Anda di halaman 1dari 15

Refarat Kepada Yth,

Divisi TK-Pediatrik Sosial

Attention Deficit Hyperactivity Disorder Pada Remaja

Penyaji : dr. Kamsiah


Pembimbing : DR. dr. Sri Sofyani, M.Ked (Ped), Sp.A (K)
Supervisor : DR. dr. Sri Sofyani, M.Ked (Ped), Sp.A (K)
dr. Lily Rahmawati, Sp.A, IBCLC
dr. Monalisa Elizabeth, M.Ked (Ped), Sp.A (K)
dr. Ika Citra D Tanjung, M.Ked(Ped),Sp.A (K)

Pendahuluan
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan perilaku sulit
memusatkan perhatian, perilaku impulsif dan hiperaktif yang biasanya terjadi pada
anak-anak.1 Attention-deficit/hyperactivity disorder  (ADHD) merupakan kelainan
neurobehavioral yang paling sering terjadi pada anak-anak, yang juga merupakan
suatu keadaan kronis yang paling sering berpengaruh pada anak-anak usia sekolah,
dan merupakan gangguan mental yang sering ditemukan pada anak-anak. ADHD
ditandai oleh 3 gejala utama yaitu inatensi, hiperaktivitas, dan impulsivitas. Angka
prevalensi ADHD di dunia sebesar 2% sampai 9,5% dari semua anak usia
sekolah.1 Angka kejadiannya di Amerika Serikat pada anak di usia sekolah dasar
berkisar antara 2% hingga 20%, sedangkan pada anak sekolah dasar prapubertas
berkisar antara 3% sampai 7%.1,2
Gejala yang satu bisa jadi menonjol dibandingkan gejala lainnya, atau bisa
juga terjadi kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Dulu seringkali diagnosis ADHD
diabaikan, hal ini terjadi karena informasi mengenai ADHD sangatlah terbatas.
Bahkan peranan neurologis pada terjadinya ADHD masih diragukan. Dikatakan juga
kriteria diagnosis ADHD terlalu luas, dan tidak ada tes yang dapat dilakukan untuk
mendiagnosis ADHD. Namun saat ini, informasi mengenai ADHD semakin
berkembang, dan adanya peranan neurologis pada ADHD sudah dapat dibuktikan.
Dampak ADHD tidak hanya dirasakan oleh anak tersebut, namun juga dirasakan oleh
keluarga. Dampak pada anak bisa berupa prestasi sekolah yang buruk, gangguan
sosialisasi, status pekerjaan yang rendah, dan risiko kecelakaan meningkat.

1
Sedangkan dampak pada keluarga adalah menimbulkan stres dan depresi pada
keluarga, keharmonisan keluarga terganggu dan perubahan status pekerjaan.1,3
Anak dan remaja dengan ADHD mengalami kesulitan dalam mengerjakan
tugas-tugasnya. Mereka butuh bantuan, bimbingan, dan pengertian baik dari orang
tuanya, pembimbing, dan sistem pendidikan umum. Prognosis dari ADHD ini
umumnya baik, terutama bila pasien cepat didiagnosis sehingga segera mendapatkan
terapi.4

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memahami tentang Attention Deficit
Hyperactivity Disorder pada remaja.

Definisi
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) adalah suatu diagnosis untuk pola perilaku anak
yang sulit untuk memusatkan perhatian dan ataupun memiliki aktifitas impulsif yang
berlebihan dengan sejumlah gejala fungsi dan perkembangan seperti kurangnya
pemahaman dalam mengorganisir.1
Untuk memenuhi kriteria diagnosis ADHD, beberapa gejala harus terdapat
saat usia anak kurang dari 7 tahun, meskipun banyak yang baru terdiagnosis setelah
berusia 7 tahun, saat perilaku mereka menimbulkan masalah di sekolah maupun
tempat lain yang terkat dengan aktifitas anak sehari-hari. Kondisi dimana tidak
adanya atensi dan/atau hiperaktifias-impulsivitas harus sedikitnya mengganggu fungsi
secara sosial, dan akademik yang sesuai dengan perkembangan anak. Gangguan
ADHD ini tidak boleh tumpang tindih dengan diagnosis gangguan kejiwaan lain
seperti skizofrenia, maupun disebabkan oleh gangguan jiwa lain.2

Epidemiologi
Studi epidemiologi menemukan prevalensi ADHD pada anak-anak dan remaja sekitar
5 sampai dengan 8%. Pada individu yang mempunyai riwayat orang tua dan saudara
kembar dengan ADHD mempunyai resiko penyakit ADHD 2-8 kali lebih tinggi
dibanding populasi umum. ADHD lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada
anak perempuan dengan rasio 2:1 sampai 9:1.5
Studi yang dilakukan oleh Visser dkk pada tahun 2014 di Amerika Serikat
menjumpai bahwa terjadi peningkatan diagnosis ADHD pada anak-anak usia 4-17
tahun, dimana prevalensinya adalah 7,8% pada tahun 2003, 9,5% pada tahun 2007,

