PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang sering sekali
terjadi dan dianggap penting sehingga menjadi perhatian lokal maupun global. (Cahyono,
dkk, 2015). Kebakaran hutan menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.195/ Kpts-
II/1996 didefinisikan sebagai keadaan di mana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan
kerusakan hutan dan hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomi dan lingkungannya
(Rasyid, 2014). Berdasarkan sumber penyebabnya, kebakaran hutan dapat dikelompokkan
menjadi 2, yaitu kebakaran hutan yang terjadi secara alami dan kebakaran hutan yang terjadi
akibat ulah manusia.
Kebakaran pada kajian ini adalah kegiatan yang menyebabkan adanya api dan atau
asap pada suatu kawasan baik disengaja, seperti membakar hasil tebasan pada (pem)bukaan
lahan baru atau bukan (pem)bukaan lahan baru, maupun tidak disengaja, seperti karena
percikan api dari lahan yang bersebelahan atau karena hal lain (seperti membuang puntung
rokok secara sembarangan).
Menurut Darwiati dan Tuheteru (2010) di Indonesia, kebakaran hutan dan lahan hampir 99%
diakibatkan oleh kegiatan manusia baik disengaja maupun tidak (unsur kelalaian). Diantara
angka persentase tersebut, kegiatan konversi lahan menyumbang 34%, peladangan liar 25%,
pertanian 17%, kecemburuan sosial 14%, proyek transmigrasi 8%; sedangkan hanya 1% yang
disebabkan oleh alam. Faktor lain yang menjadi penyebab semakin hebatnya kebakaran hutan
dan lahan sehingga menjadi pemicu kebakaran adalah iklim yang ekstrim, sumber energi
berupa kayu, deposit batubara dan gambut.
1. Advokasi
Meningkatkan alokasi sumber daya untuk daerah yang sering terjadi bencana yang
nantinya akan dibantu oleh sebuah kebijakan yang menjadi payung teduh atau landasan
hukum, sehingga memudahkan dalam melakukan action ataupun tindakan.Advokasi ini harus
dibantu oleh 3 unsur yang sangat penting, yaitu :
a) Dukungan Masyarakat
b) Dukungan Sistem
c) Analisis SWOT Daerah Bencana
Sasaran advokasi ini nantinya akan memanfaatkan lintas sektor yaitu seperti
Kementrian kehutanan,TNI,Kementrian Dalam Negeri, Tenaga Kesehatan, Lembaga Usaha.
2. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah menitokberatkan dan memfokuskan tingkat
kemampuan masyarakat atau dengan kata lain adalah personal skill masyarakat , dimana
dengan memanfaatkan media, seminar, kegiatan pelatihan, dan membuat satuan tugas .
Harapannya adalah agar masyarakat mampu dan bisa mengatasi bencana yang sewaktu-waktu
akan terjadi kapan saja dan dimana saja.
Pemberdayaan ini tidak luput dari melakukan kemitraan (Kerja Sama), khususnya di
bidang kesehatan. Kerja sama yang dimaksud adalah masyarakat saling mendukung dan
membantu menyelesaikan permasalahan yang mungkin akan terjadi saat becana ini terjadi.
Oleh karena itu, ada tiga hal utama yang harus diperhatikan yaitu :
1) Kerja sama antar kelompok, organisasi dan individu
2) Membuat sebuah tujuan yang jelas, sehingga mekanisme dan objek sasarannya
jelas
3) Membagi resiko dan keuntungan (input dan outputnya)
Dimana pada intinya konsep pemberdayaan ini adalah seluruh pihak yang terlibat
harus bekerjasama dan mau melepaskan kepentingan masing-masing dan membangun
kepentingan bersama.
