Shopping dalam keadaan emosional yang negative dapat menyebabkan pembelian atau membayaran yang impulsive . Emotional negative seperti kesedihan atau amarah juga bisa mengkontribusi perilaku shopping yang impulsive. Siapapun yang berpartisipasi dalam survey CreditCard.com, 28% wanita dan 14% pria mengatakan mereka melakukan pembayaran yang tidak terencana ketika merea sedih. Amarah lebih tepatnya mempengaruhi membeli yang berusia muda, sekitar setengah dari (13%) membeli secara impulsive ketika marah daripada costumers yang lebih tua 6%. Beberapa orang tua dapat terpengaruh juga ketika marah. Mereka hanya ingin keluar dari toko yang ramai; hanya jika anak mereka berkelakuan buruk. Para orang tua yang marah (13%) akan melakukan pembelian yang tidak direncanakan dua kali lipat lebih sering dari yang bukan merupakan orang tua (7%). Bahkan kebosanan dapat menimbulkan seseorang melakukan pembelian impulsive, 30% dari para pembelanja atau shoppers memberikan argumentasi bahwa kebosanan adalah alasan utama mereka mengeluarkan uang mereka tak terencana. Wanita (32%) sedikit lebih cenderung untuk berbelanja impulsif ketika bosan daripada pria (28%). Rook dan Gardner (1993) mengakui bahwa walaupun kesenangan adalah prekursor yang penting, keadaan suasana hati yang negatif seperti kesedihan, juga dapat dikaitkan dengan pembelian impulsif. Sebagai contoh, berbagai penelitian menyarankan pemberian hadiah untuk diri sendiri sebagai suatu bentuk terapi ritel yang membantu pelanggan dalam mengatur suasana hati mereka (Mick dan Demoss 1990; Rook dan Gardner 1993; Vohs dan Faber 2007). Berbelanja ketika senang bisa menyebabkan dompet kosong juga. Anehnya, perasaan teratas responden yang terkait dengan pembelian impulsif adalah kegembiraan. Dan selama musim liburan, tidak ada kegembiraan selain dengan meluangkan waktu bersama keluarga, liburan dari pekerjaan, dan penawaran dan diskon dari toko. Secara keseluruhan, 50% wanita dan 47% pria mengatakan bahwa mereka telah melakukan pembelian impulsif karena mereka “bersemangat.” Konsumen yang lebih muda (berusia 18 hingga 29 tahun) khususnya cenderung lebih banyak berbelanja ketika bersemangat (69%). Telah dikemukakan bahwa perilaku pembelian impuls berhubungan kuat dengan emosi dan perasaan positif sehingga pembeli impuls mengalami lebih banyak emosi positif seperti kesenangan dan akibatnya membelanjakan lebih banyak (Beatty dan Ferrell 1998). Pembeli impuls memiliki kebutuhan yang kuat untuk gairah dan mengalami dorongan emosional dari perilaku pembelian berulang yang terus-menerus (O'Guinn dan Faber 1989; Verplanken dan Sato 2011). Gairah semacam itu bahkan mungkin menjadi motif yang lebih kuat untuk pembelian impulsif daripada kepemilikan produk (Dawson et al. 1990). Barang lain selain makanan yang paling banyak dibeli adalah pakaian, wine, majalah, buku, sepatu, dan perlengkapan mandi juga sering dibeli secara impulsive. Menurut Hausman (2000), belanja impulsif adalah konsep yang rumit, besar dan multi-dimensi karena sangat besar jumlah produk dan layanan dijual setiap tahun. Kebutuhan mempelajari pembelian impulsif lebih dari itu di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju karena perkembangan terkini di ektor ritel di negara berkembang (Kacen & Lee, 2002). Alasan utama mengapa pembelian impulsif dilakukan adalah karena hal itu membuat orang tersebut merasa lebih baik daripada menjadi barang yang berguna atau perlu. Konseptualisasi kontrol diri sebagai kekuatan dan kegagalan kontrol diri sebagai penipisan ego (bdk. Baumeister 2002) juga membuka jalan untuk memahami bagaimana latihan kontrol diri dan konsekuensi yang tidak menyenangkan dari pengaturan diri dari tugas yang menyenangkan mungkin berkontribusi untuk mencari pengejaran yang menyenangkan lainnya (Finley dan Schemichel 2018). Dengan demikian, individu dapat melawan dampak buruk dari tindakan pengendalian diri dengan mengejar peluang yang akan berkontribusi pada emosi positif (Finley dan Schemichel 2018). Pandangan kontrol diri ini memandang ego deplesi sebagai suatu proses, di mana pelaksanaan kontrol diri dalam satu periode waktu mengarah pada individu yang mencari pengalaman positif berikutnya (Finley dan Schemichel 2018). pembelian secara impulsive berkurang secara 13% pada pembelanjaan yang terencana. Pembelian impuls secara