2
dan 11% pada tahun 2011. Data tersebut juga mengindikasikan terjadinya
peningkatan beban perawatan ADHD di Amerika Serikat. 5 Sekitar 1/3 dari kasus
ADHD pada anak-anak didiagnosa sebelum berumur 6 tahun.6

Etiologi
Penyebab kemunculan ADHD tidak diketahui dengan pasti, hal terpenting untuk
dilakukan adalah dengan memberikan pelatihan agar mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Penyebab ADHD muncul biasa dikaitkan dengan fungsi
bagian otak sebagai kontrol perencanaan, pemecahan masalah prilaku dan mengatur
impuls adalah hal yang tidak dimiliki oleh penderita ADHD.1
Beberapa kemungkinan faktor penyebab kemunculan ADHD :
1. Faktor Genetik
Penyebab terbanyak dalam kasus ADHD adalah faktor genetik, sama halnya
dengan beberapa jenis gangguan lainnya yang serupa. Menurut para ahli,
penderita ADHD ditemukan kadar dopamine yang rendah dalam otak. Studi
genetik menyatakan terdapat hubungan yang kuat antara komponen genetik
dengan terjadinya ADHD, setidaknya terdapat 2 kandidat gen yaitu Dopamine
transporter gene (DAT1) dan Dopamine 4 Receptor gene (DRD4).4,7
Data yang ada menunjukkan bahwa sekitar 75% penyebab dari ADHD adalah
faktor genetik. Sebuah studi tahun 2000 melaporkan bahwa kedua orangtua atau
saudara kandung dari anak dengan ADHD , 4 sampai 5 kali lebih besar menderita
penyakit serupa. Data lain tahun 1996 sampai 2001 menunjukkan genetik
berpengaruh pada ADHD dimana didapatkan koreasi sifat kuantitatif dari gejala
ADHD.6
Hier tahun 1980 telah menunjukkan adanya hubungan antara faktor genetik
dan penyebab gangguan ini, yaitu pada anak laki-laki dengan kelebihan Y
kromosom (XYY) menunjukkan peningkatan kejadian hiperaktivitas yang
menyertai kemampuan verbal dan performance rendah. Masalah kesulitan
memusatkan perhatian dan kesulitan belajar juga diakibatkan adanya cacat genetik.
Pada anak perempuan dengan kromosom 45, XO juga menunjukkan kesulitan
memusatkan perhatian dan kesulitan menulis dan menggambar ulang.7
2. Faktor Neuroanatomi
Rutter berpendapat bahwa ADHD adalah gangguan fungsi otak, oleh karena itu
didapatkan defisit aktivasi yang disebabkan oleh adanya patologi di area prefrontal
dan atau sagital frontal pada otak dengan predominasi pada korteks otak. Adanya

3
kerusakan otak merupakan resiko tinggi terjadinya gangguan psikiatrik termasuk
ADHD.7
Struktur otak yang abnormal berhubungan dengan ADHD. Sekitar 20% anak
dengan cedera kepala berat dilaporkan mempunyai simtom impusif dan gangguan
perhatian. Struktur dan fungsi otak yang abnormal juga ditemukan pada pasien
anak dengan ADHD yang tidak mengalami cedera kepala.7 Pencitraan otak dengan
magnetic resonance imaging (MRI), positron emission topography (PET), dan
single photon emission computerized topography (SPECT) menemukan bahwa
anak dengan ADHD mengalami penurunan volume dan penurunan aktifitas di
bagian prefrontal, anterior cingulated, globus pallidus, kaudatus, talamus, dan
serebelum. Pencitraan dengan PET juga menunjukkan bahwa remaja perempuan
dengan ADHD mempunyai metabolisme glukosa yang lebih rendah dibanding
remaja perempuan dan laki laki tanpa ADHD.6
3. Faktor Gizi
Jenis makanan adaptif dan gula dapat memberikan prilaku tertentu pada anak. Para
ahli meyakini bahwa jenis makanan adaptif dan gula (termasuk manisan) dapat
memperburuk kondisi ADHD dalam perilaku abnormal.8
Pada tahun 1982 para ahli telah membahas masalah ini, dalam temuan mereka
disebutkan bahwa sekitar 5% anak ADHD menunjukkan penurunan perilaku
subnormal setelah melakukan diet gula, akan tetapi beberapa penelitian lainnya
menunjukkan hubungan yang tidak signifikan anatara ADHD dan gula,8
Beberapa studi menyimpulkan secara bersama kekurangan asam lemak
omega-3 berhubungan erat dengan gejala ADHD. Omeg-3 merupakan lemak
yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan dan fungsi otak. Kekurangan lemak
ini memberikan kontribusi munculnya pelbagai penyimpangan seperti ADHD.
Suplemen minyak ikan dapat mengurangi gejala ADHD yang muncul, beberapa
anak menunjukkan kemajuan disekolah dengan suplemen omega-3.8
4. Faktor Lingkungan
Asap rokok mempunyai hubungan erat dengan ADHD, beberapa penelitian
menunjukkan anak dengan ADHD berhubungan erat dengan ibu yang merokok
selama kehamilan, diduga nikotin dapat mengakibatkan hipoksia pada janin yaitu
pada akhirnya dapat membuat bayi kekurangan suplai oksigen ke otak dan dapat
menimbulkan kerusakan. Penelitian ini berlanjut pada lingkungan sekitarnya yang
dipenuhi dengan asap eokok atau ibu merokok pada masa sesudah melahirkan
mempunyai hubungan erat dengan kemunculan ADHD pada anak.5

