Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang sering sekali
terjadi dan dianggap penting sehingga menjadi perhatian lokal maupun global. (Cahyono,
dkk, 2015). Kebakaran hutan menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.195/ Kpts-
II/1996 didefinisikan sebagai keadaan di mana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan
kerusakan hutan dan hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomi dan lingkungannya
(Rasyid, 2014). Berdasarkan sumber penyebabnya, kebakaran hutan dapat dikelompokkan
menjadi 2, yaitu kebakaran hutan yang terjadi secara alami dan kebakaran hutan yang terjadi
akibat ulah manusia.

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12 (2009), pengertian kebakaran


hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan
kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan
atau nilai lingkungan.

Kebakaran pada kajian ini adalah kegiatan yang menyebabkan adanya api dan atau
asap pada suatu kawasan baik disengaja, seperti membakar hasil tebasan pada (pem)bukaan
lahan baru atau bukan (pem)bukaan lahan baru, maupun tidak disengaja, seperti karena
percikan api dari lahan yang bersebelahan atau karena hal lain (seperti membuang puntung
rokok secara sembarangan).

Lahan (land) merupakan suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua


komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifaat siklis yang berada di atas dan di
bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan,
dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan
sekarang yang kesemuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat
sekarang dan di masa mendatang (Brinkman dan Smyth, 1973; Vink, 1975; dan FAO, 1976).

Berdasarkan tipe, kebakaran hutan dan lahan dikelompokkan menjadi 3 tipe.


Kebakaran bawah (ground fire) adalah kebakaran pada bagian bawah permukaan tepatnya
pada lapisan organik. Kebakaran permukaan (surface fire) yaitu kebakaran yang terjadi di
permukaan yang membakar seresah, semak belukar, pancang, dan limbah pembalakan.
Kebakaran tajuk (crown fire) adalah kebakaran yang terjadi pada pucuk-pucuk pohon.
Kebakaran hutan dibedakan dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan yaitu
kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah
kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan dan keduanya bisa terjadi baik disengaja
maupun tanpa sengaja (Hatta, 2008).

Menurut Darwiati dan Tuheteru (2010) di Indonesia, kebakaran hutan dan lahan hampir 99%
diakibatkan oleh kegiatan manusia baik disengaja maupun tidak (unsur kelalaian). Diantara
angka persentase tersebut, kegiatan konversi lahan menyumbang 34%, peladangan liar 25%,
pertanian 17%, kecemburuan sosial 14%, proyek transmigrasi 8%; sedangkan hanya 1% yang
disebabkan oleh alam. Faktor lain yang menjadi penyebab semakin hebatnya kebakaran hutan
dan lahan sehingga menjadi pemicu kebakaran adalah iklim yang ekstrim, sumber energi
berupa kayu, deposit batubara dan gambut.

Penyebab terjadinya karhutla, berdasarkan laporan Satgas Karhutla Sumsel 2016


diidentifikasi sebagai berikut, Pertama, metode pembukaan lahan pertanian yang masih
mengandalkan metode pembakaran. Kedua, penelantaran lahan-lahan, terutama kawasan
gambut, lahan tidak diolah dan tidak dijaga. Ketiga, tingginya suhu akibat kemarau panjang,
Keempat, keringnya rawa-rawa, terutama rawa gambut, baik akibat tindakan yang disengaja
atau tidak. Kelima, praktek illegal loging yang masih banyak ditemukan.

Dilihat dari sudut pandang ketahanan nasional, terjadinya karhutla merupakan


ancaman bagi seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal tersebut
terlihat dari tinjauan konsep Astagatra khususnya gatra ekonomi. Adanya karhutla
mempunyai korelasi dengan pemanfaatan lahan yang ada, ataupun karena ketidakmampuan
mengatasi masalah lahan mereka. Aktifitas ekonomi tidak bisa berjalan baik dan sikap mental
juga rendah. Disisi lain tekanan dari negara luar juga semakin kuat, terutama dengan
mengangkat isu lingkungan hidup dan kabut asap. Dampak dari hal tersebut menjadikan
diplomasi Indonesia negatif, yang pada akhirnya memberikan kontribusi negatif pada
rendahnya ketahanan nasional.

