Anda di halaman 1dari 4

“BLACK HOLE” DEMOKRASI

Oleh
Mohammad Mulyadi

Arus demokrasi yang semakin lama semakin kencang dan sulit dihindarkan, “memaksa”
rakyat dunia untuk ikut hanyut bersama harapan dan impian berdemokrasi. Bagi sebagian
negara, inilah demokrasi, sebuah ideologi yang menganggap bahwa dengan berdemokrasi,
“keadilan bagi seluruh rakyat akan terwujud,” karena salah satu prinsip demokrasi adalah
kesetaraan atau keadilan. Dalam percaturan politik dunia, “cita-cita” demokrasi yaitu: dari, oleh
dan untuk rakyat seakan tenggelam oleh dominasi “kepentingan” politik negara-negara barat. Hal
ini dimungkinkan karena tokoh-tokoh yang mempunyai andil besar dalam memperjuangkan
ideologi demokrasi, seperti : John Locke (dari Inggris), Montesquieu (dari Perancis), dan Presiden
Amerika Serikat Abraham Lincoln lahir dari benua barat.
John Locke dan Montesquieu misalnya, menganjurkan perlu adanya pembagian
kekuasaan dalam pemerintahan negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, sedangkan
menurut Abraham Lincoln “democracy is government of the people, by people, and for people”.
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Saat ini, Barat yang di pimpin oleh Amerika bertindak layaknya pengekspor “vaksin”
demokrasi dan negara-negara di Benua Timur, Asia dan Afrika adalah pengimpor vaksin tersebut.
Amerika seolah ingin berkata pada negara lain : “Kami adalah negara yang tahan terhadap
‘penyakit ketidakadilan,’ karena kami telah divaksin demokratis, karena itu kalian harus divaksin
demokratis. Kalau kalian tidak divaksin demokratis, maka kalian akan selamanya hidup dalam
penyakit kemiskinan dan kesengsaraan. Aku perintahkan kalian divaksin demokratis, karena
kalau tidak sekutu kami yang telah divaksin demokrasi akan datang melindas habis. Jadi jangan
banyak tawar dan membuang waktu, kalian harus segera divaksin, karena kalau tidak, maka
penyakit yang kalian derita bisa saja menyebar dan mengancam kehidupan bangsa kami. Jadi
tunggu apalagi, ini perintah untuk vaksin demokrasi.”
Demokrasi dengan segala rangkaian tragedi kemanusiaan yang mendahuluinya seolah
menjadi alat untuk melegalkan tindakan “represif” sebagian negara kepada sebagian negara
lainnya. Amerika Serikat misalnya, dengan runtuhnya gedung WTC menimbulkan kekuatan yang
sangat besar dan menjadikannya sebagai momentum untuk membiayai suatu perang besar
melawan negara yang menganut sistem politik otoriter, totaliter, diktator, rezim militer, rezim satu
partai, monarki absolut dan sistem komunis.
Adanya perbedaan ideologi politik dunia yang diteruskan dengan pemaksaan dalam
menganut ideologi tertentu akan menyebabkan perbenturan peradaban (clash of civilizations)
yang dalam istilah Samuel Huntington, sebenarnya adalah perbenturan ideologi-ideologi besar di
dunia yang pada awalnya merupakan gerakan pemikiran yang kemudian diikuti dengan agenda
aksi secara fisik (perang). Terjadinya perbenturan ini adalah akibat buntunya dialog yang
dibangun oleh berbagai ideologi sehingga perbedaan pemikiran berlanjut menjadi perbedaan
lewat aksi kekerasan fisik. Padahal, yang terjadi sebenarnya bukanlah perbenturan peradaban,
tetapi perbenturan kepentingan hegemoni politik.
Ideologi politik sebuah negara, apakah itu demokrasi, monarki atau yang lainnya,
bukanlah sebuah masalah, jika rakyat negara itu sudah merasa nyaman dengan ideologi tertentu.
Jikalau ada elemen masyarakat yang mencoba melakukan kritik terhadap ideologi negara
tersebut, maka itu hal yang wajar saja, namun tidak perlu mengganti ideologi tersebut dengan
jalan revolusi berdarah dan perang saudara, karena ideologi sangat tergantung pada budaya dan
kebutuhan rakyat sebuah negara yang tidak dapat dipaksakan. Negara-negara di Timur Tengah
misalnya, sudah nyaman dengan sistem monarki yang dijalankan oleh keluarga kerajaan, tidak
perlu lagi ada revolusi karena pasti akan terjadi pertumpahan darah jika ideologi yang telah lama
dijalankan tiba-tiba harus diganti oleh sebuah ideologi baru.
Apalagi jika ideologi politik demokrasi, yang dianggap baru oleh rakyat yang ada di Timur
Tengah sudah tidak disampaikan dengan santun, bisa saja orang melihat kebenaran demokrasi
itu menjadi bias, kebenaran disampaikan dengan kekerasan maka akan menodai makna dari
kebenaran itu sendiri. Rasa simpati berubah menjadi empati, rasa hormat berubah menjadi rasa
benci, toleransi antar bangsa berubah menjadi sifat saling curiga.
Kekerasan bukanlah satu satunya jalan untuk mencapai dominasi hegemoni politik. Ada
dua macam strategi politik yang berbeda untuk meraih dominasi hegemoni politik, yaitu serangan
langsung (frontal attack) atau perjuangan panjang (long struggle). Pilihan strategi perjuangan
panjang akan sangat dirasakan lebih manusiawi dibanding dengan serangan langsung. Karena
dengan serangan langsung, negara yang berdaulat akan cenderung memberi perlawanan dan
mengorbankan banyak rakyat sipil. Menurut Gandhi “setiap bentuk kekerasan untuk
menyelesaikan kejahatan, hanya akan memunculkan kejahatan baru, dan memperumit masalah.”
Di Indonesia sendiri benih-benih demokrasi telah tumbuh semenjak pemilu tahun 1955.
Pada waktu itu, pemilu diikuti oleh partai politik yang sangat banyak. Rakyat pun diberi
kesempatan untuk memilih partai sebagai penyalur aspirasi mereka. Sekarang demokrasi negara
kita telah berkembang dengan pesat, rakyat semakin mendapatkan hak dan kebebasan yang
layak. Salah satu wujudnya adalah pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) secara langsung.
Rakyat dapat secara langsung menentukan pemimpin dan para wakilnya. Tapi lihatlah Pilkada
kita, berapa banyak kepala daerah yang terpilih lewat demokrasi pemilukada secara langsung
tersangkut kasus korupsi, padahal mereka terpilih melalui sebuah mekanisme pemilihan kepala
daerah yang biaya penyelenggaraannya sangat besar. Belum lagi biaya yang dibutuhkan
pasangan calon pada Pilkada dalam kontestasi umumnya lebih besar dibandingkan dengan
pendapatan resmi mereka sebagai kepala daerah jika menang dalam pilkada. Oleh karena itu,
seorang calon kepala daerah harus siap secara integritas, kapasitas, dan isi tas (kemampuan
finansial).
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah seringkali menorehkan cacatan buruk. Ajang yang
seharusnya menjadi tempat memilih calon kepala daerah secara demokratis justru berubah
menjadi kerusuhan. Kerugian yang ditimbulkannya pun tidak sedikit. Kekerasan sosial yang
diakibatkan oleh pilkada seringkali dipicu oleh belum siapnya mental masyarakat untuk
melakukan pilihan langsung dalam pilkada. Berbagai demonstrasi yang digalang pasca pilkada
seringkali berujung rusuh dan anarkhis. Demonstrasi tersebut tidak hanya sekedar meluapkan
gagasan dan pikiran melalui unjuk rasa, akan tetapi melalui kekerasan fisik dan bahkan merusak
apa saja yang ada di dekatnya.
Oleh karena itu, demokrasi yang hari ini kita agung-agungkan, dengan berbagai
mekanisme yang beradab dan “humanis” sebenarnya seringkali hanyalah “ilusi,” yang dapat
menjerumuskan kita ke dalam lubang hitam (black hole) demokrasi. Mekanisme aspirasi rakyat
hanyalah cerita di ujung kepentingan politik atau ekonomi suatu negara. Ide-ide demokratis
terkesan “kolonis.” Paham demokrasi hanyalah untuk melanggengkan kepentingan-kepentingan
ideologis barat yang sempit dengan disamarkan kata-kata manis seputar persamaan dan
kebebasan. Padahal kalau mau jujur, tidak ada negara yang sungguh-sungguh membuka “kran”
demokrasi sebagai sebuah jalan menuju kehidupan yang lebih beradab. Demokrasi hanyalah
cerita “usang” tentang kemajuan yang harus dibayar dengan cost yang mahal.

Anda mungkin juga menyukai