Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

INFEKSI OPORTUNISTIK

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 7

1. DEDE WIDYA NINGSIH


2. KHUSNUL CHATIMA
3. HENGKY SUTOMO

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATANYARSI MATARAM
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S.1
MATARAM
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok makalah ini tepat
pada waktunya.
Salawat serta salam tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan alam
nabi besar muhammad SAW, seorang nabi yang telah membawa kita dari jaman
kegelapan menuju jaman yang terang benerang seperti yang kita rasakan seperti
saat sekarang ini.
Ucapan terimakasih juga kami haturkan kepada ibu dosen yang telah ikut
serta dalam memberikan tugas megenai “infeksi oportunistik”. Makalah ini kami
susun berdasarkan beberapa sumber buku yang telah kami peroleh. Kami berusaha
menyajikan makalah ini dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan yang telah
memberikan sumbang dan sarannya untuk menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari dalam pembuatan makalah kami ini masih banyak kesalahan dan
kekurangan, hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan pengetahuan dan
pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini diwaktu yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Aamiin.

Mataram, 28 Maret 2019


Penyusun
Kelompok 7

DAFTAR ISI

i
KATA
PENGANTAR........................................................................................................1

DAFTAR ISI...........................................................................................................2

BAB I
PENDSAHULUAN................................................................................................3

1.1 Latar
belakang.............................................................................................................4
1.2 Rumusan masalah...............................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................4

BAB II
PEMBAHASAN.....................................................................................................5

2.1 Pengertian infeksi oportunistik..........................................................................5

2.2 Epidemiologi infeksi oportunistik pada penderita HIV.....................................7

2.3 Patogenesis infeksi oportunistik pada penderita HIV........................................7

2.4 Terapi antiretroviral pada penderita HIV dengan infeksi oportunistik..............8

1. Saat pemberian terapi antiretroviral pada infeksi oportunistik

2. Immune reconstitution inflammatory syndrome

2.5 Pencegahan dan pelaksanaan spesifik infeksi oportunistik yang tersering

penderita HIV di Indonesia................................................................................

1. Tuberkulosis

a) Pencegahan koinfeksi TB-HIV

b) Penatalaksanaan koinfeksi TB-HIV

2. Diare kriptosporidial

a) Pencegahan Diare kriptosporidial

b) Penatalaksanaa Diare kriptosporidial

3. Kandidisiasi Mukokutaneus

a) Pencegahan Kandidisiasi Mukokutaneus

b) Penatalaksanaan Kandidisiasi mukokutaneus

ii
4. Ensefalitis Toksoplasmik

a) Pencegahan Ensefalitis Toksoplasmik

b) Penatalaksanaan Ensefalitis Toksoplasmik

5. Pneumocystis

a) Pencegahan Pneumocystis

b) Penatalkasaan pnemocystis

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan......................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang infeksi oportinistik


Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang ambil kesempatan
(opportunity) yang disediakan oleh kerusakan pada sistem kekebalan tubuh
untuk menimbulkan penyakit. Kerusakan pada sistem kekebalan tubuh ini
adlah salah satu akibat dari infeksi HIV dan menjadi cukup berat sehingga IO
timbul rata-rata 7-10 tahun setelah kita terinfeksi HIV
Dalam tubuh, kita membawa banayak kuman-bakteri, protozoa (binatang
bersel satu) jamur dan virus. Sistem kekebalan yang sehat mampu
mengendalikan kuman ini. Tetapi bila sistem kekebalan dilemahkan oleh
penyakit HIV atau beberapa obat, kuman ini mungkin tidak terkendali lagi dan
menyebabkan masalah kesehatan. Infeksi yang mengambil kesempatan dari
kelemahan dalam pertahanan kekebalan disebut ‘’oportunistik’’. Kata infeksi
oportunistik sering kaali disingkat menjadi ‘’IO’’ (yayasan spritia 2007)
Dan bahwa penyakit yang ditimbulkannya itu digolongkan dalam
kelompok penyakit infeksi. Dan spesies mikroba tersebut ini dapat menyerang
siapa saja bahakan pada individu sehat dengan kondisi prima sekalaipun.
Golongan kuman tersebut dapat dikenal sebagai kuman patogen. Dan penyakit
infeksi yang timbul itu merupakan rangkaian hasil interaksi antara kuman
patogen disatu pihak dengan mekanisme defens (pertahanan tubuh) dari tubuh
yang terinfeksi dipihak dalam menangklal kuman patogen.
Dari sekian banyaknya varietas bakteri (mikroorganisme) yang hampir tak
terbatas jumlahnya itu, relatif hanya sebagian ecil spesies diantaranya terbukti
sebagai penyebab timbulnya penyakit. (Dr. S Tamher, MPH 2008).

1
1.2 Rumus masalah
1. Apa pengertian dari infeksi oportunistik?
2. Apa saja Epidemiologi Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV
3. Bagaimana cara Patogenesis Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV
4. Apa saja Terapi Antiretroviral pada Penderita HIV dengan Infeksi
Oportunistik
5. Bagaimana cara Pencegahan dan Penatalaksanaan Spesifik Infeksi
Oportunistik yang Tersering pada Penderita HIV di Indonesia

1.3 Tujuan
1. Untukj mengetahui pengertian dari infeksi oportunistik?
2. Untuk mengetahui apa saja Epidemiologi dalam Infeksi Oportunistik pada
Penderita HIV
3. Untuk mengetahui Patogenesis Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV
4. Untuk mengetahui cara Terapi Antiretroviral pada Penderita HIV dengan
Infeksi Oportunistik
5. Untuk mengetahui cara Pencegahan dan Penatalaksanaan Spesifik Infeksi
Oportunistik yang Tersering pada Penderita HIV di Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian oportunistik
Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya tidak
bersifat invasif namun menyerang tubuh saat kekebalan tubuh menurun,
seperti pada orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Infeksi ini dapat ditimbulkan
oleh patogen yang berasal dari tubuh (seperti bakteri, jamur, virus atau
protozoa), maupun oleh mikrobiota sudah ada dalam tubuh manusia namun
dalam keadaan normal terkendali oleh sistem imun (seperti flora normal susu).
penurunan sistem imun berperan sebagai ‘’opotuniti’’atau kesempatan lagi
patogen tersebut untuk menimbulkan manifestasi penyakit.
Centers for disease control (CDC) mendefinisikan IO sebagai infeksi yang
didapatkan lebih sering atau lebih berat akibat keadaan imunosupresi pada
penderita HIV. Infeksi oportunistik yang digolongkan CDC sebagai penyakit
terkait AIDS (AIDS-defining illness) adalah kriptosporidiosis intestinal (diare
kronis >1 bulan), pneumonia pneumocystis carinii (PCP), stongiloidosis selain
pada gastrointestinal (GI), toksoplasmosis dan CVM selain pada hati, limfa
dan kelenjar getah bening (KGB), kandidiasis esofagus, bronkus atau paru,
kriptokokosis bsistem saraf pusat (SSP) atau diseminata, mybacterium avium
dan M. Kansasii selain padaa paru dan KGB, virus herpes simpleks
mukokutaneus kronis, padu dan GI, progressive multifocal leucoephalopathy
(PML), sarkoma kaposi pada usia <60 tahun, limfoma otak, hitoplasmosis
diseminata, isosporiasis intestinal, limfoma nonhodgkin, pneumonitis
interstitial limfoit dan bakteri piogenik multipel pada usia <13 tahun,
kokidioidomikosis, ensefalopati HIV, mycobacterium tuberculosis, wasting
syndrome, bakteremia salmonella, pneumonia bakteri rekuren, serta kanker
serviks invasif.

2.2 Epidemiologi infeksi opotunistik pada penderita HIV


Infeksi oportunistik merupakan alasan utama rawat inap dan penyebab
kematian pasien dengan HIV/AIDS dehingga harus selalu diperhatikan dalam
evaluasi pasien dengan HIV/AIDS. Sejak ditemukannya komoprofilaksis dan

3
kombinasi ART yang efektif, angka kematian akibat IO menurun drastis
walaupun tetap masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
penderita HIV. The joint united nations programe on HIV/AIDS (UNAIDS)
melaporkan sebanyak 1,2 juta kematian akibat penyakit AIDS sepanjang tahun
2014 dengan penyebab terbanyak (1 dari 5 kematian) diakibatkan oleh
tuberkulosis. Angka ini telah menurun sebesar 42% di bandingkan puncaknya
pada tahun 2004.
Kementian kesehatan republik indonesia melaporkan jumlah kumulatif
penderita AIDS (infeksi HIV dengan IO) di indonesia dari tahun 1987 hingga
september 2014 mencapai 55.799, atau sekitar 36,7% dari keseluruhan kasus
HIV. Case Fatality Rate AIDS di Indonesia juga mengalami penurunan
bertahap mulai 13,86% pada tahun 2004 hingga mencapai 0,46% pada tahun
2014.
Jenis patogen penyebab IO bervariasi pada masing-masing wilayah.
Infeksi yang sering dijumpai di Amerika dan Eropa antara lain Pneumocystis
jirovecii pneumonia (PCP), meningitis Kriptokokal, Cytomegalovirus (CMV)
dan Toksoplasmosis, sedangkan di negara berkembang seperti Asia Tenggara,
TB menjadi IO yang tersering. Beberapa penelitian di India mendapatkan
bahwa secara umum kandidiasis orofaringeal, TB dan diare oleh
kriptosporidia merupakan IO yang tersering. Hal yang serupa juga didapatkan
di Indonesia. Laporan Surveilans AIDS Departemen Kesehatan Republik
Indonesia tahun 1987 sampai dengan 2009 mendapatkan bahwa IO yang
terbanyak adalah TB, diare kronis dan kandidiasis orofaringeal. Data
mengenai profil IO di Bali masih sedikit, terdapat satu penelitian di Rumah
Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar Bali pada tahun 2014 yang
mendapatkan IO tersering adalah TB, Toksoplasmosis, kandidiasis oral, IO
multipel dan pneumonia.

2.3 Patogenesis Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV


Target utama HIV adalah sel yang mengekspresikan molekul reseptor
membran CD4+, terutama sel limfosit T. Infeksi HIV menimbulkan disfungsi
imun melalui penurunan sel T CD4+ (imunodefisiensi) dan aktivasi imun

4
(imunosupresi) yang meliputi respon imun spesifik HIV dan aktivasi imun
terhadap sel sekitar (bystander). Limfosit T CD4+ berperan penting dalam
pengaturan respon imun terhadap patogen dengan menjalankan berbagai
fungsi, antara lain aktivasi sel pada sistem imun bawaan (limfosit B, sel T
sitotoksik dan sel nonimun), serta berperan dalam supresi reaksi imun.19
Rendahnya jumlah limfosit T CD4+ akan menurunkan sistem imun melawan
patogen sehingga penderita menjadi rentan terhadap IO. Sel T CD4+ naїve
dapat berdiferensiasi menjadi T helper (Th)1, Th2, Th17, sel T regulatori
(Treg) dan Th folikuler (Thf) dengan profil sitokin dan fungsi yang berbeda-
beda.19,20 Sel Th1 terlibat dalam eliminasi patogen intraseluler, autoimunitas
spesifik organ, serta menghasilkan sitokin interferon (IFN)-γ yang
meningkatkan aktivitas fagositik makrofag dan sel mikroglial. Sel Th2
berfungsi pada respon imun terhadap parasit ekstraseluler, seperti cacing, serta
berperan penting dalam menginduksi berbagai penyakit alergi. Sel Th17
merupakan mediator penting dalam pertahanan pejamu melawan patogen
ekstraseluler seperti bakteri dan jamur, serta mempertahankan integritas sawar
epitel usus. Hilangnya sel ini akan mengganggu integritas mukosa usus,
meningkatkan permeabilitas terhadap produk mikroba serta berperan dalam
aktivasi imun kronis. Sel Treg berperan penting dalam mempertahankan
toleransi imunologis terhadap antigen dan menurunkan respon imun setelah
patogen tereliminasi. Treg dalam keadaan normal berperan dalam menekan
respon imun sel T, namun pada infeksi HIV terjadi perubahan distribusi
diferensiasi sel T CD4+ berupa peningkatan jumlah Treg serta penurunan
diferensiasi sel T lainnya. Sel Thf berinteraksi dengan sel B spesifik antigen
pada jaringan limfoid sekunder dan meningkatkan afinitas antibodi, maturasi
serta diferensiasi sel B menjadi sel memori dan sel plasma. Infeksi HIV
menyebabkan ekspansi Thf dan meningkatkan antibodi autoreaktif sehingga
menghasilkan kerusakan berat termasuk hancurnya sel CD4.
Menurunnya jumlah limfosit T CD4+ tidak hanya terjadi akibat
penghancuran langsung oleh HIV, namun juga melibatkan hubungan yang
lebih kompleks antara sistem imun pejamu dan efek dari replikasi aktif HIV.
Berkurangnya jumlah limfosit T CD4+ setelah infeksi HIV terjadi melalui

