Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN JIWA
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN RESIKO PERILAKU
KEKERASAN (RPK)

Di Susun Oleh :

Maharany Ungkey 17061136

Semester VII

Program Ilmu Keperawatan


Fakultas Keperawatan
Univeristas Katolik De La Salle Manado
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN
1. DEFINISI
Banyak ahli mendefiniskan mengenai perilaku kekerasan diantaranya, menurut
Berkowitz (1993), perilaku kekerasan bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik
maupun psikologis. Citrome dan Volavka (2002, dalam Mohr, 2006) menjelaskan bahwa
perilaku kekerasan merupakan respon perilaku manusia untuk merusak sebagai bentuk
agresif fisik yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dan atau
sesuatu.Pendapat senada diungkapkan Stuart dan Laraia (2005),yang menyatakan bahwa
perilaku kekerasan merupakan hasil dari marah yang ekstrim atau ketakutan sebagai
respon terhadap perasaan terancam, baik berupa ancaman serangan fisik atau konsep diri.
Perasaan terancam ini dapat berasal dari lingkungan luar (penyerangan fisik, kehilangan
orang berarti dan kritikan dari orang lain) dan lingkungan dalam (perasaan gagal di
tempat kerja, perasaan tidak mendapatkan kasih sayang dan ketakutan penyakit fisik).
Menurut Keliat, (2011), perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Herdman (2012)
mengatakan bahwa risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku yang diperlihatkan
oleh individu. Bentuk ancaman bisa fisik, emosional atau seksual yang ditujukan kepada
orang lain.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan merupakan:
a. Respons emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang meningkat dan
dirasakan sebagai ancaman (diejek/dihina).
b. Ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan (kecewa,
keinginan tidak tercapai, tidak puas).
c. Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang
lain, dan lingkungan.
2. RENTANG RESPON
Marah yang dialami setiap individu memiliki rentang dimulai dari respon adaptif
sampai maladaftif. Sekarang marilah kita bersama-sama mempelajarinya untuk
mempermudah pemahaman Anda dibawah ini akan digambarkan rentang respon perilaku
kekerasan.
Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk

Keterangan :
 Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain.
 Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan karena tidak realistis/ terhambat.
 Pasif : Respon lanjutan dimana pasien tidak mampu mengungkapkan
perasaannya.
 Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol.
 Amuk : Perilaku destruktif dan tidak terkontrol.
3. TANDA GEJALA
Tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan didukung
dengan hasil observasi.
a. Data Subjektif:
1. Ungkapan berupa ancaman
2. Ungkapan kata-kata kasar
3. Ungkapan ingin memukul/ melukai
b. Data Objektif:
1. Wajah memerah dan tegang
2. Pandangan tajam
3. Mengatupkan rahang dengan kuat
4. Mengepalkan tangan
5. Bicara kasar
6. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
7. Mondar mandir
8. Melempar atau memukul benda/orang lain
4. POHON MASALAH

5. PENATALAKSANAAN
Tindakan keperawatan untuk mengatasi risiko perilaku kekerasan, dilakukan terhadap
pasien dan keluarga. Saat melakukan pelayanan di Puskesmas dan kunjungan rumah,
perawat menemui keluarga terlebih dahulu sebelum menemui pasien. Bersama keluarga,
perawat mengidentifikasi masalah yang dialami pasien dan keluarga. Setelah itu, perawat
menemui pasien untuk melakukan pengkajian, mengevaluasi dan melatih satu cara lagi
untuk mengatasi masalah yang dialami pasien. Jika pasien telah mendapatkan terapi
psikofarmaka (obat), maka hal pertama yang harus dilatih perawat adalah pentingnya
kepatuhan minum obat. Setelah perawat selesai melatih pasien, perawat menemui
keluarga untuk melatih cara merawat pasien. Selanjutnya perawat menyampaikan hasil
tindakan yang telah dilakukan terhadap pasien dan tugas yang perlu keluarga yaitu untuk
mengingatkan pasien melatih kemampuan mengatasi masalah yang telah diajarkan oleh
perawat.
Tindakan Keperawatan
1) Membina hubungan saling percaya
Tindakan yang harus dilakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya
adalah:
a) Ucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien.
b) Perkenalkan diri : nama, nama panggilan yang Perawat sukai, serta tanyakan
nama dan nama panggilan pasien yang disukai.
c) Tanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.
d) Buat kontrak asuhan : apa yang Perawat akan lakukan bersama pasien, berapa
lama akan dikerjakan dan tempatnya dimana.
e) Jelaskan bahwa Perawat akan merahasiakan informasi yang diperoleh untuk
kepentingan terapi.
f) Tunjukkan sikap empati.
g) Penuhi kebutuhan dasar pasien.
2) Diskusikan bersama pasien penyebab rasa marah/perilaku kekerasan saat ini dan
yang lalu.
3) Diskusikan tanda-tanda pada pasien jika terjadi perilaku kekerasan.
a) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
b) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis.
c) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara social.
d) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual.
e) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual.
4) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat marah
secara Verbal
a) Terhadap orang lain.
b) Terhadap diri sendiri.
c) Terhadap lingkungan.
5) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya
6) Latih pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
a) Patuh minum obat.
b) Fisik:tarik nafas dalam, pukul kasur dan batal.
c) Sosial/verbal: bicara yang baik: mengungkapkan, menolak dan meminta rasa
marahnya.
d) Spiritual: sholat/berdoa sesuai keyakinan pasien.
6. ASKEP TEORI
1. Pengkajian
Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada pasien dan
keluarga. Tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan dapat ditemukan dengan
wawancara melalui pertanyaan sebagai berikut:
a. Coba ceritakan ada kejadian apa/apa yang menyebabkan Anda marah?
b. Coba Anda ceritakan apa yang Anda rasakan ketika marah?
c. Perasaan apa yang Anda rasakan ketika marah?
d. Sikap atau perilaku atau tindakan apa yang dilakukan saat Anda marah?
e. Apa akibat dari cara marah yang Anda lakukan?
f. Apakah dengan cara yang digunakan penyebab marah Anda hilang?
g. Menurut Anda apakah ada cara lain untuk mengungkapkan kemarahan Anda.
Tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan yang dapat ditemukan melalui
observasi adalah sebagai berikut:
a. Wajah memerah dan tegang.
b. Pandangan tajam.
c. Mengatupkan rahang dengan kuat.
d. Mengepalkan tangan.
e. Bicara kasar.
f. Mondar mandir.
g. Nada suara tinggi, menjerit atau berteriak.
h. Melempar atau memukul benda/orang lain.
Data hasil observasi dan wawancara didokumentasikan pada status. Contoh
pendokumentasian hasil pengkajian pada Tn Z sebagai berikut:
Data :

Pasien mengatakan memukul ibunya dengan sapu,


menendang pintu., berbicara dengan nada tinggi dansuara keras dan
mengeluarkan kata-kata kotor. Tangan mengepal, mata melotot.,
mata merah, wajah tegang dan memerah, rahang terkatup kuat.
Pasien mengatakan marah karena ibunya tidak membelikan motor.
Setelah Anda mendapatkan data, selanjutnya kita membuat Analisa Data.
Berikut contoh analisa data pada perilaku kekerasan.
Tabel : Analisa data
N Masalah
Data
O Keperawatan
1. Data Objektif : Perilaku Kekerasan
 Suara keras.
 Tangan mengepal.
 Wajah memerah dan tegang.
 Pandangan tajam.
 Mengatupkan rahang dengan kuat .
 Mengepalkan tangan.
 Bicara kasar Nada suara tinggi.
Data Subjektif :
 Pasien mengatakan ia memukul ibunya dengan
sapu dan mengeluarkan kata kasar dan tidak
pantas karena tidak diberikan motor

2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian rumuskan diagnosis keperawatan
PERILAKU KEKERASAN

3. Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan untuk mengatasi risiko perilaku kekerasan, dilakukan
terhadap pasien dan keluarga. Saat melakukan pelayanan di Puskesmas dan
kunjungan rumah, perawat menemui keluarga terlebih dahulu sebelum menemui
pasien. Bersama keluarga, perawat mengidentifikasi masalah yang dialami pasien
dan keluarga. Setelah itu, perawat menemui pasien untuk melakukan pengkajian,
mengevaluasi dan melatih satu cara lagi untuk mengatasi masalah yang dialami
pasien.
Jika pasien telah mendapatkan terapi psikofarmaka (obat), maka hal pertama
yang harus dilatih perawat adalah pentingnya kepatuhan minum obat. Setelah
perawat selesai melatih pasien, perawat menemui keluarga untuk melatih cara
merawat pasien. Selanjutnya perawat menyampaikan hasil tindakan yang telah
dilakukan terhadap pasien dan tugas yang perlu keluarga yaitu untuk mengingatkan
pasien melatih kemampuan mengatasi masalah yang telah diajarkan oleh perawat.
a. Tindakan Keperawatan untuk Pasien Risiko Perilaku Kekerasan
Tujuan: Pasien mampu:
1) Membina hubungan saling percaya.
2) Menjelaskan penyebab marah.
3) Menjelaskan perasaan saat penyebab marah/perilaku kekerasan.
4) Menjelaskan perilaku yang dilakukan saat marah.
5) Menyebutkan cara mengontrol rasa marah/perilaku kekerasan.
6) Melakukan kegiatan fisik dalam menyalurkan kemarahan.
7) Memakan obat secara teratur.
8) Berbicara yang baik saat marah.
9) Melakukan kegiatan ibadah untuk mengendalikan rasa marah.
Tindakan Keperawatan
1) Membina hubungan saling percaya
Tindakan yang harus dilakukan dalam rangka membina hubungan saling
percaya adalah:
a) Ucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien.
b) Perkenalkan diri : nama, nama panggilan yang Perawat sukai, serta
tanyakan nama dan nama panggilan pasien yang disukai.
c) Tanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.
d) Buat kontrak asuhan : apa yang Perawat akan lakukan bersama pasien,
berapa lama akan dikerjakan dan tempatnya dimana.
e) Jelaskan bahwa Perawat akan merahasiakan informasi yang diperoleh
untuk kepentingan terapi.
f) Tunjukkan sikap empati.
g) Penuhi kebutuhan dasar pasien.
2) Diskusikan bersama pasien penyebab rasa marah/perilaku kekerasan saat ini
dan yang lalu.
3) Diskusikan tanda-tanda pada pasien jika terjadi perilaku kekerasan.
a) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
b) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis.
c) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara social.
d) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual.
e) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual.
4) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada
saat marah secara Verbal.
a) Terhadap orang lain.
b) Terhadap diri sendiri.
c) Terhadap lingkungan.
5) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
6) Latih pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
a) Patuh minum obat.
b) Fisik:tarik nafas dalam, pukul kasur dan batal.
c) Sosial/verbal: bicara yang baik: mengungkapkan, menolak dan
meminta rasa marahnya.
d) Spiritual: sholat/berdoa sesuai keyakinan pasien.
Tindakan keperawatan terhadap pasien dapat dilakukan minimal empat kali
pertemuan dan dilanjutkan sampai pasien dan keluarga dapat mengontrol
/mengendalikan perilaku kekerasan.
b. Tindakan keperawatan untuk keluarga pasien risiko perilaku kekerasan
Tujuan: Keluarga mampu:
1) Mengenal masalah risiko perilaku kekerasan
2) Memutuskan untuk melakukan perawatan pada pasien risiko perilaku
kekerasan
3) Merawat pasien risiko perilaku kekerasan dengan mengajarkan dan
mendampingi pasien berinteraksi secara bertahap, berbicara saat melakukan
kegiatan rumah tangga dan kegiatan social
4) Memodifikasi lingkungan yang konsusif agar pasien mampuberinteraksi
dengan lingkungan sekitar
5) Mengenal tanda kekambubuhan, dan mencari pelayanan kesehatan
6) Keluarga dapat meneruskan melatih pasien dan mendukung agar
kemampuan pasien risiko perilaku kekerasan mengatasi masalahnya dapat
meningkat.
Tindakan keperawatan kepada keluarga :
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien.
2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, dan proses terjadinya perilaku
kekerasan/ risiko perilaku kekerasan.
3) Melatih keluarga cara merawat risiko perilaku kekerasan.
4) Membimbing keluarga merawat risiko perilaku kekerasan.
5) Melatih keluarga menciptakan suasana keluarga dan lingkungan yang
mendukung pasien untuk mengontrol emosinya.
6) Mendiskusikan tanda dan gejala kekambuhan yang memerlukan rujukan
segera ke fasilitas pelayanan kesehatan.
7) Menganjurkan follow up ke fasilitas pelayanan kesehatan secara teratur.
4. Evalusasi Kemampuan Pasien dan Keluarga
a. Evaluasi kemampuan pasien mengatasi risiko perilaku kekerasan berhasil apabila
pasien dapat:
1) Menyebutkan penyebab, tanda dan gejala perilaku kekerasan, perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan, dan akibat dari perilaku kekerasan.
2) Mengontrol perilaku kekerasan secara teratur sesuai jadwal:
 secara fisik: tarik nafas dalam dan pukul bantal/kasur.
 secara sosial/verbal: meminta, menolak, dan mengungkapkan perasaan
dengan cara baik.
 secara spiritual.
 terapi psikofarmaka.
3) Mengidentifikasi manfaat latihan yang dilakukan dalam mencegah perilaku
kekerasan
b. Evaluasi kemampuan keluarga (pelaku rawat) risiko perilaku kekerasan berhasil
apabila keluarga dapat:
1) Mengenal masalah yang dirasakan dalam merawat pasien (pengertian, tanda
dan gejala, dan proses terjadinya risiko perilaku kekerasan)
2) Mencegah terjadinya perilaku kekerasan
3) Menunjukkan sikap yang mendukung dan menghargai pasien
4) Memotivasi pasien dalam melakukan cara mengontrol perasaan marah
5) Menciptakan suasana keluarga dan lingkungan yang mendukung pasien
mengontrol perasaan marah
6) Mengevaluasi manfaat asuhan keperawatan dalam mencegah perilaku
kekerasan pasien
7) Melakukan follow up ke Puskesmas, mengenal tAnda kambuh dan
melakukan rujukan.
5. Dokumentasi Asuhan Keperawatan
Pendokumentasian dilakukan setiap selesai melakukan pertemuan dengan pasien dan
keluarga. Berikut adalah contoh dokumentasi asuhan keperawatan risiko perilaku
kekerasan pada kunjungan pertama.
7. STRETEGI PELAKSANAAN

