jaringan. Secara klinis,
hipoksemia yang progresif atau peningkatan tekanan O2 dalam darah, memerlukan
peningkatan FiO2 dan bantuan ventilasi, yang menyebabkan perburukan
perubahan patofiologis yang berkaitan dengan toksisitas oksigen. Foto rontgen
dada bisa memperlihatkan adanya bentukan distribusi ireguler dari interstisial
alveolar dengan adanya gambaran atelektasis sedang, meskipun tidak banyak
gejala klinis yang terlihat jelas. Biopsi spesimen paru dapat memperlihatkan
perubahan konsisten dengan toksisitas O2, namun nilai primer biopsi adalah untuk
menyingkirkan penyebab lain dari cedera paru. Perubahan tekanan udara
bersamaan dengan tertutupnya kavitas paru dan cedera yang berkaitan dengan
ventilator juga dapat menyertainya dan sulit dibedakan dengan toksisitas paru itu
sendiri. Keracunan oksigen dapat diminimalisir dengan menjaga PaO2 kurang dari
80 mmHg atau FiO2 di bawah 0,4 sampai 0,5.
Respon selular paru terhadap paparan hiperoksik dan peningkatan ROS
telah dapat dijelaskan. Secara anatomis, permukaan epitel paru mudah terpapar
respon inflamasi yang bersifat detruktif. Proses inflamasi ini merusak barrier
kapiler alveolar yang akan mengakibatkan gangguan pertukaran udara dan edem
paru. ROS merangsang sekresi kemoatraktan oleh sel paru dan sitokin
menstimulasi pergerakan dan akumulasi makrofag dan monosit menuju paru, yang
akan semakin menambah ROS. Interaksi ROS dengan leukosit akan
mengeksaserbasi cedera yang lebih lanjut.

F. MANIFESTASI KLINIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Cedera paru akut atau sindrom distress napas akut (acute respiratory
distress syndrome/ARDS) merupakan hal sekunder yang biasa menyertai.
Perubahan patologis yang berkaitan dengan cedera paru akut akibat hiperoksik
mirip dengan cedera paru akut yang disebabkan oleh penyebab-penyebab lain
seperti syok hemoragik, cedera reperfusi, pneumonia, sepsis, atau inhalasi
paraquat.
Sindrom cedera paru akut biasanya mulai terlihat dalam 24 hingga 48 jam
setelah adanya paparan. Awalnya pasien akan merasakan sesak, batuk, nyeri dada,

11
takipnea, takikardi, penggunaan otot bantu napas, sianosis, kulit mottled, dan
muncul suara napas abnormal (merintih, ronkhi, dan wheezing).
Menurut tahapannya, tanda awal dari keracunan oksigen pada paru diawali
dengan iritasi pada trakea yang akan semkain memberat saat menarik napas
dalam-dalam. Pasien akan mulai batuk, yang jika iritasi makin berat maka akan
membuat nyeri saat menarik napas dan batuk menjadi tidak terkendali. Jika
paparan terus berlanjut, pasien akan merasakan sesak, kesulitan bernapas, hingga
gagal napas dan terjadi kematian. Kerusakan paru yang progresif ini tidak
memungkinkan pertukaran oksigen ke darah berjalan normal. Onset terjadinya
gejala beragam tapi biasanya seseorang masih dapat mentoleransi pemberian
oksigen 1 atm selama 12 hingga 16 jam, 1,5 atm selama 8 hingga 14 jam, dan 2
atm selama 3 hingga 6 jam sebelum pada akhirnya muncul gejala keracunan
ringan.
Ada beberapa hal cara untuk mendeteksi terjadinya keracunan oksigen pada
paru dan cara yang paling sensitif dan akurat adalah melihat gejala pada
pasien.yang kedua adalah dengan memonitor kapasitas vital pasien tersebut.
Kapasitas vital (banyaknya udara yang dapat masuk saat menarik napas
maksimal) menurun pada kondisi memburuknya keracunan oksigen. Penurunan
sekitar 2% berhubungan dengan gejala ringan dari keracunan hingga penurunan
10% pada gejala yang berat. Efek ringan ini cenderung reversibel dan tidak ada
kerusakan paru yang permanen. Bagaimanapun juga, jika telah terjadi kerusakan
paru maka memerlukan waktu 2 hingga 4 minggu untuk penyembuhannya.
Pada penyelam, tanda pertama dari keracunan oksigen pada SSP adalah
terjadinya kejang tipe grand mal. Ada banyak gejala dan tanda keracunan oksigen
namun tidak ada yang bisa memprediksikan akan terjadinya kejang. Bahkan
gambaran EEG tampak normal sampai mulai terjadinya kejang. Kejang pada
keracunan oksigen diyakini tidak akan menyebabkan masalah yang permanen
karena tubuh berada pada kondisi surplus oksigen. Namun jika kejang terjadi saat
penyelam sedang menyelam, maka penyelam tersebut dapat tenggelam.

12
Gejala lain yang berkaitan dengan SSP adalah terjadinya gangguan
penglihatan serta telinga berdenging. Kemudian diikuti kejang setelah adanya
penurunan kesadaran secara mendadak.
Pada analisa gas darah dapat terlihat perburukan kondisi hipoksemia yang
dapat berujung pada gagal napas. Pada rontgen dada dapat terlihat adanya infiltrat
bilateral dengan adanya edem paru namun tanpa adanya gambaran jantung yang
menandakan peningkatan tekanan atrial kiri.

G. TERAPI DAN PENCEGAHAN


Pengobatan pada kondisi ini hingga memerlukan ventilasi mekanik diikuti
dengan pengobatan suportif. Karena pengobatan pada kasus ini lebih pada
simtomatik, maka pencegahan dan pengawasan untuk mengenali kondisi
hiperoksik secara dini lah yang lebih penting. Namun harus diingat juga bahwa
penghentian secara mendadak pemberian oksigen pada saat onset keracunan
dimulai justru akan memunculkan efek oxygen off dan memperburuk kondisi.
Penurunan kapasitas vital dapat digunakan sebagai indikator untuk mengawasi
kemungkinan terjadinya keracunan oksigen. Penurunan pemberian oksigen
maksimal yang dapat diterima adalah 10%. Komplians paru yang dinamis serta
kapasitas difusi karbon monoksida juga akan menurun.
Pada pemeriksaan dengan elektroensefalogram, tidak ada hasil yang
bermakna dalam memonitor adanya toksisitas oksigen terhadap otak.
Tidak ada obat yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya kejang
pada keracunan oksigen pada SSP. Pada percobaan dengan hewan, kejang dapat
dicegah dengan obat namun kerusakan sel otak akibat kejang yang berkelanjutan
masih akan ada. Cara paling efektif untuk menurunkan resiko keracunan oksigen
pada SSP adalah dengan membatasi tekanan oksigen yang diberikan, membatasi
waktu paparan, dan istirahat menghirup oksigen murni saat melakukan
penyelaman.
Namun menurut Patel et al antioksidan eksogen seperti vitamin E dan C
dapat diberikan sebagai pencegahan pada bayi dengan resiko keracunan oksigen,
mengingat mekanisme keracunan ini didasarkan pada ROS sebagai radikal bebas.

13
Dosis yang direkomendasikan adalah, vitamin E 100mg/kgBB/hari selama 4 – 6
minggu.
Adrenalektomi, hipofisektomi, dan kondisi hipotiroid berkaitan dengan
penurunan keparahan terjadinya keracunan karena sebagai penyekat alfa
adrenergik.
Pengobatan pada kondisi ini hingga memerlukan ventilasi mekanik diikuti
dengan pengobatan suportif.

H. PENGGUNAAN OKSIGEN
Pada pasien dengan hipoksemia kronis, lebih bijak jika menggunakan
oksigen yang membantu pernapasan seminimal mungkin. PaO2 sekitar 50 –
55mmHg biasanya cukup pada kondisi ini.
Positive end-expiratory pressure (PEEP) harus digunakan selama pemberian
ventilasi mekanik jika konsentrasi oksigen yang diinspirasi >50% gagal
memperbaiki keadaan hpoksia. Namun jika tidak terjadi hal demikian maka PEEP
tidak diperlukan pada pasien.Pada kondisi akut dengan hipoksia berat, konsentrasi
oksigen harus cukup untuk mempertahankan saturasi di atas 90%.
Hipoksia yang mengancam nyawa harus selalu dikoreksi walaupun harus
menggunakan oksigen 100% dalam jangka waktu yang cukup lama.