langsung terkait dengan pengambilan keputusan konsumen (Rook dan Fisher, 1995). Semakin besar kemungkinan untuk mewujudkan tindakan yang tidak direncanakan, semakin besar kemungkinan untuk mengambil tindakan impulsif. Studi yang mendeteksi hubungan kuat antara pembelian impuls dan pengambilan keputusan diamati dalam segmen yang berbeda, seperti perekrutan jasa keuangan (Lai, 2010) dan tindakan penjualan (Fenech, 2002). Memperkuat, bahkan lebih, hubungan antara pembelian impuls dan pengambilan keputusan ditemukan dalam penelitian yang dilakukan di negara-negara Barat (Fenech, 2002) dan negara-negara Timur (Ling et al., 2010). Satu factor yang paling memotivasi untuk seseorang untuk melakukan pembelian secara impulsive adalah harga sale dari beberapa barang. Marketing research studies menyatakan 88 percent dari pembelian impulsive dipengaruhi oleh persepsi dari harga yang lebih murah. Sumber Tingkat harga produk penting, karena kendala keuangan menekan pembelian impuls (Rook dan Fisher 1995), dan pemicu pembelian impuls kurang efektif dalam kategori produk yang lebih mahal. Tingkat harga produk penting, karena kendala keuangan menekan pembelian impuls (Rook dan Fisher 1995), dan pemicu pembelian impuls kurang efektif dalam kategori produk yang lebih mahal. Tingkat harga produk penting, karena kendala keuangan menekan pembelian impuls (Rook dan Fisher 1995), dan pemicu pembelian impuls kurang efektif dalam kategori produk yang lebih mahal. Dalam meta- analisis mereka, Samaha et al. (2014) menemukan bahwa intensitas iklan dalam industri tertentu mengurangi efektivitas kegiatan komunikasi perusahaan. Kami berpendapat bahwa hal yang sama, pemicu pembelian impulsif mungkin kurang efektif dalam industri di mana semua perusahaan berinvestasi dalam iklan, karena konsumen cenderung mengenali dan mempertimbangkan berbagai pemicu ini. Selain itu, intensitas distribusi dalam suatu industri dapat mempengaruhi pembelian impulsif, karena dorongan untuk membeli kemungkinan meningkat ketika produk jarang atau eksklusif (Troisi et al. 2006). Pembeli yang lapar lebih banyak melakukan pembelian makanan yang impulsif berdasarkan kebutuhan psikologinya. harus diakui bahwa orang tidak hanya mengikuti pemikiran rasional mereka, tetapi mereka juga dipengaruhi oleh kekhawatiran emosional (Batra 1986). Membentuk keinginan konsumen untuk berbelanja misalnya atau membentuk kecenderungan konsumen untuk merek atau produk tertentu melibatkan peran sentral dari emosi. Pada dasarnya, perilaku konsumsi - dari perilaku di dalam toko sampai perilaku sebelum dan sesudah berbelanja - saling terkait dengan emosi yang dialami konsumen (Herabadi 2003). Pandangan pengalaman konsumsi sebagai Holbrook dan Hirschman (1982) tunjukkan dalam studi mereka harus ditandai dengan efek emosional yang mendalam - seperti ketakutan, kegembiraan, rasa bersalah, kegembiraan, kebahagiaan, dan sebagainya - daripada sekadar perasaan puas atau tidak puas (misalnya seperti kebencian). Menurut Cobb and Hoyer (1986), pembelian impulsif seringkali melibatkan komponen hedonic atau affective. Pembelian impulsif terjadi ketika konsumen merasakan adanya dorongan yang kuat untuk membeli sesuatu dengan segera. Dorongan yang dirasakan oleh konsumen berkaitan dengan motivasi konsumen untuk membeli barang secara hedonic yang menimbulkan konflik emosional. Costumers yang lebih muda yang memiliki pendapatan akan melakukan pembelian yang lebih impulsif daripada demografi lainnya karena mereka memiliki lebih banyak uang diskresioner untuk dibelanjakan. Konseptualisasi kontrol diri sebagai kekuatan dan kegagalan kontrol diri sebagai penipisan ego (bdk. Baumeister 2002) juga membuka jalan untuk memahami bagaimana latihan kontrol diri dan konsekuensi yang tidak menyenangkan dari pengaturan diri dari tugas yang menyenangkan mungkin berkontribusi untuk mencari pengejaran yang menyenangkan lainnya (Finley dan Schemichel 2018). Dengan demikian, individu dapat melawan dampak buruk dari tindakan pengendalian diri dengan mengejar peluang yang akan berkontribusi pada emosi positif (Finley dan Schemichel 2018). Pandangan kontrol diri ini memandang ego deplesi sebagai suatu proses, di mana pelaksanaan kontrol diri dalam satu periode waktu mengarah pada individu yang mencari pengalaman positif berikutnya (Finley dan Schemichel 2018).