Anda di halaman 1dari 7

Di Hukum.blogspot.

com : Pandangan Sosiologi


Hukum terhadap Hukum dan kekuasaan.
BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Dalam kehidupan bermasyarakat sebuah aturan sangat dibutuhkan untuk mewujudkan ketertiban,
keamanan, ketentraman, serta tercapainya keadilan ditengah masyarakat. Hal ini merupakan salah
satu fungsi hukum yang harus di kedepankan secara bersama-sama disetiap sendi kehidupan umat
manusia. Dalam pembuatan suatu produk hukum, tidak hanya memandang dari segi yuridisnya saja.
Artinya pembentukan sebuah produk hukum tidak hanya berdasarkan nilai hukum yang harus
ditetapkan namun juga harus memandang aspek filosofis dan aspek sosiologis. Kedua aspek ini tentu
bertujuan supaya hukum mengakar serta diterima oleh masyarakat. Pertimbangan terhadap aspek
filosofis dan aspek sosiologis akan mendapat respon hukum dari masyarakat, mereka tidak akan
memandang hukum sebagai kepentingan, namun masyarakat akan menyadari makna dari kebutuhan
hukum tersebut.[1]

Pandangan tentang hukum dan kekuasaan tidaklah tunggal, antara kaum idealis yang berorientasi
das sollen dan kaum empiris yang melihat hukum sebagai das sein, memberikan pandangan yang
berbeda, namun kedua pandangan itu mempunyai pendapat yang sama bahwa seharusnya hukum
itu lebih supreme dari kekuasaan. Ada 2 fungsi yang dijalankan oleh hukum itu sendiri, yaitu sebagai
sarana kontrol sosial dan sebagai sarana untuk melakukan social engineering.

Hukum merupakan suatu sarana elit yang memegang kekuasaaan dan sedikit banyaknya
dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, atau untuk menambah serta
mengembangkannya. Secara sosiologis, Elit tersebut merupakan suatu golongan kecil dalam
masyarakat yang mempunyai kedudukan yang tinggi atau tertinggi dalam masyarakat dan yang
biasanya berasal dari lapisan atas atau menengah atas. Baik-buruknya suatu kekuasaan tergantung
dari bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan. Artinya, baik burukya kekuasaan senantiasa harus
diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh
masyarakat tersebut lebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan
masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap untuk organisasi yang teratur. Akan tetapi, karena
sifat dan hakikatnya, kekuasaan tersebut supaya dapat bermanfaat harus ditetapkan ruang lingkup,
arah, dan batas-batasnya. Untuk itu diperlukan hukum yang ditetapkan oleh penguasa itu sendiri
yang hendak dipegang dengan teguh.[2]

Berdasarkan kepada hubungan hukum dan kekuasaan, dalam hal ini Sosiologi Hukum sebagai
cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan
timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial lainnya. Sosiologi hukum senantiasa menguji
kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi
sesuatu hukum sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat.

B.           Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka perumusan masalah dalam makalah ini
adalah :

1.      Bagaimana Hubungan Hukum Dan Kekuasaan?

2.      Bagaimana Pandangan Sosiologi Hukum Terhadap Hukum Dan Kekuasaan?

C.     Tujuan Dan Manfaat

Adapun tujuan yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui hubungan hukum dan kekuasaan.

2.      Untuk mengetahui pandangan Sosiologi Hukum terhadap hukum dan kekuasaan.

            Sedangkan yang menjadi manfaat yang hendak diperoleh dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut :

1.   Penulisan makalah ini bermanfaat untuk menambah dan memperluas pengetahuan tentang
hubungan hukum dan kekuasaan serta pandangan Sosiologi Hukum terhadap hukum dan
kekuasaan.

2.   Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi sumbangan karya penulis bagi ilmu hukum
khusunya dalam bidang Sosiologi Hukum.

3.   Penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan wawasan ilmu
pengetahuan khususnya dalam bidang Sosiologi Hukum.

