KONSEP KENABIAN
MENURUT IBNU KHALDUN
(Telaah Korelasi Kemaksuman dan Kemanusiaan
Nabi Muhammad SAW)
Munawir *)
Abstract: The results of this study found that Ibn Khaldun divides the soul into
three tiers. The first level is the common man, the soul remains bound by mere
physical experience of body organs. The second level, the soul seekers of God, the
soul can rise above physical attachment to a limited degree. The third level is the
soul of the prophet. The prophets are individuals within them God has provided a
natural ability to be able to release its humanitarian dimension. This capacity could
change all of humanity and human spirituality into the highest level of angelic, so
that they can learn all things there without the help of a physical body organs. Then
they bring back what they have learned it to the level of ability of human understanding,
because then that knowledge can be taught to humans. These events were later
called "nubuwwah" (prophetic).
Keywords: Prophethood, Ibnu Khaldun, Infallibility, and Humanity.
*)
Penulis adalah Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto.
A . LATAR BELAKANG
LAT
Nabi Muhammad SAW adalah seorang rasul yang tidak berbeda
dengan para nabi dan rasul sebelumnya. Ia bukan nabi pertama yang
berbicara kepada manusia atas nama kalam Allah SWT. Sejak Nu>h}
a.s.,1 muncul pribadi-pribadi pilihan Allah SWT yang semuanya ber-
bicara atas nama Allah SWT.2 Wahyu3 yang mendukung dan mem-
perteguh kenabian mereka tidak berbeda dengan kerasulan Muhammad
SAW. Semuanya serupa karena sumber dan tujuannya satu.4 Oleh
karenanya, Islam disebut sebagai agama wahyu (revelasi). Dalam hal
ini, teks wahyu tetap mutlak dianggap benar.5
Berbicara mengenai wahyu, hampir semua umat Islam sepakat
bahwa sifat wahyu adalah sesuatu yang tidak diperoleh melainkan
merupakan sesuatu yang terberi. Akan tetapi, mereka berselisih dalam
interpretasi tentangnya. Perselisihan tersebut dapat dikelompokkan
ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok internalis dan eksternalis.
Kelompok pertama dipelopori oleh para filsuf, mistikus, dan teolog
yang berorientasi filosofis, mereka memahami bahwa sumber wahyu
itu ada dalam diri manusia bukan dari luar dirinya, karenanya ia meru-
pakan sesuatu yang dimiliki oleh setiap manusia, hanya saja dengan
derajat yang berbeda-beda. Internalisasi dan universalisasi inilah yang
menyebabkan konsep kenabian (wahyu) ini melepaskan diri dari ke-
seluruhan institusi kenabian yang begitu esensial, seperti kemaksuman,
eksklusivitas, maupun kebesaran otoritatifnya.
Adapun kelompok kedua dipelopori oleh kaum literalis dan
tradisionalis (ortodoks), mereka berpendapat bahwa kenabian (wahyu)
adalah suatu kejadian yang disebabkan oleh sebab eksternal, di mana
nabi berpartisipasi tanpa disengaja dan secara pasif. Adapun sebagai
jembatan dari perselisihan kedua kelompok di atas, muncullah
kelompok ketiga yang salah satu pelopornya adalah Ibnu Khaldun.
Dengan penjelasan wahyu dalam term-term evolusioner, ia berusaha
mendamaikan pernyataan-pernyataan ortodoks dan rasionalis, serta
untuk merasionalkan supernaturalisme dari kalam ortodoks.
dalam kajian ontologi bahwa segala yang ada di alam ini adalah wujud
relatif dari wujud yang hakiki. Hal ini berarti keberadaan semua
makhluk adalah kehendak dari sebab yang tidak berpenyebab yaitu
Tuhan YME.
Dengan demikian, diciptakannya makhluk oleh Tuhan tentu tidak-
lah nihil dari tujuan, karena mustahil Tuhan menciptakan segala sesuatu
itu sia-sia. Kalau memang Tuhan mempunyai tujuan, untuk kepen-
tingan (bermuara kepada) siapakah tujuan itu? Apakah untuk Tuhan
sendiri ataukah untuk makhluk? Tuhan adalah Maha Kuasa atas
segalanya. Dan kemahakuasaan-Nya adalah mutlak. Terlepas apakah
semua makhluk mengingkari atau mempercayainya, Tuhan tetap Maha
Kuasa. Tidak peduli apakah semua makhluk membela atau membenci-
Nya, Tuhan tetap Maha Tinggi dan tidak akan turun derajat-Nya.
Karenanya, jika ada orang ramai-ramai mengacungkan pedang,
meledakkan bom untuk membela Tuhan, barangkali Tuhan akan
berkata (dengan nada sinis): “Yang perlu kamu bela bukan Aku, tetapi
dirimu sendiri. Aku tidak butuh pembelaanmu.”
Dari sini jelas, bahwa tujuan tersebut tidak bermuara kepada
Tuhan, karena ini meniscayakan Tuhan butuh terhadap sesuatu. Dan
butuhnya Tuhan terhadap sesuatu adalah mustahil bagi-Nya. Tujuan
tersebut adalah bermuara kepada makhluk itu sendiri, yaitu untuk
kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sampai di sini,
belumlah cukup penjelasan mengenai filosofi adanya kenabian. Masih
ada permasalahan yang muncul yaitu; jika tujuan penciptaan makhluk
itu bermuara kepada manusia, yaitu untuk kebaikan dan kebahagiaan,
lalu siapa yang paling tahu tentang bentuk kebaikan dan kebahagiaan
apa yang bermuara kepada makhluk itu?
Ada dua alternatif jawaban yang keduanya akan dianalisis satu
persatu untuk menuju penjelasan yang komprehensif. Kedua alternatif
tersebut adalah makhluk itu sendiri ataukah Tuhan. Apabila makhluk
bisa mengetahui dengan sendirinya, lewat potensi internal (malakah)
yang dimilikinya, maka kenabian akan menjadi sia-sia. Karena setiap
makhluk adalah nabi. Kenabian dalam realitasnya akan menjadi
sesuatu yang wajar. Tidak ada bedanya antara nabi yang pada dirinya
terdapat kenabian dengan lainnya, karena masing-masing bisa sampai
kepada pengetahuan tentang kebaikan dan kebahagiaan. Sementara,
apa bahwa nabi adalah orang yang “terpilih”? Inilah hal fundamental
yang mendasari kaum ortodoks menolak konsep kenabian kaum
filosofis.
Kaum ortodoks berpendapat bahwa kenabian (wahyu) adalah
suatu kejadian yang disebabkan oleh sebab eksternal, di mana nabi
berpartisipasi tanpa disengaja dan secara pasif. Karenanya, kenabian
dipahami sebagai kemurahan dan karunia Ilahi yang tidak dapat
diperoleh melalui usaha. Konsepsi ini berusaha memposisikan para
nabi sebagai golongan istimewa yang melebihi manusia biasa. Para
nabi memiliki akal penuntun dan tuntunan yang berada di atas semua
inteligensi (normal), mengatur dan memerintah melalui keunggulan
Ilahi.11
Golongan ini mempertegas keistimewaan para nabi sebagai orang-
orang terpilih yang merupakan kebalikan dari golongan sebelumnya.
Lebih jauh, argumentasi kelompok eksternalis mengenai “keterpilihan”
seorang nabi sekaligus kritikan mereka terhadap kelompok internalis
adalah mengenai “periodesasi” wahyu. Berdasarkan alur pemikiran
eksternalis, bahwa jika kemampuan untuk “mengungkapkan” itu telah
menjadi sifat yang sudah ada pada diri nabi, maka secara permanen,
dalam peristiwa dan kondisi apa pun sepanjang kehidupannya, apa
yang diutarakan (diungkapkan) nabi haruslah dianggap memiliki status
wahyu. Sementara tidak demikian menurut keyakinan eksternalis.
Wahyu datang kepada nabi tidaklah secara general, namun menurut
kebutuhan dan bersifat periodik. Seringkali nabi menerima wahyu
secara tidak disangka-sangka atau dalam peristiwa tertentu. Seperti
ketika sahabat mengajukan pertanyaan yang ia tidak ketahui jawa-
bannya atau pada suatu peristiwa kritis, lantas petunjuk Tuhan datang
untuk membebaskannya dari kebingungan tersebut. Adanya “periodi-
sasi” di samping juga tanda-tanda fisik yang mendahului turunnya
wahyu12 inilah yang meneguhkan penolakan golongan eksternalis
sekaligus kritikan mereka terhadap kaum internalis agar mempertim-
bangkan lagi sebelum memantapkan doktrin kenabian mereka.