Klien Keluarga
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab PK. 1. Mendiskusikan masalah yang
2. Mengidentifikasi tanda dan gejala dirasakan keluarga dalam merawat
PK. pasien.
3. Mengidentifikasi PK yang 2. Menjelaskan pengertian PK, tanda
dilakukan. dan gejala, serta proses terjadinya PK.
4. Mengidentifikasi akibat PK. 3. Menjelaskan cara merawat pasien
5. Menyebutkan cara mengontrol PK. dengan PK.
6. Membantu pasien mempraktekkan
latihan cara mengontrol fisik I.
7. Melatih pasien mengontrol PK
dengan cara fisik II.
8. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Melatih keluarga mempraktekkan
harian pasien. cara merawat pasien dengan PK.
2. Menjelaskan cara mengontrol PK 2. Melatih keluarga melakukan cara
dengan minum obat . merawat langsung kepada pasien PK.
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Membantu keluarga membuat
harian pasien. jadual aktivitas di rumah termasuk
2. Melatih pasien mengontrol PK minum obat (discharge planning).
dengan cara verbal. 2. Menjelaskan follow up pasien
3. Menganjurkan pasien memasukkan setelah pulang.
dalam jadwal kegiatan harian.
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien.
2. Melatih pasien mengontrol PK
dengan cara spiritual.
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.

DAFTAR PUSTAKA

Nurhalimah. 2016. Keperawatan Jiwa. Jakarta selatan : Pusdik SDM Kesehatan.


Nurhalimah. 2016. Praktikum Keperawatan Jiwa. Jakarta selatan : Pusdik SDM Kesehatan.
https://id.scribd.com/doc/146839526/Strategi-Pelaksanaan-Tindakan-Keperawatan-Jiwa
diakses pada tanggal 21 September 2020, pukul : 23:40 WITA

LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN JIWA
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SENSORI
PERSEPSI HALUSINASI

Di Susun Oleh :

Maharany Ungkey 17061136

Semester VII

Program Ilmu Keperawatan


Fakultas Keperawatan
Univeristas Katolik De La Salle Manado
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN SENSORI PERSEPSI HALUSINASI
1. DEFINISI
Stuart & Laraia (2009) mendefinisikan halusinasi sebagai suatu tanggapan dari panca
indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal Halusinasi merupakan gangguan
persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.Ada lima
jenis halusinasi yaitu pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan dan perabaan.
Halusinasi pendengaran merupakan jenis halusinasi yang paling banyak ditemukan
terjadi pada 70% pasien,kemudian halusinasi penglihatan20%, dan sisanya 10%
adalah halusinasi penghidu, pengecapan dan perabaan.
Pasien halusinasi merasakan adanya stimulus yang sebetulnya tidak ada. Perilaku
yang teramati pada pasien yang sedang mengalami halusinasi pendengaran adalah
pasien merasa mendengarkan suara padahal tidak ada stimulus suara. Sedangkan pada
halusinasi penglihatan pasein mengatakan melihat bayangan orang atau sesuatu yang
menakutkan padahal tidak ada bayangan tersebut. Pada halusinasi penghidu pasien
mengatakan membaui bau-bauan tertentu padahal orang lain tidak merasakan sensasi
serupa. Sedangkan pada halusinasi pengecapan, pasien mengatakan makan atau minum
sesuatu yang menjijikkan. Pada halusinasi perabaan pasien mengatakan serasa ada
binatang atau sesuatu yang merayap ditubuhnya atau di permukaan kulit.
2. KLASIFIKASI

JENIS HALUSINASI DATA OBYEKTIF DATA SUBYEKTIF


Halusinasi Pendengaran - Bicara atau tertawa - Mendengar suara-
sendiri. suara atau
- Marah-marah tanpa kegaduhan.
sebab. - Mendengar suara
- Menyedengkan telinga yang mengajak
ke arah tertentu. bercakap-cakap.
- Menutup telinga. - Mendengar suara
menyuruh
melakukan sesuatu
yang berbahaya.
Halusinasi Penglihatan - Menunjuk-nunjuk ke - Melihat bayangan,
arah Tertentu sinar, bentuk
- Ketakutan pada geometris, bentuk
sesuatu yang tidak kartoon, melihat
jelas. hantu atau monster.
Halusinasi Penciuman - Mengisap-isap seperti - Membaui bau-bauan
sedang membaui bau- seperti bau darah,
bauan tertentu. urin, feses, kadang-
- Menutup hidung. kadang bau itu
menyenangkan.
Halusinasi Pengecapan - Sering meludah . - Merasakan rasa
- Muntah. seperti darah, urin
atau feses.
Halusinasi Perabaan - Menggaruk-garuk - Mengatakan ada
permukaan kulit. serangga di
permukaan kulit.
- Merasa seperti
tersengat listrik.
Proses terjadinya halusinasi dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi
Stuart yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan presipitasi,
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari
1) Faktor Biologis :
Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (herediter),
riwayatpenyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan narkotika,
psikotropika dan zatadiktif lain (NAPZA).
2) Faktor Psikologis
Memiliki riwayat kegagalan yang berulang. Menjadi korban, pelaku maupun
saksi dariperilaku kekerasan serta kurangnya kasih sayang dari orang-orang
disekitar atauoverprotektif.
3) Sosiobudaya dan lingkungan
Sebagian besar pasien halusinasi berasal dari keluarga dengan sosial
ekonomirendah, selain itu pasien memiliki riwayat penolakan dari lingkungan
pada usiaperkembangan anak, pasien halusinasi seringkali memiliki tingkat
pendidikan yangrendah serta pernahmmengalami kegagalan dalam hubungan
sosial (perceraian, hidupsendiri), serta tidak bekerja.
b. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi pasien gangguan persepsi sensori halusinasi ditemukan
adanyariwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak, adanya
riwayatkekerasan dalam keluarga, atau adanya kegagalan-kegagalan dalam hidup,
kemiskinan,adanya aturan atau tuntutan dikeluarga atau masyarakat yang sering
tidak sesuai denganpasien serta konflik antar masyarakat.
3. RENTANG RESPON
Rentang Respon Neurobiologis, Stuart and Laraia menjelaskan rentang respon
neurobiologis pada pasien dengangangguan senssori persepsi halusinasi sebagai berikut:
Respon Adaptif Respon Maladaptif

 Pikiran logis.  Proses pikir kadang  Gangguan


 Persepsi terganggu. proses pikir
akurat.  Ilusi. Waham.
 Emosi  Emosi  Halusinasi.
konsisiten. berlebihan/kurang.  Kerusakan
 Perilaku  Perilaku tidak proses emosi.
sesuai. terorganisir.  Perilaku
 Hubungan  Isolasi sosial. tidak sesuai.
sosial
harmonis.
4. TANDA GEJALA
Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap pasien serta
ungkapan pasien. Adapun tanda dan gejala pasien halusinasi adalah sebagai berikut:
a. Data Subyektif: Pasien mengatakan :
1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan.
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap.
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
4) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau
monster.
5) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan.
6) Merasakan rasa seperti darah, urin atau feses.
7) Merasa takut atau senang dengan halusinasinya
b. Data Obyektif
1) Bicara atau tertawa sendiri.
2) Marah-marah tanpa sebab.
3) Mengarahkan telinga ke arah tertentu.
4) Menutup telinga.
5) Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu.
6) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas.
7) Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.
8) Menutup hidung.
9) Sering meludah.
10) Muntah.
11) Menggaruk-garuk permukaan kulit
5. POHON MASALAH
Efek / AkibatRisiko perilaku kekerasan

Masalah utama
Gangguan Sensori
Persepsi : Halusinasi
Penyebab Isolasi sosial
Gambar
Bagan Pohon Masalah Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi
6. PENATALAKSANAAN
Tindakan Keperawatan
1) Membina Hubungan Saling Percaya.
2) Membantu pasien menyadari ganguan sensori persepsi halusinasi.
3) Melatih Pasien cara mengontrol halusinasi: Secara rinci tahapan melatih pasien
mengontrol halusinasi .
4) Jelaskan pada keluarga tentng gangguan jiwa yang dialami klien, dan cara
mengontrolnya juga dukungan dari keluarga.
5) Jelaskan pada klien tentang obat yang yang diminum baik jenis, dosis, kegunaan
maupun efek samping.
7. ASKEP TEORI
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal didalam pelaksanaan asuhan keperawatan.
Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada pasien dan
keluarga. Tanda dan gejala gangguan sensori persepsi halusinasi dapat ditemukan
dengan wawancara, melalui pertanyaan sebagai berikut :
a. Dari pengamatan saya sejak tadi, bapak/ibu tampakseperti bercakap-cakap
sendiriapa yang sedang bapak/ibu dengar/lihat?
b. Apakah bapak/ibu melihat bayangan-bayangan yang menakutkan?
c. Apakah ibu/bapak mencium bau tertentu yang menjijikkan?
d. Apakah ibu/bapak meraskan sesuatu yang menjalar ditubuhnya?
e. Apakah ibu/bapak merasakan sesuatu yang menjijikkan dan tidak
mengenakkan?
f. Seberapa sering bapak//ibu mendengar suara-suara atau melihat bayangan
tersebut?
g. Kapan bapak/ ibu mendengar suara atau melihat bayang-bayang?
h. Pada situasi apa bapak/ibu mendengar suara atau melihat bayang-bayang?
i. Bagaimana perasaaan bapak/ibu mendengar suara atau melihat bayangan
tersebut?
j. Apa yang sudah bapak/ibu lakukan, ketika mendengar suara dan melihat
bayangantersebut?

Tanda dan gejala halusinasi yang dapat ditemukan melalui observasi sebagai berikut:
a. Pasien tampak bicara atau tertawa sendiri
b. Marah-marah tanpa sebab
c. Memiringkan atau mengarahkan telinga ke arah tertentu atau menutup telinga
d. Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
e. Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas
f. Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.
g. Menutup hidung.
h. Sering meludahi. Muntah.
i. Menggaruk permukaan kulit.