2.2 Tujuan dan Manfaat Manajemen Bencana


2.3 Pra-Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
Dalam fase pra bencana kebakaran hutan dan lahan ini mencakupi kegiatan seperti
mitigasi, kesiapsagaan dan peringatan dini. Mitigasi Bencana (Mitigation) adalah serangkaian
upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana baik melalui pembangunan fisik,
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Kesiapsiagaan (Preparedness) adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bancana melalui pengorganisasian dan langkah yang tepat guna dan berdaya
guna. Peringatan Dini (Early Warning) adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan
sesegera mungkin pada masyarakat mengenai kemungkinan terjadinya bencana pada suatu
tempat oleh lembaga yang berwenang atau upaya untuk memberikan tanda peringatan bahwa
bencana kemungkinan akan segera terjadi. Berikut startegi dan langkah dalam fase pra
bencana kebakaran hutan dan lahan :

1. Advokasi
Meningkatkan alokasi sumber daya untuk daerah yang sering terjadi bencana yang
nantinya akan dibantu oleh sebuah kebijakan yang menjadi payung teduh atau landasan
hukum, sehingga memudahkan dalam melakukan action ataupun tindakan.Advokasi ini harus
dibantu oleh 3 unsur yang sangat penting, yaitu :
a) Dukungan Masyarakat
b) Dukungan Sistem
c) Analisis SWOT Daerah Bencana
Sasaran advokasi ini nantinya akan memanfaatkan lintas sektor yaitu seperti
Kementrian kehutanan,TNI,Kementrian Dalam Negeri, Tenaga Kesehatan, Lembaga Usaha.
2. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah menitokberatkan dan memfokuskan tingkat
kemampuan masyarakat atau dengan kata lain adalah personal skill masyarakat , dimana
dengan memanfaatkan media, seminar, kegiatan pelatihan, dan membuat satuan tugas .
Harapannya adalah agar masyarakat mampu dan bisa mengatasi bencana yang sewaktu-waktu
akan terjadi kapan saja dan dimana saja.
Pemberdayaan ini tidak luput dari melakukan kemitraan (Kerja Sama), khususnya di
bidang kesehatan. Kerja sama yang dimaksud adalah masyarakat saling mendukung dan
membantu menyelesaikan permasalahan yang mungkin akan terjadi saat becana ini terjadi.
Oleh karena itu, ada tiga hal utama yang harus diperhatikan yaitu :
1) Kerja sama antar kelompok, organisasi dan individu
2) Membuat sebuah tujuan yang jelas, sehingga mekanisme dan objek sasarannya
jelas
3) Membagi resiko dan keuntungan (input dan outputnya)
Dimana pada intinya konsep pemberdayaan ini adalah seluruh pihak yang terlibat
harus bekerjasama dan mau melepaskan kepentingan masing-masing dan membangun
kepentingan bersama.
3. Upaya Komperehensif
- Sarana dan Prasarana
- SATGAS (Satuan Tugas)
- Posko Gawat Darurat
- SDMK
- SDM

Carter (2008) menjelaskan bahwa dalam kegiatan manajemen pengelolaan


bencana, aspek pra bencana harus betul-betul diperhatikan dengan serius. Ia membagi
menjadi tiga aktifitas yaitu preventif, mitigasi, dan kesiapsiagaan/preparedness.
1. Aspek Preventif
Berdasarkan data dari masing-masing satgas karhutla di provinsi prioritas,
pada konteks terjadinya peristiwa karhutla, kegiatan preventif yang sudah dilakukan
adalah sebagai berikut:
a. Sosialisasi kepada masyarakat, perusahaan dan seluruh pihak terkait
yang berpotensi terjadinya karhutla. Bisa menggunakan media luar
(baliho, spanduk, poster dan sebagainya), bisa dengan pendekatan
kelembagaan dengan memanfaatkan jejaring perangkat pemerintahan
di daerah terutama aparat Desa, Babinsa, dan sebagainya, bisa dengan
menggunakan media massa baik cetak maupun online.
b. Edukasi dan Penyuluhan. Aktifitas ini adalah melakukan upaya
penanaman pengetahuan pada masyarakat secara intensif, bukan
hanya sosialisasi tetapi juga melakukan pemberdayaan kepada
masyarakat sehingga ikut terlibat dan bertanggungjawab agar tidak
terjadi karhutla. Bentuk kegiatannya adalah himbauan langsung ke
masyarakat dalam forum-forum formal maupun non formal,
melibatkan kelompok tani, karang taruna dan berbagai unsur lainnya.
c. Penyelidikan, penindakan dan penegakan hukum. Penyelidikan
dilakukan dengan melibatkan unsur pemerintah desa, SKPD,
Pemerintah Kabupaten, Kepolisian hingga Kehakiman. Fungsi
kehakiman lebih kepada melakukan eksekusi terhadap kasus-kasus
yang diperkarakan.
d. Melakukan sayembara bagi pihak-pihak yang bisa menangkap pelaku
pembakar lahan. Bagi siapa saja yang bisa menangkap pihak
pembakar, diiming-imingi hadiah tertentu. Hal ini dilakukan karena
memang indikasi kebakaran lahan adalah perbuatan pihak-pihak yang
tidak bertanggunjawab, karena itu perlu pula pancingan ke publik
untuk menggalang partisipasinya.
e. Publikasi/Opini melalui media massa. Selain sosialisasi dan tindakan
lain, satgas dengan menggandeng berbagai pihak terkait terus
melakukan upaya publikasi tentang bahaya tindakan membakar lahan.
Pihak akademisi didorong untuk senantiasa menyuarakan hal ini, baik
dalam bentuk menulis di media massa cetak ataupun di media
elektronik. Penggalangan opini melalui media massa dilakukan untuk
mendorong agar gagasan tidak membakar lahan bisa menyebar ke
semua lapisan. Sekaligus juga ini menjadi shock therapy bagi pihak-
pihak yang tidak serius dalam melakukan antisipasi karhutla.
f. Pembuatan sekat kanal (canal blocking). Cara ini dilakukan atas
kenyataan bahwa terjadinya karhutla karena keringnya lahan-lahan
gambut dan mineral di musim kemarau. Agar lahan tidak kering, maka
kanal-kanal yang selama ini sudah dibangun terutama di lokasi
perusahaan, dibuat sekat kanal agar air tidak mengalir ke tempat lain,
tetapi terbendung oleh sekat sehingga lahan tetap basah.
g. Inovasi teknologi. Inovasi teknologi, dikhususkan pada penciptaan
teknologi tertentu untuk mendukung upaya pencegahan karhutla. Hal
ini didasarkan pada pertimbangan bahwa yang dihadapi saat karhutla
adalah kondisi lahan, cuaca, api dan prilaku manusia. Teknologi akan
sangat mendukung dan menunjang terutama proses pencegahan agar
tidak terjadi karhutla.

2. Aspek Mitigasi
Sejak 2015 hingga sekarang, beberapa tindakan mitigasi yang dilakukan adalah :
a. Pendataan dan pencatatan. Hal mendasar yang harus disiapkan secara detail
adalah pendataan luasan lahan yang rentan dalam terjadinya karhutla serta
daerah-daerah yang terdampak. Ini dimaksudkan untuk mengetahui sebaran
dan potensi resiko bencana, sehingga bisa dilakukan upaya-upaya
meminimalisir dampak yang terjadi. Dalam prosesnya, pendataan ini
dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai pihak seperti, Badan Restorasi
Gambut (BRG), Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD), Perusahaan, LSM,
Lembaga Konsorsium, dan SKPD.
b. Patroli Rutin. Aktifitas patroli rutin merupakan tindakan yang dilakukan oleh
satgas terhadap lokasi-lokasi yang memang disinyalir memiliki potensi
terjadinya karhutla. Patroli ini dilakukan secara bersama-sama, baik unsur
satgas maupun masyarakat. Patroli menjadi intens dilakukan terutama pada
saat musim kemarau sebagai langkah antisipasi luasan dampak jika terjadi
karhutla. Dalam pelaksanaan patroli, upaya dilakukan dengan sarana prasarana
yang ada,
baik sepeda motor, mobil patroli, jalan kaki, drone, maupun helikopter.

