Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN

CEDERA KEPALA RINGAN (CKR)


DI RUANG NUSA INDAH
RSUD BANGLI

OLEH :
KELOMPOK II

1. NI KADEK AYU DEWI CAHYANI 18.321.2877


2. NI KADEK AYU MIRNAYANTI 18.321.2878
3. NI KADEK DIAN KUSUMA ERAWATI 18.321.2879
4. NI KADEK DINDA PUTRI MARICHI 18.321.2880
5. NI KADEK HARTANINGSIH 18.321.2881
6. I MADE ADI MULYA RUSMAWAN 18.321.2868

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PENDAHULUAN
RUANG NUSA INDAH
RSUD BANGLI
TANGGAL 06-19 JANUARI 2020

CLINICAL INSTRUCTURE (CI) KETUA KELOMPOK

Ns. I Nym. Putra Kertiyasa, S.Kep Ni Kadek Ayu Dewi


Cahyani
NIP. 198501212010011018 NIM. 18.321.2877

CLINICAL TEACHER (CT)

Ns. Niken Ayu Merna Ekasari, M.Biomed


NIK.
LAPORAN PENDAHULUAN
CEDERA KEPALA RINGAN (CKR)

I. KONSEP DASAR PENYAKIT


A. Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan intersisial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Mutaqin, 2008).
Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh)
tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma,
abrasi, dan laserasi (Mansjoer, 2009).
Cedera kepala adalah cidera yang dapat mengakibatkan kerusakan otak akibat
pembengkakan dan pendarahan otak sebagai respon terhadap cedera dan
penyebab peningkatan tekanan intra kranial (TIK) (Brunner dan Suddarth, 2016).
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah
trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadibaik secara langsung
ataupun tidak langsung pada kepala yang dapatmengakibatkan terjadinya
penurunan kesadaran bahkan dapatmenyebabkan kematiaan

B. Macam-Macam Cedera Kepala


Menurut Brunner dan Suddarth, (2016) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
1. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorakatau
luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukanoleh massa dan
bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadijika tulang tengkorak
menusuk dan masuk kedalam jaringan otak danmelukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam/tembakan, cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogenmemiliki abses langsung ke otak.
2. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialahgoncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yangbergerak cepat, kemudian
serentak berhenti dan bila ada cairan akantumpah. Cedera kepala tertutup
meliputi: kombusio gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.
C. Anatomi Fisiologi

Gambar 1. Anatomi dan Fisiologi Kepala


1. Tengkorak
Tulang tengkorak menurut, Pearce (2008) merupakan struktur tulang
yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulangkranium dan tulang
muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, etmoid dan lapisan
dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan
etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk
rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah
berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak
tengah dan sereblum.

Gambar 2. Lapisan cranium


2. Meningen
Pearce, (2008) otak dan sumsum tulang belakangdiselimuti meningia yang
melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa pembuluh darah dan
dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebro spinal yang memperkecil
benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan
yaitu:
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang subdural yang
terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis
tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan
darah vena ke sinus transversus dansinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-
sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Hematoma subdural
yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk
yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan
ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan
dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala
dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis.
Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di
dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga
dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater
oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh
spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan
sub arakhnoid umumnya disebabkanakibat cedera kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus
saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk
kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
3. Otak
Otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:

Gambar 3. Lobus-lobus

A. Serebrum
Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri
kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yangterdiri dari lobus
frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki
fungsi yang berbeda, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali
sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan.
Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap aktivitas
motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari
kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi
kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai
satusisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata,
meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke
bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai
dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian
depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita
mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar
dan kejam.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesandari bentuk,
tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil
kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus
parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya
dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian
depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang
berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut
ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakanyang luas bisa
mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya
atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan
bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus atau
jam dinding. Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak
mampu berpakaianmaupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobustemporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara
dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan
gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam
dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan
mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah
seksual.
4) Lobus oksipitalis
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan
kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.
B. Cereblum
Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri posterior dibawah
lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu; merangsang dan
menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap
koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrolgerakan yang benar,
keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input sensori.
C. Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Otak tengah
midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer
sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek
pendengaran dan penglihatan. Ponsterletak didepan sereblum antara otak
tengah dan medula, sertamerupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan
juga antara medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik.
Medula oblomata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusat-
pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi
jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin.