2. Diagnosa Keperawatan
Langkah kedua dalam asuhan keperawatan adalah menetapkan diagnosis
keperawatan yang dirumuskan berdasarkan tanda dan gejala gangguan sensori
persepsi : halusinasi yang ditemukan. Data hasil observasi dan wawancara
dilanjutkan dengan menetapkan diagnosis keperawatan. Bagan dibawah ini
merupakan contoh: Analisa data dan rumusan masalah.
Tabel : Analisa data
N Data Masalah
O Keperawatan
1. Data Objektif : Halusinasi
 Bicara atau tertawa sendiri
 Marah marah tanpa sebab
 Mengarahkan telinga ke posisi tertentu.
 Menutup telinga
Data Subjektif :
 Mendengar suara-suara atau kegaduhan
 Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
 Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu
yang berbahaya
Berdasarkan hasil pengkajian pasien menunjukkan tAnda dan gejala gangguan sensori
persepsi : halusinasi, maka diagnosis keperawatan yang ditegakkan adalah:

GANGGUAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI


3. Tindakan Keperawatan
Setelah menetapkan diagnose keperawatan lakukanlah tindakan keperawatan
pada pasien dengan gangguan sensori persepsi: halusinasi. Tindakan keperawatan
harus ditujukan juga untuk keluarga karena keluarga memegang peranan penting
didalam merawat pasien dirumah setelah pasien pulang dari rumah sakit.. Saat
melakukan asuhan keperawatan baik di Puskesmas dan kunjungan rumah, perawat
menemui keluarga terlebih dahulu sebelum menemui pasien.
Saat melakukan pelayanan di Puskesmas dan kunjungan rumah,, perawat
menemui keluarga terlebih dahulu sebelum menemui pasien. Bersama keluarga,
perawat mengidentifikasi masalah yang dialami pasien dan keluarga. Setelah itu,
perawat menemui pasien untuk melakukan pengkajian, mengevaluasi dan melatih
satu cara lagi untuk mengatasi masalah yang dialami pasien. Jika pasien telah
mendapatkan terapi psikofarmaka (obat), maka hal pertama yang harus dilatih
perawat adalah pentingnya kepatuhan minum obat. Setelah perawat selesai melatih
pasien, perawat menemui keluarga untuk melatih cara merawat pasien. Selanjutnya
perawat menyampaikan hasil tindakan yang telah dilakukan terhadap pasien dan
tugas yang perlu keluarga yaitu untuk mengingatkan pasien melatih kemampuan
mengatasi masalah yang telah diajarkan oleh perawat.
a. Tindakan Keperawatan Untuk Pasien Gangguan Persepsi Sensori
Halusinasi.
Tujuan: Pasien mampu:
1) Membina hubungan saling percaya.
2) Mengenal halusinasi dan mampu mengontrol halusinasi dengan
menghardik.
3) Mengontrol halusinasi dengan enam benar minum obat.
4) Mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap.
5) Mengontrol halusinasi dengan melakukan aktifitas sehari-hari.
Tindakan Keperawatan :
1. Membina Hubungan Saling Percaya dengan cara:
a) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien dan
b) Berkenalan dengan pasien: perkenalkan nama dan nama panggilan
yang perawat sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan yang
disukai pasien
c) Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini
d) Buat kontrak asuhan apa yang perawat akan lakukan bersama pasien,
berapa lama akan dikerjakan, dan tempat pelaksanaan asuhan
keperawatan.
e) Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang diperoleh
untuk kepentingan terapi
f) Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap pasien
g) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
2. Membantu pasien menyadari ganguan sensori persepsi halusinasi
a) Tanyakan pendapat pasien tentang halusinasi yang dialaminya: tanpa
mendukung, dan menyangkal halusinasinya.
b) Mengidentifikasi isi, frekuensi, waktu terjadinya, situasi pencetus,
perasaan, respon dan upaya yang sudah dilakukan pasien untuk
menghilangkan atau mengontrol halusinasi.
3. Melatih Pasien cara mengontrol halusinasi: Secara rinci tahapan melatih
pasien mengontrol halusinasi dapat dilakukan sebagai berikut:
a) Jelaskan cara mengontrol halusinasi dengan menghardik, 6(enam)
benar minum obat, bercakap-cakap dan melakukan kegiatan dirumah
seperti membereskan kamar, merapihkan tempat tidur serta mencuci
baju.
b) Berikan contoh cara menghardik, 6(enam) benar minum obat,
bercakapcakap dan melakukan kegiatan dirumah seperti membereskan
kamar, merapihkan tempat tidur serta mencuci baju.
c) Berikan kesempatan pasien mempraktekkan cara menghardik, 6(enam)
benar minum obat, bercakap-cakap dan melakukan kegiatan dirumah
seperti membereskan kamar, merapihkan tempat tidur serta mencuci
baju yang dilakukan di hadapan Perawat
d) Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan oleh
pasien.
e) Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah melakukan
tindakan keperawatan untuk mengontrol halusinasi. Mungkin pasien
akan mengungkapkan keberhasilan atau kegagalannya. Beri dorongan
terus menerus agar pasien tetap semangat meningkatkan latihannya.

4. Evalusasi Kemampuan Pasien dan Keluarga


Evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan yang sudah di lakukan untuk
pasien gangguan sensori persepsi halusinasi adalah sebagai berikut :
a. Pasien mampu:
1)Mengungkapkan isi halusinasi yang dialaminya
2)Menjelaskan waktu dan frekuensi halusinasi yang dialami.
3)Menjelaskan situasi yang mencetuskan halusinasi
4)Menjelaskan perasaannya ketika mengalami halusinasi
5)Menerapkan 4 cara mengontrol halusinasi:
a) Menghardik halusinasi
b) Mematuhi program pengobatan
c) Bercakap dengan orang lain di sekitarnya bila timbul halusinasi
d) Menyusun jadwal kegiatan dari bangun tidur di pagi hari sampai mau
tidur pada malam hari selama 7 hari dalam seminggu dan
melaksanakan jadwal tersebut secara mandiri.
6) Menilai manfaat cara mengontrol halusinasi dalam mengendalikan
halusinasi
b. Keluarga mampu:
1) Menjelaskan halusinasi yang dialami oleh pasien
2) Menjelaskan cara merawat pasien halusinasi melalui empat cara mengontrol
halusinasi yaitu menghardik, minum obat,cakap-cakap dan melakukan
aktifitas di rumah
3) Mendemonstrasikan cara merawat pasien halusinasi
4) Menjelaskan fasilitas kesehatan yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah pasien Menilai dan melaporkan keberhasilannnya merawat pasien.

5. Dokumentasi Asuhan Keperawatan


Pendokumentasian wajib dilakukan setiap selesai melakukan interaksi dengan
pasien dan keluarga. Berikut contoh pendokumentasian asuhan keperawatan
gangguan sesnsori persepsi halusinasi.
Tabel : Dokumentasi Keperawatan
IMPLEMENTASI EVALUASI
Tgl ..........bulan..... tahun.....pkl....... S :Pasien
Data:  Pasien menghardik halusinasi 3 kali
Data pasien dan kemampuan sehari
 Pasien mengatakan masih  Minum obat secara teratur sesuai dengan
mendengar suara-suara tetapi sudah petunjuk suster 3 kali sehari dan
jarang dan tidak setiap hari  Mengajak anggota keluarga yang lain
datangnya. untuk bercakap-cakap bila pasien
 Pasien mengatakan sudah sendirian dan bila suara-suara akan
melakukan cara mengontrol muncul.
halusinasi dengan menghardik
halusinasi S : keluarga
 Pasien mengatkan minum obat  Keluarga mengatakan anaknya dapat
dengan benar dan teratur. melakukan kegiatan sesuai jadwal
 Keluarga mengatakan senang dapat
Kemampuan pasien : membimbing dan merawat anaknya
 Pasien mampu mendemonstrasikan  Keluarga mengatakan akan terus
cara menghardik halusinasi memotivasi anaknya untuk melakukan
sesuai jadwal.
Data keluarga dan kemampuan
 Keluarga mengatakan sudah O: Pasien
mengetahui apa itu halusinasi tanda  Pasien koopertif, tampak tenang,
dan gejala serta proses terjadinya halusinasi tidak ada.
masalah.
 Keluarga telah mengetahui cara O: keluarga
merawat pasien halusinasi dengan  Keluarga tampak melatih dan
membantu pasien menghardik membimbing pasien dalam mengontrol
halusinasi saat halusinasi muncul halusinasi
 Kelurga memantau pasien minum  Keluarga kooperatif.
obat.
A:
DK: Menghardik dan minum obat serta
Gangguan sensori persepsi halusinasi bercakap-cakap mampu mengontrol
Intervensi: halusinasi pasien.
Tindakan ke pasien
6.Evaluasi kegiatan pasien dalam P: pasien
mengontrol halusinasi dengan Pasien berlatih mengontrol halusinasi
menghardik dan minum obat. dengan menghardik (3 kali per hari),
7. Beri pujian Minum obat (3 kali per hari), bercakap
8. Latih satu cara untuk yaitu becakap cakap dengan keluarga (2kali perhari).
cakap dengan orang lain seperti
keluarga P: Keluarga
9. Memasukkan pada jadwali kegiatan Memotivasi dan membimbing sesuai
untuk latihan bercakap-cakap dengan dengan jadwalimenghardik (3 kali sehari),
orang lain/keluarga minum obat (3 kali sehari) bercakap-cakap
dengan keluarga dan orang lain (2 kali
Tindakan ke keluarga sehari).
1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
merawat pasien halusinasi yaitu
menghardik dan minum obat Beri
pujian.
2. Bimbingdan motivasi keluarga
untuk mengajak anggota keluarga
yang lain bercakap-cakap dengan
pasien jika melihat klein termenung
atau sendirian.
3. Anjurkan membantu pasien sesuai
jadwali dan memberikan pujian
RTL:
Pasien
Melakukan latihan mengontrol
halusinasi
sesuai jadwal
Keluarga
Memotivasi dan membimbing pasien
untuk
mengontrol halusinasi

8. STRATEGI PELAKSANAAN

Klien Keluarga
SP 1 SP 1
Membantu pasien mengenali halusiansi, Pendidikan kesehatan tentang
menjelaskan cara-cara mengontrol pengertian halusinasi, jenis halusinasi
halusinasi dan mengajarkan pasien yang dialami pasien, tanda dan gejala
mengontrol halusinasi dengan cara halusinasi dan cara-cara merawat
menghardik halusinasi. pasien halusinasi.
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi 1. Mendiskusikan masalah yang
pasien. dirasakan keluarga dalam merawat
2. Mengidentifikasi isi halusinasi pasien.
pasien. 2. Menjelaskan pengertian, tanda
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi dan gejala halusinasi, dan jenis
pasien. halusinasi yang dialami pasien beserta
4. Mengidentifikasi frekuensi proses terjadinya.
halusinasi pasien. 3. Menjelaskan cara-cara merawat
5. Mengidentifikasi situasi yang pasien halusinasi .
menimbulkan halusinasi.
6. Mengidentifikasi respons pasien
terhadap halusinasi.
7. Mengajarkan pasien menghardik
halusinasi.
8. Menganjurkan pasien memasukkan
cara menghardik halusinasi dalam
jadwal kegiatan harian.
SP 2 SP 2
Melatih pasien menggunakan obat Melatih Keluarga Cara Merawat
secara teratur. Pasien.
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Melatih keluarga mempraktekkan cara
harian pasien. merawat pasien dengan Halusinasi.
2. Memberikan pendidikan kesehatan 2. Melatih keluarga melakukan cara
tentang penggunaan obat secara merawat langsung kepada pasien
teratur. Halusinasi.
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP 3 SP 3
Bercakap-cakap dengan orang lain. Membuat Perencanaan Pulang Bersama
Keluarga
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat jadwal
pasien. aktivitas di rumah termasuk minum
2. Melatih pasien mengendalikan obat (discharge planning).
halusinasi dengan cara bercakap- 2. Menjelaskan follow up pasien setelah
cakap dengan orang lain. pulang.
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP 4
Melaksanakan aktivitas terjadwal.
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien.
2. Melatih pasien mengendalikan
halusinasi dengan melakukan kegiatan
(kegiatan yang biasa dilakukan
pasien).
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.

DAFTAR PUSTAKA

Nurhalimah. 2016. Keperawatan Jiwa. Jakarta selatan : Pusdik SDM Kesehatan.


Nurhalimah. 2016. Praktikum Keperawatan Jiwa. Jakarta selatan : Pusdik SDM Kesehatan.
https://id.scribd.com/doc/146839526/Strategi-Pelaksanaan-Tindakan-Keperawatan-Jiwa
diakses pada tanggal 21 September 2020, pukul : 23:40 WITA

LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN JIWA
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN PROSES
PIKIR: WAHAM

Di Susun Oleh :

Maharany Ungkey 17061136

Semester VII

Program Ilmu Keperawatan


Fakultas Keperawatan
Univeristas Katolik De La Salle Manado
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
PERUBAHAN ISI PIKIR : WAHAM
1. DEFINISI
Myers, dkk (2017) menyatakan bahwa waham adalah keyakinan atau persepsi palsu
yang tetap tidak dapat diubah meskipun ada bukti yang membantahnya. Gangguan proses
piker waham mengacu pada suatu kondisi seseorang yang menampilkan satu atau lebih
khayalan ganjil selama paling sedikit satu bulan. Waham merupakan suatu keyakinan
yang salah yang dipertahankan secara kuat atau terus menerus, tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan. Klien menyakini bahwa dirinya adalah seperti apa yang ada di dalam isi
pikirannya.
Waham merupakan gejala spesifik psikosis. Psikosis sendiri merupakan gangguan
jiwa yang berhubungan dengan ketidakmampuan seseorang dalam menilai realita dan
fantasi yang ada di dalam dirinya. Terlepas dari khayalan mereka, orang-orang dengan
gangguan waham mungkin terus bersosialisasi, bertindak secara normal, dan perilaku
mereka tidak selalu tampak aneh.
Waham sering ditemui pada penderita gangguan jiwa berat. Selain itu, beberapa
bentuk waham yang spesifik, sering ditemukan pada penderita skizofrenia. Akan tetapi,
gangguan waham berbeda dengan skizofrenia. Jika seseorang memiliki gangguan waham
fungsinya umumnya tidak terganggu dan berperilaku tidak jelas, aneh, kecuali khayalan.
Selain itu, waham ini bukan merupakan kondisi medis atau kondisi akibat
penyalahgunaan zat.
2. KLASIFIKASI
a. Waham Kebesaran (Grandiosity)
Klien menyakini bahwa ia memiliki suatu kebesaran atau kekuasaan khusus.
Keyakinannya ini diucapkan secara berulang-ulang, tetapi tidak sesuai dengan realita
yang ada. Contoh : “ Saya sudah menjadi anggota kepresidenan sejak era Soekarno.
Tidak ada presiden yang dapat menjalankan kekuasaannya tanpa saya. Jika bukan
karena saya, mungkin kita akan mengalami perang berkepanjangan dengan Belanda.”
b. Waham Persekusi (Persecution)
Klien menyakini bahwa ada seseorang atau sesuatu kelompok yang berusaha
merugikan atau mencederai dirinya. Contoh : “Saya tahu, saudara-saudara
perempuan saya ingin menghancurkan saya karena saya lebih cantik dari mereka.”
c. Waham Agama (Religious)
Klien memiliki keyakinan berlebihan terhadap suatu agama. Keyakinan yang
tidak sesuai dengan realita itu terus menerus diulanginya. Contoh : “Selama saya
menggunakan 10 medali religious ini, tidak ada hal yang buruk yang akan menimpa
saya.”
d. Waham Somatik (Somatic)
Klien menyakini bahwa tubuh atau bagian dari tubuhnya terganggu atau
terserang suatu penyakit. Keyakinan yang tak sesuai dengan realitas ini diucapkan
berulang-ulang. Contoh : “Kerongkongan saya rasanya tercabik-cabik. Ada tikus di
perut saya dan kadang-kadang dia sampai ke tenggorokanku. Lihatlah ke
tenggorokan saya sekarang dan mungkin anda bisa melihat tikus itu.”
e. Waham Nihilistik (Nihilistic)
Klien meyakini bahwa dirinya sudah tiada atau meninggal dan keyakinannya
terhadap hal ini diucapkan secara berulang-ulang. Contoh : “Ini adalah alam kubur
dan semua yang ada di sini adalah roh-roh.”
f. Waham Bizar (Bizarre)
Suatu paham yang melibatkan fenomena keyakinan seseorang yang sama sekali tidak
masuk akal (Sadock & Sadock 2007). Waham bizar terdiri dari beberapa yaitu :
1) Waham sisip pikir adalah waham di mana klien menyakini bahwa pikiriannya
bukan miliknya sendiri, melainkan milik orang lain dan telah dimasukkan ke
dalam pikiran klien.
2) Waham siar pikir adalah waham di mana klien memiliki keyakinan yang tidak
masuk akal bahwa orang lain dapat mendengar atau menyadari pikirannya.
3) Waham kendali pikir adalah waham di mana klien menyakini bahwa perasaan,
dorongan, pikiran, atau tindakannya berada di bawah kendali orang lain atau
pihak eksternal dari pada bi bawah kendalinya sendiri.
3. RENTANG RESPON
Adaptif Maladaptif

 Pikiran Logis.  Pikiran kadang  Gangguan proses


 Persepsi akurat. menyimpang pikir : waham.
 Emosi konsisten ilusi.  Halusinasi.
dengan  Reaksi  Kesulitan
pengalaman. emosional memperoleh
 Perilaku sesuai. berlebihan atau emosi.
 Hubungan sosial. kurang ilusi  Ketidakteraturan
 Perilaku aneh dalam perilaku.
atau tak lazim.  Isolasi sosial.
 Menarik diri.
(Sumber : Stuart, 2013)
4. TANDA GEJALA
Gejala gangguan waham dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu gejala kognitif, gejala
afektif, gejala perilaku dan hubungan sosial, dan gejala fisik.
1) Gejala Kognitif waham mencakup :
- Ketidakmampuan dalam membedakan realita dan fantasi,
- Kepercayaan yang sangat kuat terhadap keyakinan pasunya,
- Memiliki kesulitan dalam berpikir realita, dan
- Ketidakmampuan dalam mengambil keputusan.
2) Gejala Afektif waham mencakup :
Situasi yang tidak sesuai dengan kenyataan dan afek tumpul (blunted offect).
Karakter khas dari afek tumpul adalah tidak mengksepresikan perasaan, baik secara
verbal dengan membicarakan kejadian emosional dengan cara emoted atau secara
nonverbal dengan menggunakan bahasa tubuh emosional, ekspresi wajah, atau gerak
tubuh.
3) Gejala Perilaku dan Hubungan Sosial mencakup :
Hipersensitifitas, depresif, ragu-ragu, hubungan interpersonal dengan orang
lain yang bersifat dangkal, mengancam secara verbal, aktivitas tidak tepat, impulsif,
curiga, dan pola piker stereotip. Selain gejala-gejala yang telah disebutkan
sebelumnya, terdapat gejala fisik yang ditandai dengan kebersihan diri yang kurang,
muka pucat, sering menguap, turunnya berat badan dan nafsu makan, serta sulit tidur.
5. POHON MASALAH
Berdasarkan data yang diperoleh, ditetapkan bahwa diagnosis keperawatan waham
adalah :
GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM

Gambar : Pohon Masalah Diagnosis Gangguan Proses Pikir : Waham

Risiko Kerusakan Komunikasi Verbal

Perubahan Proses Pikir : Waham

Gangguan Konsep Diri : Harga Diri


(Sumber : Rendah
Stuart, 2013)
6. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan Farmakologis
Tatalaksana pengobatan skizoprenia secara umum menurut Townsend (1998),
Kaplan dan Sadock (1998) anatar lain :
1) Anti Psikotik
Jenis-jenis obat Anti Psikotik antara lain :
a) Chlorpromazine
Untuk mengatasi psikosa, premedikasi dalam anestesi, dan mengurangi gejala
emesis. Untuk gangguan jiwa, dosis awal 3x25 mg, kemudian dapat
ditingkatkan supaya optimal, dengan dosis tinggi 1000mg/hari secara oral.
b) Trifluoperazine
Untuk terapi gangguan jiwa organic, dan gangguan psikotik menarik diri,
dosis awal 3x1 mg, dan bertahap dinaikkan sampai 50mg/hari.
c) Haloperidol
Untuk ansietas, ketegangan, psikosomatik, psikosis, dan mania, dosis awal
3x0,5 mg sampai 3mg.
2) Anti Parkinson
a) Triheksipenydil (Artane)
Untuk semua bentuk parkinsonisme dan untuk menghilangkan reaksi
kestrapiramidal akibat obta. Dosis yang digunakan 1-15 mg/hari.
b) Difenhidramin
Dosis yang diberikan 10-400 mg/hari
3) Anti Depresan
a) Amitriptyline
Untuk gejala depresi, depresi oleh karena ansietas, dan keluhan somatic.
Dosis 75-300 mg/hari.
b) Impramin
Untuk depresi dengan hambatan psikomotorik, dan depresi neurotic. Dosis
awal 25 mg/hari, dosis pemeliharaan 50-75 mg/hari.
4) Anti Ansietas
Anti ansietas digunakan untuk mengontrol ansietas, kelainan somatroform,
keluhan disosiatif, kelainan kejang, dan untuk meringankan sementara gejala-
gejala insomnia dan ansietas. Obat-obat yang termasuk anti ansietas antara lain :
- Fenobarbital 16-320 mg/hari
- Meprobamat 200-2400 mg/hari
- Klordiazepoksida 15-100 mg/hari
b. Penatalaksanaan non farmakologi
1. Terapi aktivitas kelompok
7. ASKEP TEORI
a. Pengkajian
Pada pengkajian, faktor penyebab terjadinya gangguan waham digolongkan menjadi
beberapa faktor, yaitu faktor predisposisi, faktor biologis, dan faktor psikodinamik.
1. Faktor Predisposisi (Predisposing factor)
Faktor predisposisi terdiri dari tiga faktor, yaitu faktor biologis, faktor psikologis,
dan faktor sosial budaya.
a) Faktor Biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran
ventrikel di otak, atau perubahan pada sel kortikal dan lindik. Abnormalisasi
otak yang menyebabkan respon neurologis yang maladaptive yang baru mulai
dipahami. Hal ini termasuk hal-hal berikut :
1) Penelitian pencitraan otak sudah mulai menunjukkan keterlibatan otak
yang luas dan dalam perkembangan skizofrenia. Hal yang paling
berhubungan dengan perilaku psikotik adalah adanya lesi pada area
frontal, temporal, dan limbic.
2) Beberapa senyawa kimia otak dikaitkan dengan skizofrenia. Hasil
penelitian menunjukkan hal-hal berikut ini :
a) Kadar dopamine neurotransmitter yang berlebihan.
b) Ketidakseimbangan antara dopamin dan neurotransmitter lain.
c) Masalah-masalah yang terjadi pada sistem respons dopamin.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan terhadap kembar identic,
misalnya, ditemukan bahwa kembar identic yang dibesarkan secara terpisah
memiliki angka kejadian yang tinggi pada kizofrenia dari pada pasangan
saudara kandung yang tidak identic.
b) Faktor Psikologis
Teori psikodinamika yang mempelajari terjadinya respons
neurobiology yang maladaptif belum didukung oleh penelitian. Teori
psikologi terdahulu menyalahkan keluarga sebagai penyebab gangguan ini,
sehingga menimbulkan kurangnya rasa percaya (keluarga terhadap tenaga
kesehatan jiwa professional). Waham ini juga dapat disebabkan oleh
perbedaan perlakukan dari keluarga. Misalnya saja, sosok ibu adalah tipe
pencemas, sedangkan sosok ayah adalah tipe yang kurang atau tidak peduli.
c) Faktor Sosial budaya
Secara teknis, kebudayaan merupakan ide atau tingkah laku yang dapat dilihat
maupun yang tidak terlihat. Kebudayaan turut mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan kepribadian seseorang, misalnya melalui aturan-aturan
kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan tersebut. Unsur-unsur dari faktor
sosial budaya dapat mencakup kestabilan keluarga, pola mengasuh anak,
tingkat ekonomi, perumahan (perkotaan lawan pendesaan), masalah
kelompok minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas kesehatan, pendidikan,
dan kesejahteraan yang tidak memadai, pengaruh sosial dan keagamaan, serta
nilai-nilai (Yosep, 2009). Di sisi lain, timbulnya waham dapat disebabkan
oleh perasaan tersaing dari lingkungannya dan kesepian (Direja, 2011).
2. Faktor Biologis
Berbagai zat dan kondis medis non-psikiatrik dapat menyebabkan waham,
sehingga menyatakan bahwa faktor biologis yang jelas dapat menyebabkan
waham. Akan tetapi, tidak semua orang dengan tumor memiliki waham. Klien
yang wahamnya disebabkan oleh penyakit neurologis serta yang tidak
memperlihatkan gangguan intelektual, cenderung mengalami waham kompleks
yang serupa dengan penderita gangguan waham. Sebaliknya, penderita gangguan
neurologis dengan gangguan intelektual sering mengalami waham sederhana.
Jenis waham sederhana ini tidak seperti waham pada klien dengan gangguan
waham.
Timbulnya gangguan waham bisa merupakan respons normal terhadap
pengalaman abnormal pada lingkungan, sistem saraf tepi, atau sistem saraf pusat.
Jadi, jika klien mengalami pengalaman sensorik yang salah, seperti merasa diikuti
(mendengar langkah kaki), klien mungkin percaya bahwa mereka sebenarnya
diikuti. Hipotesis tersebut tergantung pada pengalaman seperti halusinasi yang
perlu dijelaskan. Sementara itu, pengalaman halusinasi tersebut pada gangguan
waham tidak terbukti.
3. Faktor Psikodinamik
Banyak klien dengan gangguan waham memiliki suatu kondisi sosial terisolasi
dan pencapaian sesuatu dalam kehidupannya tidak sesuai dengan apa yang
mereka harapkan. Teori psikodinamik spesifik mengenai penyebab dan evolusi gejala waham melibatkan anggapan seputar orang
hipersensitif dan mekanisme ego spesifik, pembentukan reaksi, proyeksi, dan penyangkalan.
4. Mekanisme Defensi
Klien dengan gangguan waham menggunakan mekanisme defensi berupa proyeksi, penyangkalan, dan pembentukan reaksi.
Pembentukan reaksi digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap agresi, kebutuhan untuk bergantung, dan perasaan afeksi serta
transformasi kebutuhan akan ketergantungan akan menjadi ketidaktergantungan yang berkepanjangan. Untuk menghindari kesadaran
terhadap realita yang menurutnya menyakitkan, klien menggunakan mekanisme penyangkalan (Sadock&Sadock, 2010). Ditimbun
oleh perasan dendam, marah, dan permusuhan kepada orang lain, klien menggunakan proyeksi untuk melindungi diri mereka sendiri
dari pengenalan impuls yang tidak dapat diterima dalam diri mereka.
b. Diagnosa Keperawatan
- Gangguan Proses Pikir : Waham
c. Perencanaan