4
Penelitian yang dilakukan Environmental Health Perspectives menemukan bahwa
4.704 anak (usia 4-45 tahun) atau sekitar 4.2% penderita ADHD memiliki ibu
yang merokok selama kehamilan mempunyai potensi berkembangnya ADHD yang
lebih parah 2.5 kali dibandingkan dengan ibu yang tidak merokok selama
kehamilan.5
5. Faktor Psikososial
Willis dan Lovaas berpendapat bahwa perilaku hiperaktivitas disebabkan oleh
buruknya rangsang pengendalian oleh perintah dari ibu, dan pengaturan perilaku
yang buruk pada anak timbul dari manjemen pengasuhan orangtua yang buruk.
Berbagai penelitian juga menunjukkan adanya pengaruh faktor lingkungan
terhadap terjadinya gangguan ini seperti stimulasi berlebihan oleh orangtua pada
waktu mengasuh anak dan masalah psikologis yang terjadi pada orngtua.

Patofisiologi
Patofisiologi ADHD atau di indonesia dikenal dengan GPPH (Gangguan Pemusatan
Perhatian dan Hiperaktif) memang tak jelas. Ada sejumlah teori yang membicarakan
patofisiologi ADHD. Penelitian pada anak ADHD telah menunjukkan ada penurunan
volume korteks prefrontal sebelah kiri, Penemuan ini menunjukkan bahwa gejala
ADHD inatensi, hiperaktivitas dan impulsivitas menggambarkan adanya disfungsi
lobus frontalis, tetapi area lain di otak khususnya cerebellum juga terkena.1
Penelitian neuroimaging pada anak ADHD tak selalu memberikan hasil yang
konsisten, pada tahun 2008 hasilnya neuroimaging hanya digunakan untuk penelitian,
bukan untuk membuat diagnosa. Hasil penelitian neuroimaging, neuropsikologi
genetik dan neurokimiawi mendapatkan ada 4 area frontostriatal yang memainkan
peran patofsiologi ADHD yakni : korteks prefrontal lateral, korteks cingulate
dorsoanterior, kaudatus dan putamen. Pada sebuah penelitian anak ADHD ada
kelambatan perkembangan struktur otak tertentu rata-rata pada usia 3 tahun, di mana
gejala ADHD terjadi pada usia sekolah dasar.7,9
Kelambatan perkembangan terutama pada lobus temporal dan korteks
frontalis yang dipercaya bertanggung jawab pada kemampuan mengontrol dan
memusat-kan proses berpikirnya. Sebaliknya, korteks motorik pada anak hiperaktif
terlihat berkembang lebih cepat matang daripada anak normal, yang mengakibatkan
adanya perkembangan yang lebih lambat dalam mengontrol tingkah lakunya, namun
ternyata lebih cepat dalam perkembangan motorik, sehingga tercipta gejala tak bisa

5
diam, yang khas pada anak ADHD. Hal ini menjadi alasan bahwa pengobatan
stimulansia akan mempengaruhi faktor pertumbuhan dari susunan saraf pusat.7,9
Pada pemeriksaan laboratorium telah didapatkan bahwa adanya 7 repeat allele
DRD4 gene (Dopamine 04 receptor gene) di mana merupakan 30% risiko genetik
untuk anak ADHD di mana ada penipisan korteks sebelah kanan otak, daerah otak ini
penebalannya jadi normal sesudah usia 10 tahun bersamaan dengan kesembuhan
klinis gejala ADHD.7,9
Dari aspek patofisiologik, ADHD dianggap adanya disregulasi dari
neurotransmitter dopamine dan norepinephrine akibat gangguan metabolisme
catecholamine di cortex cerebral. Neuron yang menghasilkan dopamine dan
norepinephrine berasal dari mesenphalon. Nucleus sistem dopaminergik adalah
substansia nigra dan tigmentum anterior dan nucleus sistem norepinephrine adalah
locus ceroleus.7,9

Komorbiditas
Lebih dari 70% pasien anak dengan ADHD mempunyai komorbiditas dengan
gangguan psikiatri lainnya. ADHD sering berkomorbiditas dengan learning disorder,
gangguan ansietas, gangguan mood, conduct disorder (CD), disruptive behaviour
disorders, dan Oppositional Defiant Disorder (ODD). Sekitar 15-25% anak dengan
ADHD mempunyai gangguan belajar, 30-35% mempunyai gangguan perkembangan
bahasa, 15-20% didiagnosa gangguan mood, dan 20-25% dengan gangguan ansietas
dan mengindikasikan bahwa CD dan ODD muncul pada 40-70% anak dengan
ADHD.10

Kriteria Diagnostik
Menurut American Psychiatric Association (AAP), sesuai dengan Diagnostic and
Satatistical Manual of Mental Disorder (DSM-V), Berikut Kriteria Diagnostik DSM-
V untuk Gangguan Defisit-Atensi/ Hiperaktivitas :4
A. Perhatian dan atau Impulsive hiperaktif yang terus-menerus , mengganggu fungsi
atau perkembangan, ditandai (1) atau (2) :4
1. Inatensi : enam (atau lebih) gejala inatensi berikut ini telah menetap selama
sekurangnya enam bulan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten
dengan tingkat perkembangan:
Catatan : simtom tersebut bukan semata-mata sebuah manifestasi dari oppositional
behaviour, defiance, hostility, dan ketidakmampuan untuk mengerjakan tugas dan

6
perintah. Untuk remaja yang lebih tua dan orang dewasa (usia 17 tahun atau lebih)
dibutuhkan setidaknya 5 simtom.
a. Sering gagal memberikan perhatian terhadap perincian atau melakukan
kesalahan yang tidak berhati-hati dalam tugas sekolah, pekerjaan, atau
aktivitas lain.
b. Sering memiliki kesulitan dalam mempertahankan atensi terhadap tugas
atau aktivitas permainan (sulit focus selama kuliah, percakapan, atau bacaan
yang panjang)
c. Sering tampak tidak mendengarkan jikadiajak berbicara langsung (pikiran
tampak ditempat lain, tanpa ada gangguan yang jelas
d. Sering tidak menyelesaikan instruksi dan gagal menyelesaikan tugas
sekolah, atau tugas lain (mulai tugas, cepat kehilangan focus dan mudah
teralihkan)
e. Sering kesulitan mengatur tugas dan kegiatan (kesulitan mengelola urutan
tugas, sulit menjaga barang agar rapi, berantakan, tidak terorganisir,
manajemen waktu yang buruk, gagal memahami dead line)
f. Sering menghindat, tidak suka, atau tidak mau terlibat dalam tugas yang
berkelanjutan ( tugas sekolah atau pekerjaan rumah, untuk remaja :
menyelesaikan laporan, mengisi formulir, meninjau makalah yang panjang)
g. Sering kehilangan hal yang diperlukan untuk tugas atau kegiata (materi
sekolah, pensil, buku, dompet, kunci, kertas , kacamata, telepon seluler).
h. Sering terganggu oleh rangsangan luar .
i. Sering lupa dalam kerjaan atau kegiatan sehari-hari (melakukan tugas,
menjalankan tugas, membalas telepon, membayar tagihan, menepati janji)
2. Hiperaktif dan impulsivitas : enam (atau lebih) dari gejala berikut, bertahan
setidaknya 6 bulan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan
tingkat perkembangan
Catatan : gejala tidak semata-mata merupakan manifestasi dari prilaku oposisi,
pembangkang, permusuhan, atau kegagalan dalam memahami tugas atau
instruksi. Untuk remaja minimal lima gejala yang dijumpai.
a. Sering gelisah atau menetuk tangan atau kaki atau menggeliat dikursi
b. Seringkali meninggalkan tempat duduk dalam situasi saat diharapkan duduk
(pergi dari kelas saat pelajaran,)
c. Sering berlari atau memanjat
d. Tidak dapat bermain atau melakukan kegiatan rekreasi dengan tenang

7
e. Sering “siap-siap pergi” atau bertindak seakan-akan “didorong oleh sebuah
motor
f. Sering bicara berlebihan
g. Sering mengeluarkan jawaban sebelum pertanyaan selesai (menyela
pembicaraan)
h. Sering mengalami kesulitan menunggu giliran (saat antri)
i. Sering mengintrupsi atau menggangu orang lain (mengganggu
pembicaraan, permainan atau kegiatan orang lain, menggunakan barang
orang tanpa izin, sering mengambil alih kegiatan orang lain)

B. Beberapa kecerobohan atau simtom hiperaktif-impusif yang muncul sebelum usia


12 tahun.
C. Beberapa kecerobohan atau simtom hiperaktif-impusif yang muncul pada dua atau
lebih keadaan (contoh : di rumah, sekolah, atau tempat kerja; bersama teman atau
kerabat; aktifitas lainnya).
D. Terdapat bukti yang kuat bahwa simtom tersebut mengganggu atau mengurangi
kualitas dari sosial, akademis, atau fungsi okupasi.
E. Simtom tersebut tidak muncul selama perjalanan penyakit dari skizofrenia atau
gangguan psikotik lainnya dan tidak lebih baik dijelaskan dengan gangguan mental
lainnya (seperti gangguan mood, gangguan ansietas, gangguan disosiatif,
gangguan kepribadian, intoksikasi zat atau withdrawal).

Diferensial Diagnosa
ADHD memiliki beberapa diagnosis banding sesuai dengan DSM 5:4,9,11
1. Oppositional defiant disorders
Individu dengan oppositional defiant disorder dapat menolak pekerjaan atau tugas
sekolah karena mereka menolak untuk menyesuaikan diri terhadap permintaan
orang lain. Perilaku mereka ditandai dengan sikap negatif, permusuhan, dan
pembangkangan. Diagnosis banding ADHD dengan Oppositional defiant disorder
karena ADHD dapat mengembangkan perilaku sekunder berupa pembangkangan
terhadap tugas dan meremehkan tugas yang diberikan.
2. Intermittent explosive disorder
Diagnosis banding ADHD dengan Intermitten explosive disorder karena sama-
sama mempunyai perilaku impulsif. Namun indivdu dengan intermitten explosive
disorder menunjukkan agresi yang serius terhadap orang lain dimana hal tersebut

8
bukan merupakan tanda dari ADHD. Selain itu intermitten explosive disorder
jarang terjadi pada anak-anak.
3. Specific learning disorder
Anak dengan Specific learning disorder dapat mengalami gangguan perhatian
karena rasa frustasi, berkurangnya minat, dan kemampuan yang terbatas.
Walaupun demikian anak tersebut tidak memiliki gangguan diluar kegiatan
akademik dimana hal tersebut dijumpai pada ADHD.
4. Autism spectrum disorder
Diagnosis banding ADHD dengan Autism spectrum disorder karena mempunyai
gangguan perhatian, gangguan fungsi sosial, dan sulit mengontrol perilaku. Anak
dengan autism Spectrum disorder dapat menunjukkan tantrum karena perubahan
dari situasi yang diharapkan, sedangkan anak dengan ADHD biasanya mengalami
tantrum karena impulsif.
5. Gangguan ansietas
Diagnosis banding ADHD dan gangguan ansietas karena sama-sama mempunyai
gangguan perhatian. Gangguan perhatian pada gangguan ansietas biasanya karena
kecemasan atau ruminasi, sedangkan pada ADHD gangguan perhatian terjadi
karena ketertarikan terhadap stimulus eksternal, aktifitas yang baru, atau
preokupasi dengan aktifitas yang menyenangkan.
6. Gangguan bipolar
Diagnosis banding ADHD dengan gangguan bipolar karena sama-sama dijumpai
peningkatan aktifitas, gangguan perhatian, dan impusif. Namun pada bipolar gejala
tersebut adalah episodik dimana hal tersebut tidak dijumpai pada ADHD.
7. Substance use disorder
Diagnosis banding ADHD dan substance use disorder sangat sulit dilakukan bila
kemunculan pertama dari ADHD dibarengi dengan penyalahgunaan zat. Bukti
yang jelas dari kemunculan gejala ADHD sebelum penyalahgunaan zat adalah
sangat penting untuk diagnosis banding.
8. Gangguan psikotik
ADHD tidak dapat didiagnosis ketika gangguan perhatian dan hiperaktifitas
muncul bersamaan dengan gejala psikotik.
9. Medication-induced symptoms of ADHD
Simtom dari gangguan perhatian, hiperaktif atau impulsif dapat muncul akibat
pemberian obat seperti bronkodilator, isoniazid, dan neuroleptik.