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Hubungan Hukum Dan Kekuasaan

Konsep negara hukum  mengalami pertumbuhan menjelang abad XX yang ditandai dengan lahirnya
konsep negara hukum modern (welfare state), dimana tugas negara sebagai penjaga malam dan
keamanan mulai berubah. Konsep nechwachterstaat bergeser menjadi welvarsstaat. Negara tidak
boleh pasif tetapi harus aktif turut serta dalam kegiatan masyarakat, sehingga kesejahteraan bagi
semua orang terjamin. Adanya larangan bagi pemerintah untuk campur tangan dalam urusan warga
negara baik di bidang sosial maupun bidang ekonomi (staats-onthouding dan laissez faire) bergeser
kearah gagasan baru bahwa pemerintah harus bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat. [3]

Menurut Bagir Manan yang dikutip oleh Ni’ Matul Huda, konsep negara hukum moderen merupakan
perpaduan antara konsep negara hukum dan negara kesejahteraan. Di dalam konsep ini tugas
negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat
saja, tetapi memikul tanggungjawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-
sebesarnya kemakmuran rakyat.[4]

Menurut Julus Sthal, konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah rechstaat  itu mencakup
empat elemen penting, yaitu :

1.   Perlindungan hak asasi manusia.

2.   Pembagian atau pemisahan kekuasaan.

3.   Pemerintah berdasarkan undang-undang.

4.   Peradilan tata usaha negara.[5]

Sedangkan A.V. Dicey mengetengahkan tiga ciri penting dalam setiap negara hukum yang
disebutnya dengan istilah the rule of law sebagai berikut :

1.   Supermasi absolut atau  predominasi dari regular law  untuk menentang pengaruh dari arbutary
power dan meniadakan kesewenang-wenanganm prerogratif atau discretionary authority yang luas
dari pemerintah.

2.   Persamaan di hadapan hukum atau pendudukan yang sama dari semua golongan kepada
ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak ada orang yang
berada di atas hukum; tidak ada peradilan administrasi negara;
3.   Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konsitusi bukanlah sumber
tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegakan oleh peradilan.
[6]

Meskipun antara konsep rechsstaat dengan  the rule of law mempunyai perbedaan latar belakang,
tetapi pada dasarnya keduanya berkenaan dengan perlindungan atas hak-hak kebebasan sipil warga
negara dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang kekuasaan negara. Dalam  perspektif
sosiologi, gagasan the rule of law mengandung empat makna, yaitu:

1.   Otoritas harus diberi bentuk hukum dan bahwa kekuasaan dilaksanakan dengan cara-cara
menurut hukum.

2.   Hukum menjadi responsif terhadap kepentingan konsumen dan bertujuan untuk
mendepersonalisasikan kekuasaan untuk menundukan pelaksanaanya kepada aturan-aturan,
sehingga melindungi warga negara dari tindakan sewenang-wenang penguasa.

3.   Hukum tidak menentang kekuasaan, malahan dapat memperkuatnya agar tidak merosot menjadi
pemaksa kehendak oleh penguasa.

4.   Tidak netral terhadap kepentingan-kepentingan sosial, karena pemihakannya terhadap kelompok
yang kurang beruntung secara politik, ekonomi, dan sosial.[7]

Kekuasaan dapat dirumuskan sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang atas dasar kekuatan
hukum untuk mengubah menurut kehendaknya, hak-hak, kewajiban-kewajiban, pertanggungjawaban,
atau hubungan-hubungan hukum lainnya, apakah oleh dirinya sendiri atau oleh pihak lain. Kekuasaan
yang bersifat publik berada di tangan seseorang sebagai wakil atau alat dari fungsi-fungsi negara,
terdiri dari berbagai bentuk badan perwakilan (legislatif), kehakiman (judicial), dan pemerintahan
(executive authority).[8]

Menurut L.J van Apeldoorn  yang berpendapat bahwa hukum adalah kekuasaan. Sepintas seolah-
olah disamakan antara hukum dengan kekuasaan. Akan tetapi, dari penjelasan di bagian lain dapat
diketahui bahwa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Penjelasan tersebut adalah : “Akan tetapi
tidak berarti, bahwa hukum tidak lain daripada kekuasaan belaka; tidak berarti bahwa hukum dan
kekuasaan adalah dua perkataan untuk hal yang satu dan sama. Hukum adalah kekuasaan, akan
tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. Might is not right, kata pepatah Inggris yang terkenal.
Pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya, akan tetapi, belum berarti bahwa ia berhak atas barang
itu. Bahkan kekuasaan dan hukum itu saling kita hadapkan sebagai suatu pertentangan.”[9]