Namun, konsepsi internalis ini juga tidak bisa dieksplorasi lebih
jauh lagi ketika dihadapkan pada peran malaikat. Malaikat sebagai
aktor ketiga dalam proses penurunan wahyu dari Tuhan kepada nabi
tidak melulu terjadi secara supranatural tetapi kadang-kadang juga
tanah meningkat ke air, dari air ke udara, dan dari udara ke api.
Tingkatan selanjutnya yang lebih tinggi dari api adalah wilayah alam,
yang berlainan dengan elemen-elemen terdahulu, yaitu tidak terlihat,
namun keberadaannya bisa kita ketahui dari fakta adanya tindakan
dan gerakan dari elemen tersebut15. (Sebagaimana roh dan tubuh. Roh
manusia tidaklah dapat dilihat, tetapi bekas-bekasnya bisa dilihat pada
tubuh. Tubuh dan bagian-bagian lainnya, baik satu persatu atau selu-
ruhnya, adalah laksana mesin yang digerakkan oleh roh). Selain itu
(dunia elemen-elemen), ada pula “dunia penciptaan” yang bila diamati
terdapat keteraturan-keselarasan-tendensi yang sama untuk bergerak
dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Benda-
benda mati tumbuh menjadi tanaman, kemudian berkembang menjadi
binatang, dan binatang pada gilirannya mempersiapkan landasan
untuk munculnya manusia.16 Dari sini jelas, bahwa tiap elemen
berhubungan dengan elemen lainnya dan masing-masing elemen siap
mengubah dirinya sendiri menjadi sesuatu yang langsung berada di
atasnya atau di bawahnya.
Sebagaimana konsep evolusionistik dari alam, demikian pula
dengan jiwa manusia. Analisis Ibnu Khaldun mengungkapkan bahwa
jiwa itu bersentuhan dengan dengan dua susunan makhluk, satu lagi
di bawah dan satunya lagi di atas (jasadiyah dan spiritual). Dari bawah
jiwa itu berhubungan dengan tubuh kasar, yang darinya ia men-
dapatkan kekuatan rasa pancainderanya, sehingga memungkinkannya
untuk mencapai kesanggupan berpikir. Adapun dari atas, jiwa itu
berhubungan dengan dunia malaikat, yang darinya ia mendapatkan
kekuatan untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan ilmiah (al-
ghaibiyah) yang tidak bisa dicapai melalui kekuatan pancaindera.17
Analisis ini meniscayakan bahwa (beberapa jiwa manusia) memiliki
kapasitas yang disempurnakan untuk melompat keluar (insilakh/inqila’)
dari sifat kemanusiaannya menuju sifat kemalaikatan dan benar-benar
menjadi golongan malaikat pada suatu waktu setelah jiwa itu sampai
kepada sifat spiritual (ego rohaninya) yang sempurna.
Ibnu Khaldun kemudian menggambarkan tiga jenis jiwa manusia.
Golongan pertama ialah jiwa yang tidak sanggup menurut kodratnya
sendiri untuk sampai kepada pemahaman spiritual. Jiwa yang, dalam
fungsi-fungsi kognitifnya, sepenuhnya tergantung kepada fungsi-
E . KESIMPULAN
Berdasarkan semua paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
Ibnu Khaldun membagi jiwa ke dalam tiga tingkatan. Tingkatan per-
tama dimiliki oleh manusia biasa, jiwa yang tetap terikat dengan
pengalaman organ tubuh fisiknya belaka. Tingkatan kedua, jiwa para
pencari Tuhan, jiwa ini bisa naik di atas keterikatan fisik sampai pada
tingkat yang terbatas. Adapun tingkatan ketiga adalah jiwa para nabi.
Para nabi adalah individu-individu yang di dalam diri mereka telah
ditanamkan Tuhan suatu kemampuan alamiah untuk mampu mele-
paskan dimensi kemanusiaannya. Suatu kapasitas yang tentu saja
khusus hanya dimiliki mereka dan yang tidak didistribusikan secara
universal untuk bisa mengubah semua kemanusiaan dan spiritualitas
manusia menjadi tingkat tertinggi kemalaikatan, sehingga mereka bisa
mempelajari semua hal di sana tanpa bantuan organ tubuh fisik.
Kemudian mereka membawa kembali apa yang telah mereka pelajari
itu ke tingkat kemampuan pemahaman manusia, karena dengan begitu
pengetahuan itu bisa diajarkan kepada manusia. Peristiwa inilah yang
kemudian disebut dengan “nubuwwah” (kenabian).
Dengan demikian, karena wahyu diperoleh dengan jalan mele-
paskan diri dari pengaruh-pengaruh dan dari tuntutan-tuntutan fisik
yang memungkinkannya untuk memusatkan perhatian dan meng-
adakan komunikasi dengan kelompok spiritual tertinggi (yakni
malaikat) sehingga bisa memahami bagaimana mendefinisikan hal-
hal dan tindakan-tindakan yang mengarahkan kepada kebahagiaan
dunia akhirat, maka kebenaran yang dibawanya adalah kebenaran
dari Tuhan yang terjaga keotentikannya dan harus dijadikan pedoman
manusia (diimani). Oleh karena para nabi adalah orang-orang penerima
wahyu, maka secara otomatis mereka adalah maksum. Dari sini, jelas
bahwa Ibnu Khaldun mengakui adanya eksklusivitas dan ketinggian
otoritas nabi.
ENDNOTES
1
Dikatakan sejak Nabi Nu>h} as. karena, sekalipun pada masa sebelumnya
telah ada nabi, tetapi belum ada kitab dan syari’at. Tugas para nabi waktu itu
masih sebatas menyeru manusia kepada Allah belum memberikan undang-undang
pada masyarakat. Lihat, Murtadha Muthahhari, KenabianTerakhir, terj.
Muhammad Jawad Bafaqih (Jakarta: Lentera Basritama, 1991), hlm. 70.
2
Lihat QS. 4: 163-164.
3
Wahyu menurut Muh}amad Abdu>h adalah mas}dar (kata dasar) dari kata
wah}a/> auh}a> yang berarti berita, baik berita itu disampaikan secara tertulis atau
lisan. Yaitu segala berita dari seseorang kepada orang lain agar diketahui. Dan
kata itu selanjutnya dipakai pada segala berita yang disampaikan Allah SWT
kepada nabi-Nya. Kemudian Abdu>h mendefinisikan sebagai berikut yaitu
pengetahuan yang didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan penuh
keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah SWT, baik melalui perantara
maupun tidak. Lihat, Muhammad Abduh, RisalahTauhid, ter. Ahmad Firdaus
A.N. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 144.
4
Abu> Ja’far bin Jari>r al-T}abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, juz V
(Beiru>t: Da>r al-Ma’a>rif, t.thlm.), hlm. 20.
5
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1982),
hlm. 101.
6
Nas}r H}ami>d Abu> Zaid berpendapat bahwa pemberian informasi (pesan) ini
berjalan secara samar dan tersembunyi dan hanya dipahami oleh kedua belah
pihak yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut (pengirim dan penerima).
Nas}r H}ami>d Abu> Zaid, Tekstualitas al-Qur’an, terj. KhoironNahdliyyin
(Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 34.
7
“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun andai Allah berbicara dengannya
kecuali dengan wahyu atau di balik tabir atau mengirim seorang utusan lalu
mewahyukan dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi dan Bijaksana. Dan, demkian pula Kami wahyukan kepadamu roh dengan
perintah Kami. Kamu tidaklah mengetahui apa itu al-Kitab, dan pula iman,
tetapi Kami telah menjadikannya sebagai cahaya yang dengannya Kami menerangi
hamba-hamba yang Kami kehendaki.” QS. al-Muzammil (73): 5.
8
Lihat, QS. al-Baqarah (2): 213.
9
Senada dengan ini, namun relatif lebih tegas Nur Khalik Ridwan menaf-
sirkan bahwa kenabian dengan apa yang dibawanya (wahyu/agama) muncul
sebagai solusi terhadap adanya krisis sosial. Nabi, karenanya, adalah seorang
guru moral yang akibat kegelisahannya terhadap krisis sosial tersebut ia berusaha
menafsirkan realitas yang ada dengan mendialogkannya dengan ujaran-ujaran
ilahi yang kemudian dikenal dengan wahyu (sehingga melahirkan sebuah agama)
untuk membebaskan manusia dari ketimpangan dan penindasan yang terjadi,
Nur Khalik Ridwan, Detik-Detik Pembongkaran Agama (Yogyakarta: Ar-Ruzz,
2003), hlm. 56.
10
Murtadha Muthahhari, Kenabian terakhir, hlm. 68.
11
Fazlurrahman, Kenabian di Dalam Islam, hlm. 92.
12
Salah satu tanda fisik yang dialami oleh nabi adalah terdengarnya suara
gemerincing lonceng (silsilat al-jaras) dan ini merupakan yang terberat bagi
nabi agar nabi bersiap-siap menerima pesan Tuhan. Jala>l al-H}aq, “Epistemologi
Kenabian dalam Islam”, dalam al-Huda, vol. III, No. 9, hlm. 37.
13
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. AhmadieThoha (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000), hlm. 114.
14
Fazlurrahman, Kenabian Di Dalam Islam, terj. RahmaniAstuti, hlm. 104.
15
Jalal al-Haq, “Epistemologi Kenabian dalam Islam”, dalam al-Huda, vol.
III, No. 9, hlm. 40.
16
Ibid.
17
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Rahmani Astuti, hlm. 116.
18
Ibid., hlm. 118.
19
Mereka ini dikaruniai kelebihan untuk bisa melihat makhluk yang ada di
langit dan juga kemampuan untuk bisa mendengarkan bicaranya roh dan kalimat
suci. Ibid., hlm. 119.
20
Kesempurnaan ini tidak dapatdicapai oleh siapa pun, baik dengan usaha
maupun kemahiran apapun. Fazlurrahman, Kenabian di Dalam Islam, terj.
Rahmani Astuti, hlm. 105.
21
Lihat, QS. al-Qiyamat (75): 16-18.
22
Melalui simbol Nabi menerima makna yang kemudian diformulasikannya
untuk disampaikan. Dalam situasi ini, komunikasi mengandalkan indera
pendengaran. Atas dasar ini pula, model komunikasi seperti ini mendekati
“ilham”, namun ilham yang menuntut konsentrasi tinggi dan melelahkan. Nasr
Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin, hlm. 56.
23
Di samping itu, Ibnu Khaldun juga mengaitkan pembedaan tersebut dengan
dua teks keagamaan. Situasi pertama merupakan situasi pewahyuan sunah dan
situasi kedua merupakan pewahyuan al-Qur’an. Pada kesempatan lain, ia
menggunakan konsepsi ini untuk membedakan antara makki dan madani. Satu
lagi, yang juga menjadi perdebatan ulama adalah pernyataannya tentang
pembedaan tersebut yang dijadikan dasar bahwa situasi pertama merupakan
kondisi kenabian (non-rasul), sementara situasi kedua merupakan kondisi Nabi-
Rasul.
24
Seorang nabi adalah nabi sejak lahir, ia menjadi nabi bukan karena
pilihannya dan bukan pula karena upaya yang dilakukannya. Tetapi, ia menjadi
nabi karena itulah takdirnya.
25
Seorang nabi adalah seseorang, yang berkat kehidupannya mutlak tidak
tercemar dosa, kebal dari segala macam kerusakan jiwa, dan fakta ini me-
nempatkan dirinya pada posisi yang istimewa dengan hak turut memahami
sebagian pengetahuan Tuhan.
DAFTAR PUST
DAFTAR AKA
PUSTAKA
Abduh, Muhammad. 1979. Risalah Tauhid, ter. Ahmad Firdaus A.N. Jakarta:
Bulan Bintang.
Abu Zaid, Nasr Hamid. 2001. Tekstualitas al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin.
Yogyakarta: LKIS.
Al-Haq, Jalal, “Epistemologi Kenabian dalam Islam”, dalam al-Huda, vol.
III, No. 9.
Al-Shabuni, Ali. 1993. Kenabian Para Nabi, ter. Arifin Jami’am Ma’un.
Surabaya: Bina Ilmu.
Al-Tabari, Abu Ja’far bin Jarir. TT. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz V.
Beirut: Dar al-Ma’arif.
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Khaldun, Ibnu. 2000. Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Muhajir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Raka
Press.
Mustafa, A. 1971. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Muthahhari, Murtadha. 1991. Kenabian Terakhir, terj. Muhammad Jawad
Bafaqih. Jakarta: Lentera Basritama.
Nasution, Harun. 1982. Akal dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press.
Rahman, Fazlur. 1983. Tema pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin. Bandung:
Pustaka.
_______________. 2003. Kenabian di Dalam Islam, terj. Rahmani Astuti,
Bandung: Mizan.
Ridwan, Nur Khalik. 2003. Detik-Detik Pembongkaran Agama. Yogyakarta:
Ar-Ruzz.