9
Tatalaksana
Pengobatan dengan ADHD harus sesuai pada setiap individu, ditujukan baik untuk
karakteristik intrinsik lingkungan yang relevan. 9 Pendekatan tunggal terhadap
penatalaksanaan ADHD tidak pernah memberikan hasil yang memuaskan. Sebagai
tambahan penggunaan obat-obatan, regimen terapi yang penting termasuk :12
 Intervensi psikologis dan psikososial
 Konseling orang tua dan keluarga
 Modifikasi tingkah laku dan/atau konseling anak.
American Academy Pediatrics (AAP) merekomendasikan guideline terapi
ADHD, yaitu:12
a. Dokter harus mengenali ADHD sebagai suatu kondisi kronis.
b. Hasil yang ingin dicapai harus dispesifikan untuk memandu penatalaksanaan.
c. Obat-obatan stimulan dan/atau terapi perilaku direkomendasikan untuk
meningkatkan hasil yang ingin dicapai.
d. Ketika metode penatalaksanaan yang terpilih tidak memberikan hasil yang
diinginkan, dokter harus mengevaluasi diagnosis awal, menggunaka terapi
yang sesuai dan memikirkan kondisi yang ada sebelumnya.
e. Efek terapi dipantau melalu kunjungan rutin setiap 3-6 bulan.
f. Jika salah satu jenis stimulan tidak bekerja pada pemberian dosis tertinggi
yang memungkinkan, pemberian stimulan jenis lainnya harus dipikirkan.
1. Penanganan tingkah laku 9
Metode modifikasi tingkah laku yang dapat digunakan diantaranya:
 Penguatan positif dengan menggunakan pujian atau penghargaan yang nyata,
misalnya hadiah.
 Strategi penghukuman, misalnya dikeluarkan atau isolasi sosial, teguran dengan
kata-kata.
 Teknik pemusnahan, misalnya pengabaian sistemik tingkah laku yang tidak
diinginkan.
2. Pendidikan khusus 9
Pelayanan pendidikan khusus dan tutor sebaiknya ditujukan untuk penundaan
akademik serta tidak kemampuan belajar spesifik. Program pendidikan sebaiknya
dirancang untuk menciptakan kesempatan bagi anak untuk mengalami keberhasilan
dan meningkatkan harga diri.
3. Terapi medikamentosa
Farmakologi

10
Target terapi dari ADHD bukan hanya terhadap gangguan perhatian, hiperaktif,
dan impulsif namun juga harus mengatasi gangguan kognitif, sosial, dan
psikologis yang sering muncul bersamaan dengan ADHD. 1 Stimulansia merupakan
obat psikotropika yang paling sering diresepkan untuk ADHD, namun ada juga
beberapa obat non stimulan yang sudah mendapat persetujuan dari Food and
Drugs Admnistration untuk ADHD seperti selektif norepinephrine reupake
inhibitor, clonidine extended release (XR), bupropion, dll.13
Stimulansia
Methylphenidate
Cara kerja dari methylphenidate adalah menghambat norephinephrine transporter
(NET) dan dopamine transporter (DAT). Secara fisiologis dopamin dihasilkan dan
diambil kembali ke neuron dopaminergik melalui DAT dan disimpan di vesikel
sinaps vesikel oleh Vesicle MonoAmine Transporter (VMAT). Methylphenidate
mempunyai d-isomer dan l-isomer dimana d-isomer jauh lebih kuat untuk
mengikat NET dan DAT daripada l-isomer.13
Pada anak-anak methylphenidate biasanya diberikan dengan dosis 2
mg/KgBB per hari pada anak usia 6 tahun atau lebih dengan dosis maksimum 60
mg/hari. Methylphenidate yang XR dosis maksimum yang dapat diberikan pada
anak adalah 20 mg/ hari satu kali sehari pada pagi hari.14
Pada penggunaan methylphenidate dapat terjadi peningkatan norepinefrin
pada bagian perifer sehingga dapat mencetuskan efek samping otonom berupa
tremor, takikardi, hipertensi dan aritmia jantung. Peningkatan norepinefrin dan
dopamin di bagian sentral juga dapat terjadi dimana dapat mencetuskan efek
samping berupa insomnia, agitasi, psikosis dan penyalahgunaan zat.14
Amfetamin/Methamfetamin
Sama seperti methylphenidate, amfetamin juga menghambat NET dan DAT,
namun dengan cara berbeda dimana amfetamin bertindak sebagai competitive
inhibitor untuk NET dan DAT. Amfetamin sendiri juga mempunyai d-isomer dan
l-isomer, dimana d-isomer lebih kuat untuk mengikat DAT dan l-isomer
mempunyai kekuatan yang sama untuk mengikat NET. Amfetamin juga sering
diindikasikan untuk mengobati ADHD pada anak.13
Dosis Immediate Release untuk amfetamin untuk usia anak minimal 6 tahun
adalah 5 mg dan dapat diberikan 1-2 x / hari dan dapat dinaikkan 5 mg tiap
minggu. Dosis maksimum untuk amfetamin adalah 40 mg/ hari. Dosis inisial
amfetamin untuk anak usia minimal 6 tahun adalah 5-10 mg / hari dalam 1-2 x