Beberapa pendapat yang telah dikemukakan memandang hukum dan kekuasaan sebagai dua hal
yang sederajat. Selain pendapat seperti itu ada juga pendapat yang memandang hukum dan
kekuasaan sebagai dua hal yang tidak sederajat. Hukum berada di atas kekuasaan, misalnya Moh.
Mahfud M.D berpendapat sebagai berikut: “Sebenarnya, pandangan tentang hubungan antara hukum
dan kekuasaan itu tidaklah tunggal. Antara kaum idealis yang berorentasi pada das sollen  dan kaum
empiris yang lebih melihat hukum sebagai das sein, memberikan pandangan yang berbeda. Namun,
pengamat kedua pandangan itu, sama-sama sependapat, bahwa seharusnya hukum itu supreme
atas kekuasaan.[10]

Hubungan antara hukum dengan kekuasaan dirumuskan secara lebih ringkas oleh Mochtar
Kusmaatmadja dalam Slogan bahwa: “Hukum  tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan
tanpa hukum adalah kelaliman.”[11]

Pada intinya, prinsip-prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan dimaksudkan untuk membatasi
kekuasaan negara dari kemungkinan menjadi sumber penindasan dan tindak sewenang-wenang para
penguasa. Pengaturan dan pembatasan kekuasaan itulah wewenang para penguasa. Pengaturan
dan pembatasan kekuasaan itulah yang menjadi ciri konstitutosionalisme dan sekaligus tugas utama
konstitusi, sehingga kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan dapat dikendalikan dan
diminimalkan.[12]

Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling
mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip cheks and balances. Dengan adanya prinsip cheks
and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-
baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggaraan  negara ataupun pribadi-
pribadi yang kebetulan  sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang
bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.[13]

B.       Pandangan Sosiologi Hukum Terhadap Hukum Dan Kekuasaan

Sosiologi hukum (Rechtsociologie/Rechtssoziologie) merupakan cabang ilmu pengetahuan yang


memahami, mempelajari, menjelaskan secara analitis empiris tentang persoalan hukum dihadapkan
dengan fenomena-fenomena lain di masyarakat. Hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-
gejala sosial lainnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam mempelajari sosiologi hukum.
[14] Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa suatu praktik-praktik hukum di dalam
kehidupan sosial masyarakat itu terjadi,[15]

Hukum merupakan perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya  adalah untuk
melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Dengan demikian,
hukum belum merupakan institusi teknik yang kosong moral atau steril terhadap moral. Salah satu
perbincangan kritis mengenai hukum adalah tuntutan agar hukum memberikan  keadilan, menurut
Fuller hukum tidak dapat diterima sebagai hukum, kecuali apabila bertolak dari moralitas tertentu.
Hukum harus mampu memenuhi ukuran moralitas tertentu. Hukum harus mampu memenuhi ukuran
moral tertentu dan ia tidak layak disebut hukum apabila memperlihatkan kegagalan-kegagalan
sebagai berikut :

1.   Kegagalan untuk mengeluarkan aturan (to achief rules). Suatu sistem hukum harus mengandung
aturan-aturan, artinya ia tidak boleh memuat putusan-putusan yang bersifat ad hoc;

2.   Kegagalan untuk mengumumkan aturan tersebut kepada public (to puclicize). Aturan yang telah
dibuat harus diumumkan;

3.   Kegagalan karena menyalahgunakan perundang-undangan yang berlaku surut (retroactive


legislation). Tidak boleh ada aturan yang berlaku surut, oleh karena aturan seperti itu tidak dapat
dipakai sebagai pedoman tingkah laku. Membolehkan aturan berlaku surut akan merusak integratis
aturan yang ditujukan untuk berlaku pada waktu yang akan datang kegagalan membuat aturan yang
mudah dimengerti (understandable). Aturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti;

4.   Kegagalan karena membuat aturan-aturan yang bertentangan (contradictory rules). Suatu sistem
tidak boleh mengandung aturan yang bertentangan satu sama lain;