D. Etiologi/ Predisposisi
Menurut Tarwoto (2010), penyebab dari Cedera Kepala adalah:
1) Kecelakaan lalu lintas.
2) Terjatuh
3) Pukulan atau trauma tumpul pada kepala.
4) Olah raga
5) Benturan langsung pada kepala.
6) Kecelakaan industri.

E. Tanda dan Gejala/ Manifestasi Klinis


1) Pingsan tidak lebih dari sepuluh menit
2) TTV DBN atau menurun
3) Setelah sadar timbul nyeri
4)   Pusing
5) Muntah
6) GCS : 13-15
7) Tidak terdapat kelainan neurologis
8) Pernafasan secara progresif menjadi abnormal
9) Respon pupil lenyap atau progresif menurun
10) Nyeri kepala dapat timbul segera atau bertahap (Mansjoer, 2009).

F. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian
pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak
boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa
sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar
glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi
cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit /
100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia,
fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh
darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua:
1. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acclerasi-decelerasi otak) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi:
 Gegar kepala ringan
 Memar otak
 Laserasi
2. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti:
 Hipotensi sistemik
 Hipoksia
 Hiperkapnea
 Udema otak
 Komplikai pernapasan
 Infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain (Kowalak, 2011).

G. Mekanisme Cedera Kepala


Menurut Tarwoto (2010) mekanisme cedera memegang peranan yang sangat
sadar dalam berat ringannya dari trauma kepala. Mekanisme cedera kepala dapat
dibagi menjadi:
1) Cedera Percepatan (akselerasi) yaitu jika benda yang bergerak membentur
kepala yang diam, misalnya pada orang-orang diam kemudian terpukul atau
terlempar batu.
2) Cedera Perlambatan (Deselerasi) yaitu jika kepala bergerak membentur benda
yang diam, misalnya pada saat kepala terbentur.
3) Deformitas adalah perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi
akibat trauma, misalnya ada fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau
pemotongan pada jaringan otak.
H. Pathway

Etiologi
(Kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, kecelakaan olahraga, pukulan)

Trauma Kepala

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial


Terputusnya Jaringan otak rusak
kontinuitas jaringan Terputusnya kontinuitas
jaringan tulang (kontusio, laserasi
kulit, otot dan vskuler

- Perdarahan Gangguan suplai darah -Perubahan outoregulasi


- Hematoma Resiko -Odem cerebral
Nyeri
infeksi
Iskemia
Perubahan Gangguan Kejang
Perubahan
sirkulasi CSS Hipoksia neurologis fokal
perfusi jaringan
1. Bersihan
Gangguan fungsi otak jalan nafas
Defisit neurologis
Peningkatan TIK 2. Obstruksi
Mual-muntah jalan nafas
Papilodema Gangguan
Girus medialis lobus Pandangan kabur persepsi sensori 3. Dispnea
temporalis tergeser Penurunan fungsi 4. Henti nafas
pendengan Defisit volume
Nyeri kepala cairan 5. Perubahan
pola nafas

Herniasi unkus
Bersihan jalan
Tonsil cerebelum tergeser Kompresi medula
nafas tidak efektif
oblongata
Mesesenfalon tertekan
Intoleransi
immobilisasi aktivitas
Gangguan kesadaran

Cemas

(Sumber: Kowalak, 2011).


I. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien cedera kepala antara lain:
1) Cedera Otak Sekunder akibat hipoksia dan hipotensi
Hipoksia dapat terjadi akibat adanya trauma di daerah dada yang terjadinya
bersamaan dengan cedera kepala. Adanya obstruksi saluran nafas, atelektasis,
aspirasi, pneumotoraks, atau gangguan gerak pernafasan dapat berdampak
pasien mengalami kesulitan bernafas dan pada akhirnya mengalami hipoksia.
2) Edema Serebral
Edema adalah tertimbunnya cairan yang berlebihan di dalam jaringan. Edema
serebral akan menyebabkan bertambah besarnya massa jaringan otak di dalam
rongga tulang tengkorak yang merupakan ruang tertutup. Kondisi ini akan
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang selanjutnya
juga berakibat penurunan perfusi jaringan otak.
3) Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Tekanan intrakranial dapat meningkat karena beberapa sebab, yaitu pada
perdarahan selaput otak (misalnya hematoma epidural dan subdural). Pada
perdarahan dalam jaringan otak (misalnya laserasi dan hematoma serebri), dan
dapat pula akibat terjadinya kelainan parenkim otak yaitu berupa edema
serebri.
4) Herniasi Jaringan Otak
Adanya penambahan volume dalam ruang tengkorak (misalnya karena adanya
hematoma) akan menyebabkan semakin meningkatnya tekanan intrakranial.
Sampai batas tertentu kenaikan ini akan dapat ditoleransi. Namun bila tekanan
semakin tinggi akhirnya tidak dapat diltoleransi lagi dan terjadilah komplikasi
berupa pergeseran dari struktur otak tertentu kearah celah-celah yang ada.
5) Infeksi
Cedera kepala yang disertai dengan robeknya lapisan kulit akan memiliki
resiko terjadinya infeksi, sebagaimana pelukaan di daerah tubuh lainnya.
Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya Meningitis, Ensefalitis,
Empyema subdural, Osteomilietis tulang tengkorak, bahkan abses otak.
g.      Hidrisefalus
Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi cedera kepala yang cukup
sering terjadi, khususnya bila cedera kepala cukup berat.

J. Pemeriksaan Penunjang/ Diagnostik


a. Pemeriksaan Diagnostik
1) CT-Scan: mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventikuler,
pergeseran jaringan otak.
2) Angigrafi serebral: menunjukan kelainan sirkulasi serbral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema,perdarahan dan trauma.
3) X-Ray: mendeteksi adanya perubahan struktur tulang.
4) EEG: untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya patologis.
5) BAER (Basic Auditori Evoker Respon): menentukan fungsi korteks dan batang
otak.
6) PET (Position Emission Tomniograpi): menunjukkan aktifitas metabolisme pada
otak.
7) Punksi lumbal css: dapat menduga adanya perubahan sub araknoid.
8) Kimia/elektrolit darah: mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK atau perubahan status mental.
9) Analisa gas darah: menunjukkan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha
pernafasan.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) AGD (PO2, pH, HCO3) untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran
darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang dapat
meningkatkan TIK.
2) Elektrolit serum
Cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi natrium,
retensi Na berakhir dapat beberapa hari, diikuti dengan diuresis Na,
peningkatan letargi, konfusi, dan kejang akibat ketidakseimbangan
elektrolit.
3) Hematologi untuk memeriksa leukosit, Hb, albumin, Globulin, protein
serum.
4) CSS untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid
(warna, komposisi, tekanan)
5) Pemeriksaan toksikologi untuk mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran
6) Kadar antikonvulsan darah untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang

K. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala bertujuan untuk memantau
sedini mungkin. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, Advanced
cedera Life Support telah menempatkan standar yang sesuai dengan tingkat
keparahan cedera. Penatalaksanaan penderita cedera kepala meliputi Survei
primer yang di prioritaskan adalah: A (airway), B (Breathing), C (Circulation), D
(Disability), dan E (Exposure/ environmental Control) kemudian dilanjutkan
dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala berat, survei primer sangatlah
penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan menjaga homeostasis otak.
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien cedera kepala berat adalah
dengan:
a. Dexamethason / kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma
b. Therapi hiperventilasi untuk mengurangi vasodilatasi
c. Pemberian analgetik
d. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
f. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
g. Pembedahan. (Smelzer, 2010)
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Nama, jenis kelamin, alamat, pekerjaan. Terdapat identitas lengkap penderita
CKR
2. Keluhan utama
Sering terjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung
seberapa jauh dampak dari trauma kepala disertai penurunan tingkat
kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala yang akibat dari kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian, trauma langsung ke kepala. Pengkajian yang
didapat, meliputi tingkat kesadaran menurun, konfulse, muntah, sakit kepala,
lemah, liquor dari hidung dan telinga serta kejang.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
riwayat cidera sebelumnya, DM, dan penggunaan obat-obatan.
5. Riwayat penyakit keluarga
Adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan DM
a. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum penurunan kesadaran pada CKR umumnya GCS 13-
15.
b. Pola aktivitas sehari-hari
1) Pola makan atau cairan
Kaji pola nutrisi sebelum MRS dan saat MRS biasanya pada klien
CKR timbul mual dan muntah serta mengalami selera makan
2) Pola istirahat tidur
Kaji perubahan pola tidur sebelum dan saat sakit. Biasanya klien
mengalami perubahan pada pola istirahat tidur karena nyeri dan
ansietas
3) Pola eliminasi
Kaji bagaimana pola defekasi sebelum dan saat sakit
4) Pola katifitas dan latihan
Klien dengan CKR biasanya mengalami kelemahan, letih, dan
terkadang terjadi perubahan kesadaran.
5) Pola presepsi dan konsep diri
Kaji bagaimana klien mamandang dirinya serta penyakit yang
dideritanya
6) Pola peran hubungan
kaji bagaimana peran dan fungsi serta hubungan dengan masyarakat
7) Pola nilai dan kepercayaan
Kaji bagaimana pengaruh agama terhadap penyakit yang dialami klien
8) Pola kebersihan diri
Kaji bagaimana tidankan klien dalam menjaga kebersihan dirinya.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Nyeri akut b/d agens pencedera fisik
2. Intoleransi aktivitas b/d imobilitas
3. Ansietas b/d status kesehatan terkini
4. Risiko infeksi
5. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d obstruksi jalan nafas
6. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b/d penurunan ruangan untuk
perfusi serebaal, sumbatan aliran darah selebral.

C. INTERVENSI DAN RASIONAL

Rencana Keperawatan
No. Dx
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

Setelah diberikan asuhan Monitor tanda-tanda vital: 1. Untuk mengetahui


1.
keperawatan selama ....x…. jam 1. Monitor tekanan darah, kondisi umum pasien
diharapkan pasien dapat nadi, suhu, dan status 2. Untuk mengetahui
mengontrol rasa nyerinya pernafasan dengan tepat keadaan umum pasien
dengan kriteria hasil: 2. Monitor warna kulit, suhu 3. Untuk mengetahui
1. Pengetahuan dan kelembaban kondisi pasien serta
a. Strategi untuk Manajemen Nyeri: memantau kondisi nyeri
mengontrol nyeri 3. Lakukan pengkajian nyeri pasien
dipertahankan pada 2 secara komprehensif yang 4. Untuk dapat
(pengetahuan terbatas) meliputi lokasi, meringankan sedikit
ditingkatkan ke 4 karakteristik onset/durasi, rasa nyeri
(pengetahuan banyak) frekuensi, kualitas, 5. Mempercepat
2. Kontrol Nyeri intensitas atau beratnya penyembuhan terhadap
a. Mengenali kapan nyeri nyeri dan factor pencetus nyeri
terjadi dari skala 3 4. Ajarkan prinsip-prinsip
(kadang-kadang manajemen nyeri seperti
menunjukkan) ke skala tehnik distraksi nafas
5 (secara konsisten dalam
menunjukkan) 5. Kolaborasi dengan dokter
b. Menggunakan tindakan terkait pemberian obat anti
pengurangan nyeri tanpa nyeri
analgesic dari skala 2
(jarang menunjukkan) ke
skala 4 (sering
menunjukkan)
c. Melaporkan nyeri yang
terkontrol dari skala 2
( jarang menunjukkan)
ke skala 4 (sering
menunjukkan)
3. Tingkat nyeri
a. Nyeri yang dilaporkan
dari skala 3 (nyeri
sedang) ke skala 5 (tidak
ada nyeri) dengan tanda
nyeri sedang skala 4
(kisaran normal) ke skala
0 (tidak ada nyeri)