3. Upaya Komperehensif
- Sarana dan Prasarana
- SATGAS (Satuan Tugas)
- Posko Gawat Darurat
- SDMK
- SDM
2. Aspek Mitigasi
Sejak 2015 hingga sekarang, beberapa tindakan mitigasi yang dilakukan adalah :
a. Pendataan dan pencatatan. Hal mendasar yang harus disiapkan secara detail
adalah pendataan luasan lahan yang rentan dalam terjadinya karhutla serta
daerah-daerah yang terdampak. Ini dimaksudkan untuk mengetahui sebaran
dan potensi resiko bencana, sehingga bisa dilakukan upaya-upaya
meminimalisir dampak yang terjadi. Dalam prosesnya, pendataan ini
dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai pihak seperti, Badan Restorasi
Gambut (BRG), Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD), Perusahaan, LSM,
Lembaga Konsorsium, dan SKPD.
b. Patroli Rutin. Aktifitas patroli rutin merupakan tindakan yang dilakukan oleh
satgas terhadap lokasi-lokasi yang memang disinyalir memiliki potensi
terjadinya karhutla. Patroli ini dilakukan secara bersama-sama, baik unsur
satgas maupun masyarakat. Patroli menjadi intens dilakukan terutama pada
saat musim kemarau sebagai langkah antisipasi luasan dampak jika terjadi
karhutla. Dalam pelaksanaan patroli, upaya dilakukan dengan sarana prasarana
yang ada,
baik sepeda motor, mobil patroli, jalan kaki, drone, maupun helikopter.
3. Kesiapsiagaan (Preparedness)
a. Menetapkan SK Gubernur tentang penetapan Satgas
b. Pelaksanaan rapat-rapat rutin satgas guna melaksanakan pembagian tugas
antar masing-masing anggota satgas. Rapat-rapat ini umumnya membahas soal
kesiapsiagaan antisipasi api di musim kemarau
c. Melakukan upaya sinkronisasi program kerja satgas dengan lembaga lain yang
ada dalam kesatuan satgas
d. Pelaksanaan rapat koordinasi dengan unsur lain di luar satgas seperti dengan
unsur pemerintahan kabupaten/kota, perusahaan, kelompok masyarakat,
TRGD dan BRG, membahas tentang peran serta semua pihak dalam
menangani ancaman bencana karhutla yang akan terjadi ataupun yang sedang
berlangsung
e. Koordinasi dengan Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) dan Badan
Restorasi Gambut (BRG)
f. Pembentukan posko-posko penanganan karhutla. Jumlah posko disesuaikan
dengan luasan wilayah yang ada.
g. Pembangunan sumursumur bor sebagai sumber air untuk pemadaman api
h. Pelengkapan sarana prasarana mengatasi karhutla
2. Operasi Pemadaman
1) Pemadaman Darat
a) Pengerahan Personil (BPBD, Manggala Agni, Dinas Damkar, MPA, TNI-POLRI,
Instansi/mitra kerja terkait dan Kelompok Masyarakat Terlatih);
b) Koordinasi dan Komando;
c) Penyampaian data melalui Pusdalops;
d) Komando dilaksanakan oleh Incident Commander).
2) Pemadaman Udara Pemadaman Udara merupakan pedukung dari pemadaman darat.
a) Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), operasi hujan buatan;
b) Melakukan pemboman air;
c) Melakukan penipisan awan dengan mikrosprayer
Pelaksanaan pemadaman dilakukan dengan mengerahkan semua tenaga dan peralatan
yang ada. Prosedur yang dapat dilaksanakan, yaitu:
a. Monitoring
Adanya informasi yang lengkap tentang bahaya kebakaran (termasuk didalamnya lokasi
kebakaran, sumber air) yang diterima oleh POSKO Pengendalian Kebakaran Hutan dan
Lahan. POSKO kemudian memobilisasi satuan penanggulangan kebakaran hutan sesuai
kebutuhan.