5.   Kegagalan karena menuntut dilakukannya perilaku di luar kemampuan orang diatur (beyond the
powers of the affected). Aturan-aturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang
dapat dilakukan;

6.   Kegagalan karena sering melakukan perubahan. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering
mengubah aturan sehingga menyebabkan orang kehilangan orientasi;

7.   Kegagalan menyerasikan aturan dengan praktik penerapannya. Harus ada kecocokan antara
peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.[16]

            Jika dilihat dalam pandangan sosiologi hukum, di Indonesia hukum hanya sebagai rekayasa
sosial. Tidak seperti halnya dalam suasana tradisional, dimana hukum lebih merupakan pembadanan
dari kaidah-kaidah sosial yang sudah tertanam dalam masyarakat. Hukum sekarang sudah menjadi
sarana yang sarat dengan keputusan politik. Dengan demikian, hukum berubah menjadi sarana
implementasi keputusan politik dan dengan demikian kehilangan akarnya pada kehidupan tradisional.
Dewasa ini hukum tidak lagi melihat ke belakang, melainkan ke depan dengan cara banyak
melakukan perubahan terhadap keadaan kini menuju kepada masa depan yang dicita-citakan.
Dengan demikian, hukum bukan lagi mempertahankan status quo, melainkan banyak melakukan
perubahan sosial.

            Selain itu apabila melihat pandangan dari Roscoue Pound tentang penggunaan hukum
sebagai sarana rekayasa sosial, maka hukum dalam makna sosiologisnya terlihat pada sifatnya
yang :

1.   Lebih diarahkan kepada bekerjanya hukum daripada kepada isinya yang abstrak;

2.   Memandang hukum sebagai lembaga sosial yang dapat dikembangkan melalui usaha manusia
dan menganggap sebagai kewajban  mereka untuk menemukan cara-cara terbaik dalam memajukan
dan mengarahkan usaha sedemikian itu;

3.   Lebih menekankan pada tujuan-tujuan sosial yang dilayani oleh hukum daripada sanksinya;

4.   Menekankan, bahwa aturan-aturan hukum itu harus lebih dipandang sebagai pedoman untuk
mencapai hasil-hasil yang dianggap adil oleh masyarakat daripada sebagai kerangka yang kaku.[17]

            Di Indonesia, keadaan hukum dan  kekuasaan  hanya ingin membicarakan kejadian yang
dapat diamati dari luar secara murni. Mereka tidak mau sedikit pun memasukkan  ke dalam kajiannya
hal-hal yang tidak dapat diamati dari luar, seperti nilai, tujuan, maksud dan sebagainya. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Karl Marx, “Hukum merupakan sarana yang dipergunakan oleh pihak
yang memegang kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya.”[18]

            Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah kekuasaan. Hukum merupakan salah satu sumber
daripada kekuasaan, disamping sumber-sumber lainnya seperti kekuatan (fisik dan ekonomi),
kewibawaan (rohaniah, intelegensia dan moral). Baik buruknya suatu kekuasaan, tergantung dari
bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan. Artinya, baik buruknya kekuasaan senantiasa harus
diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh
masyarakat lebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat
yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang teratur.[19]

            Diperlukanya kekuatan (force) sebagai pendukung serta pelindungan bagi sistem aturan-
aturan hukum untuk kepentingan penegakannya, berarti bahwa hukum pada akhirnya harus didukung
serta dilindungi oleh sesuatu unsur yang bukan hukum, yaitu oleh kekuasaan itu tadi, kekuatan (force)
yang diperlukan ini, dalam kenyatannya dapat berwujud sebagai:

a.    Keyakinan moral dari masyarakat.

b.   Persetujuan (konsensus) dari seluruh rakyat.

c.    Kewibawaan dari seorang pemimpin kharismatik.

d.   Kekuatan semata-mata yang sewenang-wenang (kekerasan belaka)

e.    Kombinasi dari faktor-faktor tersebut di atas.[20]

Dalam pengertian hukum, kekuatan yang sah adalah kekuatan yang diatur secara eksplisit dalam
kaidah-kaidah hukum positif. Penggunaan kekuatan semacam inilah yang diartikan sebagai
kekuasaan. Terlihat di sini terdapat adanya dukungan yang erat antara hukum dengan  kekuasaan,
sebab kekuasaan sedemikian akan memungkinkan seseorang atau sekelompok orang yang memiliki
kekuasaan akan mampu untuk menggerakkan seseorang atau sekelompok orang lain untuk
mewujudkan perilaku tertentu yaitu perilaku hukum.[21]