11
pemberian, dosis dapat dinaikkan 5 mg per minggu. Pemberian pertama sebaiknya
sewaktu bangun pada pagi hari.14
Sama seperti penggunaan methylphenidate, pada penggunaan amfetamin
juga dapat terjadi peningkatan norepinefrin pada bagian perifer sehingga dapat
mencetuskan efek samping otonom berupa tremor, takikardi, hipertensi dan
aritmia jantung. Peningkatan norepinefrin dan dopamin di bagian sentral juga
dapat terjadi dimana dapat mencetuskan efek samping berupa insomnia, agitasi,
psikosis dan penyalahgunaan zat.14
Alpha-2A-adrenergic-agonists (α-2A)
Guanfacine
Reseptor α-2A merupakan golongan selektif Alpha 2 Adrenergic reseptor agonist.
Mediator utama terhadap efek dari norepinefrin di prefrontal korteks seperti
gangguan perhatian, hiperaktif dan impulsif pada ADHD. Dosis pemberian pada
anak umur 6-12 tahun 4mg/hari, anak umur 13-17 tahun diberikan 7mg/hari,
sedangkan masih dibutuhkan studi yang lebih lanjut untuk keamanan dan efikasi
pada anak dibawah 6 tahun. Pada penggunaan guanfacine dapat memberikan efek
samping seperti nyeri kepala, nyeri perut, kelelahan, mengantuk, kehilangan nafsu
makan, mual, muntah, diare/konstipasi, maupun ruam.13
Clonidine

Clonidine kurang selektif untuk mengikat α-2A agonis dibandingkan dengan


Guanfacine. Selain itu Clonidine juga mempunyai efek hipotensi dan sedatif. 13
Efikasi dan keamanan pada anak dibawah 6 tahun belum dapat diterapkan, dosis
untuk anak usia lebih dari 6 tahun 0,1-0,3mg/hari. Pada penggunaan Clonidine
dapat memberikan efek samping seperti mulut kering, mengantuk, nyeri kepala,
lemas, pusing, mual, muntah, diare/konstipasi, maupun ruam.14
Antidepresan
Atomoxetine
Atomoxetine merupakan selektif norepinephrine Reuptake Inhibitor (NRI) dimana
cara kerjanya adalah menghambat NET. Penghambatan NET ini sendiri dapat
meningkatkan dopamin dan norepinefrin di prefrontal korteks. Tidak ada resiko
ketergantungan untuk penggunaan atomoxetine.13
Pada penggunaan atomoxetine dapat terjadi peningkatan norepinefrin yang
dapat mengakibatkan pengurangan nafsu makan, meningkatkan tekanan darah,
meningkatkan denyut jantung, mulut kering, retensi urin, agitasi dan dapat

12
meningkatkan kemungkinan aksi pencobaan bunuh diri, sehingga berdasarkan
American Academy of Pediatrics pemberian atomoxetine tidak dianjurkan.15
Bupropion
Bupropion juga merupakan terapi pilihan untuk ADHD selain Atomoxetine.
Bupropion merupakan norepinephrine dopamine reuptake inhibitor. Bupropion
merupakan NRI dan DAT yang lemah.13 Efikasi dan keamanan penggunaan
bupropion pada anak belum ditetapkan.14

Komplikasi
1. Diagnosis sekunder-gangguan konduksi, depresi, dan penyakit ansietas .
2. Pencapaian akademik kurang, gagal disekolah, sulit membaca dan mengerjakan
aritmatika ( sering kali akibat abnormalitas konsentrasi ).
3. Hubungan dengan teman sebaya buruk ( sering kali perilaku agresif dan kata-kata
yang diungkapkan ).
4. IQ rendah / kesulitan belajar ( anak tidak duduk tenang dan belajar ).
5. Resiko kecelakaan ( karena impulsivitas ).
6. Percaya diri rendah dan penolakan teman-teman sebaya ( perilakunya membuat
anak-anak lainnya marah ).

Prognosis
Sebanyak 30-60% anak dengan ADHD akan terus memiliki gejala pada saat
mereka dewasa, seperti inatensi, disorganisasi, impulsifitas, labilitas emosi, gangguan
proses belajar dan gangguan pada fungsi eksekutif. Penelitian lain menunjukkan
bahwa anak dengan ADHD, pada saat dewasa akan menjadi baik jika mereka berhasil
dalam pekerjaan.11
Faktor prognostik yang baik untuk individu yang menderita ADHD adalah
tingkat kecerdasan atau status ekonomi yang lebih tinggi, sedangkan faktor
prognostik buruk meliputi agresi dini dan masalah-masalah konduksi, psikopatologi
orang tua, pencapaian akademik yang buruk, ketidakstabilan emosional, dan
buruknya hubungan sosial.9
Penelitian menunjukkan bahwa pendekatan pengobatan spesifik
mempengaruhi prognosis. Hasil yang paling menjanjikan dilaporkan terjadi pada
terapi multimodalitas yang mengombinasikan penanganan tingkah laku, penggunaan
obat-obatan yang sesuai dan psikoterapi.9,11