5
beberapa mekanisme, yaitu terganggunya produksi limfosit T de novo oleh
timus, efek bystander dari pembentukan sinsitium, perubahan permeabilitas
membran, disfungsi mitokondria, penghancuran oleh sel T sitotoksik spesifik
HIV atau melalui kadar respon imun yang berlebihan. Mekanisme utama
berkurangnya sel T CD4+ adalah akibat apoptosis, tidak hanya pada sel yang
terinfeksi HIV namun juga pada sel bystander melalui kematian sel yang
diinduksi aktivasi dan pembentukan sinsitia. Sinsitia terbentuk oleh fusi sel
yang terinfeksi HIV dengan target yang tidak terinfeksi dan selanjutnya akan
mengalami apoptosis yang diperantarai p53. Destruksi jaringan sel retikuler
fibroblastik, deposisi kolagen dan berkurangnya interleukin 7 sebagai faktor
pertahanan hidup sel T selanjutnya juga berperan dalam berkurangnya limfosit
T CD4+ naїve.
Virus mentargetkan populasi CD4+ yang telah terdiferensiasi terminal dan
membiarkan prekursor populasi CD4+ yang dapat memproduksi sel T baru
secara kontinu sehingga virus selalu memiliki cadangan target baru untuk
melangsungkan replikasinya. Kerusakan CD4+ terdiferensiasi dengan segera
diikuti oleh peningkatan proliferasi CD4+ baru yang secara parsial dapat
menggantikan CD4+ yang mati, namun proses regenerasi ini tidak stabil dan
makin berkurang seiring waktu hingga akhirnya tidak mampu mengimbangi
hilangnya CD4+ dan timbullah manifestasi imunodefisiensi.
jumlah limfosit T CD4+ pada orang normal adalah 500-1600 sel/μL darah.
Jumlah ini secara bertahap akan berkurang seiring dengan perkembangan
infeksi HIV dan menyebabkan penderita menjadi rentan terhadap IO.5 Jumlah
limfosit T CD4+ merupakan indikator terbaik dalam menentukan kerentanan
terhadap IO sehingga menjadi panduan dalam pemberian kemoprofilaksis.4
Penderita dengan jumlah limfosit T CD4+ yang telah mencapai 200 sel/μL
hampir seluruhnya telah terinfeksi IO dan bermanifestasi sebagai AIDS.
Periode rata-rata mulai dari infeksi HIV hingga mencapai AIDS adalah 8-10
tahun dengan penurunan limfosit T CD4+ sekitar 50-100 sel/μL pertahunnya.
Jumlah limfosit T CD4+ yang telah turun di bawah 50 sel/μL merupakan
kondisi yang mengancam jiwa dan pasien umumnya akan mengalami
kematian.

6
2.4 Terapi Antiretroviral pada Penderita HIV dengan Infeksi Oportunistik
Sebelum ditemukannya kombinasi ART yang efektif, IO merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada penderita HIV yang
mengakibatkan hingga 2 juta kematian setiap tahunnya.1,4 Diperkenalkannya
ART kombinasi yang efektif pada tahun 1996 mendorong revolusi dalam
pengobatan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di seluruh dunia.23 Angka
harapan hidup 5 tahun meningkat mulai dari 7% pada masa pre-ART, menjadi
18% pada masa ART awal, hingga mencapai 65% pada masa ART kombinasi
yang efektif. Terapi antiretroviral belum mampu menyembuhkan HIV secara
menyeluruh, namun secara dramatis dapat menurunkan angka kematian dan
kesakitan, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta meningkatkan harapan
masyarakat, sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai
penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit
yang menakutkan. Data berbagai penelitian mendapatkan bahwa ART
menurunkan insiden IO secara drastis, membantu resolusi dan perbaikan IO,
termasuk IO yang profilaksis dan terapi spesifiknya belum tersedia. Terapi
antiretroviral tidak dapat menggantikan kebutuhan terhadap profilaksis
antimikrobial pada pasien dengan imunosupresi yang berat, namun telah
menjadi landasan strategi untuk menurunkan berbagai infeksi dan proses
terkait HIV Hubungan antara IO dan HIV bersifat dua arah atau timbal balik.
Infeksi HIV menyebabkan imunosupresi yang memberikan kesempatan bagi
patogen oportunistik untuk menyebabkan penyakit, sebaliknya IO juga dapat
mengubah perjalanan alami HIV melalui peningkatan viral load sehingga
mempercepat perkembangan serta meningkatkan transmisi HIV.5,25
Pemberian ART dapat menurunkan risiko IO, dan sebaliknya pemberian
kemoprofilaksis dan vaksinasi spesifik IO dapat membantu menurunkan
kecepatan perkembangan HIV dan meningkatkan angka harapan hidup.

1. Saat Pemberian Terapi Antiretroviral pada Infeksi Oportunistik


Belum ada panduan spesifik mengenai pemberian ART pada IO karena
keterbatasan data. Terdapat 2 keadaan utama yang perlu diperhatikan yaitu
inisiasi ART pada keadaan IO akut dan pemberian ART saat timbul IO
pada pasien yang sedang mendapat ART. Penatalaksanaan pada setiap

7
keadaan bervariasi tergantung dari derajat perkembangan virologis dan
imunologis sebelum pemberian ART dan keuntungan yang didapat dari
pemberian ART, durasi infeksi HIV sebelum dan sejak inisiasi ART serta
interaksi obat yang berpotensi terjadi antara rejimen ART dan terapi IO.
Kelebihan inisiasi ART pada keadaan IO akut meliputi perbaikan
fungsi imun yang dapat mempercepat kesembuhan IO, terutama bila terapi
yang efektif untuk IO tersebut masih terbatas atau belum tersedia.
Kelebihan lainnya adalah mengurangi risiko terjadinya IO berikutnya.
Pendapat yang menentang inisiasi ART segera begitu terdiagnosis IO
meliputi jumlah dan toksisitas obat yang bertambah, sulitnya membedakan
toksisitas disebabkan oleh ART atau akibat terapi IO, interaksi obat yang
dapat terjadi serta kemungkinan terjadi IRIS.
Terapi antiretroviral harus dimulai sesegera mungkin pada kasus IO
kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, CMV, PML dan sarkoma Kaposi;
sedangkan kasus TB, kompleks Mycobacterium avium, PCP dan
meningitis kriptokokal harus menunggu respon terapi IO setidaknya 2
minggu sebelum inisiasi ART
Belum ada data penelitian yang menyatakan bahwa inisiasi ART akan
dapat meningkatkan hasil akhir pada pasien yang telah diterapi spesifik
untuk IO, sebaliknya ART yang dimulai pada keadaan IO akut juga tidak
didapatkan memperburuk prognosis IO tersebut. Timbulnya IO dalam
waktu 12 minggu setelah inisiasi ART, harus segera mendapat terapi untuk
IO dengan tetap melanjutkan ART dan mempertimbangkan modifikasi
rejimen ART apabila respon kenaikan jumlah sel T CD4+ tidak optimal
Inisiasi ART bagaimanapun wajib diberikan pada infeksi HIV stadium
klinis 3 dan 4 atau tanpa memandang stadium klinis jika jumlah CD4 ≤
350 sel/mm3. Inisiasi ART dilakukan tanpa melihat stadium klinis WHO
dan jumlah CD4 pada koinfeksi TB, koinfeksi Hepatitis B, ibu hamil dan
menyusui yang terinfeksi HIV, orang terinfeksi HIV yang pasangannya
HIV negatif, kelompok populasi kunci (laki-laki yang berhubungan
seksual dengan laki-laki (LSL), pekerja seks, pengguna narkoba suntik

8
(penasun) dan waria), serta penderita HIV pada populasi umum yang
tinggal di daerah epidemi HIV meluas.

2. Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome


Immune reconstitution inflammatory syndrome yang disebut juga immune
reconstitution disease atau sindrom pulih imun adalah perburukan kondisi
klinis sebagai akibat respons inflamasi berlebihan pada saat pemulihan
respons imun setelah pemberian ART. Sindrom ini dapat memberikan
gambaran klinis berupa penyakit infeksi maupun noninfeksi. Manifestasi
tersering adalah inflamasi dari penyakit infeksi berupa timbulnya gejala
klinis atau perburukan infeksi yang telah ada.
Insidens IRIS berbeda pada tiap wilayah, tergantung pada
rendahnya derajat sistem imun, prevalensi IO serta koinfeksi dengan
patogen lain. Insiden pada suatu tinjauan pustaka didapatkan sebesar
16,1% dengan morbiditas yang tinggi namun mortalitas yang rendah
(4,5%). Mekanisme IRIS belum diketahui dengan jelas, diperkirakan
terjadi sebagai respon imunopatologis berlebihan dari cepatnya pemulihan
sistem imun spesifik patogen terhadap rangsangan antigen yang sudah ada
disertai disregulasi imun yang terjadi beberapa saat setelah inisiasi ART.
Dikenal dua jenis IRIS yang sering tumpang tindih, yaitu IRIS
unmasking dan IRIS paradoksikal. Jenis unmasking menampakkan
manifestasi klinis IO yang sebelumnya asimtomatis, namun kemudian
menjadi jelas setelah inisiasi ART. Jenis ini terjadi pada pasien yang tidak
terdiagnosis dan tidak mendapat terapi untuk IO yang langsung
mendapatkan terapi ART. Jenis paradoksikal menunjukkan perburukan
klinis dari IO pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan untuk IO,
yang kemudian mendapatkan ART
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung
dari antigen yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah.
Organisme yang paling sering menyebabkan IRIS adalah M. tuberculosis,
M. avium, Cryptococcus neoformans dan Cytomegalovirus. Manifestasi
klinis IRIS yang utama adalah demam disertai munculnya kembali gejala
penyakit infeksi yang pernah ada sebelumnya dan telah teratasi infeksinya

9
(penyebab terbanyak TB), munculnya infeksi yang sebelumnya
asimtomatik (seperti M. avium) serta penyakit autoimun dan inflamasi
seperti sarkoidosis.
International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI)
membuat konsensus untuk kriteria diagnosis IRIS sebagai berikut:
1. Menunjukkan respons terhadap ART dengan
a. Telah mendapat ART
b. penurunan viral load > 1 log kopi/mL (jika pemeriksaan
tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi
yang terkait dengan inisiasi ART
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil
disembuhkan
b. Efek samping obat atau toksisitas
c. Kegagalan terapi
d. Ketidakpatuhan menggunakan ART
Beberapa faktor risiko terjadinya IRIS adalah jumlah CD4+ yang
rendah saat inisiasi ART, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat inisiasi
ART, banyak dan beratnya IO, penurunan jumlah virus RNA HIV yang
cepat selama ART, belum pernah mendapat ART saat diagnosis IO serta
pendeknya jarak waktu antara memulai terapi IO dan memulai ART.
Enam bulan sejak memulai ART merupakan masa yang kritis yang penting
dengan mayoritas kasus terjadi dalam beberapa minggu pertama sehingga
perlu dilakukan pemantauan dengan baik. Strategi pencegahan IRIS
meliputi inisiasi ART pada jumlah CD4+ yang tinggi, menunda inisiasi
ART pada pasien dengan IO terutama yang melibatkan SSP serta menapis
dan mencegah IO sebelum inisiasi ART.
Tatalaksana IRIS meliputi pengobatan patogen penyebab untuk
menurunkan jumlah antigen, tetap meneruskan ART, serta pemberian
antiinflamasi. Pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan pada kasus
yang berat dengan dosis 0,5mg/kgBB prednison yang diberikan selama 21

10
hari. Inflamasi mungkin berlangsung selama beberapa minggu hingga
bulan sebelum mereda.

2.5 Pencegahan dan Penatalaksanaan Spesifik Infeksi Oportunistik yang


Tersering pada Penderita HIV di Indonesia:
1. Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik tersering (40%) pada infeksi
HIV dan menjadi penyebab kematian paling tinggi pada ODHA. Infeksi
TB dan HIV saling berhubungan, HIV menyebabkan progresivitas infeksi
TB menjadi TB aktif, sebaliknya infeksi TB membantu replikasi dan
penyebaran HIV serta berperan dalam aktivasi infeksi HIV yang laten.5
Sebagian besar orang yang terinfeksi kuman TB tidak menjadi sakit TB
karena mempunyai sistem imun yang baik, dan dikenal sebagai infeksi TB
laten. Infeksi TB laten tersebut tidak infeksius dan asimtomatis, namun
dengan mudah dapat berkembang menjadi TB aktif pada orang dengan
sistem imun yang menurun, seperti pada ODHA.
Pasien TB dengan HIV positif atau ODHA dengan TB disebut
sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah
pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia adalah sebanyak 14 juta orang, dengan
3 juta pasien terdapat di Asia Tenggara. Epidemi HIV sangatlah
berpengaruh pada meningkatnya kasus TB sehingga pengendalian TB
tidak akan berhasil dengan baik tanpa upaya pengendalian HIV.
Sebagian besar infeksi TB menyerang jaringan paru, namun dapat
juga menyerang organ lain yang disebut TB ekstraparu. Gejala klinis TB
paru adalah batuk berdahak 2-3 minggu atau lebih yang dapat disertai
darah, sesak nafas, badan lemas, berat badan menurun, malaise, keringat
malam dan demam meriang lebih satu bulan. Gejala klinis TB paru pada
ODHA sering kali tidak spesifik, yang sering ditemukan adalah demam
dan penurunan berat badan yang signifikan (> 10%). Gambaran radiologis
dada dapat dijumpai infiltrat fibronoduler pada lobus paru atas dengan atau
tanpa kavitasi.

11
Infeksi TB dapat terjadi pada jumlah CD4+ berapapun, namun pasien
dengan jumlah CD4+ <200cells/μl memiliki risiko yang lebih tinggi
sehingga direkomendasikan pemberian ART dan obat anti TB (OAT).
Penanganan ko-infeksi TB-HIV selalu mendahulukan terapi TB sebelum
inisiasi ART dengan Infeksi TB dapat terjadi pada jumlah CD4+
berapapun, namun pasien dengan jumlah CD4+ <200cells/μl memiliki
risiko yang lebih tinggi sehingga direkomendasikan pemberian ART dan
obat anti TB (OAT). Penanganan ko-infeksi TB-HIV selalu mendahulukan
terapi TB sebelum inisiasi ART dengan pertimbangan menghindari
interaksi OAT dengan ARV, toksisitas obat, kepatuhan minum obat dan
juga mencegah terjadinya IRIS. (Gambar 1)

Gambar 1. Radiografi dada pada pasien ko-infeksi TB-HIV. Gambar kiri


menunjukkan adanya infiltrat dengan kavitasi pada lobus kanan atas.
Gambar kanan menunjukkan adanya infiltrat bilateral tanpa kavitasi.
(Spach, D.H. Gallant, J.E. HIV Web Study. Enteric infection treatmen
Desember 2005)

a) Pencegahan Koinfeksi TB-HIV


Pencegahan paparan terhadap infeksi TB di fasilitas pelayanan
kesehatan dapat dilakukan dengan menempatkan pasien TB atau yang
dicurigai TB secara terpisah dari pasien lain terutama pasien HIV.
Pusat pelayanan kesehatan, pelayanan paru rumah sakit, lembaga

12
permasyarakatan, penampungan tuna wisma atau populasi imigran
tertentu dapat menjadikan pasien berisiko tinggi terpapar M.
tuberculosis. Pasien dapat dikonseling mengenai risiko aktivitas
tersebut dan manfaat penggunaan masker untuk mencegah penularan.
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memberikan terapi
pada infeksi TB laten. Pasien HIV yang pertama kali diidentifikasi,
harus dites akan adanya infeksi M. tuberculosis, salah satunya dengan
tes kulit tuberkulin (tuberculin skin test/TST). Semua pasien HIV,
tanpa mempertimbangkan umur, dengan hasil tes positif untuk infeksi
M. tuberculosis namun tanpa adanya bukti TB aktif dan tanpa riwayat
terapi untuk TB aktif atau laten harus diterapi sebagai infeksi TB laten.
Terapi pilihan untuk TB laten adalah isoniazid 300 mg/hari peroral
(PO) selama 9 bulan, dengan efektivitas dan tolerabilitas yang baik
serta toksisitas yang jarang.
Rejimen alternatif dapat menggunakan rifampin 600 mg/hari PO
atau rifabutin selama 4 bulan. Kombinasi rifampin ditambah
pirazinamid selama 2 bulan telah terbukti bermanfaat, namun
didapatkan hepatotoksisitas berat dan kematian pada beberapa pasien
HIV yang mendapatkan rejimen ini, sehingga rejimen ini tidak
dipergunakan.
Pencegahan relaps atau rekurensi dengan terapi pemeliharaan
jangka panjang tidak diperlukan karena TB jarang kambuh setelah
menyelesaikan rejimen terapi secara lengkap, dengan catatan
organisme penyebab sensitif terhadap agen kemoterapi yang
digunakan.

b) Penatalaksanaan Koinfeksi TB-HIV


rinsip penatalaksanaan pasien koinfeksi TB-HIV adalah pemberian
pengobatan TB dengan segera. Pengobatan TB pada pasien yang
belum pernah mendapat ART adalah memulai OAT terlebih dahulu,
selanjutnya baru ART. Inisiasi ART dapat dimulai setelah pengobatan
TB ditoleransi dengan baik, dengan rekomendasi paling cepat 2

13
minggu dan paling lambat 8 minggu setelah OAT dimulai, tanpa
menghentikan OAT. Inisiasi ART dalam 2-4 minggu setelah OAT
dapat menekan perkembangan infeksi HIV, namun memiliki insiden
efek simpang dan terjadinya reaksi paradoksikal IRIS yang lebih
tinggi.24 Inisiasi ART dalam 4-8 minggu setelah OAT memiliki
kelebihan dapat membedakan obat spesifik penyebab efek simpang,
menurunkan risiko IRIS dan meningkatkan kepatuhan pasien. Inisiasi
ART harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan TB pada
pasien dengan CD4 < 50 sel/μL.
Pengobatan TB pada pasien yang sedang dalam pengobatan ART
dapat dimulai minimal di rumah sakit yang petugasnya telah dilatih
TB-HIV, untuk memantau adanya interaksi obat ataupun terjadinya
IRIS. Pemberian ART tetap dilanjutkan.
Pemberian OAT pada TB-HIV pada dasarnya sama dengan
pengobatan TB tanpa HIV/AIDS yaitu kombinasi beberapa jenis obat
dengan dosis dan waktu yang tepat.24 Rejimen OAT diberikan selama
6 bulan, terdiri dari isoniazid (INH) 300 mg PO, rifampin (RIF) 450
mg atau rifabutin PO, pyrazinamide (PZA) 3x500 mg PO dan
ethambutol (EMB) 3x250 mg PO setiap hari selama 2 bulan fase
inisial, dilanjutkan dengan INH 600 mg PO dan RIF 450 mg PO 3 kali
seminggu selama 4 bulan fase lanjutan. Rejimen ART yang
direkomendasikan pada koinfeksi TB-HIV adalah rejimen dengan
efavirenz 600 mg PO sebagai pilihan Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor (NNRTI). Nevirapin tidak dipilih sebagai
NNRTI karena rifampisin dalam OAT dapat menurunkan kadar
nevirapin dalam darah. Terapi antiretroviral yang dapat digunakan
adalah zidovudin atau tenofovir + lamivudin + efavirenz. Setelah OAT
selesai, efavirenz dapat diganti dengan nevirapin

1. Diare Kriptosporidial
Diare merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai pada
ODHA, yaitu didapatkan pada 30-60% kasus di negara maju dan

14
mencapai 90% di negara berkembang. Parasit protozoa
Kriptosporidium menjadi patogen utama dari diare kronis pada
kelompok tersebut, dengan penyebab terbanyak adalah
Cryptosporidium parvum (71.4%). Kriptosporidiosis termasuk dalam
penyakit terkait AIDS sesuai panduan CDC yang umumnya terjadi saat
jumlah sel T CD4+ <200cells/μL. Gambaran klinis kriptosporidiosis
adalah diare kronis (>1 bulan) dengan kotoran yang cair, dehidrasi,
nyeri perut dan penurunan berat badan.

a) Pencegahan Diare Kriptosporidial


Kriptosporidiosis ditularkan dari tertelannya ookista melalui
penyebaran fekal-oral dari manusia ke manusia atau hewan ke
manusia (Gambar 2). Penyebaran ini terjadi melalui kontak langsung
atau melalui air yang terkontaminasi. Anak-anak di pusat penitipan
merupakan salah satu reservoir, begitu pula dengan kucing dan
anjing yang masih kecil. Didapatkan pula wabah kriptosporidiosis
terkait air minum publik dan kolam renang, yang diperkirakan
karena parasit sangat resisten terhadap klorinasi. Kontak seksual,
terutama kontak yang melibatkan hubungan rektal, juga merupakan
cara penyebaran organisme ini. Pasien HIV dapat mengurangi
kemungkinan terkena kriptosporidia dengan menghindari paparan
terhadap sumber penularan tersebut. Pasien harus waspada bahwa
banyak dari sumber air yang dapat terkontaminasi sehingga
direkomendasikan untuk merebus air sebelum diminum.

15
Gambar 2. Transmisi Cryptosporidium parvum terjadi terutama melalui
air yang terkontaminasi (air minum maupun air di pusat rekreasi), dan
secara jarang dapat melalui makanan. Ookista bersifat infeksius begitu
diekskresikan sehingga transmisi fekal-oral langsung dapat terjadi
(Centers for Disease control and prevention. Desember 2005).

b) Penatalaksanaan Diare Kriptosporidia


Tidak ada obat yang diketahui efektif untuk mencegah penyakit atau
rekurensi.Gejala kriptosporidiosis didapatkan menghilang seiring
dengan membaiknya status imun setelah pemberian ART sehingga
ART perlu terus dilanjutkan untuk mencegah relaps. Beberapa data
menyatakan bahwa rifabutin atau klaritromisin saat digunakan untuk
mencegah penyakit M. avium juga akan mengurangi insiden
kriptosporidiosis, namun data tersebut belum cukup meyakinkan
untuk merekomendasikan obat untuk tujuan ini. Pasien dengan diare
yang sangat berat perlu ditambahkan agen anti-kriptosporidia untuk
memastikan ART dapat diabsorpsi dengan cukup. Dapat digunakan
paromomisin 4x500 mg/hari PO atau 2x1 g/hari PO selama 12
minggu, dipadukan dengan azitromisin 500 mg/hari PO maupun
digunakan sendiri. Alternatif terapi lain yang dapat dipakai adalah
nitazoksanid 2x500 mg/hari PO selama 3 hari hingga 12 minggu.

16
Terapi suportif yang penting dilakukan meliputi hidrasi, koreksi
elektrolit, antimotilitas dan suplementasi nutrisi.

2. Kandidiasis Mukokutaneus
Spesies Kandida merupakan komensal yang sangat umum, dan
didapatkan pada 75% populasi dari rongga mulut maupun saluran
genitalia. Kandidiasis orofaringeal merupakan IO tersering pada
penderita HIV, mencapai 80-90% kasus pada masa pre-ART. Sebagian
besar kasus disebabkan oleh Candida albicans dan paling sering
didapatkan pada jumlah sel T CD4+ <200 cells/μL. Hasil penelitian di
Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta mendapatkan bahwa IO
yang tersering adalah kandidiasis orofaringeal (80,8%), demikian juga
di RSUP dr. Kariadi Semarang yang mendapatkan kandidiasis
orofaringeal pada 79% kasus. Kandidiasis orofaringeal bermanifestasi
sebagai plak atau patch berwarna putih seperti krim yang dapat dikerok
dengan punggung skalpel dan menampakkan jaringan mukosa
berwarna merah cerah di bawahnya. Manifestasi ini disebut sebagai
pseudomembran dan paling sering didapatkan pada palatum durum,
mukosa gusi atau bukal serta permukaan dorsal lidah (Gambar 3).

Gambar 3. Kandidiasis orofaringeal pada penderita HIV. Tampak


pseudomembran pada palatum durum (kiri) serta mukosa gusi dan bukal
(kanan). (Spach, D.H. Gallant, J.E. HIV Web Study. Enteric infection
treatmen Desember 2005)

17
a. Pencegahan Kandidiasis Mukokutaneus
Kandida sangat banyak terdapat di lingkungan. Semua manusia
dikolonisasi oleh organisme ini sehingga pencegahan paparan Kandida
bukan merupakan langkah yang akan berhasil untuk mengurangi insiden
penyakit Kandida. Kandida yang resisten flukonazol sering ditemukan
pada tempat pelayanan kesehatan, sehingga perlu penggunaan barrier
pencegahan untuk mengurangi superinfeksi pada pasien.
Kemoprofilaksis primer dengan flukonazol efektif untuk menurunkan
frekuensi kandidiasis namun pemberian jangka panjang berbiaya mahal,
terkait dengan toksisitas dan interaksi obat serta menyebabkan
terbentuknya ragi yang resisten azol.4 Tambahan pula, Kandida hampir
tidak pernah menyebabkan penyakit invasif. Kandidiasis mukosal dapat
diterapi dengan segera pada sebagian besar kasus, sehingga sebagian besar
klinisi tidak merekomendasikan profilaksis primer untuk kandidiasis.
Terapi pemeliharaan jangka panjang setelah kandidiasis akut membaik
juga tidak direkomendasikan oleh sebagian besar ahli dengan alasan yang
sama. Profilaksis sekunder dengan flukonazol atau itrakonazol dapat
dipertimbangkan pada pasien yang sering mengalami relaps atau dengan
penyakit sangat berat.
Strategi yang paling penting untuk penanganan pasien HIV dengan
kandidiasis adalah pemberian ART yang dimulai segera setelah didapatkan
gejala kandidiasis.32 Kandidiasis jarang dilaporkan menyebabkan IRIS.

3. Ensefalitis Toksoplasmik
Komplikasi kelainan neurologi pada pasien HIV didapatkan lebih dari
40%, dengan angka kematian yang sangat tinggi. Penelitian di RS
Saiful Anwar Malang tahun 2013-2014 mendapatkan penyebab
kelainan neurologi tertinggi pada HIV adalah toksoplasma serebri
(39,1%), yang sesuai dengan hasil penelitian di RSUP Nasional dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta (toksoplasmosis pada 31% kasus).

18
Toksoplasmosis serebri adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi protozoa Toxoplasma gondii varian gondii atau gatii di dalam
sistem saraf manusia.23 Organisme ini merupakan parasit intraselluler
yang menyebabkan infeksi asimptomatik pada 80% manusia sehat, tetapi
menjadi berbahaya pada penderita HIV/AIDS.8 Ensefalitis merupakan
manifestasi utama toksoplasmosis dan paling sering berasal dari reaktivasi
infeksi laten.15,23 Toksoplasmosis merupakan penyebab infeksi SSP yang
sering pada pasien HIV/AIDS dan biasanya didapatkan pada jumlah CD4+
<200 sel/μL. Gejala klinisnya meliputi demam, nyeri kepala dan defisit
neurologis fokal.

A) Pencegahan Ensefalitis Toksoplasmik


Toxoplasma gondii ditularkan ke manusia melalui tertelannya daging yang
tidak dimasak dengan matang atau dengan tertelannya ookista pada
kotoran kucing secara tidak sengaja (Gambar 4). Sebagian besar penyakit
pada manusia muncul akibat reaktivasi infeksi laten, walaupun beberapa
kasus terjadi akibat infeksi akut yang didapat saat dewasa. Pasien HIV
dapat mengubah perilaku mereka untuk mengurangi risiko paparan
Toksoplasma dengan memakan daging yang benar-benar matang dan
menghindari kontak dengan kotoran kucing yang berisiko infeksi. Pasien
yang terinfeksi HIV harus dites antibodi IgG terhadap Toksoplasma untuk
mendeteksi adanya infeksi laten. Individu yang seropositif merupakan
kandidat kemoprofilaksis saat jumlah limfosit T CD4+ turun <100 sel/μL
dengan pilihan terapi berupa kotrimoksazol (TMP-SMX) sediaan forte
(960 mg) sekali sehari PO. Alternatif terapi dapat digunakan dapson 50
mg/hari PO + pirimetamin 50 mg/hari PO, atau atovakuon 1500 mg/hari
PO, dengan/tanpa pirimetamin 25 mg/hari PO.
Berdasarkan pandangan praktis, keputusan mengenai profilaksis
Toksoplasma sangat dipengaruhi oleh profilaksis PCP, yang tercetus pada
jumlah sel T CD4+ yang lebih tinggi (<200 sel/μL). Profilaksis terhadap
toksoplasmosis dapat dihentikan dengan aman bila pasien telah
menunjukkan respon terhadap ART dengan jumlah CD4+ yang meningkat

19
>200 sel/μL paling sedikit selama 3 bulan. Profilaksis harus diberikan
kembali bila jumlah limfosit T CD4+ selanjutnya turun di bawah 100
sel/μL.

Gambar 4. Transmisi Toxoplasma gondii terjadi terutama melalui kucing


yang merupakan pejamu definitif parasit ini. Ookista diekskresikan
melalui kotoran kucing dan menjadi infeksius, kemudian menginfeksi
pejamu intermediet melalui tanah, air dan makanan. (Centers for Disease
Control and Prevention. Toxoplasmosis Desember 2015).

Profilaksis sekunder atau terapi pemeliharaan jangka panjang


untuk toksoplasmosis menggunakan TMP-SMX 960 mg/hari PO atau
pirimetamin 25-50 mg/hari PO + klindamisin 3-4 x 300-450mg/hari PO +
asam folinat dan harus dilanjutkan seumur hidup selama CD4+ <200
sel/μL. Terapi dapat dihentikan bila pasien telah menerima paling sedikit 6
minggu terapi antitoksoplasma, lesi bersifat stabil serta jumlah limfosit T
CD4+ meningkat >200/mm3 selama paling sedikit ≥6 bulan. Profilaksis

20
harus diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4+ turun di bawah 200
sel/μL.
Pemberian ART menurunkan insiden ensefalitis toksoplasmik dan
harus segera dimulai begitu pasien stabil secara klinis (biasanya sekitar 2
minggu setelah mendapat terapi toksoplasma untuk menurunkan risiko
IRIS).

a) Penatalaksanaan Ensefalitis Toksoplasmik


Panduan CDC untuk terapi ensefalitis toksoplasmik adalah kombinasi
pirimetamin (dosis pertama 200 mg PO dilanjutkan 3x25 mg/hari) +
sulfadiazin 4x1500 mg PO + leukovorin 3x10-20 mg/hari PO selama 6
minggu.24 Pilihan pengobatan yang tersedia di Indonesia adalah
kombinasi pirimetamin dan klindamisin 3-4 x 300-450 mg/hari PO disertai
suplemen asam folinat 10-20 mg/hari yang diberikan selama 6 minggu.

4. Pneumonia Pneumocystis
Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP) disebabkan oleh jamur
Pneumocystis jirovecii yang banyak ditemukan di lingkungan (Gambar
5a). Taksonomi organisme ini telah berubah, yang awalnya dikenal
dengan sebutan Pneumocystis carinii saat ini hanya ditujukan untuk
pneumosistis yang menginfeksi binatang pengerat. Spesies yang
menginfeksi manusia diberi nama Pneumocystis jirovecii, walaupun
untuk singkatannya masih digunakan istilah PCP seperti sebelumnya.

Gambar 5. 5a. Jamur Pneumocystis yang didapatkan pada paru pasien


dengan AIDS. 5b. Radiografi dada pada penderita HIV dengan
Pneumonia Pneumocystis menunjukkan karakteristik berupa opasitas

21
granuler simetris bilateral. (Centers for Disease Control and
Prevention. Pneumocystis pneumonia. Desember 2005).
Infeksi awal P. jirovecii umumnya terjadi pada masa kanak-kanak
awal dan PCP terjadi akibat reaktivasi fokus infeksi laten atau akibat
paparan baru melalui udara.15 Gambaran klinis PCP terkait HIV
berupa demam, batuk tidak berdahak dan dispnea. Radiografi dada
merupakan landasan diagnostik dan menunjukkan opasitas bilateral,
simetris, interstitial atau granuler (Gambar 5b).
Insiden PCP telah menurun signifikan sejak digunakannya
profilaksis dan ART secara luas. Sebelumnya, PCP didapatkan pada
70-80% pasien dengan AIDS dengan angka mortalitas 20-40%
walaupun telah mendapat pengobatan.15 Hampir 90% kasus terjadi
pada jumlah sel T CD4+ <200 sel/μL atau <14%.42 Faktor lain yang
terkait dengan peningkatan risiko PCP meliputi episode PCP
sebelumnya, kandidiasis oral, pneumonia bakteri rekuren, penurunan
berat badan serta viral load plasma yang tinggi.

