DOSEN : NOIFKE
DISUSUN OLEH
KELOMPOK BOLMONG :
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah tentang SUKU
BOLAANG MONGONDOW ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Kami sangat
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita
mengenai Penyakit Tipes. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat
kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yag membangun demi kebaikan masa depan.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantar……………………………………………………………...............
Daftar Isi……………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………...............................
1.1 Latar Belakang……………………………....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………..
A. Asal usul kata Bolaang Mongondow……………………………………………………………
B. Sejarah raja-raja……………………………………………………………………………………
C. Asal usul Orang Mongondow……………………………………………………………………..
D. Pimpinan kelompok Masyarakat
E. Rumah Adat……………………………………………………………………………………….
F. Bahasa……………………………………………………………………………………………...
G. Seni Musik………………………………………………………………………………………
H. Seni tari……………………………………………………………………………………………
PENDAHULUAN
Dari cerita rakyat mengenai asal usul, masyarakat Mongondow mempercayai bahwa
mereka berasal dari nenek moyang mereka yakni dari pasangan Gumalangit dan Tendeduata
serta pasangan Tumotoiboko dan Tumotoibokat. Menurutnya nenek moyang mereka
tersebut tinggal di Gunung Komasan, yang sekarang masuk ke dalam Bintauna. Keturunan
dari kedua pasangan ini lah yang kemudian menjadi suku Mongondow. Keberadaan suku
ini sudah beredar luas hingga keluar dari daerah asalnya seperti Tudu in Lombagin,
Buntalo, Pondoli’, Ginolantungan, Tudu in Passi, Tudu in Lolayan, Tudu in Sia’, Tudu in
Bumbungon, Mahag, Siniow, dan lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Sejarah Raja-Raja
Adapun raja-raja Bolaang Mongondow yang bergelar Raja setelah berakhirnya gelar
Punu’ adalah
Raja ini terkenal agresif dan menyerang pulau Manado Tua sehingga rakyat Manado
Tua lari ke Pulau Sangir dan tinggal 52 orang yang sakit-sakitan ditinggalkan
kemudian diangkut oleh Gubernur Belanda Padsburg dan dibawa ke Sindulang.
Raja Yakobus Manoppo, putra Loloda Mokoagow hasil perkawinan dengan putri
Minahasa yang kemudian menjadi Raja Mongondow pada tahun 1694 – 1695.
Raja Egenius Manoppo 1764 – 1770 (Raja ini akhirnya menjadi gila dan digantikan
oleh raja ke-enam)
Raja Christofel Manoppo 1767 – 1770
Raja Yakobus Manuel Manoppo 1833 – 1858 (Raja ini masuk agama Islam)
Raja Yohanes Manuel Manoppo 1862 (Penggantinya tidak ada selama beberapa tahun
hingga diangkat Raja Abraham Sugeha 1886 – 1893)
Orang Mongondow menurut Wilken dan Y.A.T. Schwars (1867) terdiri dari 5 (lima)
suku/Sub etnis, yaitu:
Setiap kelompok keluarga dari satu keturunan dipimpin oleh seorang bogani. Bogani
dipilih dengan persayratan tertentu dan bisa pria atau wanita. Syaratnya adalah :
2. Berani
3. Bijaksana
4. Cerdas
5. Mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan kelompok dan keselamatan dari
gangguan musuh.
Para Bogani tidak sendiri dalam memimpin, mereka didampingi oleh para tonawat.
Tonawat merupakan orang yang mengetahui perbintangan, ahli penyakit dan
pengobatannya, dan juga bertugas sebagai penasehat pimpinan. Mereka juga mengenal
sistem gotong royong untuk menyelesaikan tugas sejara bersama demi kesejahteraan
kelompok.
E. Rumah Adat
Rumah tempat tinggal di Bolaang Mongondow berbentuk rumah panggung dengan sebuah tangga
di depan dan sebuah di belakang. Dengan adanya pengaruh luar, maka bentuk rumahpun sudah
berubah. Kehidupan sosial budaya masyarakat yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
pembangunan sekarang ini, banyak yang telah berubah. Namun budaya daerah yang masih
mengandung nilai-nilai luhur yang dapat menunjang pembangunan fisik material dan mental
spiritual, masih tetap dipelihara dan dilestarikan.
F. Bahasa
G. Seni Musik
KANTUNG, adalah alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik, terbuat dari tempurung
kelapa sebaga resonansi dan berdawai satu.