I. PEMANTAUAN TERAPI OKSIGEN


Terapi oksigen harus diberikan terus menerus sampai pasien pulih dan tidak
boleh dihentikan mendadak, karena penghentian mendadak dapat mengakibatkan
turunnya tekanan oksigen alveolar. Dosis oksigen harus dihitung cermat. Tekanan
parsial oksigen dapat diukur dalam darah arteri. Saturasi hemoglobin dalam darah
arteri tidak harus 100%. PO2 arteri 60mmHg dapat memberikan saturasi 90%,
tetapi jika ada asidosis, PaO2 lebih dari 80mmHg diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas dengan anemia harus diperbaiki dengan memperbaiki kadar
hemoglobin agar transportasi oksigen kejaringan cukup. Peningkatan kecil
tekanan oksigen arteri menyebabkan kenaikan bermakna saturasi hemoglobin.
Dalam keadaan normal, tidak ada manfaat meningkatkan PaO 2 lebih besar dari

14
60-80mmHg. Peningkatan konsentrasi oksigen 1% meningkatkan tekanan
oksigen sebesar 7 mmHg.
Penyapihan terapi oksigen harus dipertimbangkan ketika pasien menjadi
nyaman, penyakit yang mendasarinya sembuh, tekanan darah, denyut nadi,
frekuensi pernapasan, warna kulit, dan oxymetri berada dalam kisaran normal.
penyapihan dapat secara bertahap dengan menghentikan oksigen atau
menurunkan konsentrasi untuk jangka waktu tertentu misalnya 30 menit dan
mengevaluasi kembali parameter klinis dan PaO 2 secara berkala. Pasien dengan
penyakit pernapasan kronik mungkin membutuhkan oksigen pada konsentrasi
yang lebih rendah untuk waktu yang lama.

15
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Oksigen, merupakan zat yang sering digunakan untuk mengobati kondisi
hipoksemia pada berbagai kondisi klinis. Namun oksigen itu sendiri dapat
menjadi trigger terjadinya cedera paru akut jika tidak diberikan pada konsentrasi
dan durasi yang sesuai. Paru merupakan organ yang rawan terjadinya cedera yang
diakibatkan oleh oksidan, yang diawalo oleh sinyal protein hingga ke respon
selular. Hal ini berakibat pada ruskanya epitel dan kapiler alveolar. Kemudian
hiperpermeabilitas, mikrotrombi (hasil dari gangguan koagulasi dan fibrinolisis),
deposisi kolagen dan fibrosis mengganggu struktur dan fungsi alveolus.5
Meskipun terapi oksigen sangat berguna pada berbagai kelainan, efek
lainnya dapat menyebabkan efek toksik biasanya pada SSP dan paru. Terapi yang
dapat diberikan berupa terapi suportif namun pencegahan dan deteksi dini
merupakan hal yang penting pada keracunan oksigen ini.

16
DAFTAR PUSTAKA
Lamb, John S. (1999). The Practice of Oxygen Measurement for Divers. Flagstaff: Best
Publishing, 120 pages. ISBN 0-941332-68-3. OCLC 44018369.

Lippmann, John; Bugg, Stan (1993). The Diving Emergency Handbook. Teddington, UK:
Underwater World Publications. ISBN 0-946020-18-3. OCLC 52056845.

Lippmann, John; Mitchell, Simon (2005). "Oxygen". Deeper into Diving (2nd ed.).
Victoria, Australia: J.L. Publications. pp. 121–4. ISBN 0-9752290-1-X. OCLC 66524750.

(Jam : 19.00)
Sumbe web :

17
SOAL & JAWABAN
1) Sebutkan salah satu gejala keracunan oksigen ?
- kejang-kejang
- tidak sadarkan diri

2) apa yang dimaksud dengan taksologi?

- toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun, gejala-
gejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan pada korban yang
meninggal

3) sebutkan faktor yang mempengaruhi keracunan

- cara masuk, umur, kondisi tubuh, kebiasaan, idiosinkrasi dan alergi pada vitamin E,
penisilin, steptomisin dan prokain.

4) sebutkan faktor penyebab keracunan terjadinya keracunan oksigen

- lamanya paparan terhadap oksigen, daya serap oksigen pada setiap orang, tekanan
oksigen yang tidak sesuai.

5) keracunan oksigen biasanya terjadi pada ?

- penyelam scuba

6) bagaimana mengatasi keracunan oksigen?

- terapi hiperbarik

7) apa yang dimaksud dengan hipoksia ?

- kondisi kekurangan oksigen

8) dimana tempat pertukaran gas dan karbon dioksida ?

- alveolus

9) mengapa keracunan gas CO2 dapat menyebabkan sesak napas ?

- karena afinitas Hb terhadap CO2 lebih tinggi daripada O2

10) keracunan oksigen pada manusia membawa aakibat buruk pada tiga organ vital.Sebutkan
dan jelaskan !

- sistem saraf yang mengakibatkan kejang-kejang dan tidak sadar (paul bert effect)

- paru-paru yang mengakibatkan sesak napas dan sakit dada (lorrain smith)

- mata yang mengakibatkan rabun jauh (myopia)

18
19

Anda mungkin juga menyukai