Membandingkan secara ekstrem antara hukum modern dan hukum kuno memberikan perspektif
sosiologi tersendiri. Hukum kuno muncul secara spontan melalui perilaku dan interaksi antara para
anggota masyarakat. Hampir tidak ada kesenjangan apa yang diatur dan dikerjakan oleh masyarakat.
Keadaan yang demikian itu tidak dijumpai pada hukum modern, yang dibuat secara sengaja oleh
suatu badan tersendiri untuk tujuan-tujuan yang ditentukan oleh badan tersebut. Hukum modern
memiliki semua kelengkapan dan perlengkapan untuk dapat bertindak secara jauh lebih keras
daripada hukum kuno, mulai dari badan legislatif, yudikatif, polisi, penjara dan sebagainya.[22]

Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam suatu masyarakat dapat terjadi oleh karena
bermacam-macam sebab. Di dalam perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umumnya
dikenal dengan tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum,
badan-badan penegak hukum, dan badan-badan pelaksanaan hukum. Di Indonesia, menurut
Undang-Undang Dasar 1945, kekuasaan untuk membentuk dan mengubah Undang-Undang Dasar
pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pasal 3 Jo Pasal 37). Sedangkan kekuasaan untuk
membentuk undang-undang serta peraturan lainnya yang derajatnya berada di bawah undang-
undang, ada ditangan Pemerintah (lihat Bab III Undang-Undang Dasar 1945) dan Dewan Perwakilan
Rakyat (lihat Bab VII Undang-Undang Dasar 1945). Kekuasaan kehakiman antara lain mempunyai
fungsi antara lain mempunyai fungsi untuk membentuk hukum.[23]

Keadaan semacam di Indonesia membawa akibat bahwa saluran-saluran untuk mengubah hukum
dapat dilakukan melalui beberapa badan. Artinya, apabila hukum harus berubah, agar sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, maka perubahan-perubahan tersebut tidak hanya tergantung pada suatu
badan semata-mata. Apabila karena faktor-faktor prosedural suatu badan mengalami kemacetan,
maka badan-badan lainnya dapat melaksanakan perubahan-perubahan tersebut. Hal ini sedikit
banyaknya juga tergantung pada pejabat-pejabat hukum dari badan-badan tersebut. Sebagaimana
dikatakan oleh Daiel S. Lev:

            “Yang menjadi hukum ialah praktik sehari-hari oleh pejabat hukum. Kalau kelakuan pejabat-
pejabat hukum termasuk hakim-hakim, jaksa-jaksa, advokat-advokat, pokrol bambu, polisi-polisi, dan
pegawai-pegawai pemerintahan pada umumnya berubah, ini berarti bahwa hukum sudah berubah
walaupun undang-undangnya sama saja seperti dahulu,”[24]

            Kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting karena  dapat menentukan nasib
berjuta-juta manusia. Baik buruknya kekuasaan tadi senantiasa harus diukur dengan kegunaannya
untuk mencapai suatu tujuan yang telah  ditentukan. Apabila kekuasaan dihubungkan dengan hukum,
maka ada hal yang menonjol yaitu para pembentuk, penegak, maupun pelaksana hukum.

            Penegakkan  hukum merupakan proses yang melibatkan manusia di dalamnya. Sosiologi
hukum melihat penegakkan hukum dengan pengamatan yang demikian itu. Sesuai dengan tradisi
emprik sosiologi hukum, maka dalam pengamatann terhadap kenyataan penegakkan hukum, faktor
manusia sangat terlibat dalam usaha menegakkan hukum tersebut. penegakkan hukum itu bukan
suatu proses logis semata, melainkan sarat dengan keterlbatan manusia di dalamnya. Hal itu berarti
bahwa penegakkan hukum tidak dapat dilihat sebagai suatu proses logis melainkan sesuatu yang
kompleks. Masuknya faktor manusia menjadikan penegakkan hukum sarat dengan dimensi perilaku
dengan semua faktor yang menyertainya.

            Negara hanya menyediakan fasilitas bagi terjadinya penegakkan hukum, sedang selebihnya
diserahkan kepada rakyat untuk bertindak atau tidak bertindak dengan menggunakan fasilitas yang
disediakan tersebut. kendatipun tidak ada diskriminasi dalam penggunaan fasilitas atau hukum
tersebut, tetapi dalam kenyataan di lapangan, tidak semua oranng berada pada posisi yang sama
untuk menikmati fasilitas yang disediakan oleh hukum. para pelaku yang memiliki kekuasaan lebih
besar akan mendominasi penegakkan hukum. kekuasaan tersebut berupa pengetahuan, status,
hubungan-hubungan sosial dan kemampuan ekonominya. Dengan kekuasaannya itu, mereka lebih
mampu mengendalikan dan memanfaatkan penegakkan hukum.[25]

        Indonesia dari masa ke masa, menonjolkan kekuasaan yang determinan diatas hukum,
kekuasaan seperti mesin yang berjalan melindas rakyat sebagai subjek yang diperintah dan
dikendalikan demi kepentingan. Di Indonesia pada saat ini, Hukum merupakan produk politik
sehingga karakter setiap produk hukum sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuataan
dan konfigurasi politik yang melahirkannya.[26]

        Pada dasarnya hukum bukan hanya fakta yang teramati, tetapi juga suatu institusi nilai. Hukum
mengandung nilai-nilai dan hukum bekerja untuk mengekspresikan nilai tersebut dalam masyarakat,
maka menjadi hilanglah dasar atau landasan yang hakiki bagi kehadiran hukum dalam masyarakat,
apabila hukum itu tidak dapat dilihat sebagai institusi yang demikian itu.[27]

BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan
            Pada tingkat peradaban dunia sekarang ini, Kekuasaan memegang peranan yang
fundamental daripada Hukum. Hukum menjadi kaidah-kaidah yang dibuat dengan sengaja oleh suatu
badan khusus yang diberi wewenang untuk itu. Pembicaraan mengenai efektivitas Kekuasaan masuk
kedalam pembicaran mengenai kehadiran hukum sebagai suatu instrument kebijaksanaan dari suatu
badan atau satuan politk tertentu. Pada tingkat peradaban sekarang ini, orang memang cenderung
berpendapat bahwa hukum adalah tidak lain instrument dari putusan atau keinginan politik. Dengan
demikian, pembuat kekuasaan menjadi sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Proses untuk
mendapatkan kekuasaan tidak lagi dalam batas – batas  yang steril dari lingkungan sosial dengan
semua kekuatan dan kepentingan. Pergumulan kepentingan-kepentingan.

        Cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling
mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip cheks and balances. Dengan adanya prinsip cheks
and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-
baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggaraan  negara ataupun pribadi-
pribadi yang Kebetulan  sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang
bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.

            Pandangan sosiologi hukum, hukum hanya sebagai rekayasa sosial. Tidak seperti halnya
dalam suasana tradisional, dimana hukum lebih merupakan pembadanan dari kaidah-kaidah sosial
yang sudah tertanam dalam masyarakat. Hukum sekarang sudah menjadi sarana yang sarat dengan
keputusan politik. Dengan demikian, hukum berubah menjadi sarana implementasi keputusan politik
dan dengan demikian Hukum kehilangan akarnya pada kehidupan tradisional. Hukum tidak lagi
melihat ke belakang, melainkan ke depan dengan cara banyak melakukan perubahan terhadap
keadaan kini menuju kepada masa depan yang dicita-citakan.

B. Saran

      Antara hukum dan kekuasaan pada dasarnya saling ketergantungan, hukum sangat memerlukan
kekuasan yang berguna untuk menegakkan hukum dalam tataran praktek, dan kekuasaan juga tidak
boleh melebuhi pada derajat hukum, kekuasaan harus selalu diawasi dan diseimbangkan oleh
hukum  agar tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dalam penegakkan hukum. diharapkan
dengan adanya pandangan sosiologi hukum terhadap hukum dan kekuasaan, hukum dan kekuasaan
bisa berjalan sesuai koridor yang berlaku dan kekuasaan harus tetap terkontrol oleh hukum dalam
pengimplementasian hukum di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai