Anda di halaman 1dari 5

67 Permasalahan estetika Indonesia

Pada pertengahan abad ke-19 mulai masuklah nilai-nilai hidup masyarakat Barat modern dalam
tubuh pendidikan formal bergaya Belanda di Indonesia. Nilai-nilai hidup modern ini merupakan
hasil dari sikap manusia yang selalu menjaga jarak dan mencoba melihat secara objektif semua
yang ada diluar kesadarannya atau dirinya. Inilah yang oleh van Peursen dinamai dengan budaya
ontologis. Meski cara berpikir ini berkembang dengan cukup pesat di Indonesia pun sebagian
besar masyarakat kita masih hidup dalam cara berpikir pramodern. Manusia Indonesia masih
mengikuti cara berpikir nenek moyangnya. Hal ini bisa dilihat dalam produk-produk seninya
yang masih mewarisi bentuk seni pra-modern. Produk seni dengan budaya mitisnya.
Cara berpikir budaya mitis berbeda dengan cara berpikir modern yang ontologis. Pada budaya
mitis, manusia justru bersikap menyatu dengan alam diluar dirinya. Hidup ini merupakan
kesatuan mahabesar, antara manusia dengan masyarakat, antara manusia dengan alam, antara
manusia dengan dunia roh yang gaib, antara manusia dengan seluruh tata kosmos semesta ini.
Manusia harus menyatukan dirinya dengan kosmos untuk menemukan jati dirinya.
Personifikasi terhadap alam, di dalam dunia masyarakat sederhana kita, adalah gejala budaya
mitis yang nyata. Logika budaya mitis berbeda dengan logika budaya ontologis. Logika mitos
dan dongeng rakyat berbeda dengan logika novel modern. Dalam logika mitis semuanya
omnipoten, serba mungkin.
Cara berpikir demikianlah yang melahirkan karya seni yang kita warisi hingga sekarang ini.
Karya seni ini tidak dapat dipahami dengan pendekatan ontologis. Dunia mitis memiliki
estetikanya sendiri yang berbeda dengan estetika dunia ontologis. Pertunjukan seni pantun di
tanah sunda misalnya bukan sekedar pertunjukan seni para penuturnya, melainkan peristiwa
kesatuan kosmis secara religius. Demikian juga halnya dengan pertunjukan wayang kulit, dll.
Itu semua menunjukkan adanya sisa-sisa bentuk dan struktur kesenian sebuah karya yang lampau
yang masih kuat budaya mitisnya. Namun berbagai karya seni, terutama pertunjukannya telah
mengalami berbagai perubahan bentuk dan fungsi, dari mitis ke ontologis, yakni sekedar kesenia
belaka, sekedar estetika belaka tanpa kaitan dengan religius sama sekali. Tetapi karya seni lain,
seperti seni rupa, seni arsitektur, seni satra tertulis, seni musik, relatif masih utuh seperti yang
diciptakan nenek moyang kita pada masa mitis.
Permasalahannya sekarang bagaimana kita bisa memahami (secara ontologis) dunia pemikiran
purba itu dalam sekian banyak warisan seni tradisional kita. Akan cukup sulit karena masyarakat
yang sudah begitu heterogen. Masyarakat yang sudah campur aduk secara sosial dan budaya dan
mengalami akulturasi dengan aneka budaya luar, termasuk estetikanya. Masalahnya, bagaimana
kita dapat memasuki pengalaman estetik seni tradisional kita secara tepat seperti dimaksudkan
dalam estetika purba tersebut.
68 Dasar religius estetika mitis

Konsep budaya mitis adalah kesatuan mikrokosmos dengan makrokosmos, kesatuan yang
imanen dengan yang transenden, kesatuan dunia manusia dengan dunia roh dan dewa. Konsep
kesatuan kosmos ini hanya dapat diperoleh lewat sistem kepercayaan; dalam hal ini dapat
dikatakan ‘agama asli’ Indonesia. Maka, sumber pengetahuan untuk dapat memahami estetika
seni budaya mitis adalah pengetahuan tentang kepercayaan ‘asli’ yang kini masih tersisa,
ditambah dengan perbandingan dan data tertulis di masa lampau.
Karena prinsip hidup manusia zaman mitis adalah hidup harmoni dengan kosmosnya, maka
pengetahuan tentang kosmologi kepercayaan mereka menjadi amat utama.kita tak dapat memberi
makna asli aneka lambang seni, bentuk seni, isi seni, pengalaman seni mereka, kalau kita tidak
memasuki alam pikiran penghasil karya seni tersebut.
Logika mitis adalah logika kesatuan kosmos. Dunia sana yang omnipoten ‘dikawinkan’ dengan
dunia sini yang impoten. ‘perkawinan’ itu pun hanya lewat laku seksual. Dan laku seksual itu
dilambangkan dengan persetubuhan antara unsur laki-laki dan perempuan. Kehidupan hanya
muncul dari laku seksual. Seks adalah bagian dari peristiwa kosmos.
Pengetahuan tentang sistem kepercayaan purba nenek moyang kita itu harus direkonstruksi
kembali sebagai suatu keutuhan, sehingga kita punya pegangan untuk memberi maknadalam
bentuk seni yang mereka hasilkan. Tanpa bekal ini, pemaknaan estetika benda seni tradisional
hanya berarti pemaknaan praktis masa sekarang. Padahal, benda seni tradisional sama sekali
bukan bebas nilai, melainkan diciptakan dengan maksud mengekspresikan nilai-nilai tertentu
yang bersifat budaya mitis. Tentu saja kita tidak bisa melarang seseorang memberikan makna
estetika Aristotelian terhadap benda seni wayang kulit. Namun, adilkah kita bersikap demikian?
Inilah yang dinamakan pemaksaan nilai. Ini wujud otoriter nilai secara sepihak. Benda seni
tradisional kita perlakukan sebagai objek tanpa jati diri, dan ingin kita manfaatkan demi
kepentingan nilai kita sendiri saja. Lalu, dimana etika seni kita?
Karena benda seni adalah produk sebuah budaya yang menjadi sistem nilai suatu masyarakat,
maka pemaknaan dan estetikanya harus berdasarkan konsep budaya masyarakat tersebut. Dan,
konsep budaya masyarakat mistis itu dasarnya adalah agama aslinya. Dengan mengetahui sistem
kepercayaannya, terbukalah sistem pemaknaan dari semua hasil budayanya, termasuk
keseniannya.
Kesenian bagi masyarakat semacam ini bukan sekadar kenyataan keindahan, bukan sekedar
persoalan estetika, tetapi terutama persoalan jalan keselaraasan dengan kosmos. Pengalaman
estetis sekaligus merupakan pengalaman religius. Target kesenian adalah mencapai pengalaman
religius ini. Pengalaman estetik adalah suatu ekstase dengan kosmos. Peleburan diri dalam seni
adalah peleburan diri dalam pengalaman mistik.
70 Memahami estetika mitis

Kesenian tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan yang menghasilkannya. Seni pada dasarnya
kontekstual, sebab seni adalah persoalan nilai, dan nilai selalu berhubungan dengan kenyataan
konkret. Dan, sesuatu yang konkret berada dalam waktu dan tempat tertentu. Dalam praktik
hidup kontekstual kita sekarang ini, campur-aduk antara nilai budaya mitis, ontologis, dan
fungsional masih terjadi. Kita belum sepenuhnya modern secara ontologis di segala sector
budaya. Pengaruh nilai lama tak mudah dihilangkan begitu saja.
Kalau kita percaya bahwa ‘bentuk’ mengikuti ‘fungsi’ dalam kebudayaan, maka bentuk kesenian
tradisional, yang sekarang masih hidup dalam konteks masyarakat sekarang ini, sebagian masih
berfungsi asal (mitis) dan sebagian lagi telah berubah fungsi, namun bentuknya tetap berstruktur
mitis. Maka, untuk memahami karya seni yang demikian itu, kita tidak dapat hanya melihat
benda seninya belaka dengan tafsiran nilai kontekstual kita sendiri, tetapi harus berusaha
menempatkan benda nilai tersebut dalam bentuk dan fungsinya sesuai dengan konteks sosio-
budayanya sendiri.
Dr. I. Kuntara Wiryamantana, dalam disertasinya, Arjunawiwaha, menjelaskan hubungan
mikro-, makro-, dan meta-kosmos dalam cara berpikir budaya mitis Indonesia kuno, sejak masa
prasejarah sampai budaya Hindu-Budha di Jawa. Manusia, sebagai mikrokosmos, memiliki
eksistensi lahiriah, jasmaniah, dan batiniah. Eksistensi lahiriahnya melambangkan kekacauan.
Eksistensi batiniahnya melambangkan keteraturan. Pandangan tentang makrokosmos
mendudukkan manusia hanya sebgai bagian dari semesta. Manusia harus menyadari tempat dan
kedudukannya dalam jagad raya ini. Pandangan tentang metakosmos menyebutkan bahwa ada
tiga dunia, yakni alam niskala (yang tak tampak, tak terindra), alam sakala niskala (yang terindra
tapi juga tak terindra), dan alam sakala (yang terindra). Manusia dapat bergerak ketiga alam
metakosmos tadi lewat sakala niskala. Kesatuan manusia dengan alam niskala dalam
metakosmos ini dapat melalui upacara bukan seni dan seni. Teater, tarian trance, serta tari topeng
dapat menjelaskan peristiwa ini.
Dalam seni hakikatnya adalah rasa, yakni suatu mood, suasana, nada, suatu pengalaman estetik
berupa emosi yang dibangkitkan secara indah oleh lingkungan dan situasi artistic. Jenis-jenis
rasa itu adalah asmara yang sepadan dengan emosi dasar cinta, komik yang sepadan dengan
humor, belas kasih yang sepadan dengan emosi dasar sedih, rasa ganas yang sepadan dengan
emosi marah, kepahlawanan yang sepadan dengan keteguhan, khawatir yang sepadan dengan
takut, rasa ngeri yang sepadan dengan emosi muak, rasa takjub yang sepadan dengan emosi
heran, dan rasa damai yang mengatasi kedelapan rasa diatas. Rasa bermula dari tataran
psikologis yang ditransformasikan ke dalam estetik yang nonindividual, universal, abadi. Rasa
universal inilah yang membawa kepuncak kebahagiaan tertinggi yang menjadikan pengalaman
estetik menjadi pengalaman religius. Rasa universal ini merupakan ungkapan makna esensial
dari berbgai kenyataan, seperti peristiwa, orang, keadaaan, benda, dll.
Begitulah masyarakat budaya mitis memandang hakikat seni. Pandangan yang rinci dan jelas
rumusannya tersebut tentu hanya terjadi di lingkungan pusat kebudayaan di Jawa, ketika telah
tumbuh lembaga kerajaan. sementara itu, Nusantara umumnya, pandangan estetik ini tentu tidak
terumuskan sejelas ini, namun pada hakikatnya sama dengan pandangan mitis di Jawa.
Sampai sekarang dikenal 4 pedoman pokok estetika, yakni anggraito, roso, wiromo, dan greget.
Atau kalau ditafsirkan dapat berarti mengenal benda seni secara tepat sehingga akan tercapai
keterampilan (tari/musik), kemudian diberi isi suasana atau mood, dan suasana itu diberi
struktur, irama, dan perwujudannya, dan akhirnya akan lahirlah seni yang terampil, tepat, penuh
ekspresi perasaan yang memberikan wibawa transcendental.

72 ESTETIKA GUNUNGAN WAYANG


Bentuk gunungan wayang terdiri dari bagian puncak, tengah, dan bagian paling bawah
yang disebut palemahan (tanah/bumi). Bagian puncak berbentuk runcing ke atas yang dimulai
dari bagian tengah yang disebut genukan (menyembul) dan lengkeh (ceruk).
Bagian terbawah dari gunungan adalah lambang dunia fana, inilah dunia manusia. Bagian
ini digambarkan secara datar dan amat tipis seperti tak terhiraukan dalam penggambarannya.
Tidak terdapat ragam hias apapun, kalaupun ada, amatlah sederhana, tidak serumit bagian
struktur yang lain. Dari sinilah manusia berangkat untuk memasuki pengalaman mistisnya.
Manusia yang ingin memasuki alam mistik dan menyatu dengan alam rohaninya
digambarkan melalui wujud dan strukturnya dalam gunungan. Ada kepercayaan bahwa selama
manusia masih hidup, roh manusia mamou memasuki alam roh yang berada di luar alam wadag
manusia. Gambaran tentang kemungkinan ini digambarkan dengan jelas lewat struktur gunungan
wayang. Gunungan wayang adalah pengalaman transedental manusia, lambang dari dunia mistis
manusia, dunia yang mengantarkan manusia memasuki alam di luar alam material.
Struktur kedua adalah genukan atau lengkeh, yaitu bagian menonjol dari wujud gunungan.
Inilah gambaran dunia tengah, yaitu dunia medium kerohanian. Struktur tengah ini diisi dengan
gambar bangunan rumah beratap dengan dua pintu tertutup. Atau juga dengan kolam persegi atau
kolam dan bangunan rumah. Bangunan rumah ini selalu dijaga oleh dua raksasa yang
mengingatkan juga pada arca dwarapala, penjaga pintu masuk candi-candi di Jawa yang
menandakan bahwa bangunan itu suci.Di kiri serta kanan bangunan digambarkan sayap-sayap
dua ekor burung garuda yang mendesak gunungan menyembul ke kiri dan kanan. Inilah lambang
penghubung antara dunia manusia dan dunia roh, burung garuda dijadikan kendaraan roh
manusia untuk memasuki dunia atas.
Dunia medium atau dunia perantara adalah dunia antara yang tampak dan tidak tampak,
dunia sementara dan dunia abadi roh. Setiap gunungan akan mengisi struktur di tengah dengan
gambaran-gambaran yang sesuai dengan konsep medium mistik masing-masing pencipta tau
perupanya yang juga harus mengacu pada konsep mistik yang beraneka ragam di Jawa.
Bagian teratas gunungan adalah bagian puncak yang dimulai dari batas sayap garuda
dengan puncaknya yang meruncing berupa kuncup bunga. Yang digambarkan dalam struktur ini
adalah pertama, batang pohon lurus ke atas dengan cabang-cabang yang dari bawah melebar dan
semakin atas semakin mengecil sesuai dengan meruncingnya bentuk puncak. Akarnya
digambarkan tepat di atas atap bangunan struktur dunia tengah. Inilah gambar poros kosmos
yang dikenal merata hamper seluruh umat manusia. Ini juga merupakan pohon penghubung
dunia manusia dengan dunia rohani atas. Pada bagian batang pohon, digambari dengan kepala
raksasa yang lidahnya menjulur keluar yang disebut Banaspati, ini melambangkan kesucian.
Struktur teratas adalah dunia sakral, inilah dunia rohani manusia. Bagian paling bawah pohon
digambari dengan dua ekor binatang, biasanya banteng dan macan yang menggambarkan unsur
antagonistik atau konflik dalam kosmos. Pada dahan berikutnya dari pohon digambarkan monyet
sebagai binatang dunia atas pepohonan. Di kanan dan kiri hanya ada sepasang monyet yang
bermakna harmoni rohani dalam tingkat ini telah lepas dari konflik. Dan pada dahan berikutnya
digambarkan burung-burung yang serupa, harmonis, tanpa konflik. Inilah tingkatan yang lebih
subtil, lebih tinggi daripada tinkgat kerohanian manusia. Dan pada puncaknya digambarkan
tunas bunga yang meruncing. Tunas bunga adalah awal serta akhir kehidupan. Mengapa
demikian? Karena pada tingkat ini manusia akan memasuki dunia baru yang abadi, awal roh
manusia memasuki dunia roh yang sesungguhnya, yang ada di luar puncak gunungan itu sendiri.
Disebut juga sebagai akhir kehidupan karena terdapat di bagian paling ujung gunungan. Manusia
mengakhiri hidup duniawinya pada puncak gunungan. Tunas bunga pada puncak gunungan
adalah lambang kematian ragawi manusia.
Gunungan kental kaitannya dengan ajaran Hindu-Budha meskipun banyak yang
menyebutkan bahwa munculnya pada zaman keislaman Demak. Gambar ular naga yang melilit
pohon pada struktur puncaknya erat berkaitan dengan tahap-tahap kerohanian Budha. Belitan
naga yang ritmis itu menggambarkan tangga-tangga halus juga lembut menuju puncak
pengalaman rohani. Denga demikian, gunungan wayang mengandung unsur primordial budaya.
Di zaman pra Hindu-Budha, gunung dan hutan adalah alam roh, alam dunia atas, alam dunia
yang mengatasi dunia empiris sehari-hari manusia. Pada zaman berkembangnya Hindu-Budha,
konsep dunia roh itu diisi oleh filsafat India tua. Di sini terjadi perubahan mendasar tentang
dunia atas, hubungan dengan dunia atas dilakukan demi kepentingan rohani manusia itu sendiri
bukan lagi sebagai tujuan menyelamatkan kepentinan sehari-hari manusia.

Anda mungkin juga menyukai