a) Pencegahan Pneumonia Pneumocystis


Infeksi P. jiroveci terutama menyebar dari manusia ke manusia,
walaupun mungkin terdapat sumber di lingkungan. Pencegahan
paparan dapat diupayakan dengan mengisolasi pasien HIV yang rentan
dari individu yang menderita PCP walaupun keefektifannya belum
diketahui.
Kemoterapi telah terbukti mencegah PCP dan memperpanjang
kelangsungan hidup pada pasien HIV. Pasien dengan jumlah sel T
CD4+ <200 sel/mm3 atau <14%, serta pasien dengan riwayat PCP dan
kandidiasis orofaringeal harus diberi kemoprofilaksis PCP.
Kotrimoksazol forte (960 mg) PO satu tablet perhari merupakan
agen profilaksis pilihan. Agen ini lebih efektif dibandingkan agen
lainnya, dapat ditoleransi dengan baik dan memiliki aktivitas
profilaksis tambahan terhadap toksoplasma dan beberapa bakteri
termasuk Salmonella spp. dan Streptococcus pneumoniae. Pasien yang

22
tidak dapat mentoleransi TMP-SMX dan bila toksisitas tidak
mengancam jiwa, seringkali dapat dengan sukses melalui desensitisasi
bertahap dengan rejimen oral.
Dapson 2x50 mg/hari PO atau dapson 50 mg/hari + pirimetamin 50
mg/minggu PO merupakan alternatif TMP-SMX yang memiliki
keberhasilan tinggi. Pentamidin aerosol 300 mg/bulan dan atovakuon
1.500 mg/hari PO juga dapat menjadi alternatif, namun pentamidin
memerlukan fasilitas khusus dan menginduksi batuk, sedangkan
atovakuon mahal dan absorpsinya tergantung makanan. Profilaksis
terhadap PCP dapat dihentikan dengan aman bila pasien telah
menunjukkan respon terhadap ART dengan jumlah CD4+yang
meningkat >200 sel/μL paling sedikit selama 3 bulan. Profilaksis harus
diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4+ selanjutnya turun di
bawah kadar tersebut. Profilaksis sekunder harus dilanjutkan seumur
hidup pada pasien HIV yang bertahan hidup setelah episode PCP,
kecuali bila pasien memulai ART dan jumlah limfosit T CD4+
meningkat >200 sel/mm3 selama ≥3 bulan.15 Profilaksis PCP harus
diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4+ turun di bawah 200
sel/mm3 akibat kegagalan ART maupun ketidakpatuhan.

b) Penatalaksanaan Pneumonia Pneumocystis


Terapi pilihan untuk PCP adalah TMP-SMX (TMP 15-20 mg/kg/hari +
SMZ 75-100 mg/kg/hari) IV dibagi dalam 3-4 dosis selama 21 hari.
Terapi alternatif dapat digunakan klindamisin 3-4 x 600-900 mg IV
atau 4x300-450 mg PO + primakuin 15-30 mg/hari PO selama 21 hari
bila pasien alergi terhadap sulfa.23 Pasien dengan PCP berat
dianjurkan pemberian kortikosteroid berupa prednison 2x40 mg PO
selama 5 hari pertama, selanjutnya 40 mg/hari pada hari 6-10,
kemudian 20 mg/hari dari hari 11-21. Metilprednisolon IV diberikan
dengan dosis 75% dosis prednison.

23
Inisiasi ART segera lebih dipilih pada pasien dengan PCP
walaupun waktu inisiasi yang optimal masih belum bisa ditentukan. 41
Penderita HIV yang akan memulai ART dengan CD4+ <200 sel/μL,
dianjurkan untuk diberikan TMP-SMX 2 minggu sebelum ART. Hal
tersebut berguna untuk tes kepatuhan dalam minum obat dan
menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara TMP-SMX
dengan ART, mengingat bahwa banyak obat ART mempunyai efek
samping serupa dengan efek samping TMP-SMX.
Kejadian efek simpang TMP-SMX cukup tinggi, berupa ruam kulit
(termasuk sindroma Stevens-Johnson), demam, leukopenia,
trombositopenia, azotemia, hepatitis, hiperkalemia, mual dan muntah,
pruritus dan anemia. Terapi suportif dan simptomatis terhadap efek
tersebut perlu diusahakan sebelum menghentikan TMP-SMX.

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Infeksi oportunistik yang terjadi sebagai konsekuensi dari turunnya jumlah
sel T CD4+ pada pasien yang terinfeksi HIV merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan dan
penatalaksanaan yang tepat. Lima IO tersering di Indonesia adalah tuberkulosis,
diare kriptosporidial, kandidiasis mukokutaneus, ensefalitis toksoplasmik serta
pneumonia Pneumocystis. Intervensi terhadap IO yang paling bermakna adalah
pemberian ART, di samping terapi antimikrobial spesifik untuk IO. Angka
kejadian IO menurun drastis sejak diperkenalkannya kombinasi ART yang efektif
dan diimplementasikannya profilaksis IO sehingga meningkatkan harapan dan
kualitas hidup penderita HIV. Pemberian ART di sisi lain juga berpotensi
menimbulkan IRIS sehingga perlu dipertimbangkan dalam menentukan
dimulainya rejimen ART, terutama pada pasien yang juga mendapat terapi
spesifik untuk IO.

25
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, S.G., Powar, R.M., Tankhiwale, S., Rukadikar, A. Study of


opportunistic infections in HIV-AIDS patients and their co-relation with CD4+
cell count. Int J Curr Microbiol App Sci. 2015; 4(6): 848-61.

Sandhu, A., Samra, A.K. Opportunistic infections and disease implications in


HIV/AIDS. IJPSI. 2013; 2(5): 47-54.

Decker, C.F., Masur, H. Clinical management of HIV infection: management of


opportunistic infections. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P.,
Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds. Sexually Transmitted
Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1441-67

International AIDS Society USA. Pathogenesis of HIV infection: total CD4+ T-


cell pool, immune activation, and inflammation. Topics HIV Med. 2010; 18(1): 2-
6.

Maartens, G., Celum, C., Lewin, S.R. HIV infection: epidemiology, pathogenesis,
treatment, and prevention. Lancet 2014; 384: 258–71.

26

Anda mungkin juga menyukai