Setelah diberikan asuhan Toleransi Aktivitas 1. Mempengaruhi pilihan


2.
keperawatan selama ....x…. jam 1. Kaji kemampuan pasien intervensi
diharapkan pasien dapat untuk melakukan 2. Manifestasi
meningkatkan partisipasi dalam aktivitas normal, catat kardiopulmonal dari
aktivitas dengan kriteria hasil: laporan kelemahan, upaya jantung dan paru
1. Kelelahan: Efek yang keletihan untuk membawa jumlah
mengganggu 2. Awasi TD, nadi, oksigen ke jaringan
Gangguan aktifitas fisik pernafasan 3. Meningkatkan istirahat
dipertahankan pada 2 3. Berikan lingkungan untuk menurunkan
(cukup berat) ditingkatkan tenang kebutuhan oksigen
ke 4 (ringan) 4. Monitor warna kulit, tubuh
suhu dan kelembaban 4. Untuk mengetahui
keadaan umum pasien
3. Setelah dilakukan asuhan Tanda-tanda vital 1. Mengetahui keadaan
keperawatan selama ….x… jam 1. Monitor tanda-tanda vital umum pasien
diharapkan cemas pasien Tehnik menenangkan 2. Membantu mengurangi
teratasi dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi orang-orang kecemasan pada klien
Noc label: terdekat klien yang bisa 3. Mengurangi kecemasan
1. Tingkat kecemasan membantu klien pada pasien
a. Perasaan gelisah dari 3. Anjurkan orang tua atau 4. Dengan memberikan
skala 3 (sedang) keluarga pasien untuk pelukan kasih sayang
ditingkatkan ke skala 5 berada di sisi klien pasien akan merasa
(tidak ada) 4. Anjurkan keluarga dan lebih tenang
b. Rasa takut yang orang tua memberikan 5. Menberikan
disampaikan secara lisan kenyamanan pada klien kenyamanan pada
dari skala 4 (ringan) (pelukan) pasien
ditingkatkan ke skala 5 Terapi relaksasi
(tidak ada) 5. Minta klien untuk rileks
2. Tingkat rasa takut dan merasakan sensasi
c. Ketakutan dari skala 4 yang terjadi
(ringan) ditingkatkan ke
skala 5 (tidak ada)
Setelah dilakukan asuhan Kontrol infeksi 1. Untuk mencegah infeksi
4.
keperawatan selama …x… jam 1. Monitor kerentanan 2. Agar terhinfdar dari
diharapkan pasien tidak terhadap infeksi infeksi
mengalami infeksi dengan 2. Anjurkan pasien 3. Mencegah terjadinya
kriteria hasil: mengenai tehnik mencuci infeksi
Noc label: tangan dengan tepat 4. Untuk mencegah
1. Deteksi Risiko Perlindungan infeksi penularan infeksi
a. Monitor perubahan 3. Monitor kerentanan 5. Mengetahui keadaan
status kesehatan terhadap infeksi umum pasien
dipertahankan pada 2 4. Ajarkan pasien dan
(jarang menunjukkan) keluarga bagaimana cara
ditingkatkan ke 4 (sering menghindari infeksi
menunjukkan) Monitor tanda-tanda vital
b. Mengenali tanda dan 5. Monitor ttv
gejala yang
mengindikasikan resiko
dipertahankan pada 2
(jarang menunjukkan) ke
4 (sering menunjukkan)
Setelah dilakukan asuhan 1. Monitoring TTV 1. Untuk menentukan
5.
keperawatan selama …x…. jam 2. Ajarkan klien tentang tindak lanjut terhadap
diharapkan jalan nafas efektif metode napas dalam dan klien
dengan kriteria hasil : perlahan saat duduk 2. Duduk tegak akan
a. Menunjukkan jalan setegak mungkiin memindahakan organ-
nafas yang paten 3. Lakukan pernafasan organ abdomen menjauh
b. Mampu diagpragma dari paru – paru dan
mengindentifikasikan 4. Delegatif dalam memungkinkan ekspansi
dan mencegah factor pemberian obat antibiotic lebih luas.
yang dapat menghambat sesuai yang diharuskan 3. Pernafasan diagpragma
jalan nafas. dapat menurunkan
frekwensi pernafasan
dan meningkatkan
ventilasi alveolar.
4. Antibiotic diserap untuk
mencegah atau
mengatasi infeksi

Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor adanya daerah 1. Untuk mengetahui


6.
keperawatan selama …x… jam tertentu yang hanya peka daerah tertentu yang
diharapkan pasien mampu terhadap panas/ dingin/ peka terhadap panas,
perfusi jaringan otak berfungsi tajam/tumpul dingin, taja, tumpul.
dengan kriteria hasil : 2. Batasi gerak pada kepala, 2. Untuk mengurangi
a. tidak ada tanda – tanda leher, punggung terjadi mual muntah
peningkatan tekanan 3. Instruksikan keluarga 3. Untuk mengetahui
intracranial. untuk mengobservasi kulit perkembangan kulit
b. Berkomunikasi dengan jika ada lesi yang terdapat lesi.
jelas dan sesuai dengan 4. Kolaborasi dengan 4. Untuk mengurangi rasa
kemampuan pemberian analgetik nyeri pada pasien.