13
Diagnosis ADHD sejak kecil sering sekali menuju persisten ADHD sepanjang
hidupnya. Dari 60-80% pasien anak-anak mengalami simtom ADHD sampai dengan
remaja dan lebih dari 60% remaja mengalami simtom ADHD sampai dewasa. 12 Studi
yang dilakukan oleh Caye dkk pada tahun 2016 di Brazil menjumpai bahwa ADHD
pada orang dewasa bukan selalu merupakan lanjutan dari ADHD pada masa anak-
anak.16

Ringkasan
ADHD merupakan suatu kondisi neurobehavioral yang paling sering dijumpai pada
anak-anak dan merupakan salah satu kondisi masalah kesehatan kronis yang
mempengaruhi usia sekolah anak tersebut. ADHD mempunyai pola berupa sulitnya
memusatkan perhatian dan peningkatan impusifitas serta hiperaktifitas. Studi
epidemiologi menemukan prevalensi ADHD pada anak-anak dan remaja sekitar 5
sampai dengan 8%. Lebih dari 70% pasien anak dengan ADHD mempunyai
komorbiditas dengan gangguan psikiatri lainnya. ADHD dapat disebabkan oleh faktor
genetik, anatomi, perkembangan prenatal, psikososial, dan gizi.
Diagnosis dan Diagnosis banding dari ADHD dapat menggunakan kriteria
DSM-5. Pengobatan dari ADHD dapat berupa pengobatan farmakologi seperti

stimulansia, antidepresan, dan Alpha-2A-adrenergic-agonists (α-2A). Selain itu dapat


juga dengan terapi non farmakologi seperti terapi perilaku dan terapi kognitif
perilaku. Diagnosis ADHD sejak kecil sering sekali menuju persisten ADHD
sepanjang hidupnya.

Daftar Pustaka
1. Wiguna T. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH), dalam:
Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2010: 441-454
2. Kaplan dan Sadock. Buku Ajar Psikiatri klinis Edisi 2. EGC. 2010.
3. Uekerman J, Kraemer M, Hamid M-A, Schimmelmann BG, Hebebrand J, Daum
I, et al. Social cognition in attention deficit-hyperactivity disorder (ADHD).
Neuroscience and Behaviour Reviews. 2010; 34: 734-43.
4. Jeste DV, Lieberman JA, Fassler D, Peele R. diagnostic and statistical manual of
mental disorders. DSM 5th edition. American Psychiatric Association. 2012;59-
65.

14
5. Visser NS, Danielson ML, Bitsko RH, Holbrook JR, Kogan MD, Ghandhour
RM, et al. Trends in the Parent-Report of Health Care Provider-Diagnosed and
Medicated Attention-Deficit / Hyperactivity Disorder: United States, 2003-2011.
Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry. 2014; 53
(1):34-36.
6. Visser NS, Zablotsky B, Danielson ML. Diagnostic Experiences of Children
With Attention-Deficit / Hyperactivity Disorder. National Health Statistic
Reports. 2015; 81: 1-7.
7. Kliegman, Santon, Geme ST, Schor. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th ed.
Philadelphia: El Sevier,Inc; 2016; 200-4.
8. Hernandez A-R, Alda JA, Codina A-F, Garcia E-F, Pulido MI, PharmD. The
Mediterranean Diet and ADHD in Children and Adolescents. Pediatrics. 2017;
139(2): 1-11.
9. Sadock, Benjamin, et al. Kaplan and Sadock;s Comprehensive Textbook of
Psychiatry 9th edition. London: Lippincott Williams and Wilkins, 2009.
10. William J, Barbaresi MD, Robert C, Colligan, Amy L, Weaver MS, et al.
Mortality, ADHD, and Psychosocial Adversity in Adults With Childhood
ADHD: A Prospective Study. American Academy of Pediatrics. 2012; 131(4):1-
8.
11. Behrman, R.E, et al. Nelson Textbook of Pediatrics 19th edition. Philadelphia :
WB Sauders, 2007.
12. Mullichap, J.G. Attention Deficit Hyperactivity Disorder Handbook 2nd edition.
New York : Springer Science Media, 2010.
13. Stahl’s SM. Stahl’s Essential Psychopharmacology. 4th ed. UK: Cambridge
University Press; 2013
14. Stahl SM. Stahl’s Essential Psychopharmacology. Prescriber Guide. 5th ed. San
Diego: Cambridge University Press; 2015.
15. Subcommitte on Attention Deficit/Hyperactivity Disorder. ADHD: clinical
practice guideline for the diagnosis, evaluation, and treatment of attention-
deficit/hyperactivity disorder in children and adolescents. Pediatrics. 2011;
128:1007-22.
16. Caye A, Rocha T-BM, Anselmi M, Murray J, Menezes AMB, Steinhausen AC,
et al. Attention-Deficit / Hyperactivity Disorder Trajectories From Childhood to
Young Adulthood. American Medical Association 2016:E1-8.

15

Anda mungkin juga menyukai