Anda di halaman 1dari 17

Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun

(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

KONSEP KENABIAN
MENURUT IBNU KHALDUN
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan
Nabi Muhammad SAW)

Munawir *)

Abstract: The results of this study found that Ibn Khaldun divides the soul into
three tiers. The first level is the common man, the soul remains bound by mere
physical experience of body organs. The second level, the soul seekers of God, the
soul can rise above physical attachment to a limited degree. The third level is the
soul of the prophet. The prophets are individuals within them God has provided a
natural ability to be able to release its humanitarian dimension. This capacity could
change all of humanity and human spirituality into the highest level of angelic, so
that they can learn all things there without the help of a physical body organs. Then
they bring back what they have learned it to the level of ability of human understanding,
because then that knowledge can be taught to humans. These events were later
called "nubuwwah" (prophetic).
Keywords: Prophethood, Ibnu Khaldun, Infallibility, and Humanity.

Abstrak: Hasil penelitian ini menemukan bahwa bahwa Ibnu Khaldun


membagi jiwa ke dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama dimiliki oleh manusia
biasa, jiwa yang tetap terikat dengan pengalaman organ tubuh fisiknya belaka.
Tingkatan kedua, jiwa para pencari Tuhan, jiwa ini bisa naik di atas keterikatan fisik
sampai pada tingkat yang terbatas. Adapun tingkatan ketiga adalah jiwa para
nabi. Para nabi adalah individu-individu yang di dalam diri mereka telah ditanamkan
Tuhan suatu kemampuan alamiah untuk mampu melepaskan dimensi kema-
nusiaannya. Suatu kapasitas yang tentu saja khusus hanya dimiliki mereka dan
yang tidak didistribusikan secara universal untuk bisa mengubah semua kema-
nusiaan dan spiritualitas manusia menjadi tingkat tertinggi kemalaikatan, sehingga
mereka bisa mempelajari semua hal di sana tanpa bantuan organ tubuh fisik.
Kemudian mereka membawa kembali apa yang telah mereka pelajari itu ke tingkat
kemampuan pemahaman manusia, karena dengan begitu pengetahuan itu bisa
diajarkan kepada manusia. Peristiwa inilah yang kemudian disebut dengan
“nubuwwah” (kenabian).
Kata Kunci: Kenabian, Ibnu Khaldun, Kemaksuman, dan Kemanusiaan.

*)
Penulis adalah Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto.

116 JPA, Vol. 15, No. 1, Januari - Juni 2014


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

A . LATAR BELAKANG
LAT
Nabi Muhammad SAW adalah seorang rasul yang tidak berbeda
dengan para nabi dan rasul sebelumnya. Ia bukan nabi pertama yang
berbicara kepada manusia atas nama kalam Allah SWT. Sejak Nu>h}
a.s.,1 muncul pribadi-pribadi pilihan Allah SWT yang semuanya ber-
bicara atas nama Allah SWT.2 Wahyu3 yang mendukung dan mem-
perteguh kenabian mereka tidak berbeda dengan kerasulan Muhammad
SAW. Semuanya serupa karena sumber dan tujuannya satu.4 Oleh
karenanya, Islam disebut sebagai agama wahyu (revelasi). Dalam hal
ini, teks wahyu tetap mutlak dianggap benar.5
Berbicara mengenai wahyu, hampir semua umat Islam sepakat
bahwa sifat wahyu adalah sesuatu yang tidak diperoleh melainkan
merupakan sesuatu yang terberi. Akan tetapi, mereka berselisih dalam
interpretasi tentangnya. Perselisihan tersebut dapat dikelompokkan
ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok internalis dan eksternalis.
Kelompok pertama dipelopori oleh para filsuf, mistikus, dan teolog
yang berorientasi filosofis, mereka memahami bahwa sumber wahyu
itu ada dalam diri manusia bukan dari luar dirinya, karenanya ia meru-
pakan sesuatu yang dimiliki oleh setiap manusia, hanya saja dengan
derajat yang berbeda-beda. Internalisasi dan universalisasi inilah yang
menyebabkan konsep kenabian (wahyu) ini melepaskan diri dari ke-
seluruhan institusi kenabian yang begitu esensial, seperti kemaksuman,
eksklusivitas, maupun kebesaran otoritatifnya.
Adapun kelompok kedua dipelopori oleh kaum literalis dan
tradisionalis (ortodoks), mereka berpendapat bahwa kenabian (wahyu)
adalah suatu kejadian yang disebabkan oleh sebab eksternal, di mana
nabi berpartisipasi tanpa disengaja dan secara pasif. Adapun sebagai
jembatan dari perselisihan kedua kelompok di atas, muncullah
kelompok ketiga yang salah satu pelopornya adalah Ibnu Khaldun.
Dengan penjelasan wahyu dalam term-term evolusioner, ia berusaha
mendamaikan pernyataan-pernyataan ortodoks dan rasionalis, serta
untuk merasionalkan supernaturalisme dari kalam ortodoks.

B . FILOSOFI PENGUTUSAN PARA NABI


Pembahasan tentang hal ini tidak bisa tidak harus menyertakan
pembahasan tentang penciptaan makhluk itu sendiri. Sebagaimana

ISSN 1411-5875 117


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

dalam kajian ontologi bahwa segala yang ada di alam ini adalah wujud
relatif dari wujud yang hakiki. Hal ini berarti keberadaan semua
makhluk adalah kehendak dari sebab yang tidak berpenyebab yaitu
Tuhan YME.
Dengan demikian, diciptakannya makhluk oleh Tuhan tentu tidak-
lah nihil dari tujuan, karena mustahil Tuhan menciptakan segala sesuatu
itu sia-sia. Kalau memang Tuhan mempunyai tujuan, untuk kepen-
tingan (bermuara kepada) siapakah tujuan itu? Apakah untuk Tuhan
sendiri ataukah untuk makhluk? Tuhan adalah Maha Kuasa atas
segalanya. Dan kemahakuasaan-Nya adalah mutlak. Terlepas apakah
semua makhluk mengingkari atau mempercayainya, Tuhan tetap Maha
Kuasa. Tidak peduli apakah semua makhluk membela atau membenci-
Nya, Tuhan tetap Maha Tinggi dan tidak akan turun derajat-Nya.
Karenanya, jika ada orang ramai-ramai mengacungkan pedang,
meledakkan bom untuk membela Tuhan, barangkali Tuhan akan
berkata (dengan nada sinis): “Yang perlu kamu bela bukan Aku, tetapi
dirimu sendiri. Aku tidak butuh pembelaanmu.”
Dari sini jelas, bahwa tujuan tersebut tidak bermuara kepada
Tuhan, karena ini meniscayakan Tuhan butuh terhadap sesuatu. Dan
butuhnya Tuhan terhadap sesuatu adalah mustahil bagi-Nya. Tujuan
tersebut adalah bermuara kepada makhluk itu sendiri, yaitu untuk
kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sampai di sini,
belumlah cukup penjelasan mengenai filosofi adanya kenabian. Masih
ada permasalahan yang muncul yaitu; jika tujuan penciptaan makhluk
itu bermuara kepada manusia, yaitu untuk kebaikan dan kebahagiaan,
lalu siapa yang paling tahu tentang bentuk kebaikan dan kebahagiaan
apa yang bermuara kepada makhluk itu?
Ada dua alternatif jawaban yang keduanya akan dianalisis satu
persatu untuk menuju penjelasan yang komprehensif. Kedua alternatif
tersebut adalah makhluk itu sendiri ataukah Tuhan. Apabila makhluk
bisa mengetahui dengan sendirinya, lewat potensi internal (malakah)
yang dimilikinya, maka kenabian akan menjadi sia-sia. Karena setiap
makhluk adalah nabi. Kenabian dalam realitasnya akan menjadi
sesuatu yang wajar. Tidak ada bedanya antara nabi yang pada dirinya
terdapat kenabian dengan lainnya, karena masing-masing bisa sampai
kepada pengetahuan tentang kebaikan dan kebahagiaan. Sementara,

118 JPA, Vol. 15, No. 1, Januari - Juni 2014


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

ini semua menyalahi realitas, karena secara faktual tidak semua


makhluk menjadi nabi. Dengan demikian, alternatif pertama dengan
sendirinya telah gugur, tinggal alternatif kedua, yaitu Tuhan. Tuhan
yang telah menciptakan makhluk, tentunya yang paling berhak me-
nentukan baik dan tidak baik untuk makhluk. Tuhan Maha Mengetahui
yang pengetahuan-Nya meliputi semua hal niscaya yang paling tahu
dengan kebaikan dan kebahagiaan untuk makhluk-Nya.
Satu permasalahan lagi yang tidak kalah pentingnya adalah bagai-
mana Tuhan menginformasikan dan mengkomunikasikan itu semua
kepada makhluk? Inilah kemudian yang melatarbelakangi adanya
kenabian (nubuwwah). Tuhan memilih seorang manusia pilihan untuk
menginformasikan dan mengungkapkan melalui dia pengetahuan
tentang realitas-Nya. Karena Tuhan adalah Wujud Universal sementara
manusia adalah wujud yang terbatasi oleh waktu dan tempat, maka
dalam berkomunikasi dengan makhluk-Nya Tuhan menggunakan
media tertentu yang disebut wahyu.6
Komunikasi Tuhan dengan manusia—kalam Allah kepada ma-
nusia—ini memiliki cara-cara tertentu (pasti) sebagaimana yang di-
ungkapkan oleh al-Qur’an.7 Cara pertama adalah “wahyu” yang dalam
pengertian ulama disebut dengan “ilham”. Seperti wahyu kepada
Maryam, lebah, dan malaikat. Cara kedua adalah berbicara “di balik
tabir”, sebagaimana kalam Allah kepada Nabi Musa as. Dan cara ketiga
adalah cara-cara Allah berbicara kepada manusia secara tidak langsung
yaitu melalui seorang utusan (malaikat). Cara inilah yang berlaku da-
lam penyampaian dan penurunan al-Qur’an.
Berdasarkan paparan di atas, jelas bahwa kenabian merupakan
bentuk respon Tuhan bukan untuk Tuhan sendiri, melainkan untuk
manusia. Kenabian musti ada karena ia sebagai agen penerima komu-
nikasi ketuhanan untuk menyampaikan kabar gembira sekaligus
peringatan8 demi terciptanya kebaikan dan kebahagiaan umat manusia
di dunia dan akhirat.9 Karenanya, dalam mengemban tugas ini, se-
bagian nabi diberi sebuah kitab (sebagai undang-undang dan syari’at).10

C. KENABIAN MENURUT IBNU KHALDUN


Sebagaimana keterangan di atas, bahwa pandangan Ibnu Khaldun
tentang kenabian muncul sebagai jalan ketiga untuk mendamaikan