RABABO, adalah alat musik yang digesek resonansi terbuat dari tempurung dengan dawai
satu.
TANTABUA, adalah alat musik terbuat dari bambu, kulitnya dijadikan dawai yang
lebarnya sekitar 1 cm. dekat dawainya dibuat lubang dengan ukuran sekitar 3 x 3 cm, untuk
kemudian dipukul dengan kayu.
BANSI’ atau TUALING, adalah alat musik yang terbuat dari bambu berlubang satu
OLI-OLI’, adalah alat musik terbuat dari kulit pelepah enau hutan, pakai semacam lidah-
lidah, pada ujung kiri diikatkan tali penahan dan pada ujung kanan tali yang ditarik-tarik
agar lidahnya bergetar dan kemudian menimbulkan bunyi.
TOLALO, adalah alat musi yang terbuat dari dua kerat bambu kering ukuran 15 x 3 x ½
cm.
KULINTANG, adalah alat musik dari logam, perangkatnya terdiri dari mung-mung 5
sampai 7 buah berderet dan dimainkan dengan cara dipukul.
GAMBUS, adalah alat musik bentuknya seperti gitar kecil dan dimainkan dengan cara
dipetik.
REBANA, adalah alat musik dari kulit hewan yang di ikatkan pada kayu yang sudah
dirancang bulat/bundar dan dimainkan dengan cara ditepuk atau dipukul.
H. Seni Tari
Tari Kabela adalah tari penjemputan tamu, yang berasal dari Bolaang Mongondow,
Sulawesi Utara, Indonesia.[1] Tari Kabela digelar untuk menyambut tamu yang dekat
maupun jauh.[1] Dalam bahasa Bolaang Mongondow, Kabela disebut boyo-boyo yang
artinya tempat sirih pinang.[1] Sebelum tamu menyampaikan maksud dan tujuannya, tuan
rumah terlebih dahulu menyuguhkan sirih pinang.[1] Hal ini sesuai dengan semboyan hidup
bermasyarakat mototompiaan, motatabian, bo mototanoban yang artinya saling
memperbaiki, saling mengingatkan, dan saling melengkapi. [1] Kabela sendiri artinya kotak
yang berisi pinang, sirih, dan cengkih.[2] Ukuran kotak tersebut biasanya berukuran (10cm x
5cm x 5cm) sampau ukuran (30cm x 25cm x 20 cm). [2] Bagian luar kotak kecil tersebut
(kabela) dihias dengan maink-manik yang berbentuk simbol kehidupan atau geometrik.[2]
Tari Kable bisanya dimainkan oleh 3 hingga 9 penari dan diiringi musik atau lagu
tradisional Bolaang Mongondow.[2] Durasi tarian ini kira-kira tujuh menit.[2] Kini, dalam
kotak kabela, tidak lagi ditaruh sirih pinang, melainkan bunga-bunga yang akan ditaburkan
atau dipancarkan kepada tamu yang datang.[2]
Tari Tuitan
Ditarikan oleh barisan pengawal raja (kolano), diiringi tabuhan gandang. Penari
berselempang sikayu, ikat kepala dan membawa tungkudon (tombak berhias bulu) dan
kaleaw (perisai). Tuitan dapat juga dimainkan pada saat penjemputan tamu agung, diiringi
tabuhan kulintang besi.
Tari Dana-dana
adalah tarian yang dibawa bersamaan dengan masuknya Islam di wilayah Kerajaan
Bolaang Mongondow. tarian ini dimainkan oleh sekelompok orang bisa dicampur laki-laki
dan perempuan dan bisa juga tidak, dan diringi oleh tabuhan rebana serta gambus.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Suku Mongondow adalah sebuah etnis yang mendiami Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi
Utara Gorontalo. Sebelum bergabung dengan kabupaten Bolaang Mongondow, dahulu suku ini
memiliki kerajaan yang bernama Bolaang Mongondow. Dan pada tahun 1958 resmi bergabung ke
dalam Indonesia dan menjadi Kabupaten Bolaang Mongondow.
masyarakat Mongondow mempercayai bahwa mereka berasal dari nenek moyang mereka yakni dari
pasangan Gumalangit dan Tendeduata serta pasangan Tumotoiboko dan Tumotoibokat.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Mongondow
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Bolaang_Mongondow
https://totabuanmadani.wordpress.com/2010/06/28/adat-daerah-di-kabupaten-bolaang-mongondow/