D. EVALUASI
Evaluasi adalah sebagian yang direncanakan dan diperbandingkan yang
sistematis pada status kesehatan klien. Dengan mengukur perkembangan klien
dalam mencapai suatu tujuan. Evaluasi ini dilakukan dengan menggunakan
format evaluasi SOAP meliputi data subyektif, data obyektif, data analisa dan
data perencanaan (Nursalam, 2009). Evaluasi berdasarkan NOC 2016:
1. Nyeri akut evaluasinya yaitu:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ....x…. jam diharapkan pasien
dapat mengontrol rasa nyerinya dengan kriteria hasil:
a. Pengetahuan
1. Strategi untuk mengontrol nyeri dipertahankan pada 2 (pengetahuan
terbatas) ditingkatkan ke 4 (pengetahuan banyak)

b. Kontrol Nyeri
1. Mengenali kapan nyeri terjadi dari skala 3 (kadang-kadang
menunjukkan) ke skala 5 (secara konsisten menunjukkan)
2. Menggunakan tindakan pengurangan nyeri tanpa analgesic dari skala 2
(jarang menunjukkan) ke skala 4 (sering menunjukkan)
3. Melaporkan nyeri yang terkontrol dari skala 2 ( jarang menunjukkan)
ke skala 4 (sering menunjukkan)
c. Tingkat nyeri
1. Nyeri yang dilaporkan dari skala 3 (nyeri sedang) ke skala 5 (tidak ada
nyeri) dengan tanda nyeri sedang skala 4 (kisaran normal) ke skala 0
(tidak ada nyeri)
2. Intoleransi aktivitas evaluasinya yaitu:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ....x…. jam diharapkan pasien
dapat meningkatkan partisipasi dalam aktivitas dengan kriteria hasil:
a. Kelelahan: Efek yang mengganggu
1. Gangguan aktifitas fisik dipertahankan pada 2 (cukup berat)
ditingkatkan ke 4 (ringan)
3. Ansietas evaluasinya yaitu:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …..x…..jam diharapkan cemas
pasien teratasi dengan kriteria hasil:
a. Tingkat kecemasan
1. Perasaan gelisah dari skala 3 (sedang) ditingkatkan ke skala 5 (tidak
ada)
2. Rasa takut yang disampaikan secara lisan dari skala 4 (ringan)
ditingkatkan ke skala 5 (tidak ada)
b. Tingkat rasa takut
1. Ketakutan dari skala 4 (ringan) ditingkatkan ke skala 5 (tidak ada)
4. Risiko infeksi evaluasinya yaitu:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …..x…..jam diharapkan pasien
tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil:
a. Deteksi Risiko
1. Monitor perubahan status kesehatan dipertahankan pada 2 (jarang
menunjukkan) ditingkatkan ke 4 (sering menunjukkan)
2. Mengenali tanda dan gejala yang mengindikasikan resiko
dipertahankan pada 2 (jarang menunjukkan) ke 4 (sering
menunjukkan)
5. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas evaluasinya:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …x… jam diharapkan jalan
nafas efektif dengan kriteria hasil:
a. Menunjukkan jalan nafas yang paten
b. Mampu mengindentifikasikan dan mencegah factor yang dapat
menghambat jalan nafas.
6. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak evaluasinya:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …x… jam diharapkan pasien
mampu perfusi jaringan otak berfungsi dengan kriteria hasil :
a. tidak ada tanda – tanda peningkatan tekanan intracranial.
b. Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan

DAFTAR PUSTAKA

Arief Mutaqin. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Brunner & Suddarth. 2016. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 12. Jakarta: EGC.
Bulechek, G.M., et all. 2016. Nursing Intervention Classification (NIC), Edisi
Keenam. Singapore: Elsivier.
Heather, Herdman T. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi 2018-2020, Edisi 11. Jakarta: EGC.
Johnson, M., et all. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC), Edisi Kelima.
Singapore: Elsivier.
Kowalak, J. P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2.Edisi ke 3. Jakarta: FK UI
press.
Nursalam. 2009. Proses Dan Dokumentasi Keperawatan, Edisi 2. Jakarta: Salemba
Medika.
Pearce, Evelyn C. 2008. Anatomi dan Fisiologi Untuk Para Medis. Jakarta: PT
Gramedia.
Smeltzer, Suzanne C. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8.
Jakarta: EGC.
Tarwoto. 2010. Cedera Kepla Ringan. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai