Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL

INFUS GLUKOSA

Disusun oleh:

KELOMPOK 3 PRAKTIKUM STERIL-D

Dita Septianawanti 1606924335

Enda Safitri 1606879054

Farhan Nurahman 1606821904

Febri Laurent S L 1606827574

Hamida Fatimah Z 1606924253

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS INDONESIA

2019
DEPOK
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................3
1.1 Latar Belakang................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................................4
1.4 Metode Penulisan............................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................5
2.1 Definisi Injeksi......................................................................................................................5
2.2 Large Volume Parenteral.....................................................................................................6
2.3 Infus.......................................................................................................................................8
BAB III PRAFORMULASI .......................................................................................................12
3.1 Komposisi Formula Sediaan.............................................................................................12
3.2 Monografi Bahan...............................................................................................................12
BAB IV FORMULASI................................................................................................................14
4.1 Formulasi............................................................................................................................14
4.2 Perhitungan Bahan............................................................................................................14
4.3 Tipe Formulasi...................................................................................................................15
4.4 Sterilisasi Alat dan Bahan.................................................................................................15
4.5 Cara Kerja..........................................................................................................................16
BAB V EVALUASI DAN PEMBAHASAN...............................................................................17
5.1 Hasil Evaluasi.....................................................................................................................17
5.2 Pembahasan........................................................................................................................23
BAB VI KEMASAN....................................................................................................................25
6.1 Kemasan Primer................................................................................................................25
6.2 Kemasan Sekunder............................................................................................................26
6.3 Nomor Registrasi dan Nomor Batch................................................................................28
BAB VII PENUTUP....................................................................................................................30
7.1 Kesimpulan.........................................................................................................................30
7.2 Saran...................................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................31

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Formulasi sediaan steril merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi yang banyak
dipakai. Sediaan steril sangat diperlukan ketika pasien dioperasi, diinfus, disuntik, dan lain
sebagainya. Pada kondisi tersebut, sediaan yang steril sangat dibutuhkan karena pengobatan
langsung bersentuhan dengan sel tubuh, lapisan mukosa organ tubuh, dan dimasukkan
langsung ke dalam cairan atau rongga tubuh. Untuk mendukung kompatbilitas sediaan
terhadap tubuh, sediaan harus isohidris dan isotonis agar tidak mengiritasi.
Salah satu sediaan steril adalah cairan infus. Infus ini berguna untuk menggantikan
cairan-cairan tubuh yang hilang karena disebabkan oleh kekurangan cairan akibat muntah,
diare yang berkepanjangan, sebagai penambah energi, serta pengganti nutrisi bila seorang
penderita penyakit tidak dapat mengkonsumsi makanan seperti biasanya.
Didalam sediaan infus terdapat zat-zat yang berfungsi sebagai kalorigenik yang dapat
menghasilkan energi, juga dapat menjaga kestabilan cairan dalam tubuh, karena infus ini
merupakan salah satu sediaan obat dalam bidang farmasi, maka seorang farmasis wajib
mengetahui cara pembuatan infus dan bagaimana pula cara pemakaiannya untuk itulah
praktikum dengan percobaan pembuatan sediaan infus perlu dilaksanakan.
Sediaan infus harus memenuhi persyaratan yaitu steril, bebas pirogen, jernih dan
praktis bebas partikel. Oleh karena itu, sediaan ini lebih mahal jika dibandingkan dengan
sediaan nonsteril karena ketatnya persyaratan yang harus dipenuhi.

1.2 Rumusan Masalah


Berikut adalah rumusan masalah yang terdapat pada penulisan makalah ini :
a. Bagaima formulasi infus glukosa?
b. Apa evaluasi yang dilakukan untuk infus glukosa?
c. Bagaimana kemasan dan etiket yang digunakan untuk infus glukosa?

3
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi tentang pembuatan
sediaan infus glukosa. Dalam makalah ini akan dijelaskan pemilihan dan karakterisasi
bahan, metode pembuatan sediaan sampai evaluasi sediaan. Semua informasi tersebut
diharapkan dapat menambah wawasan pembaca mengenai pembuatan sediaan steril
khususnya infus glukosa.

1.4 Metode Penulisan

Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode pustaka, yaitu dengan
mencari informasi mengenai infus glukosa dari berbagai sumber, yaitu buku Formularium
Nasional, Martindale, USP dan farmakope. Selain itu, penulis juga memanfaatkan fasilitas
internet untuk menambah informasi yang diperlukan untuk penyusunan makalah ini

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Injeksi


Larutan merupakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang
terlarut, misal: terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang sesuai atau campuran pelarut
yang saling bercampur. Karena molekul-molekul dalam larutan terdispersi secara merata,
maka penggunaan larutan sebagai bentuk sediaan, umumnya memberikan jaminan
keseragaman dosis dan memiliki ketelitian yang baik jika larutan diencerkan atau dicampur.
Larutan yang diberikan secara parenteral disebut dengan injeksi (FI V, 2014).

Menurut Anief (2008) pada Ilmu Meracik Obat, injeksi dapat digolongkan sebagai
berikut:

1. Injeksi intrakutan atau intradermal (i.c)


Injeksi intrakutan atau intradermal biaasanya berupa larutan atau suspensi dalam air,
dengan volume yang disuntikan hanya sedikit (0,1-0,2 mL). Injeksi ini digunakan
untuk tujuan diagnosa.
2. Injeksi subkutan atau hipoderma (s.c)
Injeksi ini umumnya berupa larutan isotonus dengan jumlah larutan yang disuntikan
tidak lebih dari 1 mL. Larutan harus sedapat mungkin isotonis, dengan pH sebaiknya
netral, yang dimaksudkan untuk mengurangi iritasi jaringan dan mencegah
kemungkinan terjadinya nekrosis
3. Injeksi intramuskular (i.m)
Injeksi ini merupakan larutan atau suspensi dalam air/minyak atau emulsi.
Penyuntikan volume besar dilakukan perlahan untuk mencegah rasa sakit, dan
sedapat mungkin tidak lebih dari 4 mL.
4. Injeksi intravenus (i.v)
Merupakan larutan yang mengandung cairan yang dapat bercampur dengan air.
Larutan ini biasanya isotonis atau hipertonus. Apabila larutan hipertonis, maka
disuntikan secara perlahan-lahan. Jika larutan yang diberikan banyak umumnya lebih

5
dari 10 mL disebut infus, larutan diusahakan isotonis. Emulsi minyak-air dapat
diberikan jika ukuran butiran minyak cukup kecil (emulsi mikro).
5. Injeksi intraarterium (i.a)
Injeksi ini umumnya berupa larutan yang mengandung cairan yang dapat bercampur
dengan air, volume yang disuntikan 1 mL sampai 10 mL dan digunakan apabila
dibutuhkan efek obat yang segera dalam daerah perifer.
6. Injeksi intrakor atau intrakardial (i.k.d)
Berupa larutan yang hanya digunakan untuk keadaan darurat dan disuntikan kedalam
otot jantung atau ventrikulus.
7. Injeksi intratekal (i.t), intraspinal, dan intradural
Berupa laturan yang harus bersifat isotonis, dikarenakan sirkulasi cairan
cerebropintal adalah lambat, meskipun larutan anestetika sumsum tulang belakang
sering hipertonis.
8. Injeksi intrakulus
Berupa larutan atau suspensi dalam air yang disunikan ke dalam cairan sendi dalam
rongga sendi.
9. Injeksi Subkonjugtiva
Berupa larutan atau suspensi dalam air yang ditujukan untuk injeksi selaput lendir
mata bawah dan umumnya tidak lebih dari 1 mL.
10. Injeksi Intraperitonial (i.p)
Injeksi yang disuntikkan langusng ke dalam rongga perut, penyerapan cepat, bahaya
infeksi besar dan jarang dipakai.
11. Peridural (p.d)
Injeksi ini disuntikan ke dalam ruang epidural, terletak diatas durameter, lapisan
penutup terluar dari otak dansumsum tulang belakang.
12. Injeksi Intrasisternal (i.s)
Injeksi ini disuntikkan ke dalam saluran sumsum tulang belakang pada otak.

2.2 Large Volume Parenteral


Menurut Farmakope Indonesi Edisi IV, intravena volume besar adalah injeksi dosis
tunggal untuk intravena dan dikemas dalam wadah bertanda volume lebih dari 100 mL.
Karena volume pemberian besar, LVP tidak boleh ditambahkan zat bakteriostatik (pengawet)

6
karena dapat menyebabkan terjadinya toksisitas akibat pemberian larutan/zat bakteriostatik
dalam jumlah besar. Saat ini, larutan LVP digunakan juga sebagai pembawa untuk obat lain,
dan merupakan cara untuk menyediakan nutrisi parenteral.

Semua sediaan yang merupakan large volume parenteral (LVP), menurut


Rhemingtons Pharmaceutical Science (Gennaro, 1990), disyaratkan untuk:

A. Steril
Suatu bahan dinyatakan steril apabila bebas dari mikroorganisme hidup patogen
maupun non-patogen, baik dalam bentuk vegetatif maupun tidak.
B. Tidak mengandung pirogen
Efek pirogen dalam larutan injeksi akan nyata sekali jika diberikan dalam volume
besar secara intravena dibandingkan rute injeksi lain dan volume kecil. Kontaminan
pirogen dalam sediaan LVP berasal dari 3 sumber utama:
- Air yang digunakan sebagai pelarut
- Kemasan yang kontak dengan larutan selama pembuatan, pengemasan, dan
penyimpanan
- Bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan produk
C. Bebas dari bahan partikulat
Bahan partikulat terdiri atas partikel yang terdapat dalam larutan LVP berupa
partikel yang berasal dari luar dan zat tidak larut. Gelembung gas (udara) juga tidak
dikehendaki keberadaannya dalam larutan parenteral. Bahan luar yang mungkin terdapat
dalam sediaan parenteral termasuk semua bahan yang berasal dari lingkungan di mana
produk terpapar, meliputi selulosa, serat kapas, karet, logam, partikel plastik, bahan kimia
tidak larut, dll.
Partikel partikulat dalam sediaan parenteral dapat berasal dari berbagai sumber
dan aktivitas, yaitu:
- Larutan itu sendiri dan bahan yang terdapat di dalamnya
- Proses pembuatan dan variabelnya, seperti lingkungan, peralatan, dan
personalia
- Komponen kemasan yang berkontak dengan larutan LVP
- Unit dan alat yang digunakan untuk pemberian LVP

7
- Modifikasi selama proses pembuatan sediaan, selain lingkungan/ruangan
preparasi sediaan

D. Dikemas dalam wadah dosis tunggal


Wadah dosis tunggal merupakan wadah satuan tunggal untuk bahan yang hanya
digunakan secara parenteral (FI V, 2014).
E. Bebas pengawet
LVP tidak boleh ditambahkan zat bakteriostatik (pengawet) karena dapat
menyebabkan terjadinya toksisitas akibat pemberian larutan/zat bakteriostatik dalam
jumlah besar.

2.3 Infus
Infus merupakan produk parenteral yang digunakan untuk injeksi melalui intravena.
Infus dikemas dalam wadah large volume parenteral (LVP) plastik atau kaca yang cocok.
Sistem infus menyediakan kecepatan aliran yang terus menerus dan teratur. Infus bisa
diberikan dengan atau tanpa bahan tambahan (Levchuk, 1992). Infus diberikan melalui
intravena, yaitu dengan menempatkan cairan steril melalui jarum langsung ke vena pasien.
Biasanya cairan steril mengandung elektrolit (natrium, kalsium, kalium), nutrient (biasanya
glukosa), vitamin atau obat (Brunner & Sudarth, 2002). Menurut Farmakope Indonesia Edisi
III, infus intravena adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan
sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikkan langsung ke dalam vena dengan
volume relatif banyak. Kecuali dinyatakan lain, infus intravena tidak diperbolehkan
mengandung bakterisida dan zat dapar. Larutan untuk infus intravena harus jernih dan praktis
bebas partikel. Selain itu, infus juga sedapat mungkin bersifat isohidris, berupa pH larutan
sama dengan darah dan cairan tubuh lain, yaitu 7,4.

2.3.1 Tetapan Isotonis

Tetapan isotonisitas menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), yaitu:

Osmolaritas (mOsmol/ L) Tonisitas


>350 Hipertonis
329-350 Sedikit hipertonis
270-328 Isotonis
250-269 Sedikit hipotonis
8
0-249 Hipotonis

2.3.2 Wadah Infus

Wadah untuk injeksi termasuk penutup tidak boleh berinteraksi melalui berbagai cara baik
secara fisik maupun kimiawi dengan sediaan, yang dapat mengubah kekuatan, mutu atau
kemurnian di luar persyaratan resmi dalam kondisi biasa pada waktu penanganan,
pengangkutan, penyimpanan, penjualan, dan penggunaan (FI V, 2014). Wadah terbuat dari
berbagai macam bahan, yaitu wadah plastik, wadah gelas, dan wadah karet. Wadah gelas masih
tetap merupakan bahan pilihan untuk wadah produk injeksi. Gelas pada dasarnya tersusun dari
silkon dioksidatetrahedron, yang dimodifikasi secara fisika dan kimia dengan oksida, seperti
oksida natrium, kalium, kalsium, magnesium, alumunium, boron, dan besi. Gelas yang paling
tahan secara kimia hampir seluruhnya tersusun dari silikon dioksida. Kekurangan dari gelas
yaitu relatif rapuh dan hanya dapat dilelehkan dan dicetak pada temperatur tinggi (Lachman,
1994).

Menurut Farmakope Natherland Edisi V, wadah kaca untuk sediaan parenteral


dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu:

Tipe Deskripsi
I Tahan, kuat, kaca borosilikat
II Treated soda-lime glass
III Soda lime glass

a) Kemasan Kaca Tipe I


Kaca Borosilikat memiliki kandungan Na2O yang rendah dan Al2O3 yang tinggi.
Karena kandungannya ini menyebabkan daya tahan paling kuat terhadap produk basa.
Jenis kaca ini sering digunakan dalam pembuatan kemasan blown (kemasan yang dibuat
dengan peniupan udara) seperti vial, ampul, syringe dan bagian alat-alat LVP (Large
Volume Parenteral). Tipe ini memiliki kelebihan dibandingkan tipe lain yaitu koefisien
pemuaiannya yang kecil. Koefisien pemuaiannya 32 x 10-7/oC. Kaca tipe I lebih mahal
dan biasanya digunakan untuk produk khusus dengan pH yang tinggi.

b) Kemasan Kaca Tipe II


9
Terbuat dari soda-lime glass yang sudah mengalami proses dealkalisasi pada
lapisan dalam agar memiliki daya tahan yang lebih kuat. Proses ini sering disebut juga
sulfur treatment. Penggunaan wadah kaca jenis ini sebagai kemasan larutan parenteral
sudah ada sejak tahun 1930an. Wadah jenis ini mempunyai sifat yang inert dengan biaya
pembuatan yang terjangkau.
c) Kemasan Kaca Tipe III
USP merekomendasikan wadah jenis ini untuk sediaan injeksi karena aman dalam
penyimpanan. Sediaan injeksi yang dimaksudkan disini adalah sediaan dengan volume
kecil yang dibuat secara aseptis. Wadah ini biasanya disterilisasi dengan sterilisasi
kering.

2.3.3 Pengisian

USP merekomendasikan sediaan parenteral yang memiliki volume 50 ml atau lebih


dapat diisi dengan volume tambahan sebanyak 2% bagi cairan encer dan 3% bagi cairan
yang kental. Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, kelebihan volume yang
direkomendasikan yaitu:

Ukuran isi (mL) Larutan Encer Larutan Kental


0,5 0,10 0,12
1,0 0,10 0,15
2,0 0,15 0,25
5,0 0,30 0,50
10,0 0,50 0,70
20,0 0,60 0,90
30,0 0,80 1,20
50,0 atau lebih 2% 3%

2.3.4 Penandaan

Penandaan ditujukan kepada seluruh etiket dan tulisan, cetakan, atau grafik yang
terdapat dalam wadah langsung atau pada kemasan yang atau bungkus lainnya kecuali

10
wadah pemindahan lainnya. Etiket diartikan sebagai bagian dari wadah langsung (FI V,
2014)