b. Persiapan
Persiapan pemadaman kebakaran harus dilakukan secermat mungkin. Persiapan yang
kurang akan menimbulkan kesulitan setelah berada di lapangan, bahkan dapat menimbulkan
bahaya bagi orang yang terlibat dalam pemadaman kebakaran tersebut. Persiapan sebelum ke
lokasi, meliputi pembagian personil dalam kelompok serta penyediaan alat transportasi, alat
pemadam kebakaran, P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan), alat komunikasi, dan
peta lokasi. Persiapan di lokasi, dilakukan penyebaran masyarakat di tiap kelompok
pengendali kebakaran. Pengarahan singkat tugas masingmasing kelompok dan diberikan
peralatan pada tiap kelompok dimana minimal terdapat dua alat komunikasi pada tiap
kelompok dan minimal satu orang menguasai lokasi. Pendirian POSKO dekat lokasi
kebakaran untuk menyediakan konsumsi, transportasi dan pelayanan kesehatan
darurat/kecelakaan.
c. Pengaturan strategi pemadaman kebakaran
Pemadaman kebakaran dapat dilakukan dengan penyemprotan air ketempat kebakaran
yang terjadi, pembuatan sekat bakar tidak permanen di depan arah pergerakan api,
pembakaran terkendali mulai dari jalur sekat bakar untuk melawan pembakaran yang
berbalik.
d. Pelaksanaan upaya pemadaman kebakaran
Upaya pemadaman dilaksanakan secara terus menerus sampai api dapat dikuasai dan
dipadamkan dengan tuntas. Tiap perkembangan yang terjadi selama upaya pemadaman harus
dilaporkan ke POSKO Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Setelah api padam tetap
dilakukan pengawasan untuk mencegah kemungkinan terjadinya kebakaran kembali
Beberapa strategi dan langkah dalam fase pasca bencana kebakaran hutan dan lahan :
1. Identifikasi: areal bekas terbakar, penyebab kebakaran, luas kebakaran, tipe vegetasi
terbakar, pengaruh terhadap lingkungan/ ekosistem dan informasi untuk mendukung
penegakan hukum.
2. Monitoring dan pemeriksaan lokasi terbakar.
3. Penegakan hukum (Ditjen Penegakan Hukum KLHK, POLRI dan Kejaksaan).
4. Pelaporan.
Kegiatan Pasca Kebakaran hutan dan lahan yang harus dilakukan meliputi:
a. Pengukuran langsung areal yang terbakar.
b. Overlay hasil pengukuran pada sebuah peta.
c. Perhitungan kerugian/taksasi dampak ekonomi dan ekologi kejadian kebakaran hutan.
d. Pelaporan kejadian kebakaran hutan pada Dinas Kehutanan
e. Pengecekan ulang areal yang terbakar.
f. Perumusan kegiatan rehabilitasi areal yang terbakar.
g. Koordinasi ulang mengenai sistem pengawasan areal yang terbakar, guna mengurangi
persentase terjadinya kebaran hutan di areal yang sama atau di dekat areal tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan dan observasi lapang, pihak Dinas Kehutanan sebaiknya lebih
menekankan pada wujud nyata dari hasil pengukuran dan pelaporan kejadian kebakaran,
yaitu kegiatan penanaman kembali/rehabilitasi pada areal bekas terbakar, sehingga kejadian
kebakaran di areal yang sama dapat segera diantisipasi
Berdasarkan hal tersebut di atas, sudah saatnya pengendalian kebakaran hutan dan lahan
ditangani secara terencana, menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan. Dengan kata lain, bahwa
pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak hanya tertuju pada pemadaman saat kebakaran
hutan musim kemarau, tetapi hal-hal lain yang bersifat pencegahan harus direncanakan dan
dilakukan berkelanjutan baik pada musim kemarau maupun pada musim penghujan.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, A. (2008). Community based fire management as an effort to solve the
REDD risk. Tekno Forest Plantation, 1(1), 11–22 (in Indonesian with English
Abstract)
Irwandi , Jumani dan Ismail B.2016. Upaya Penanggulangan Kebakaran Hutan Dan
Lahan Di Desa Purwajaya Kecamatan Loa Janan Kabupaten Kutai Kertanegara
Kalimantan Timur. Jurnal Agrifor Volume Xv Nomor 2. Hal 209-210