ISSN 1411-5875 119


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

pernyataan kaum rasionalis (para filsuf) dengan kaum ortodoks


(tradisionalis dan literalis).
Kaum rasionalis berusaha memahami kenabian (wahyu) dengan
interpretasi filosofis rasional. Sehingga, wahyu dipahami sebagai suatu
kemampuan yang secara khusus diciptakan oleh Tuhan di antara
manusia yang sebelumnya telah Dia putuskan untuk dipilih sebagai
media (agen) komunikasi-Nya. Kemampuan khusus tersebut secara
internal berada dalam dirinya, sehingga membuatnya mampu meng-
akses jalan menuju domain-domain realitas supranatural yang tidak
bisa diikuti dengan kemampuan-kemampuan yang berbeda yang
dimiliki orang-orang biasa. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya
kemampuan tersebut dimiliki oleh setiap orang, namun karena
skalanya yang rendah sehingga membuatnya gagal untuk mengakses
wilayah supranatural tersebut.
Dengan demikian, kenabian dalam realitasnya adalah sesuatu yang
wajar. Posisi ini ada pada nabi karena ia dikarunia potensi kreatif
(kecenderungan) yang menuntun ke arah pengetahuan spiritual
(wahyu). Sementara, potensi kreatif ini juga dimiliki oleh lainnya, tetapi
tidak untuk kecenderungan yang sama. Seorang penyair misalnya, ia
bisa menjadi nabi dalam hal syairnya, tetapi tidak pada bidang lainnya.
Sama dengan wahyu, seseorang bisa memiliki kecenderungan yang
sangat tinggi terhadapnya (karenanya, ia disebut nabi dalam hal ini)
tetapi, kecenderungan yang sama bisa kurang atau bahkan tidak ada
sama sekali pada lainnya.
Dari sini jelas, bahwa konsepsi kenabian yang digariskan begitu
bersifat internalistik, karena sumber wahyu dipahami ada pada diri
manusia sendiri, bukan dari luar dirinya. Dan semua orang bisa menjadi
nabi, karena ia juga mempunyai potensi kreatif sama seperti para nabi,
hanya saja dengan derajat yang berbeda-beda. Internalisasi dan
universalisasi kemampuan untuk menerima dan mengungkapkan
rahasia-rahasia ketuhanan inilah yang membuat konsepsi kenabian
ini mengingkari keseluruhan instistusi kenabian yang begitu funda-
mental, seperti kamaksuman, eksklusivitas, dan otoritas kenabian.
Jika wahyu merupakan sesuatu yang dimiliki oleh setiap manusia,
hanya saja dalam skala yang berbeda-beda, nampaknya tidak ada lagi
yang perlu dibahas mengenai wahyu (kenabian) ini. Lalu, atas dasar

120 JPA, Vol. 15, No. 1, Januari - Juni 2014


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

apa bahwa nabi adalah orang yang “terpilih”? Inilah hal fundamental
yang mendasari kaum ortodoks menolak konsep kenabian kaum
filosofis.
Kaum ortodoks berpendapat bahwa kenabian (wahyu) adalah
suatu kejadian yang disebabkan oleh sebab eksternal, di mana nabi
berpartisipasi tanpa disengaja dan secara pasif. Karenanya, kenabian
dipahami sebagai kemurahan dan karunia Ilahi yang tidak dapat
diperoleh melalui usaha. Konsepsi ini berusaha memposisikan para
nabi sebagai golongan istimewa yang melebihi manusia biasa. Para
nabi memiliki akal penuntun dan tuntunan yang berada di atas semua
inteligensi (normal), mengatur dan memerintah melalui keunggulan
Ilahi.11
Golongan ini mempertegas keistimewaan para nabi sebagai orang-
orang terpilih yang merupakan kebalikan dari golongan sebelumnya.
Lebih jauh, argumentasi kelompok eksternalis mengenai “keterpilihan”
seorang nabi sekaligus kritikan mereka terhadap kelompok internalis
adalah mengenai “periodesasi” wahyu. Berdasarkan alur pemikiran
eksternalis, bahwa jika kemampuan untuk “mengungkapkan” itu telah
menjadi sifat yang sudah ada pada diri nabi, maka secara permanen,
dalam peristiwa dan kondisi apa pun sepanjang kehidupannya, apa
yang diutarakan (diungkapkan) nabi haruslah dianggap memiliki status
wahyu. Sementara tidak demikian menurut keyakinan eksternalis.
Wahyu datang kepada nabi tidaklah secara general, namun menurut
kebutuhan dan bersifat periodik. Seringkali nabi menerima wahyu
secara tidak disangka-sangka atau dalam peristiwa tertentu. Seperti
ketika sahabat mengajukan pertanyaan yang ia tidak ketahui jawa-
bannya atau pada suatu peristiwa kritis, lantas petunjuk Tuhan datang
untuk membebaskannya dari kebingungan tersebut. Adanya “periodi-
sasi” di samping juga tanda-tanda fisik yang mendahului turunnya
wahyu12 inilah yang meneguhkan penolakan golongan eksternalis
sekaligus kritikan mereka terhadap kaum internalis agar mempertim-
bangkan lagi sebelum memantapkan doktrin kenabian mereka.
Namun, konsepsi internalis ini juga tidak bisa dieksplorasi lebih
jauh lagi ketika dihadapkan pada peran malaikat. Malaikat sebagai
aktor ketiga dalam proses penurunan wahyu dari Tuhan kepada nabi
tidak melulu terjadi secara supranatural tetapi kadang-kadang juga

ISSN 1411-5875 121


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

menampakkan dirinya dalam wujud seorang lelaki. Inilah yang


membingungkan kaum eksternalis, karena peristiwa penyampaian
pesan (wahyu) dari malaikat kepada nabi yang tadinya dianggap
supranatural ternyata juga terjadi secara natural. Kelompok ini akhirnya
terjebak dalam pemahaman yang literal, sosok malaikat digambarkan
secara antrophomorfis sekaligus proses panyampaian wahyu juga
dipahami sebagaimana proses komunikasi yang terjadi dalam realitas
sosial. Kelompok ini memang berhasil meneguhkan “keterpilihan” nabi
tetapi gagal dalam memahami proses terjadinya transformasi wahyu
dari malaikat kepada nabi.
Ibnu Khaldun dan tokoh-tokoh lain seperti Ibnu Miskawaih,
berusaha menjembatani perselisihan kedua kelompok di atas dengan
konsep baru yang terkenal dengan evolusionistik. Ibnu Khaldun dalam
menjelaskan kenabian menggunakan kebenaran-kebenaran tertentu
yang sederhana tentang sifat fisik dari alam kosmos fisik kita dari satu
sisi, dan tentang jiwa manusia di sisi yang lain. Menurutnya, seluruh
alam ciptaan mewakili suatu sistem (struktur) yang terdiri atas tahap-
tahap atau tingkat-tingkat (hirarkis) secara teratur dan seimbang,
sehingga berbagai macam elemen (tingkat) saling terhubung, bersatu
dengan teratur, dan bergabung satu sama lain dalam hubungan sebab
akibat yang keindahannya saling tersalurkan satu sama lain13. Jadi,
masing-masing tingkat memiliki dua batas (ufuq) yang dengan itu ia
dibedakan dari tingkat terdekatnya, baik tingkat yang lebih rendah
maupun tingkat yang lebih tinggi. Dari sini, ada pola yang bisa diamati,
bahwa ada semacam keteraturan yang berjalan semakin naik. Satu
elemen (hirarki) lebih tinggi dari elemen lain, yang ia sendiri lebih
rendah dari elemen ketiga, dan seterusnya. Tingkatan-tingkatan ini
tidak berarti secara mutlak tertutup satu sama lainnya, sehingga
memungkinkan bahwa anggota-anggota tertentu dari tingkatan
tersebut meningkat (berpindah) kepada tingkatan yang lebih tinggi
atau bahkan turun ke tingkat yang lebih rendah.
Dengan kata lain, makna dari pengaitan di atas adalah ujung
tertinggi dari tingkat (elemen) tertentu memiliki kesiapan mutlak atau
kapasitas yang disempurnakan (al-isti’dad al-qarib) untuk menjadi
bagian pertama dari tingkat yang lebih tinggi, berkebalikan dengan
kapasitas ujung terendah (al-isti’dad al-ba’id).14 Misalnya, elemen

122 JPA, Vol. 15, No. 1, Januari - Juni 2014


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

tanah meningkat ke air, dari air ke udara, dan dari udara ke api.
Tingkatan selanjutnya yang lebih tinggi dari api adalah wilayah alam,
yang berlainan dengan elemen-elemen terdahulu, yaitu tidak terlihat,
namun keberadaannya bisa kita ketahui dari fakta adanya tindakan
dan gerakan dari elemen tersebut15. (Sebagaimana roh dan tubuh. Roh
manusia tidaklah dapat dilihat, tetapi bekas-bekasnya bisa dilihat pada
tubuh. Tubuh dan bagian-bagian lainnya, baik satu persatu atau selu-
ruhnya, adalah laksana mesin yang digerakkan oleh roh). Selain itu
(dunia elemen-elemen), ada pula “dunia penciptaan” yang bila diamati
terdapat keteraturan-keselarasan-tendensi yang sama untuk bergerak
dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Benda-
benda mati tumbuh menjadi tanaman, kemudian berkembang menjadi
binatang, dan binatang pada gilirannya mempersiapkan landasan
untuk munculnya manusia.16 Dari sini jelas, bahwa tiap elemen
berhubungan dengan elemen lainnya dan masing-masing elemen siap
mengubah dirinya sendiri menjadi sesuatu yang langsung berada di
atasnya atau di bawahnya.
Sebagaimana konsep evolusionistik dari alam, demikian pula
dengan jiwa manusia. Analisis Ibnu Khaldun mengungkapkan bahwa
jiwa itu bersentuhan dengan dengan dua susunan makhluk, satu lagi
di bawah dan satunya lagi di atas (jasadiyah dan spiritual). Dari bawah
jiwa itu berhubungan dengan tubuh kasar, yang darinya ia men-
dapatkan kekuatan rasa pancainderanya, sehingga memungkinkannya
untuk mencapai kesanggupan berpikir. Adapun dari atas, jiwa itu
berhubungan dengan dunia malaikat, yang darinya ia mendapatkan
kekuatan untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan ilmiah (al-
ghaibiyah) yang tidak bisa dicapai melalui kekuatan pancaindera.17
Analisis ini meniscayakan bahwa (beberapa jiwa manusia) memiliki
kapasitas yang disempurnakan untuk melompat keluar (insilakh/inqila’)
dari sifat kemanusiaannya menuju sifat kemalaikatan dan benar-benar
menjadi golongan malaikat pada suatu waktu setelah jiwa itu sampai
kepada sifat spiritual (ego rohaninya) yang sempurna.
Ibnu Khaldun kemudian menggambarkan tiga jenis jiwa manusia.
Golongan pertama ialah jiwa yang tidak sanggup menurut kodratnya
sendiri untuk sampai kepada pemahaman spiritual. Jiwa yang, dalam
fungsi-fungsi kognitifnya, sepenuhnya tergantung kepada fungsi-

ISSN 1411-5875 123


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

fungsi psiko-spesifik dari persepsi rasa, imajinasi, dan ingatan (me-


mori). Orang-orang ini hanya dapat menggabungkan konsep-konsep
(yang diperoleh melalui persepsi pancaindera) sesuai dengan hukum-
hukum yang tetap dan peraturan-peraturan yang berlaku pada wilayah
jasadiyah. Gerakan pemikiran mereka tergantung pada badan sehingga
menjadi terbatas. Karenanya, pengetahuan yang dapat mereka capai
adalah pengetahuan yang bersifat induktif dan deduktif, yang sekalipun
mental tetapi tempat ilmu-ilmu tersebut adalah dalam tubuh.18 Mereka
yang tergolong dalam kelompok ini adalah para sarjana dan ahli pikir
(orang) biasa yang pada hakikatnya tidak orisinal.
Golongan kedua adalah orang-orang yang pikirannya bergerak
ke arah pemikiran yang murni, yang karena susunannya yang esensi,
sehingga tidak membutuhkan instrumen-instrumen jasadiyah. Mereka
ini mempunyai kekuatan mental dan spiritual lebih besar dibanding
kelompok pertama, sehingga mereka mampu menembus prinsip-prinsip
pertama (al-awwaliyyat) yang menjadi lahan pengertian kelompok
pertama dan bisa leluasa bergerak pada ruang (tempat kosong)
kenyataan-kenyataan batiniah (al-Musyaahadat al-Batiniyyah), yang
merupakan kesadaran (wijdan) murni dan tidak terbatas. Mereka,
sebagai pemikir-pemikir orisinal, tidak hanya berpikir dengan meng-
gabungkan konsep-konsep dan penilaian, melainkan secara langsung
menggunakan intuisi. Mereka inilah orang-orang yang memiliki
pengalaman mistik murni (para pencari Tuhan, wali/ulama).
Sementara itu, golongan ketiga adalah orang-orang yang dika-
runiai sifat sedemikian rupa, sehingga mampu meninggalkan sifat-
sifat kemanusiaan, baik sifat badaniah maupun sifat rohaniah, menuju
kepada tingkat yang lebih tinggi (kemalaikatan), agar dalam waktu
tertentu benar-benar menjadi malaikat.19 Jika, kesempurnaan yang
dicapai oleh para pencari Tuhan dalam realitasnya bisa dicapai oleh
banyak jiwa yang baik, maka kesempurnaan yang dimiliki golongan
ketiga ini, merupakan hak individu para nabi.20 Tuhan menanamkan
dalam diri mereka keikhlasan dan kemampuan alamiah (kesiapan fitri)
untuk mengarahkan diri mereka ke tingkat yang lebih tinggi, mening-
galkan sifat kemanusiaan mereka, sehingga mereka bisa menembus
wilayah spiritual tertinggi. Pada kondisi inilah terjadi peristiwa pe-
wahyuan (kenabian).

124 JPA, Vol. 15, No. 1, Januari - Juni 2014


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

Melalui pemahaman seperti di atas, kenabian bisa dijelaskan dalam


posisi yang relatif netral (tidak terlalu internalis, sehingga meniadakan
kemaksuman dan eksklusivitas nabi, dan juga tidak terlalu eksternalis,
sehingga bias antrophomorfis yang mendistorsi realitas pewahyuan).
Memang terjadi perdebatan seru berkaitan dengan proses transformasi
wahyu. Hal ini, karena proses pewahyuan, di mana terjadi komunikasi,
kedua belah pihak yang terkait di dalamnya, tidak berada dalam satu
taraf eksistensi yang sama. Jibril adalah Malaikat yang terkait dengan
kawasan eksistensi yang berbeda dari kawasan yang terkait dengan
Muhammad sebagai manusia. Bagaimana komunikasi ini dapat terjadi,
sementara terjadi perbedaan watak karena perbedaan tingkat eksis-
tensi? Pertanyaan fundamental inilah yang dicoba dicarikan jawa-
bannya oleh Ibnu Khaldun, agar terproduksi suatu pemahaman yang
terbebas dari simplisisme dan literalisme kaum ortodoks sekaligus jauh
dari spekulasionisme dan kekacauan berpikir para filsuf.
Jawaban dari pertanyaan tersebut menurut Ibnu Khaldun adalah
harus ada perubahan yang terjadi pada salah satu dari dua pihak yang
terlibat dalam proses komunikasi, sehingga memungkinkan terjadinya
komunikasi dengan pihak lain. Salah satunya, Rasulullah terlepas dari
status kemanusiaannya dan masuk ke dalam status kemalaikatan,
kemudian menerima (wahyu) dari Jibril. Kedua, Malaikat mengubah
diri masuk ke status kemanusiaan, sehingga Rasulullah dapat menerima
(wahyu) dari Jibril. Yang pertama merupakan situasi yang paling
berat.21
Adapun para ulama tidak membedakan perubahan taraf eksis-
tensi yang satu ke taraf eksistensi yang lain dari kedua belah pihak,
melainkan hanya menggambarkan perubahan dari pihak Muhammad
ke tingkat kemalaikatan sebagai situasi yang sangat berat, maka Ibnu
Khaldun membedakan kedua situasi ini dan mengaitkan masing-
masing dari dua situasi tersebut dengan watak media yang diper-
gunakan dalam komunikasi.
Untuk lebih jelasnya tentang pembedaan tersebut, ada baiknya
dipahami terlebih dahulu sebuah hadis, di mana Ibnu Khaldun me-
nyandarkan pembedaan tersebut pada teksnya. Adapun hadis tersebut
terjemahannya adalah berikut ini:

ISSN 1411-5875 125


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Kadang-kadang ia mendatangiku seperti


suara gemerincing lonceng. Kondisi inilah yang paling berat bagiku hingga
membuat aku bercucuran keringat. Akan tetapi aku dapat menangkap apa yang
dikatakan. Kadang-kadang muncul di hadapanku Malaikat, kemudian berkata
kepadaku, lalu aku mamahami apa yang ia katakan”.
Berdasarkan hadis ini, situasi pertama yang dirasakan sangat berat
bagi Nabi merupakan awal pelepasan pada saat komunikasi dari potensi
ke aktual. Dalam proses pelepasan ini tentunya mengalami beberapa
kesukaran. Karenanya, ketika dalam proses ini hanya bergantung
kepada kekuatan-kekuatan pengetahuan manusia, maka Nabi hanya
dapat menggunakan pendengaran dan sulit untuk menggunakan
indera lainnya. Ketika wahyu berulang-ulang dan berkali-kali diturun-
kan, maka komunikasi tersebut menjadi mudah.Tetapi, begitu kembali
kepada persepsi-persepsi kemanusiaan, maka semuanya kembali lagi,
terutama yang paling jelas di antara persepsi-persepsi tersebut adalah
pandangan mata.
Situasi yang kedua adalah situasi di mana malaikat mengubah
dirinya menjadi manusia, sehingga komunikasi berlangsung meng-
gunakan perkataan biasa dengan sistem bahasa manusia yang dimiliki
oleh penerima. Berkaitan dengan adanya perbedaan redaksi dalam
hadis, di mana situasi pertama menggunakan kata kerja lampau
(wa’aitu ma qaala), sementara situasi kedua diungkapkan dengan
bentuk kata kerja sedang (fa’a’i ma yaquulu), Ibnu Khaldun menga-
takan bahwa pada situasi nabi mengubah kemanusiaannya menjadi
kemalaikatan, maka watak komunikasi dalam situasi ini adalah
komunikasi nonverbal (simbol).22 Dan kesadaran terhadap makna
(penangkapannya) muncul setelah habisnya dengungan (mengiringi
proses komunikasi). Adapun situasi perubahan dari pihak Jibril menjadi
manusia, maka komunikasi yeng terjadi disyaratkan dengan komu-
nikasi bahasa (kalam). Dan kesadaran terhadap makna (penang-
kapannya) muncul di sela-sela perkataan (berbarengan dengan proses
komunikasi).23
Dari paparan di atas, jelas bahwa situasi pewahyuan merupakan
situasi yang memerlukan kesiapan khusus, yang dalam konteks para
nabi merupakan kesiapan fitri yang berasal dari seleksi ilahiah terhadap
manusia. Dengan kesiapan ini, nabi yang manusia dapat mentrans-
formasikan diri dari kemanusiaannya menjadi malaikat sehingga ia

126 JPA, Vol. 15, No. 1, Januari - Juni 2014


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

dapat menerima pewahyuan. Karena kenabian sebagai sesuatu yang


terberi,24 maka seorang nabi (yang merupakan penerima sekaligus
penyampai kewahyuan) adalah benar-benar hamba pilihan Allah yang
telah dikarunia ketinggian moral dan kualitas spiritual yang sem-
purna.25 Kondisi inilah yang menuntut adanya kemaksuman pada diri
seorang nabi.

D . ANALISIS KRITIS TERHADAP KONSEP KENABI-


AN IBNU KHALDUN
Berdasarkan paparan di atas, bisa dilihat bahwa teori Ibnu Khaldun
bergerak dalam jarak sangat dekat dengan pendapat golongan tradi-
sionalis dalam bagian-bagian tertentu. Yaitu, tidak ada reduksi dalam
jiwa kenabian ke tingkat jiwa manusia biasa sebagaimana yang
dilakukan oleh para filsuf. Para filsuf berpendapat bahwa semua jiwa
manusia itu sama jenisnya (walaupun berbeda-beda kemampuannya
untuk sampai kepada kebenaran). Di sini Ibnu Khaldun melihat adanya
suatu jiwa yang berbeda pada kasus para nabi, sehingga pendapatnya
lebih sama dengan pemahaman bahwa seorang nabi adalah orang
“khusus” dan/atau “terpilih”.
Sekalipun demikian, tidak berarti pendapat Ibnu Khaldun men-
dukung pendapat kaum tradisionalis, karena ketika teori Ibnu Khaldun
dieksplorasi lebih jauh, pada dasarnya justru sama dengan tradisi
filosofis. Sebagaimana yang dikampanyekan oleh al-farabi, Ibnu Sina,
Ibn al-‘Arabi, dan lain-lain. Karena ketika diajukan pertanyaan fun-
damental tentang sumber wahyu, Ibnu Khaldun juga menemukan
bahwa sumber itu ada pada diri internal para nabi. Dengan jelas, ia
mengatakan bahwa para nabi itu bergerak dari menuju tingkat ma-
laikat, yang dilakukan oleh diri mereka sendiri, dan bukan dengan
bantuan kemampuan atau keterampilan apa pun yang mereka peroleh
sebelumnya. Tentu saja, para nabi tidak belajar tentang apa yang kemu-
dian ia beritakan itu melalui sarana yang biasa, namun dia juga harus
bergantung kepada kapasitas batiniah yang telah diberikan kepadanya
untuk menerima wahyu.
Ide tentang transfigurasi, di mana seorang nabi dikatakan
mengubah kemanusiaannya menjadi kemalaikatan, juga gerakannya
dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi, me-

ISSN 1411-5875 127


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

nyiratkan bahwa nabi itu sendirilah yang dengan kekuatan ekstra


kognitifnya, membuat kontak dengan wilayah kemalaikatan, dan
bukan sebaliknya. Jadi, walaupun teori evolusionistik mengakomodasi
elemen-elemen tertentu dari teori eksternalistik, pada dasarnya ia tidak
keluar dari kerangka internalistik pada filsuf.
Dengan demikian, kembali ke persoalan internalis, bahwa teori
kenabian yang diusungnya (yang terlalu spekulasionistik) akan bisa
menjatuhkan banyak manusia ketika mereka mencoba memahami
untuk merasionalkan peristiwa kenabian. Karena, teori internalistik
menjelaskan bahwa wahyu dari sudut pandang jiwa kenabian yang
melakukan komuni (persatuan) dengan apa yang mereka sebut dengan
Akal Aktif, yang menepati urutan kedua setelah secara spontan
teremanasi dari Tuhan. Sementara ide tentang Akal Aktif sebagai ema-
nasi pertama dari keberadaan Tuhan adalah neo-Platonik, yang
sebagaimana ditunjukkan al-Ghazali dengan penuh keyakinan, dalam
Tahafut al-Falasifah, tidak berpijak pada penalaran dan tidak pula
pada pengalaman.
Tetapi, menolak pandangan kaum internalistik untuk kemudian
berpindah kepada kaum eksternalistik tidaklah sebagai jawaban.
Karena teori eksternalistik, yang secara rasional melibatkan metafisik
yang buruk, juga sangat absurd. Membayangkan Tuhan ketika me-
ngirim pesan kepada para nabi melalui malaikat dengan gambaran
bahwa Tuhan ada sesuatu Yang Maha Besar, yaitu Tuhan, yang duduk
di surga, dan Dia memerintahkan salah satu dari tentara-tentara-Nya
untuk membawa suatu pesan tertentu kepada orang yang terpilih,
kemudian dengan penuh kesetiaan ia menjalankan tugasnya dengan
mengucapkan kata-kata ke telinga orang yang terpilih tersebut, adalah
sesuatu yang tidak bisa dipercaya dalam bentuk literalnya. Sudah pasti
bahwa Tuhan bukan merupakan entitas yang menempati suatu tempat
tertentu dan para malaikat juga tidak bisa diantrophomorfiskan seperti
itu. Demikian pula, jiwa penerima pesan Tuhan yang merupakan
makhluk sementara dan fana’, tentunya dalam berkomunikasi dengan
Tuhan tidaklah menggunakan cara komunikasi seperti yang terjadi
dalam realitas sosial.
Nampaknya, penjelasan kenabian yang eksternali nono-antropho-
morfis, yang akan merintis jalan menuju pemahaman filosofis yang

128 JPA, Vol. 15, No. 1, Januari - Juni 2014


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

positif, sehingga bisa menuju konsepsi yang komprehensif, diterima


dari segi penalaran dan juga diakui dari sisi teologis.

E . KESIMPULAN
Berdasarkan semua paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
Ibnu Khaldun membagi jiwa ke dalam tiga tingkatan. Tingkatan per-
tama dimiliki oleh manusia biasa, jiwa yang tetap terikat dengan
pengalaman organ tubuh fisiknya belaka. Tingkatan kedua, jiwa para
pencari Tuhan, jiwa ini bisa naik di atas keterikatan fisik sampai pada
tingkat yang terbatas. Adapun tingkatan ketiga adalah jiwa para nabi.
Para nabi adalah individu-individu yang di dalam diri mereka telah
ditanamkan Tuhan suatu kemampuan alamiah untuk mampu mele-
paskan dimensi kemanusiaannya. Suatu kapasitas yang tentu saja
khusus hanya dimiliki mereka dan yang tidak didistribusikan secara
universal untuk bisa mengubah semua kemanusiaan dan spiritualitas
manusia menjadi tingkat tertinggi kemalaikatan, sehingga mereka bisa
mempelajari semua hal di sana tanpa bantuan organ tubuh fisik.
Kemudian mereka membawa kembali apa yang telah mereka pelajari
itu ke tingkat kemampuan pemahaman manusia, karena dengan begitu
pengetahuan itu bisa diajarkan kepada manusia. Peristiwa inilah yang
kemudian disebut dengan “nubuwwah” (kenabian).
Dengan demikian, karena wahyu diperoleh dengan jalan mele-
paskan diri dari pengaruh-pengaruh dan dari tuntutan-tuntutan fisik
yang memungkinkannya untuk memusatkan perhatian dan meng-
adakan komunikasi dengan kelompok spiritual tertinggi (yakni
malaikat) sehingga bisa memahami bagaimana mendefinisikan hal-
hal dan tindakan-tindakan yang mengarahkan kepada kebahagiaan
dunia akhirat, maka kebenaran yang dibawanya adalah kebenaran
dari Tuhan yang terjaga keotentikannya dan harus dijadikan pedoman
manusia (diimani). Oleh karena para nabi adalah orang-orang penerima
wahyu, maka secara otomatis mereka adalah maksum. Dari sini, jelas
bahwa Ibnu Khaldun mengakui adanya eksklusivitas dan ketinggian
otoritas nabi.

ISSN 1411-5875 129


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

ENDNOTES
1
Dikatakan sejak Nabi Nu>h} as. karena, sekalipun pada masa sebelumnya
telah ada nabi, tetapi belum ada kitab dan syari’at. Tugas para nabi waktu itu
masih sebatas menyeru manusia kepada Allah belum memberikan undang-undang
pada masyarakat. Lihat, Murtadha Muthahhari, KenabianTerakhir, terj.
Muhammad Jawad Bafaqih (Jakarta: Lentera Basritama, 1991), hlm. 70.
2
Lihat QS. 4: 163-164.
3
Wahyu menurut Muh}amad Abdu>h adalah mas}dar (kata dasar) dari kata
wah}a/> auh}a> yang berarti berita, baik berita itu disampaikan secara tertulis atau
lisan. Yaitu segala berita dari seseorang kepada orang lain agar diketahui. Dan
kata itu selanjutnya dipakai pada segala berita yang disampaikan Allah SWT
kepada nabi-Nya. Kemudian Abdu>h mendefinisikan sebagai berikut yaitu
pengetahuan yang didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan penuh
keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah SWT, baik melalui perantara
maupun tidak. Lihat, Muhammad Abduh, RisalahTauhid, ter. Ahmad Firdaus
A.N. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 144.
4
Abu> Ja’far bin Jari>r al-T}abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, juz V
(Beiru>t: Da>r al-Ma’a>rif, t.thlm.), hlm. 20.
5
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1982),
hlm. 101.
6
Nas}r H}ami>d Abu> Zaid berpendapat bahwa pemberian informasi (pesan) ini
berjalan secara samar dan tersembunyi dan hanya dipahami oleh kedua belah
pihak yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut (pengirim dan penerima).
Nas}r H}ami>d Abu> Zaid, Tekstualitas al-Qur’an, terj. KhoironNahdliyyin
(Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 34.
7
“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun andai Allah berbicara dengannya
kecuali dengan wahyu atau di balik tabir atau mengirim seorang utusan lalu
mewahyukan dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi dan Bijaksana. Dan, demkian pula Kami wahyukan kepadamu roh dengan
perintah Kami. Kamu tidaklah mengetahui apa itu al-Kitab, dan pula iman,
tetapi Kami telah menjadikannya sebagai cahaya yang dengannya Kami menerangi
hamba-hamba yang Kami kehendaki.” QS. al-Muzammil (73): 5.
8
Lihat, QS. al-Baqarah (2): 213.
9
Senada dengan ini, namun relatif lebih tegas Nur Khalik Ridwan menaf-
sirkan bahwa kenabian dengan apa yang dibawanya (wahyu/agama) muncul
sebagai solusi terhadap adanya krisis sosial. Nabi, karenanya, adalah seorang
guru moral yang akibat kegelisahannya terhadap krisis sosial tersebut ia berusaha
menafsirkan realitas yang ada dengan mendialogkannya dengan ujaran-ujaran
ilahi yang kemudian dikenal dengan wahyu (sehingga melahirkan sebuah agama)
untuk membebaskan manusia dari ketimpangan dan penindasan yang terjadi,
Nur Khalik Ridwan, Detik-Detik Pembongkaran Agama (Yogyakarta: Ar-Ruzz,
2003), hlm. 56.

130 JPA, Vol. 15, No. 1, Januari - Juni 2014


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

10
Murtadha Muthahhari, Kenabian terakhir, hlm. 68.
11
Fazlurrahman, Kenabian di Dalam Islam, hlm. 92.
12
Salah satu tanda fisik yang dialami oleh nabi adalah terdengarnya suara
gemerincing lonceng (silsilat al-jaras) dan ini merupakan yang terberat bagi
nabi agar nabi bersiap-siap menerima pesan Tuhan. Jala>l al-H}aq, “Epistemologi
Kenabian dalam Islam”, dalam al-Huda, vol. III, No. 9, hlm. 37.
13
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. AhmadieThoha (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000), hlm. 114.
14
Fazlurrahman, Kenabian Di Dalam Islam, terj. RahmaniAstuti, hlm. 104.
15
Jalal al-Haq, “Epistemologi Kenabian dalam Islam”, dalam al-Huda, vol.
III, No. 9, hlm. 40.
16
Ibid.
17
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Rahmani Astuti, hlm. 116.
18
Ibid., hlm. 118.
19
Mereka ini dikaruniai kelebihan untuk bisa melihat makhluk yang ada di
langit dan juga kemampuan untuk bisa mendengarkan bicaranya roh dan kalimat
suci. Ibid., hlm. 119.
20
Kesempurnaan ini tidak dapatdicapai oleh siapa pun, baik dengan usaha
maupun kemahiran apapun. Fazlurrahman, Kenabian di Dalam Islam, terj.
Rahmani Astuti, hlm. 105.
21
Lihat, QS. al-Qiyamat (75): 16-18.
22
Melalui simbol Nabi menerima makna yang kemudian diformulasikannya
untuk disampaikan. Dalam situasi ini, komunikasi mengandalkan indera
pendengaran. Atas dasar ini pula, model komunikasi seperti ini mendekati
“ilham”, namun ilham yang menuntut konsentrasi tinggi dan melelahkan. Nasr
Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin, hlm. 56.
23
Di samping itu, Ibnu Khaldun juga mengaitkan pembedaan tersebut dengan
dua teks keagamaan. Situasi pertama merupakan situasi pewahyuan sunah dan
situasi kedua merupakan pewahyuan al-Qur’an. Pada kesempatan lain, ia
menggunakan konsepsi ini untuk membedakan antara makki dan madani. Satu
lagi, yang juga menjadi perdebatan ulama adalah pernyataannya tentang
pembedaan tersebut yang dijadikan dasar bahwa situasi pertama merupakan
kondisi kenabian (non-rasul), sementara situasi kedua merupakan kondisi Nabi-
Rasul.
24
Seorang nabi adalah nabi sejak lahir, ia menjadi nabi bukan karena
pilihannya dan bukan pula karena upaya yang dilakukannya. Tetapi, ia menjadi
nabi karena itulah takdirnya.
25
Seorang nabi adalah seseorang, yang berkat kehidupannya mutlak tidak
tercemar dosa, kebal dari segala macam kerusakan jiwa, dan fakta ini me-
nempatkan dirinya pada posisi yang istimewa dengan hak turut memahami
sebagian pengetahuan Tuhan.

ISSN 1411-5875 131


Munawir: Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW)

DAFTAR PUST
DAFTAR AKA
PUSTAKA
Abduh, Muhammad. 1979. Risalah Tauhid, ter. Ahmad Firdaus A.N. Jakarta:
Bulan Bintang.
Abu Zaid, Nasr Hamid. 2001. Tekstualitas al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin.
Yogyakarta: LKIS.
Al-Haq, Jalal, “Epistemologi Kenabian dalam Islam”, dalam al-Huda, vol.
III, No. 9.
Al-Shabuni, Ali. 1993. Kenabian Para Nabi, ter. Arifin Jami’am Ma’un.
Surabaya: Bina Ilmu.
Al-Tabari, Abu Ja’far bin Jarir. TT. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz V.
Beirut: Dar al-Ma’arif.
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Khaldun, Ibnu. 2000. Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Muhajir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Raka
Press.
Mustafa, A. 1971. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Muthahhari, Murtadha. 1991. Kenabian Terakhir, terj. Muhammad Jawad
Bafaqih. Jakarta: Lentera Basritama.
Nasution, Harun. 1982. Akal dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press.
Rahman, Fazlur. 1983. Tema pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin. Bandung:
Pustaka.
_______________. 2003. Kenabian di Dalam Islam, terj. Rahmani Astuti,
Bandung: Mizan.
Ridwan, Nur Khalik. 2003. Detik-Detik Pembongkaran Agama. Yogyakarta:
Ar-Ruzz.

132 JPA, Vol. 15, No. 1, Januari - Juni 2014

Anda mungkin juga menyukai