Penandaan yang harus dicantumkan dalam sediaan infus, yaitu

1. Tiap wadah dosis tunggal harus diberikan etiket yang menyebutkan identitas, kadar atau
kekuatan, nama produsen, nomor bets, dan tanggal kadaluwarsa (FI V, 2014).
2. Penandaan sediaan parenteral harus menyatakan semua nama zat yang ditambahkan (zat
aktif, tambahan, eksipien), juga harus dicantumkan jumlah atau perbandingan, kecuali
untuk zat yang ditambahkan untuk mengatur pH atau isotonisitas. Pada etiket hanya
disebutkan nama dan tujuan penambahan zat tersebut (FI V, 2014).
3. Etiket sediaan resmi harus mencantumkan waktu kadaluwarsa yang dapat dibaca oleh
setiap orang pada kondisi pemakaian biasa. Selain itu, harus mudah dimengerti dengan
latar belakang yang kontras atau dicetak timbul (FI V, 2014).
4. Etiket pada larutan yang diberikan secara intravena dipersyaratkan untuk mencantumkan
kadar osmolarnya (FI IV, 1995).

BAB III

PRAFORMULASI

11
3.1 Komposisi Formula Sediaan

Menurut Martindale Edisi 28 halaman 52, infusa glukosa terdiri atas dekstrosa anhidrat
dalam aqua pro injeksi dengan konsentrasi 5%, kecuali dinyatakan lain. Maka dari itu, bahan-
bahan yang akan digunakan dalam pembuatan infus glukosa meliputi dekstrosa anhidrat dan
aqua pro injeksi.

3.2 Monografi Bahan


1. Dekstrosa Anhidrat

Gambar 3.1 Rumus Struktur Dekstrosa Anhidrat


Sifat fisikokimia dekstrosa anhidrat :
Rumus molekul : C6H12O6
Berat molekul : 180,16
Pemerian : Hablur tidak berwarna, serbuk hablur atau serbuk granul putih,
tidak berbau, rasa manis
Kelarutan : Larut 1:1 dalam air (pada suhu 25oC), 1:120 dalam metanol, agak
sukar larut dalam eter dan etanol 95%
pH optimum : 3,5 – 5,5
Stabilitas : Pada kelembaban relatif antara 35-85% dengan suhu 25oC,
dekstrosa anhidrat akan mengabsorbsi sejumlah kelembaban dan
membentuk dekstrosa monohidrat pada kelembaban yang lebih
tinggi. Serta stabil dalam temperature kurang dari 25oC
Inkompatibilitas : Terjadi penguraian pada pemanasan, penurunan kerjernihan
larutan intravena dekstrosa jika dicampur dengan senyawa
sianokobalamin, kanamisin sulfat, natrium novobiosin atau
natrium warfarin
Sterilisasi : Autoklaf

12
Khasiat : Sumber kalori dalam tubuh
Alasan pemilihan : Sebagai sumber utama karbohidrat dalam sediaan karena sediaan
infus glukosa parenteral mengandung karbohidrat sebagai sumber
kalori dalam tubuh

BAB IV

FORMULASI

13
4.1 Formulasi
Setiap 500 mL infus glukosa mengandung :
a. Dekstrosa anhidrat 25 gram
b. Aqua pro injeksi ad 500 mL

4.2 Perhitungan Bahan


a. Jumlah sediaan yang dibuat
Sediaan yang akan dibuat berjumlah 2 botol infus, dimana masing-masing botol
tersebut berisi 500 mL.
b. Volume yang akan dibuat
Volume total yang akan dibuat = 500 mL + (10% × 500 mL) = 500 mL + 50 mL
= 550mL
Bahan :
o Dekstrosa anhidrat = 5% (b/v) × 550 mL = 27,5 gram
o Aqua pro injeksi ad 550 mL
c. Volume sediaan
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV halaman 1044, kelebihan volume tiap
wadah untuk cairan encer untuk sediaan dengan volume lebih dari 50,0 mL yaitu 2%.
Total volume sediaan = 500 mL + (2% × 500 mL) = 510 mL
d. Perhitungan Osmolaritas
Untuk sediaan dengan rute pemberian secara parenteral, perlu dilakukan
perhitungan osmolaritas untuk mengetahui apakah seiaan tersebut isotonis terhadap
darah. Berikut rumus osmolaritas. Berikut rumus osmolaritas :

Berikut perhitungan osmolaritas dari tiap bahan yang digunakan :


55 gram/1,1 L
 Dekstrosa anhidrat = × 1000 × 1 = 277,5311 mOsmol/L
180,16
(isotonis)

e. Perhitungan Kalori per Botol (500 mL)

14
Dekstrosa dalam sediaan infus glukosa ini ditujukan sebagai sumber kalori. Oleh
karena itu perlu dilakukan perhitungan kalori yang dihasilkan oleh dekstrosa.
 Dekstrosa
1 gram dekstrosa menghasilkan 3,4 kkal
Total dekstrosa yang digunakan = 25 gram
Kalori yang dihasilkan = 25 gram × 3,4 kkal = 85 kkal
Total kalori per botol (500 mL) = 85 kkal

4.3 Tipe Formulasi


Formulasi ini dibuat dengan menggunakan metode sterilisasi akhir yaitu dengan
sterilisasi akhir berupa autoklaf dengan suhu 121oC selama 15 menit.

4.4 Sterilisasi Alat dan Bahan


Tabel 4.1 Sterilisasi Alat
Alat Ukuran Jumlah Cara Sterilisasi
Botol infus 500 mL 2 Oven 250oC selama 30 menit
Beaker glass 500 mL 2 Oven 170oC selama 30 menit
Kaca arloji - 3 Oven 170oC selama 30 menit
Erlenmeyer 250 mL 2 Oven 170oC selama 30 menit
Batang pengaduk - 1 Oven 170oC selama 30 menit
Spatel - 1 Oven 170oC selama 30 menit
Pinset - 1 Oven 170oC selama 30 menit
Pipet tetes - 1 Oven 170oC selama 30 menit
Aluminium cap - 2 Oven 170oC selama 30 menit
Gelas ukur 100 mL 1 Autoklaf 121oC selama 15 menit
Tutup botol infus
- 2 Autoklaf 121oC selama 15 menit
(karet)
Karet pipet tetes - 1 Autoklaf 121oC selama 15 menit
Filter G3 - 2 Autoklaf 121oC selama 15 menit

4.5 Cara Kerja


1. Siapkan alat dan bahan.
2. Kalibrasi beaker glass 550 mL dan botol infus 510 mL.
3. Sterilisasi alat-alat yang akan digunakan sesuai metode sterilisasi masing-masing.
4. Timbang dekstrosa anhidrat sebanyak 27,5 gram.

15
5. Masukkan aqua pro injeksi sebanyak 400 mL ke dalam beaker glass yang telah
dikalibrasi.
6. Larutkan dekstrosa anhidrat dalam aqua pro injeksi, lalu aduk hingga homogen.
7. Cek pH dengan indikator universal dan pH meter, pH harus berada dalam rentang 3,5-
5,5.
8. Cukupkan volume dengan aqua pro injeksi hingga 550 mL, lalu saring larutan dengan
G3 filter.
9. Masukkan filtrat ke dalam kemasan primer (botol infus) yang telah dikalibrasi (510 mL),
kemudian tutup botol infus dengan tutup karet.
10. Sterilkan sediaan dengan autoklaf 121oC selama 15 menit.
11. Segel botol infus dengan aluminium cap.
12. Lakukan evaluasi sediaan.
13. Beri penandaan pada kemasan primer, berupa informasi obat yang mencantumkan
komposisi, indikasi, dosis dan cara pemberian, efek samping, kontraindikasi, peringatan,
cara penyimpanan, nomor registrasi, nomor bets, tanggal produksi dan kadaluwarsa,
serta nama pabrik produsen.
14. Masukkan sediaan ke dalam kemasan sekunder, beri etiket dan label.

BAB V

EVALUASI DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Evaluasi


5.1.1 In Process Control (IPC)
1. Uji pH
Tujuan : Untuk mengetahui pH sediaan
Alat : pH-meter dan kertas indikator universal
Cara kerja :

16
a. Menggunakan pH meter
i. Dibilas elektoda dengan menggunakan aquadest, keringkan dengan
menggunakan tissue.
ii. Alat pH-meter dikalibrasi dengan menggunakan buffer pH 4 dan 7.
iii. Dibilas kembali elektroda dengan menggunakan aquadest, keringkan dan
masukkan ke dalam larutan sediaan. Catat besarnya pH yang tertera pada
alat.
b. Menggunakan kertas inidikator universal
Diambil sedikit bagian larutan sediaan, kemudian celupkan atau oleskan
pada kertas indikator universal, dibandingkan hasil perubahan warna indikator
pada sediaan dengan warna standar pH.
Hasil : Menggunakan pH-meter = 4,56
Persyaratan : Rentang pH infus glukosa = 3,5-5,5
Kesimpulan : Memenuhi persyaratan pH larutan yang dapat diterima tubuh
melalui vena

Gambar 5.1. Hasil Pengukuran pH dengan pH Meter


2. Uji Kejernihan
Tujuan : untuk mengetahui kejernihan sediaan.
Cara kerja : Pemeriksaan dilakukan secara visual biasanya dilakukan oleh seseorang
yang memeriksa wadah bersih dari luar di bawah penerangan cahaya yang
baik, dan berlatar belakang hitam dan putih, harus benar-benar bebas dari
partikel kecil yang dapat dilihat dengan mata.

17
Hasil : Tidak terdapat partikel-partikel kecil yang dapat dilihat dengan mata.
Kesimpulan : Sediaan jernih.

Gambar 5.2 Pengamatan Kejernihan sediaan dengan latar hitam

5.1.2 Post Process Control (PPC)

1. Organoleptis
Bentuk : Larutan jernih
Warna : Tidak berwarna

2. Uji Keseragaman Volume


Tujuan : Untuk mengetahui keseragaman volume antar sediaan
Cara kerja : Diletakkan sejajar pada permukaan yang rata, kemudian dilihat
keseragaman volume secara visual.
Hasil : Volume sediaan seragam
3. Uji Kebocoran Kemasan
Tujuan : Untuk memastikan tidak ada kebocoran pada kemasan sehingga sterilitas
sediaan tetap terjaga
Cara kerja : Membalikkan posisi botol (bagian tutup berada dibawah dan bagian
dasar botol berada diatas), lalu diamati apakah ada larutan yang keluar
atau tidak.
Hasil : Tidak ada larutan yang keluar dari kemasan
4. Tes pirogen

18
Hal ini harus diperhatikan terutama pada pemberian banyak, karena lebih dari 15
ml cairan yang mengandung pirogen dapat menimbulkan demam. Uji pirogen dilakukan
dengan menggunakan kelinci yang memenuhi syarat (kelinci yang selama seminggu
sebelum pengujian tidak menunjukkan penurunan berat badan). Lakukan pengujian
dengan menggunakan sekelompok hewan percobaan yang terdiri dari 3 ekor kelinci,
hangatkan sediaan uji hingga suhu larutan yang diuji lebih kurang 38,5°C dan suntikkan
perlahan-lahan ke dalam vena auricularia tiap kelinci. Waktu penyuntikkan tidak
melebihi 4 menit dan volume larutan yang diuji tidak kurang 0,5 ml dan tidak lebih 10 ml
per kg berat badan. Jika gagal dapat diulangi hingga 4 kali, tiap kali menggunakan
sekelompok terdiri dari 3 ekor kelinci.

Daftar hasil uji pirogen

Jumlah Larutan yang diuji memenuhi Larutan uji tidak memenuhi syarat
Kelinc syarat bila jumlah respon tidak jika jumlah respon melebihi
i melebihi
3 1,20° 2,7°
6 2,80° 4,3°
9 4,5° 6,0°
12 6,6° 6,6°

Hasil : Tidak dilakukan uji pirogenitas

5. Uji Sterilitas
Pengujian dilakukan dengan teknik aseptik yang cocok.
Metode uji pengujian terdiri dari:
a. Uji inokulasi langsung ke media uji Inkubasi
Jika tidak dinyatakan lain, di dalam monografi atau bab ini, inkubasi campuran uji
dengan media tioglikolat cair (atau media tioglikolat alternatif, jika dinyatakan)
selama 14 hari pada suhu 30oC hingga 35oC, dan dengan soybean-casein digest
medium pada suhu 20oC hingga 25oC. Amati pertumbuhan pada media secara visual
sesering mungkin sekurang-kurangnya pada hari ke-3 atau ke-4 atau ke-5, pada hari
ke-7 atau ke-8 dan pada hari terakhir pada masa uji.

19
Jika zat uji menyebabkan media menjadi keruh sehingga ada atau tidaknya
pertumbuhan mikroba tidak segera dapat ditentukan secara visual, pindahkan
sejumlah media ke dalam tabung baru yang berisi media yang sama, sekurangnya 1
kali antara hari ke-3 dan ke-7 sejak pengujian dimulai. Lanjutkan inkubasi media
awal dan media baru selama total waktu tidak kurang dari 14 hari sejak inokulasi
awal. Adapun sediaan yang dapat diuji dengan metode ini adalah cairan, salep dan
minyak yang tidak larut dalam isopropyl miristat, zat padat, kapas murni, perban,
pembalut, benang bedah, dan bahan sejenisnya, alat kesehatan steril, alat suntik
kosong atau terisi steril.
b. Prosedur Uji Menggunakan Penyaring Membran
Teknik penyaringan membran digunakan untuk bahan cair yang dapat diuji
dengan cara inokulasi langsung ke dalam media uji. Jumlah uji tidak kurang dari
volume dan jumlah seperti yang tertera pada Pemilihan spesimen uji dan masa
inkubasi. Peralatan unit penyaring membran yang sesuai terdiri dari:
 Satu perangkat yang dapat memudahkan penanganan bahan uji secara aseptik
 Membran yang telah diproses yang dapat dipindahkan secara aseptik untuk
inokulasi ke dalam media yang sesuai atau, satu perangkat yang dapat
ditambahkan media steril ke dalam penyaringnya dan membran inkubasi in situ.

Membran yang sesuai umumnya mempunyai porositas 0.45 μm, dengan diameter
lebih kurang 47 mm, dan kecepatan penyaringan air 55 ml sampai 75 ml per menit
pada tekanan 70 cmHg. Unit keseluruhan dapat dirakit dan disterilkan bersama
dengan membran sebelum digunakan, atau membran dapat disterilkan terpisah
dengan cara apa saja yang dapat mempertahankan karakteristik penyaring dan
menjamin sterilitas penyaring dan perangkatnya.

Jika bahan uji berupa minyak, membran dapat disterilkan terpisah, dan setelah
melalui pengeringan, unit dirakit secara aseptik. Adapun jenis-jenis bahan cair yang
dapat diuji dengan penyaring membran adalah sebagai berikut: cairan yang dapat
bercampur dengan pembawa air (kurang dari 100 ml per wadah), zat padat yang
dapat disaring, salep dan minyak yang larut dalam isopropyl miristat, zat padat yang
tidak dapat disaring, alat kesehatan, alat suntik kosong, padatan untuk injeksi selain

20
antibiotik, padatan antibiotik untuk injeksi, padatan, bulk, campuran antibiotik,
produk aerosol steril, alat-alat dengan label steril.

a. Media yang digunakan:


1) Media tioglikolat cair
2) Media tioglikolat alternatif (untuk alat yang mempunyai lumen kecil)
3) Soybean-Casein Digest Medium
b. Bakteriostatik dan Fungistatik
Sebelum melakukan uji sterilitas cara inokulasi langsung terhadap suatu bahan,
tetapkan tingkat aktivitas bakteriostatik dan fungistatik dengan prosedur berikut:
1) Buat pengenceran biakan bakteri dan jamur tidak kurang dari galur mikroba
seperti yang tertera pada Uji Fertilitas.
2) Inokulasi media uji sterilitas dengan 10 mikroba hingga 100 mikroba viabel,
gunakan volume media seperti yang tertera dalam Tabel Jumlah untuk bahan
cair pada Pemilihan spesimen uji dan masa inkubasi.
3) Tambahkan sejumlah tertentu bahan ke dalam setengah dari jumlah wadah
yang mengandung inokulum dan media.
4) Inkubasi wadah pada suhu dan kondisi seperti yang tertera pada tabel selama
tidak kurang dari 7 hari.

Uji Mikroorganisme yang disyaratkan oleh USP untuk Penggunaan dalam


meningkatkan Pertumbuhan dan Uji Bakteriostatik / Fungistatik yang digunakan
untuk Uji Sterilisasi.

21
Inkubasi
Media Mikroba Uji Suhu
Kondisi
(oC)
Tioglikolat (1) Bacillus subtilis (ATCC No.6633)
cair
(2) Candida albicans (ATCC No.10231)
(3) Bacteriodes vulgatus (ATCC
No.8482)
(4) Staphylococcus aureus (ATCC 30-35 Aerobik
6538)
(5) Pseudomonas aeruginosa (ATCC
9027)
(6) Clostridium sporogenes (ATCC
11437)
(1) Bacteriodes vulgatus (ATCC
Tioglikolat No.8482)
30-35 Anaerobik
alternatif (2) Clostridium sporogenes (ATCC
11437)
Soybean- (1) Bacillus subtilis (ATCC No.6633)
(2) Candida albicans (ATCC No.10231)
Casein 20-25 Aerobik
(3) Aspergillus niger (ATCC 16404)
Digest

Semua organisme yang diperlukan untuk menunjukkan pertumbuhan terlihat dalam waktu
tidak lebih dari 7 hari dari uji asli.

Penafsiran Uji Sterilitas

Jika tidak ada bukti nyata pertumbuhan mikroba dalam suatu media kultur uji
tabung, setelah memperlakukan sampel dan media dengan prosedur yang benar dan
kondisi uji sterilitas yang sesuai ketentuan dari USP dan EP, bisa diartikan bahwa
terdapat sampel yang banyak mewakili kontaminasi intrinsik. Interpretasi harus
dilakukan oleh orangorang yang memiliki pelatihan formal dalam mikrobiologi dan
memiliki pengetahuan dasar yang terlibat dalam pengujian kontrol kualitas :

1) Metode sterilisasi industri dan keterbatasan mereka


2) Pemrosesan aseptik
3) Konsep statistik yang melibatkan banyak sampling untuk perwakilan artikel

22
4) Prosedur pengendalian lingkungan yang digunakan dalam fasilitas uji

Jika pertumbuhan mikroba ditemukan atau jika uji sterilitas dinilai tidak valid
karena kondisi lingkungan yang tidak memadai, uji sterilitas dapat diulang.

5.2 Pembahasan
Pada praktikum teknologi sediaan steril, praktikan membuat formulasi cairan Large
Volume Parenteral (LVP) elektrolit, yaitu berupa infus glukosa. Formulasi LVP terdiri dari
dekstrosa (Glucosum anhydras) dan Aqua pro Injeksi. Dekstrosa berfungsi sebagai pengganti
kekurangan cairan yang diperlukan pasien pada saat terapi intravena dan diperlukan untuk
hidrasi ketika pasien sedang dan selesai operasi.

Adapun LVP yang dibuat oleh praktikan mengandung Dekstrosa anhidrat sebanyak 25 g.
Produk ini diindikasikan untuk menambah kalori, mengatasi dehidrasi isotonis, pengganti cairan
tubuh yang hilang dalam keadaan asam basa berkeseimbangan atau asidosis ringan dan
mengembalikan keseimbangan elektrolit. Total kalori yang dihasilkan pada setiap botol adalah
85 kkal. Sedangkan, osmolaritas yang dihasilkan oleh produk LVP elektrolit yang dibuat
praktikan adalah 277,5311 mOsmol/L dalam sediaan 500 mL. Hal tersebut menunjukkan bahwa
larutan bersifat isotonis sehingga sedian boleh diberikan melalui vena perifer.

Pembuatan sediaan LVP elektrolit ini dilakukan dengan metode sterilisasi akhir. Wadah
yang digunakan untuk produk ini adalah wadah botol kaca. Hal ini berdasarkan kelebihan dari
sifat kaca, yaitu tahan terhadap interaksi kimia dengan zat pengisi dan tidak mengabsorpsi serta
melepas zat-zat kimia; kaca juga merupakan bahan yang tidak permeabel (tidak mudah bocor);
dengan penutupan yang benar, maka keluar atau masuknya gas dapat diabaikan; wadah kaca
mudah dalam pencucian saat pengisian karena permukaannya yang halus; kaku, kuat dan stabil
dalam bentuk; tahan terhadap tusukan.

Setelah sediaan LVP selesai dibuat, praktikan melakukan evaluasi untuk mengetahui
baik atau tidaknya formulasi sediaan LVP yang dibuat oleh praktikan. Secara organoleptis,
sediaan LVP yang dihasilkan berupa cairan jernih dan tidak berwarna. Terdapat dua jenis
evaluasi yaitu In Process Control dan Post Process Control. IPC terdiri dari uji pH dan uji
kejernihan. PPC terdiri dari uji organoleptis, uji keseragaman volume, uji kebocoran, uji

23
pirogen, dan uji strerilitas. Uji pirogen dan uji sterilitas tidak praktikan lakukan karena
keterbatasan alat dan waktu.

Pengujian pH dilakukan menggunakan pH meter dan diperoleh hasil 4,56. Hal ini
memenuhi persyaratan rentang pH infus ringer glukosa seperti yang tertera pada Farmakope
Indonesia Ed. 4 hal. 747, bahwa rentang pH infus glukosa adalah 3,5-5,5. Dengan demikian,
dapat dinyatakan bahwa sediaan infus yang kami buat memenuhi persyaratan pH sediaan.

Sementara uji kejernihan dilakukan secara visual dengan menaruh sediaan pada tempat
berlatar belakang hitam dan putih dibawah pencahayaan yang baik. Dapat dilihat bahwa sediaan
kami jernih, tidak terdapat partikel-partikel kecil yang dapat dilihat oleh mata.

Dari uji-uji yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa formulasi sediaan LVP yang
dibuat oleh praktikan tergolong baik dan memenuhi persyaratan pH dan kejernihan.

BAB VI
KEMASAN

6.1 Kemasan Primer

24
Kemasan primer yang digunakan adalah botol kaca 500 ml.

Gambar 6.1 Kemasan Primer


Pada kemasan primer akan diberikan etiket primer dengan informasi sebagai berikut:
 Nama obat
 Bentuk sediaan
 Komposisi
 Nama dan alamat produsen
 Cara pemberian
 Nomor registrasi
 Nomor batch
 Tanggal produksi
 Tanggal kadaluarsa
 Penyimpanan
 Penandaan khusus (HET dan logo obat keras)
Dari daftar tilik di atas, etiket yang akan ditempelkan adalah sebagai berikut:

25
Gambar 6.2 Etiket Kemasan Primer

6.2 Kemasan Sekunder


Kemasan sekunder yang digunakan adalah kantong coklat. Kemasan sekunder ini digunakan
saat obat akan diberikan kepada dokter yang membutuhkan. Kantong coklat yang digunakan
memiliki lebar 6 cm, panjang 16 cm, dan tinggi 20 cm.

Gambar 6.3 Kantong Coklat

Sedangkan brosur akan dibuat dengan menggunakan kertas berjenis HVS 80 gram. Informasi-
informasi yang tercantum pada brosur adalah sebagai berikut:

26
 Nama obat
 Bentuk sediaan
 Besar kemasan (unit)
 Komposisi
 Nama dan alamat produsen
 Cara pemberian
 Nomor registrasi
 Nomor batch
 Tanggal produksi
 Tanggal kadaluarsa
 Kontraindikasi
 Interaksi
 Efek samping
 Peringatan
 Penyimpanan
 Penandaan khusus (HET dan logo obat keras)

Dari daftar tilik tersebut, brosur yang digunakan adalah sebagai berikut:

27
Gambar 6.4 Brosur

6.3 Nomor Registrasi dan Nomor Batch


Nomor registrasi adalah nomor identitas yang diberikan Badan POM setelah suatu
produk didaftarkan. Hal ini diperlukan untuk setiap sediaan obat dan nomornya selalu berbeda
antara obat satu dengan yang lain. Nomor registrasi terdiri dari 15 digit. Nomor Registrasi
sediaan infus Inflose® adalah DKL1969300149A1 dengan rincian seperti berikut:

•D : Merek dagang

•K : Obat keras

•L : Produk lokal

28
• 19 : Disetujui pendaftarannya tahun 2019

• 693 : No urut pabrik

• 001 : Nomor urut obat jadi yang disetujui untuk masing-masing pabrik

• 49 : Bentuk sediaan infus

•A : Menunjukkan kekuatan obat

•1 : Menunjukkan besar kemasan

Nomor batch atau nomor bets adalah nomor yang digunakan untuk membedakan sediaan
hasil produksi dari suatu pabrik yang sama. Nomor batch untuk sediaan Inflose® adalah
D121900101 dengan rincian sebagai berikut:

•D : Kode untuk produk Inflose® Infus Elektrolit

• 12 : Bulan produksi sediaan

• 19 : Tahun produksi sediaan

• 001 : Nomor sediaan ruahan pada bulan tersebut

• 01 : Nomor bahan pengemas yang digunakan

29
BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan
Sediaan Infus Glukosa yang mengandung dektrosa anhidrat dan aqua pro injeksi sebagai
pelarut. Evaluasi yang dilakukan adalah sebagai berikut.

 Organoleptis : berbentuk cair dengan warna bening


 Uji pH : 4,56
 Uji kejernihan : larutan jernih dan bebas dari partikel tak larut

Dari hasil evaluasi, dapat disimpulkan bahwa sediaan infus glukosa yang dibuat telah
memenuhi syarat untuk dipasarkan. Sediaan infus glukosa dikemas dengan wadah vial bening
dan dimasukkan kedalam kemasan sekunder (terlampir).

7.2 Saran
Sebaiknya praformulasi dan formulasi sediaan infus glukosa dapat dilakukan uji lainnya
seperti uji sterilitas, uji stabilitas, dan uji pirogen bila perlaatan dan waktu memadai.

30
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (2008). Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Levchuk, J.W. (1992). Parenteral Products in Hospital dan Home Care Pharmacy Practice.
Pharmaceutical Dosage Forms: Parenteral Medications. Volume 1. 2nd Edition. P. 249-282.
New YorkL Marcel Dekker.

Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo
Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC: Jakarta.

Gennaro,A.R, et all. (1990). Rhemingtons Pharmaceutical Science 18th Edition. Marck


Publishing Company: Pensylvania.

Lachman, Lieberman, Kanig, 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri II. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.

Kementerian Kesehatan RI. (2014). Farmakope Indonesia Edisi V. Direktorat Jendral Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Kementerian Kesehatan RI. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Direktorat Jendral Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

31

Anda mungkin juga menyukai