RENCANA KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN PROSES PIKIR: WAHAM

DIAGNOSIS PERENCANAAN
KEPERAWATAN Tujuan (Tuk/Tum Kriteria Evaluasi Intervensi Rasional
Waham curiga TUM : 1. Ekspresi wajah 1.1. Bina hubungan saling Hubungan- saling percaya
Klien secara bertahap mampu bersahabat, menunjukan percaya dengan merupakan dasar untuk
berhubungan dengan realitas rasa senang, ada kontak mengemukakan prinsip Interaksi yang selanjutnya
atau kenyataan. mata, mau berjabat komunikasi terapeutik: akan dilalukan interaksi yang
tangan, mau menyebutkan a. Mengucapkan salam selanjutnya akan dilakukan .
TUK 1: nama, menjawab salam, terateupik, sapa klien tindakan akan membina klien
Klien dapat klien mau duduk dengan dalam berinteraksi secara baik
membinahubungan berdampingan dengan rama ramah, dan benar, sehingga klien
perawat, mau b. Berjabat tangan bersedia mengungkapkan isi
mengutarakan masalah dengan klien. hatinya.
ynang dihadapinya, tidak c. Perkenalkan diri
menunjukan tanda-tanda dengan sopan
kecurigaan, mau d. Tanyakan nama
menerima bantuan dari lengkap klien dan
perawat. nama panggilan yang
disukai klien.
e. Jelaskan tujuan
pertemuan.
f. Membuat kontrak
topic, waktu, dan
tempat setiap kali
bertemu klien.
g. Tunjukan sikap empati
dan menerima klien
apa adanya.
h. Beri perhatian kepada
klien dan perhatian
bertuhan dasar klien.
1.2. Jangan membantah dan Meningkatkan orientasi klien
mendukung waham klien. terhadapt realita serta
a. Katakana bahwa meningkatkan rasa percaya
perawat menerima klien pada perawat.
keyakinan klien
b. Katakana bahwa
perawat tidak
mendukung keyakinan
klien.
1.3. Yakinkan klien bahwa ia Suasana lingkungan yang
dalam keadaamanan bersahabat bturut mendudung
a. Anda berada ditempat komunikasi teraupetik.
aman dan “
b. Gunakan keterbukaan
dan kejujuran dan
jangan meninggaklan
klien dalam keadaan
sendiri.
1.4. Observasi apakah waham Mengetahui penyebab waham
mengganggu aktivitas curiga dan intervensi yang
sehari dan perawatan dari selanjutnya kan dilakukan
klien. oleh klien.
TUK 2 : Kriteria Evaluasi: 2.1. Berikan pujian pada Penguatan positif dapat
Klien dapat mengidentifikasi 1. klien dapat penampilan dan meningkatkan kemampuan
kemampuan yang dimilikinya. mempertahankan aktivitas kemampuan klien yang yang dimiliki oleh klien dan
sehari-hari realistis. harga diri klien.
2. klien dapat mengontrol 2.2. Diskusikan bersama Klien terdorong untuk memilih
wahamnya. dengan klien mengenai aktivitas, seperti sebelumnya
kemampuan yang tentang aktivitas yang pernah
dimilikinya dahulu dan dimiliki oleh klien.
saat ini.
2.3. Tanyakan apa yang bisa
dilakukan (kaitkan
dengan hal seputar
aktivitas sehari-hari dan
perawatan diri klien), lalu
anjurkan untuk
melakukannya saat ini.
2.4. Jika klien selalu berbicara Dengan mendengarkan klien
tentang wahamnya, akan merasa lebih
dengarkan sampai diperhatikan, sehingga klien
kebutuhan waham akan menggungkapkan
tersebut tidak ada atau perasaannya.
klien berhenti
membicarakan wahamnya.
Perawat perlu
memperhatikan bahwa
klien sangat penting.
TUK 3: Kriteria Evaluasi : 3.1. Observasi kebutuhan klien Observasi dapat digunakan
Klien dapat mengidentifikasi 1. Kebutuhan kklien sehari-hari. untuk mengetahui kebutuhan
kebutuhan yang tidak dimiliki terpenuhi 3.2. Diskusikan kebutuhan klien.
2. Klien dapat melakukan klien waham yang tidak
aktivitas secara terarah terpenuhi selama dirumah Dengan mengetahui kebutuhan
3. Klien tidak menggunakan maupun dirumah sakit. yang tidak terpenuhi, perawat
atau membicarakan 3.3. Menghubungkan dapat mengetahui kebutuhan
wahamnya. kebutuhan yang tidak yang akan diperlukan oleh
terpenuhi dengan klien waham.
timbulnya waham.
3.4. Tingkatkan aktivitas klien Dengan melakukan aktivitas,
yang dapat memenuhi klien tidak akan lagi
kebutuhan klien serta menggunakan isi atau ide
aktivitas yang memerlukan wahamnya.
waktu dan tenaga.
3.5. Mengatur situasi agar klien Dengan situasi tertentu, klien
tidak memiliki waktu akan dapat mengontrol
untuk menggunakan wahamnya.
wahamnya.
TUK 4: Kriteria Evaluasi : 4.1. Berbicara dengan klien Penguatan penting untuk
Klien dapat berhubungan 1. Klien dapat berbicara dalam konteks meningkatan kesadaran klien
dengan realitas atau dengan realitas realitas(realitas diri, akan realitas.
kenyataan atau mampu 2. Klien dapat realitas orang lain, serta
berinteraksi dengan realitas menyebutkan realitas waktu dan tempat).
4.2. Ikut sertakan klien dalam
secara bertahap. perbedaan pengalaman
terapi aktivitas kelompok Pujian dapat menaikkan harga
nyata dan pengalaman dalam kaitannya dengan diri klien dan memotivasi klien
tidak nyata. orientasi realitas. untuk meningkatkan kegiatan
3. Klien mengikuti terapi 4.3. Berikan pujian pada setiap positifnya.
aktivitas kelompok kegiatan positif yang
(TAK). dilakukan oleh klien.
Kriteria Evaluasi : 5.1. diskusikan dengan Perhatian dan pengertian
1. Keluarga dapat mebina keluarga tentang : keluarga akan dapat membantu
hubungan saling percaya a. Gejala waham. klien dalam mengendalikan
TUK 5: dengan perawat. b. Cara merawat. wahamnya.
Klien dapat dukungan dari 2. Keluarga dapat c. Lingkungan keluarga
keluarga menyebutkan pengertian, d. Follow up dan obat
tanda, dan tindakan 5.2. Anjurkan Keluarga
perawatanklien dengan melaksanakan dengan
wahamnya. bantuan perawat.
TUK 6: Kriteria Evaluasi : 6.1. diskusikan dengan klien Obat dapat mengontrol waham
Klien dapat menggunakan 1. Klien dapat mengetahui dan keluarga tentang obat, klien dan dapat membantu
obat dengan benar manfaat minum obat, dosis, frekuensi, efek penyembuhan klien.
kerugian tidak minum samping obat, dan akibat
obat. dari penghentian obat Mengontrol kegiatan klien
2. Klien mengetahui nama, 6.2. Diskusikan perubahan minum obat dan mencegah
warna, dosis, efek perasaan klien setelah klien putus obat.
samping, efek terapi. minum obat.
3. Klien mendemonstrasikan 6.3. berikan obat dengan
penggunaan obat yang prinsip 5 benar dan
benar. observasi setelah minum
4. Klien dapat obat.
mendemonstrasikanakibat
berhenti minum obat
tanpa konsultasi pada
dokters
5. Klien dapat
mendemonstrasikan
prinsip 5 benar dalam
penggunaan obat.
8. STRATEGI PELAKSANAAN

Tabel : Rencana Tindakan Keperawatan Perubahan Proses Pikir : Waham Dalam Bentuk
Strategi Pelaksanaan.

Klien Keluarga
SP 1 SP 1
Membina Hubungan Saling Percaya Membina Hubungan Saling Percaya
dengan Pasien dengan Keluarga
1. Membantu orientasi realita. 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan
keluarga dalam merawat pasien.
2. Mendiskusikan kebutuhan yang tidak 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
terpenuhi. gejala waham, dan jenis waham yang
dialamai pasien beserta proses
terjadinya.
3. Membantu pasien memenuhi 3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien.
kebutuhannya.
4. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP 2 SP 2
Mengidentikfikasi kemampuan positif Melatih Keluarga Cara Merawat Pasien
pasien dan membantu
mempraktekkannya
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 3. Melatih keluarga mempraktikkan cara
pasien. merawat pasien dengan waham
2. Berdiskusi tentang kemampuan yang 4. Melatih keluarga mempraktikkan cara
dimiliki. merawat langsung kepada pasien
waham.
3. Melatih kemampuan yang dimiliki.
SP 3 SP 3
Mengajarkan Dan Melatih Cara Minum Membuat Perencanaan Pulang Bersama
Obat Yang Benar Keluarga
4. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 3. Membantu keluarga membuat jadwal
pasien. aktivitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning).
5. Memberikan pendidikan kesehatan 4. Menjelaskan follow up pasien setelah
tentang penggunaan obat secara teratur. pulang.
6. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam kegiatan harian.
DAFTAR PUSTAKA

Ns.Sutejo,M,Kep.,Sp.Kep.J,Keperawatan Jiwa Konsep dan Praktik Asuhan Keperawatan


Kesehatan Jiwa: Gangguan Jiwa dan Psikososial.Yogyakarta:PUSTAKA BARU PRESS.

https://www.academia.edu/15491884/LP_WAHAM_CLOP_2015

Tim Pokja SDKI DPP PPNI.(2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indoensia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI.(2018). Standard Intervensi Keperawatan Indonesia (I). Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indoensia.

Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., &Swanson,L.(2008).Nursing outcomes classification


(NOC) Edisi Lima. United states og America: Mosby Elsevier

https://id.scribd.com/doc/286395271/LP-dan-SP-Waham diakses pada tanggal 16 September


2020 pukul, 22:35 WITA

https://id.scribd.com/doc/131411832/SP-1-3-Waham-Keluarga Diakses pada tanggal 16


September 2020 pukul, 22:50 WITA

https://www.perawatkitasatu.com/2017/12/strategi-pelaksanaan-sp-waham-pasien.html?m=1
Diakses pada tanggal 16 September 2020 pukul, 23: 08 WITA

http://perpustakaan.poltekkes-
malang.ac.id/assets/file/kti/1401100054/7._BAB_2_TINJAUAN_PUSTAKA_.pdf Diakses
pada tanggal 16 September 2020 pukul, 23:15 WITA
LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN JIWA
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ISOLASI SOSIAL

Di Susun Oleh :

Maharany Ungkey 17061136

Semester VII

Program Ilmu Keperawatan


Fakultas Keperawatan
Univeristas Katolik De La Salle Manado
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL
1. DEFINISI
Menarik diri merupakan suatu percobaan untuk menghindari interaksi dan hubungan
dengan orang lain (Rawlins, 1993). Isolasi sosial adalah keadaan seorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. Hubungan yang sehat dapat
digambarkan dengan adanya komunikasi yang terbuka, mau menerima orang lain, dan
adanya rasa empati. Pemutusan hubungan interpersonal berkaitan erat dengan
ketidakpuasan individu dalam proses hubungan yang disebabkan oleh kurang terlibatnya
dalam proses hubungan dan respons lingkungan yang negatif. Hal tersebut akan memicu
rasa tidak percaya diri dan keinginan untuk menghindar dari orang lain.
Gangguan hubungan sosial adalah suatu kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah
laku yang maladaptive, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosialnya
(Depkes,2016).
2. KLASIFIKASI
Klasifikasi proses terjadinya isolasi sosial dijelaskan oleh Stuarat dan Laraia (2008)
dalam konsep stress adapatasi yang teridiri dari faktor predisposisi dan presipitasi.
Faktor Predisposisi yang menyebabkan timbulnya Isolasi sosial meliputi:
a. Biologis
Faktor heriditer (keturunan) seperti adanya riwayat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa Selain itu adanya riwayat penyakit kronis atau trauma
kepala merupakan merupakan salah satu faktor penyebab gangguan jiwa
b. Psikologis
Masalah psikologis yang dapat menyebabkan timbulnya harga diri rendah adalah
pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, penolakan dari lingkungan dan
orang terdekat serta harapan yang tidak realistis. Kegagalan berulang, kurang
mempunyai tanggungjawab personal dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada
orang lain merupakan faktor lain yang menyebabkan gangguan jiwa. Selain itu
pasiendengan harga diri rendah memiliki penilaian yang negatif terhadap gambaran
dirinya, mengalami krisis identitas, peran yang terganggu, ideal diri yang tidak
realistis.
c. Faktor Sosial Budaya Pengaruh sosial budaya yang dapat menimbulkan isolasi
sosial adalah adanya penilaian negatif dari lingkungan terhadap klien, sosial
ekonomi rendah, pendidikan yang rendah serta adanya riwayat penolakan
lingkungan pada tahap tumbuh kembang anak.
Faktor Presipitasi Faktor presipitasi yang menimbulkan Isolasi antara lain:
a. Riwayat trauma seperti adanya penganiayaan seksual dan pengalaman psikologis
yang tidak menyenangkan, menyaksikan peristiwa yang mengancam kehidupan,
menjadi pelaku, korban maupun saksi dari perilaku kekerasan.
b. Ketegangan peran: Ketegangan peran dapat disebabkan Karen: transisi peran
perkembangan: perubahan normatif yang berkaitan dengan pertumbuhan seperti
transisi dari masa kanak-kanak ke remaja.
c. Transisi peran situasi: terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota
keluarga melalui kelahiran atau kematian.
d. Transisi peran sehat-sakit: merupakan akibat pergeseran dari kondisi sehat kesakit.
Transisi ini dapat dicetuskan antara lain karena kehilangansebahagian anggota
tuhuh, perubahan ukuran, bentuk, penampilan atau fungsi tubuh.Atau perubahan
fisik yang berhubungan dengan tumbuh kembang normal, prosedur medis dan
keperawatan.
3. RENTANG RESPON
Adaptif Maladaptif

 Menyendiri.  Merasa  Manipulasi.


 Otonomi. sendiri.  Impulsive.
 Bekerja  Menarik diri.  Nareissisme.
sama.  Tergantung.
 Saling
tergantung.
Keterangan :

a. Respon adaptif adalah respons individu menyelesaikan suatu hal dengan cara yang
dapat diterima oleh norma-norma masyarakat.
b. Menyendiri (solitude)
Respon yang dilakukan individu dalam merenungkan hal yang telah terjadi atau di
lakukan dengan tujuan engevaluasi diri untuk kemudain menentukan rencana.
c. Otonomi
Kemampuan individu dalam menyampaikan ide, pikiran,perasaan dalam hubungan
social.individu mampu menetapkan diri untuk interpenden dan pengaturan diri
d. Saling ketergantungan (independen)
Suatu hubungan saling ketergantungan antara individu lain dalam hubungan social.
e. Respon maladaptive
Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan ,asalah dengan
cara yang bertentangan dengan norma agama dan masyarakat. Antara lain:
f. Manipulasi
Gangguan social yang menyebabkan individu memperlakukan sebagai objek,
dimana hubungan terpusat pada pengendalian masalah orang lain dan individu
cenderung berorientasi pada diri sendiri
g. Impulsive
Respon social yang di tandai dengan individu sebagai subjek yang tidak dapat.
diduga, tidak dapat dipercaya , tidak mampu merencanakan,tidak mampu belajar
dari pengalaman ,tidak dapat melakukan penilaian secara objektif.
h. Narsisme
Respon social ditandai dengan individu memiliki tingkah laku egosentris, harga diri
rapuh, berusaha mendapatkan penghargaan, dan mudah marah jika tidak terdapat
dukungan dari porang lain.
4. TANDA GEJALA
Klien menceritakan perasaan kesepian atau di tolak orang lain
a. Klien merasa tidak aman bersama orang lain.
b. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
c. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
d. Klien tidak mampu berkosentrasi dan membuat keputusan.
e. Klien merasa tidak berguna.
f. Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.
Tanda dan gejala isolasi social yang didapat melalui observasi adalah:
a. Tidak memiliki teman dekat.
b. Tidak komunikatif.
c. Tindakan berulang dan tidak bermakna.
d. Asyik dengan pikirannya sendiri.
e. Tidak ada kontak mata.
f. Tampak sedih, apatis, afek tumpul.
5. POHON MASALAH
Gambar :
6. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
a. ECT (Electro Confulsive Therapy) Jenis pengobatan dengan menggunakan arus
listrik pada otak menggunakan 2 elektrode.
b. Psikoterapi Membutuhkan waktu yang relative lama dan merupakan bagian penting
dalam proses teraupetik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi ; memberikan rasa
nyaman dan tenang, menciptakan lingkungan yang teraupetik, bersifat empati,
menerima klien apa adanya, memotivasi klien untuk dapat mengungkapakan
perasaanya sacara verbal, bersikap ramah, sopan dan jujur.
c. Terapi Okupasi Ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipan seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan harga diri seseorang.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Psikoterapi individual adalah metode yang menimbulkan perubahan pada individu
dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilakunya. Hubungan terbina
melalui tahap yang sama dengan tahap hubungan perawat klien : introduksi, kerja, dan
terminasi.
Tindakan keperawatan yang dilakukan merupakan serangkaian tindakan dalam
mencapai tujuan khusus. Perencanaan meliputi perumusan tujuan, tindakan dan
penilaian rangkaian pengkajian agar masalah keperawatan dapat teratasi.
Perawatan pasien isolasi sosial : menarik diri dari tujuan umum dan tujuan
khusus. Dalam tujuan umum diharapkan klien dapat berhubungan dengan orang lain dan
lingkungan, sedangkan dalam tujuan khusus ada 5 tujuan khusus yaitu :
Tujuan khusus pertama membina hubungan saling percaya, tujuan khusus kedua
klien dapat mengenal perasaan yang menyebabkan perilaku menarik diri, tujuan khusus
ketiga klien dapat mengetahui keuntungan berhubungan dengan orang lain, tujuan
khusus keempat klien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap, tujuan
khusus kelima klien mendapat dukungan keluarga dalam berhubungan dengan orang
lain.
Tujuan khusus pertama klien dapat membina hubungan saling percaya dengan
perawat, intervensi yang dilakukan dengan membina hubungan saling percaya, sikap
terbuka dan empati, menerima klien apa adanya, sapa klien dengan ramah, menepati
janji, menjelaskan tujuan pertemuan, mempertahankan kontak mata selama interaksi.
Tujuan khusus kedua, klien dapat mengenal perasaan yang menyebabkan perilaku
isolasi social, klien dapat menyebutkan penyebab atau alas an perilaku menarik diri
pada dirinya. Intervensi yang dilakukan mengkaji pengetahuan klien tentang perilaku
menarik diri, memberikan kesempatan pada klien untuk mengungkapakan perasaan
penyebab menarik diri, diskusikan dengan pasien tentang perilaku menarik diri,
memberikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapakan perasaannya.
Tujuan khusus ketiga, klien dapat menegetahui keuntungan berhubungan dengan
orang lain klien dapat menyebutkan manfaat berhubungan dengan orang lain yaitu,
mendpat teman, mengungkapan perasaannya, membantu pemecahan masalah. Intervensi
yang dilakukan diskusikan tentang manfaat berhubunagn dengan orang lain, dorong
klien menyebutkan kembali manfaat berhubungan dengan orang lain,. Berikan pujian
atas kemampuan klien dalam menyebutkan manfaat berhubungan dengan orang lain.
Tujuan khusus keempat. Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara
bertahap, klien dapat menyebutkan cara berhubungan dengan orang lain misalnya
membalas sapaan perawat, menatap mata dan mau berinteraksi. Intervensi yang
dilakukan dorong klien untuk menyebutkan cara berkenalan dengan orang lain, dorong
dan bantu klien dengan orang lain secara bertahap antara lain, klien dengan perawat
perawat, klien dengan perawat dan perawat lain, klien dengan perawat dengan perawat
lain dan klien lain, klien dengan kelompok kecil TAK, klien dengan keluarga, libatkan
klien dalam kegiatan TAK dan ADL ruangan, berikan pujian atas keberhasilan yang
telah klien capai. Tujuan khusus kelima, klien mendapatkan dukungan keluarga dalam
berhubungan dengan orang lain. Intervensi yang dilakukan diskusikan tentang manfaat
berhubungan dengan anggota keluarga, dorong klien untuk mengungkapkan perasaan
tentang keluarga, dorong klien untuk mengikuti kegiatan bersama keluarga seperti
makan, beribadah, dan rekreasi, jelaskan pada keluarga kebutuhuan klien, bantu
keluarga untuk tetap mempertahankan hubungan dengan klien yaitu memperlihatkan
perhatian dengan meningkatkan kunjungan ke Rumah Sakit.
7. ASKEP TEORI
1. Pengkajian
Pengkajian pasienisolasi sosial dapat dilakukan melalui wawancara dan observasi
kepada pasiendan keluarga. Tanda dan gejala isolasi sosial dapat ditemukan dengan
wawancara, melelui bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana perasaan Anda saat berinteraksi dengan orang lain?
b. Bagaimana perasaan Anda ketika berhubungan dengan orang lain? Apa yang
Anda rasakan? Apakah Anda merasa nyaman ?
c. Bagaimana penilaian Anda terhadap orang-orang di sekeliling Anda (keluarga
atau tetangga)?
d. Apakah Anda mempunyai anggota keluarga atau teman terdekat? Bila punya
siapa anggota keluarga dan teman dekatnya itu?
e. Adakah anggota keluarga atau teman yang tidak dekat dengan Anda? Bila punya
siapa anggota keluarga dan teman yang tidak dekatnya itu?
f. Apa yang membuat Anda tidak dekat dengan orang tersebut?
Tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan melalui observasi adalah
sebagai berikut:
- Pasienbanyak diam dan tidak mau bicara
- Pasienmenyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat
- Pasientampak sedih, ekspresi datar dan dangkal
- Kontak mata kurang
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan dirumuskan berdasarkan tanda dan gejala Isolasi sosial yang
ditemukan. Jika hasil pengkajian menunjukkan tanda dan gejala isolasi sosial, maka
diagnosis keperawatan yang ditegakkan adalah:

ISOLASI SOSIAL
3. Tindakan Keperawatan Isolasi Sosial
Tindakan keperawatan pada isolasi social, dilakukan terhadap pasiendan
keluarga. Saat melakukan pelayanan di poli kesehatan jiwa di Puskesmas atau
kunjungan rumah, perawat menemui keluarga terlebih dahulu sebelum menemui
klien.
Bersama keluarga, perawat mengidentifikasi masalah yang dialami pasiendan
keluarga. Setelah itu, perawat menemui pasienuntuk melakukan pengkajian dan
melatih cara untuk mengatasi isolasi sosial yang dialami klien. Setelah perawat
selesai melatih klien, maka perawat kembali menemui keluarga dan melatih keluarga
untuk merawat klien, serta menyampaikan hasil tindakan yang telah dilakukan
terhadap pasiendan tugas yang perlu keluarga lakukan yaitu untuk membimbing
pasienmelatih kemampuan mengatasi isolasi sosial yang telah diajarkan oleh
perawat.
Tindakan Keperawatan Untuk Pasien Isolasi Sosial
Tujuan : Pasien mampu:
a. Membina hubungan saling percaya.
b. Menyadari isolasi sosial yang dialaminya.
c. Berinteraksi secara bertahap dengan anggota keluarga dan lingkungan
sekitarnya.
d. Berkomunikasi saat melakukan kegiatan rumah tangga dankegiatan sosial
Tindakan Keperawatan:
a. Membina hubungan saling percayadengan cara:
 Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan klien
 Berkenalan dengan klien: perkenalkan nama dan nama panggilan yang
perawat sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan yang disukai
pasien
 Menanyakan perasaan dan keluhan pasiensaat ini
 Buat kontrak asuhan: apa yang Perawat akan lakukan bersama klien,
berapa lama akan dikerjakan, dan tempatnya di mana
 Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang diperoleh
untuk kepentingan terapi
 Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap klien
 Penuhi kebutuhan dasar pasienbila memungkinkan
b. Membantu pasien menyadari perilaku isolasi sosial
 Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang
lain
 Tanyakan apa yang menyebabkan pasientidak ingin berinteraksi dengan
orang lain
 Diskusikan keuntungan bila pasienmemiliki banyak teman dan bergaul
akrab dengan mereka
 Diskusikan kerugian bila pasienhanya mengurung diri dan tidak bergaul
dengan orang lain
 Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik klien
c. Melatih pasien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
 Jelaskan kepada pasiencara berinteraksi dengan orang lain
 Berikan contoh cara berbicara dengan orang lain
 Beri kesempatan pasienmempraktekkan cara berinteraksi dengan orang lain
yang dilakukan di hadapan Perawat
 Bantu pasienberinteraksi dengan satu orang teman/anggota keluarga
 Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah interaksi
dengan dua, tiga, empat orang dan seterusnya .
 Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan oleh klien
 Latih pasienbercakap-cakap dengan anggota keluarga saat melakukan
kegiatan harian dan kegiatan rumah tangga
 Latih pasien bercakap-cakap saat melakukan kegiatan sosial misalnya :
berbelanja, kekantor pos, kebank dan lain-lain
 Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasiensetelah berinteraksi dengan
orang lain. Mungkin pasienakan mengungkapkan keberhasilan atau
kegagalannya. Beri dorongan terus menerus agar pasientetap semangat
meningkatkan interaksinya.
4.Evaluasi Kemampuan Pasiendan Keluarga

a. Evaluasi kemampuan pasienisolasi sosial berhasil apabila pasiendapat:


1) Menjelaskankebiasaan keluarga berinteraksi dengan klien.
2) Menjelaskanpenyebabpasientidak mau berinteraksi dengan orang lain.
3) Menyebutkan keuntungan bergaul dengan orang lain.
4) Menyebutkan kerugian tidak bergaul dengan orang lain.
5) Memperagakan cara berkenalan dengan orang lain,dengan perawat, keluarga,
tetangga.
6) Berkomunikasi dengan keluarga saat melakukan kegiatan sehari-hari
7) Berkomunikasi saat melakukan kegiatan sosial
8) Menyampaikan perasaan setelah interaksi dengan orang tua.
9) Mempunyai jadwal bercakap-cakap dengan orang lain.
10) Merasakan manfaat latihan berinteraksi dalam mengatasi isolasi sosial
b. Evaluasi kemampuan keluarga dengan pasien isolasi sosial berhasil apabila
keluarga dapat:
1) Mengenal Isolasi sosial (pengertian, tanda dan gejala, dan proses terjadinya
isolasi sosial) dan mengambil keputusan untuk merawat klien.
2) Membantu pasienberinteraksi dengan orang lain.
3) Mendampingi pasiensaat melakukan aktivitas rumah tangga dan kegiatan
sosial sambil berkomunikasi.
4) Melibatkan pasienmelakukan kegiatan harian di rumah dan kegiatan
sosialisasi di lingkungan.
5) Menciptakan suasana keluarga dan lingkungan yang mendukung pasienuntuk
meningkatkan interaksi sosial.
6) Memantau peningkatan kemampuan pasiendalam mengatasi Isolasi sosial.
7) Melakukan follow up ke Puskesmas, mengenal tanda kambuh dan melakukan
rujukan
5. Dokumentasi
Pendokumentasian dilakukan setiap selesai melakukan pertemuan dengan pasiendan
keluarga. Berikut contoh pendokumentasian asuhan keperawatan isolasi sosial pada
kunjungan kedua.Pendokumentasian dilakukan setiap selesai melakukan pertemuan
dengan pasiendan keluarga.
8. STRATEGI PELAKSANAAN

Klien Keluarga
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab isolasi 1. Mendiskusikan Masalah Yang
sosial pasien. Dirasakan Keluarga Dalam Merawat
2. Berdiskusi dengan pasien tentang Pasien.
keuntungan berinteraksi dengan orang 2. Menjelaskan Pengertian, Tanda
lain . Dan Gejala Isolasi Sosial Yang Dialami
3. Berdiskusi dengan pasien tentang pasien Beserta Proses Terjadinya.
kerugian tidak berinteraksi dengan 3. Menjelaskan Cara-Cara Merawat
orang lain. Pasien Isolasi Sosial.
4. Mengajarkan pasien cara
berkenalan dengan satu orang .
5. Menganjurkan pasien memasukkan
kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam kegiatan
harian.
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Melatih keluarga mempraktekkan
harian pasien. cara merawat pasien dengan isolasi
2. Memberikan kesempatan kepada sosial.
pasien mempraktekkan cara 2. Melatih keluarga melakukan cara
berkenalan dengan satu orang. merawat langsung kepada pasien isolasi
3. Membantu pasien memasukkan sosial.
kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain sebagai salah satu kegiatan
harian.
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Membantu keluarga membuat
harian pasien. jadual aktivitas di rumah termasuk
2. Memberikan kesempatan kepada minum obat (discharge planning).
berkenalan dengan dua orang atau 2. Menjelaskan follow up pasien
lebih. setelah pulang.
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
DAFTAR PUSTAKA

Nurhalimah. 2016. Keperawatan Jiwa. Jakarta selatan : Pusdik SDM Kesehatan.


Nurhalimah. 2016. Praktikum Keperawatan Jiwa. Jakarta selatan : Pusdik SDM Kesehatan.
https://id.scribd.com/doc/146839526/Strategi-Pelaksanaan-Tindakan-Keperawatan-Jiwa
diakses pada tanggal 21 September 2020, pukul : 23:40 WITA

https://osf.io/w28t3/download/?format=pdf diakses pada tanggal 21 September 2020, pukul :


23:58 WITA
LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN JIWA
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN RESIKO BUNUH DIRI
(RBD)

Di Susun Oleh :

Maharany Ungkey 17061136

Semester VII

Program Ilmu Keperawatan


Fakultas Keperawatan
Univeristas Katolik De La Salle Manado
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI (RBD)
1. DEFINISI
Bunuh diri merupakan tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan (Wilson dan Kneisl, 1988). Bunuh diri merupakan kedaruratan
psikiatri karena pasien berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping
yang maladaptif. Situasi gawat pada bunuh diri adalah saat ide bunuh diri timbul secara
berulang tanpa rencana yang spesifik atau percobaan bunuh diri atau rencana yang
spesifik untuk bunuh diri. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan keterampilan
perawat yang tinggi dalam merawat pasien dengan tingkah laku bunuh diri, agar pasien
tidak melakukan tindakan bunuh diri.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), faktor penyebab bunuh diri adalah
perceraian, pengangguran, dan isolasi sosial. Sementara menurut Tishler (1981) (dikutip
oleh Leahey dan Wright, 1987) melalui penelitiannya menyebutkan bahwa motivasi
remaja melakukan percobaan bunuh diri, yaitu 51% masalah dengan orang tua, 30%
masalah dengan lawan jenis, 30% masalah sekolah, dan 16% masalah dengan saudara.
Seorang sosiolog dari Perancis bernama Email Durkheim (Oltmanns, 2013)
memandang bunuh diri sebagai masalah sosial, dan tertarik dengan fakta sosial, seperti
kelompok religius dan partai daripada aspek psikologis atau biologisnya.
2. KLASIFIKASI
Jenis-jenis bunuh diri :
1. Bunuh diri egoistik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.
2. Bunuh diri altruistik
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
3. Bunuh diri anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.
Pengelompokan Bunuh Diri :
1) Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin
bunuh diri, misalnya dengan mengatakan “Tolong jaga anak-anak karena saya akan
pergi jauh!” atau “Segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.” Pada kondisi ini
pasien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, tetapi tidak disertai
dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Pasien umumnya mengungkapkan
perasaan seperti rasa bersalah/sedih/marah/putus asa/tidak berdaya. Pasien juga
mengungkapkan hal-hal negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan harga diri
rendah.
2) Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, yang berisi keinginan
untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat
untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien telah memikirkan rencana
bunuh diri, tetapi tidak disertai dengan percobaan bunuh diri. Walaupun dalam
kondisi ini pasien belum pernah mencoba bunuh diri, pengawasan ketat harus
dilakukan. Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan
rencana bunuh dirinya.
3) Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh diri adalah tindakan pasien mencederai atau melukai diri
untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien aktif mencoba bunuh diri
dengan cara gantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri
dari tempat yang tinggi.
4. RENTANG RESPON
b. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif
Peningkatan Pertumbuhan Perilaku Pencederaan Bunuh diri
Diri Peningkatan destruktif diri diri
Berisiko tak langsung

Keterangan :

1. Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai pengharapan, yakin, dan
kesadaran diri meningkat.
2. Pertumbuhan-peningkatan berisiko, yaitu merupakan posisi pada rentang yang masih
normal dialami individu yang mengalami perkembangan perilaku.
3. Perilaku destruktif diri tak langsung, yaitu setiap aktivitas yang merusak
kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian, seperti perilaku
merusak, mengebut, berjudi, tindakan kriminal, terlibat dalam rekreasi yang berisiko
tinggi, penyalahgunaan zat, perilaku yang menyimpang secara sosial, dan perilaku
yang menimbulkan stres.
4. Pencederaan diri, yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri yang
dilakukan dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri sendiri, tanpa bantuan
orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk melukai tubuh. Bentuk umum
perilaku pencederaan diri termasuk melukai dan membakar kulit, membenturkan
kepala atau anggota tubuh, melukai tubuhnya sedikit demi sedikit, dan menggigit jari.
5. Bunuh diri, yaitu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengakhiri kehidupan.
3. TANDA GEJALA
Santrock (2003) mendaftarkan tanda-tanda awal seseorang melakukan bunuh diri, yaitu
sebagai berikut:
1. Melakukan ancaman untuk bunuh diri
2. Sudah pernah mencoba bunuh diri sebelumnya.
3. Mengalami depresi seperti perasaan putus asa, harga diri rendah, dan cenderung
menyalahkan dirinya sendiri
4. Terjadi peristiwa kehilangan dalam kehidupannya seperti kehilangan anggota
keluarga, binatang peliharaan atau kekasih akibat kematian, perceraian, diabaikan
atau putusnya suatu hubungan.
5. Mendapat tekanan dalam hidup dan kurang adanya afeksi dan dukungan emosional
dari orang disekitarnya.
6. Gangguan tidur, kebersihan diri dan kebiasaan makan.
7. Hilangnya minat secara tiba-tiba terhadap aktivitas yang disukai atau aktivitas yang
menjadi rutinitas.
8. Terjadi pola perubahan tingkah laku yang dramatis, yaitu seseorang yang periang
secara tiba-tiba menjadi pemurung dan penyendiri.
9. Menarik diri dari lingkungan sekitar, merasa disingkirkan oleh orang yang berarti
baginya.
10. Adanya serangkaian kecelakaan atau tingkah laku beresiko yang tidak terencana.
1. POHON MASALAH

Risiko bunuh diri

Gangguan konsep diri: harga


diri rendah
2. PENATALAKSANAAN
Pencegahan bunuh diri menurut Conwell terdiri atas pencegahan primer, sekunder dan
tertier. Pencegahan primer adalah suatu upaya pencegahan terjadinya perilaku bunuh diri
atau keadaan yang berkembang menjadi menjadi upaya bunuh diri. Pencegahan sekunder
adalah suatu upaya pencegahan dengan cara menemukan sedini mungkin krisis bunuh
diri dan melakukan tindakan agar tidak berlanjut menjadi bunuh diri. Sedangkan
pencegahan tertier adalah tindakan yang ditujukan untuk menyelamatkan sesorang yang
melakukan bunuh diri, mengurangi gejala psikiatris dan penyakit sosial pada kelompok
risiko. Penanganan di ruang gawat darurat dan 15 di bangsal rawat inap psikiatri
merupakan pelayanan tertier (WHO, 2010).
Evaluasi pertama di ruang gawat darurat merupakan unsur yang penting dalam
penanganan pasien psikiatri yang berisiko bunuh diri. Sangat mungkin dalam
penanganan tersebut dilakukan kerjasama dengan bagian lain (Roan, 2015).
Setelah itu, pasien gangguan mental dapat diberikan terapi sesuai indikasi dengan
tujuan utama menangani gejala mental akutnya. Langkah berikutnya adalah melakukan
intervensi psikologis. Sejumlah proses psikologis yang mendahului ide dan perilaku
bunuh diri dapat meningkat bila muncul stresor. Peran terapis adalah mengenali faktor
tersebut. Selama proses tersebut pencegahan dapat dilakukan dengan membatasi sarana
dan prasarana yang mungkin digunakan untuk melakukan bunuh diri (Caroline, 2016).
Banyak kasus bunuh diri dapat dicegah (Sadock, 2016; Roy, 2015). Begitu pula
percobaan bunuh diri di rawat inap. Penderita depresi dapat melakukan bunuh diri justru
di saat mereka tampak mulai pulih (paradoxal suicide) (Surilena, 2015). Pengenalan
faktor risiko sangat penting bagi klinisi yang merawat pasien psikiatri rawat inap.
Petugas kesehatan harus cermat menilai kondisi pasien secara keseluruhan. Faktor-faktor
yang harus dinilai adalah status mental terbaru, ide-ide terakhir mengenai kematian dan
bunuh diri, rencana bunuh diri terbaru, seberapa siap orang itu, dan sesegera apa aksi
tersebut akan dijalankan, sistem pendukung individu (WHO, 2015).
Banyak pasien bunuh diri menggunakan preokupasi bunuh diri untuk melawan
depresi yang tidak tertahankan dan rasa putus asa. Penilaian potensi bunuh diri
melibatkan penggalian riwayat psikitrik 17 yang lengkap, pemeriksaan status mental
pasien yang menyeluruh, dan pertanyaan tentang gejala depresi, pikiran, tujuan, rencana
dan usaha bunuh diri (Sadock, 2016; Roy, 2015).
Di rumah sakit, pasien mungkin menerima medikasi antidepresan atau antipsikotik
sesuai dengan indikasi; terapi 18 individual, terapi kelompok dan juga terapi keluarga.
Pasien mendapatkan dukungan sosial rumah sakit dan rasa aman. Terapi ECT (Electro
Convulsive Theraphy) mungkin diperlukan untuk pasien yang terdepresi parah. Pasien
yang memiliki gagasan bunuh diri akut memiliki prognosis yang lebih baik dari pada
pasien yang mencoba bunuh diri secara kronis (Sadock, 2016; Roy, 2015).
Pengamatan yang terus-menerus oleh perawat khusus, pengurungan dan pengikatan
tidak dapat mencegah bunuh diri jika pasien teguh, terutama individu yang ingin
melakukan bunuh diri biasanya menjadi lebih kreatif untuk menemukan metode bunuh
dirinya. Namun demikian, harus diperhatikan agar memeriksa barang-barang pasien dan
orang-orang yang berkunjung ke bangsal untuk mencari benda-benda yang dapat
digunakan untuk bunuh diri dan secara berulang mencari eksaserbasi gagasan bunuh diri
(Sadock, 2016; Roy, 2015).
Idealnya, pasien rawat inap yang mencoba bunuh diri mengalami depresi harus
ditempatkan dalam bangsal yang terkunci, dimana jendela dipasang terali, ruangan
pasien harus berlokasi dekat tempat perawatan untuk memaksimalkan pengamatan oleh
perawat. Tim yang mengobati harus diperiksa secara berulang dan terus-menerus
mengawasi secara langsung. Pasien yang sedang pulih dari depresi, bunuh diri berada
pada risiko khusus. Saat depresi menghilang, pasien memiliki energi untuk melakukan
bunuh diri (Sadock, 2016; Roy, 2015).
3. ASKEP TEORI
1. Pengkajian
Pengkajian tingkah laku bunuh diri temasuk aplikasi observasi melekat dan
keterampilan mendengar untuk mendeteksi tanda spesifik dan rencana spesifik.
Perawat harus mengkaji tingkat risiko bunuh diri, faktor predisposisi, presipitasi,
mekanisme koping, dan sumber koping pasien. Beberapa kriteria untuk menilai
tingkat risiko bunuh diri seperti pada tabel berikut.

Faktor Risiko

Menurut SIRS (Suicidal Intention Rating Scale)

Skor 0 : Tidak ada ide bunuh diri yang lalu dan sekarang.

Skor 1 : Ada ide bunuh diri, tidak ada percobaan bunuh diri, tidak mengancam
bunuh diri.

Skor 2 : Memikirkan bunuh diri dengan aktif, tidak ada percobaan bunuh diri.

Skor 3 : Mengancam bunuh diri, misalnya, “Tinggalkan saya sendiri atau saya bunuh
diri”.
Skor 4 : Aktif mencoba bunuh diri.

 Faktor Perilaku
1. Ketidakpatuhan Ketidakpatuhan biasanya dikaitkan dengan program
pengobatan yang dilakukan (pemberian obat). Pasien dengan keinginan bunuh
diri memilih untuk tidak memperhatikan dirinya.
2. Pencederaan diri Cedera diri adalah sebagai suatu tindakan membahayakan
diri sendiri yang dilakukan dengan sengaja. Pencederaan diri dilakukan
terhadap diri sendiri, tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup
parah untuk melukai tubuh.
3. Perilaku bunuh diri Biasanya dibagi menjadi tiga kategori, yaitu sebagai
berikut.
a. Ancaman bunuh diri, yaitu peringatan verbal dan nonverbal bahwa orang
tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang tersebut mungkin
menunjukkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita
lebih lama lagi atau mungkin juga mengomunikasikan secara nonverbal
melalui pemberian hadiah, merevisi wasiatnya, dan sebagainya.

b. Upaya bunuh diri, yaitu semua tindakan yang diarahkan pada diri sendiri
yang dilakukan oleh individu yang dapat mengarahkan pada kematian jika
tidak dicegah.
c. Bunuh diri mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
terabaikan. Orang yang melakukan upaya bunuh diri dan yang tidak
benar-benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut tidak
diketahui tepat pada waktunya.
 Faktor Lain
Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam pengkajian pasien destruktif diri (bunuh
diri) adalah sebagai berikut (Stuart dan Sundeen, 1995).
1. Pengkajian lingkungan upaya bunuh diri.
a. Presipitasi peristiwa kehidupan yang menghina/menyakitkan.
b. Tindakan persiapan/metode yang dibutuhkan, mengatur rencana,
membicarakan tentang bunuh diri, memberikan barang berharga sebagai
hadiah, catatan untuk bunuh diri.
c. Penggunaan cara kekerasan atau obat/racun yang lebih mematikan.
d. Pemahaman letalitas dari metode yang dipilih.
e. Kewaspadaan yang dilakukan agar tidak diketahui.
2. Petunjuk gejala
a. Keputusasaan.
b. Celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal, dan tidak berharga.
c. Alam perasaan depresi.
d. Agitasi dan gelisah.
e. Insomnia yang menetap.
f. Penurunan berat badan.
g. Berbicara lamban, keletihan, menarik diri dari lingkungan sosial.
3. Penyakit psikiatrik
a. Upaya bunuh diri sebelumnya.
b. Kelainan afektif.
c. Alkoholisme dan atau penyalahgunaan obat.
d. Kelainan tindakan dan depresi pada remaja.
e. Demensia dini dan status kekacauan mental pada lansia.
f. Kombinasi dari kondisi di atas.
4. Riwayat psikososial
a. Baru berpisah, bercerai, atau kehilangan.
b. Hidup sendiri.
c. Tidak bekerja, perubahan, atau kehilangan pekerjaan yang baru dialami.
d. Stres kehidupan ganda (pindah, kehilangan, putus hubungan yang
berarti, masalah sekolah, ancaman terhadap krisis disiplin).
e. Penyakit medis kronis.
f. Minum yang berlebihan dan penyalahgunaan zat.
5. Faktor-faktor kepribadian
a. Impulsif, agresif, rasa bermusuhan.
b. Kekakuan kognitif dan negatif.
c. Keputusasaan.
d. Harga diri rendah.
e. Batasan atau gangguan kepribadian antisosial.
6. Riwayat keluarga
a. Riwayat keluarga berperilaku bunuh diri.
b. Riwayat keluarga gangguan afektif, alkoholisme, atau keduanya.
 Faktor Predisposisi
Mengapa individu terdorong untuk melakukan bunuh diri? Banyak pendapat
tentang penyebab dan atau alasan termasuk hal-hal berikut.
1. Kegagalan atau adaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.
2. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal
atau gagal melakukan hubungan yang berarti.
3. Perasaan marah atau bermusuhan. Bunuh diri dapat merupakan hukuman
pada diri sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
5. Tangisan minta tolong
 Faktor Presipitasi
1. Psikososial dan klinik
a. Keputusasaan
b. Ras kulit putih
c. Jenis kelamin laki-laki
d. Usia lebih tua
e. Hidup sendiri
2. Riwayat
a. Pernah mencoba bunuh diri.
b. Riwayat keluarga tentang percobaan bunuh diri.
c. Riwayat keluarga tentang penyalahgunaan zat.
3. Diagnostis
a. Penyakit medis umum
b. Psikosis
c. Penyalahgunaan zat
 Sumber Koping
Tingkah laku bunuh diri biasanya berhubungan dengan faktor sosial dan kultural.
Durkheim membuat urutan tentang tingkah laku bunuh diri. Ada tiga subkategori
bunuh diri berdasarkan motivasi seseorang, yaitu sebagai berikut.
1. Bunuh diri egoistik Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang
buruk.
2. Bunuh diri altruistik Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
3. Bunuh diri anomik Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan
bagi individu.
 Mekanisme Koping
Mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku pengerusakan diri
tak langsung adalah pengingkaran (denial). Sementara, mekanisme koping yang
paling menonjol adalah rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi.
2. Diagnosa Keperawatan
- Risiko Bunuh Diri
3. Perencanaan
Ancaman/percobaan bunuh diri dengan diagnosis keperawatan risiko bunuh diri.
Tindakan Keperawatan untuk Pasien :
1) Tujuan
Pasien tetap aman dan selamat.
2) Tindakan
Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri, maka
Anda dapat melakukan tindakan berikut.
a. Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ke tempat
yang aman.
b. Menjauhkan semua benda yang berbahaya, misalnya pisau, silet, gelas,
tali pinggang.
c. Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya, jika
pasien mendapatkan obat.
d. Menjelaskan dengan lembut pada pasien bahwa Anda akan melindungi
pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1) Tujuan
Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang mengancam atau
mencoba bunuh diri.
2) Tindakan
a. Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan pernah
meninggalkan pasien sendirian.
b. Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-barang
berbahaya di sekitar pasien.
c. Mendiskusikan dengan keluarga ja untuk tidak sering melamun sendiri.
d. Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat secara teratur.
4. Evaluasi
 Untuk pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan bunuh diri,
keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan keadaan pasien yang tetap
aman dan selamat.
 Untuk keluarga pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan
bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan kemampuan
keluarga berperan serta dalam melindungi anggota keluarga yang mengancam
atau mencoba bunuh diri.
 Untuk pasien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan asuhan
keperawatan ditandai dengan hal berikut.
a. Pasien mampu mengungkapkan perasaanya.
b. Pasien mampu meningkatkan harga dirinya.
c. Pasien mampu menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik.
 Untuk keluarga pasien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan
asuhan keperawatan ditandai dengan kemampuan keluarga dalam merawat
pasien dengan risiko bunuh diri, sehingga keluarga mampu melakukan hal
berikut.
a. Keluarga mampu menyebutkan
kembali tanda dan gejala bunuh diri.
b. Keluarga mampu memperagakan
kembali cara-cara melindungi anggota keluarga yang berisiko bunuh diri.
c. Keluarga mampu menggunakan
fasilitas kesehatan yang tersedia dalam merawat anggota keluarga yeng
berisiko bunuh diri.

STRATEGI PELAKSANAAN

Klien Keluarga
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi benda-benda yang 1. Mendiskusikan masalah yang
dapat membahayakan pasien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Mengamankan benda-benda yang pasien
dapat membahayakan pasien 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
3. Melakukan kontrak treatment gejala risiko bunuh diri, dan jenis
4. Mengajarkan cara mengendalikan perilaku bunuh diri yang dialami
dorongan bunuh diri pasien beserta proses terjadinya
5. Melatih cara mengendalikan 3. Menjelaskan cara-cara merawat
dorongan bunuh diri. pasien risiko bunuh diri.
SP 2 SP 2
1. Mengidentifikasi aspek positif 1. Melatih keluarga mempraktekkan
pasien cara merawat pasien dengan risiko
2. Mendorong pasien untuk berfikir bunuh diri
positif terhadap diri 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Mendorong pasien untuk merawat langsung kepada pasien risko
menhargai diri sebagai individu yang bunuh diri.
berharga.
SP 3 SP 3
1. Mengidentifikasi pola koping yang 1. Membantu keluarga membuat
biasa diterapkan pasien jadual aktivitas di rumah termasuk
2. Menilai pola koping yang biasa minum obat
dilakukan 2. Mendiskusikan sumber rujukan
3. Mengidentifikasi pola koping yang yang bisa dijangkau oleh keluarga.
konstruktif
4. Mendorong pasien memilih pola
koping yang konstruktif
5. Menganjurkan pasien menerapkan
pola koping konstruktif dalam
kegiatan harian.
SP 4
1. Membuat rencana masa depan yang
realistis bersama pasien
2. Mengidentifikasi cara mencapai
rencana masa depan yang realistis
3. Memberi dorongan pasien
melakukan kegiatan dalam rangka
meraih masa depan yang realistis.

DAFTAR PUSTAKA
Nurhalimah. 2016. Keperawatan Jiwa. Jakarta selatan : Pusdik SDM Kesehatan.
Nurhalimah. 2016. Praktikum Keperawatan Jiwa. Jakarta selatan : Pusdik SDM Kesehatan.
https://id.scribd.com/doc/146839526/Strategi-Pelaksanaan-Tindakan-Keperawatan-Jiwa
diakses pada tanggal 21 September 2020, pukul : 23:40 WITA

Anda mungkin juga menyukai