3. Kesiapsiagaan (Preparedness)
a. Menetapkan SK Gubernur tentang penetapan Satgas
b. Pelaksanaan rapat-rapat rutin satgas guna melaksanakan pembagian tugas
antar masing-masing anggota satgas. Rapat-rapat ini umumnya membahas soal
kesiapsiagaan antisipasi api di musim kemarau
c. Melakukan upaya sinkronisasi program kerja satgas dengan lembaga lain yang
ada dalam kesatuan satgas
d. Pelaksanaan rapat koordinasi dengan unsur lain di luar satgas seperti dengan
unsur pemerintahan kabupaten/kota, perusahaan, kelompok masyarakat,
TRGD dan BRG, membahas tentang peran serta semua pihak dalam
menangani ancaman bencana karhutla yang akan terjadi ataupun yang sedang
berlangsung
e. Koordinasi dengan Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) dan Badan
Restorasi Gambut (BRG)
f. Pembentukan posko-posko penanganan karhutla. Jumlah posko disesuaikan
dengan luasan wilayah yang ada.
g. Pembangunan sumursumur bor sebagai sumber air untuk pemadaman api
h. Pelengkapan sarana prasarana mengatasi karhutla

Menurut (Akbar, 2008), pada umumnya dalam melakukan pengendalian kebakaran


hutan dan lahan terdapat masalah-masalah yang akan timbul yaitu :
a. Kegiatan pencegahan melalui Apel siaga, penyuluhan, kampanye kebakaran,
serta menimbulkan kepedulian masyarakat untuk tidak menggunakan api
dalam melakukan pembukaan lahan.
b. Belum adanya penerapan hukum atau sanksi tegas terhada pelaku pembakaran
hutan, sehingga para pelaku merasa aman terhadpat aksi yang dilakukan.
c. Serta belum adanya sinkronisasi, kooordinasi, dan integrasi dari stakeholder
yang berkepentingan dalam melakukan kegiatan pencegahan.
Dalam menanggulangi bencana kebakaran hutan dan lahan pada tahap pra bencana
sudah mempersiapkan dan tim pengendali kebakaran hutan dan lahan. Tujuannya adalah
untuk mencegah dan menanggulangi bencana kebakaran hutan dan lahan. Dengan
adanya tim pengendali ini mereka dapat memantau dan mengawasi hutan dan lahan
tersebut dari orang-orang tidak bertanggung jawab yang ingin membakar hutan dan
lahan. Tim pengendali itu nantinya dalam mencegah ataupun mengantisipasi
kemungkinan terjadinya suatu bencana akan diberikan sebuah pelatihan dasar dan
pengetahuan tentang bagaimana cara dalam menghadapi bencana kebakaran hutan dan
lahan tersebut. Tim pengendali ini terdiri dari kelompok masyarakat, karena
keterlibatan dari masyarakat dalam penanggulangan bencana sangat penting,
masyarakatlah yang di jadikan sebagai ujung tombak pemerintah dalam menghadapi bencana
kebakaran hutan dan lahan (Fitria, 2016). Maksudnya adalah apabila nanti ada
kemungkinan terjadinya suatu bencana kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di daerah-
daerah terpencil dan lokasinya sangat jauh maka masyarakat yang berada di sekitar lokasi
kebakaran itulah yang dapat langsung bergerak untuk meminimalisir terjadinya kebakaran
hutan dan lahan tersebut agar tidak menyebar secara luas dan mengurangi dampak negatif
dari kebakaran hutan dan lahan. Selain sebagai tim pengendali, tim ini juga diharapkan dapat
memberikan sosialisasi langsung kepada masyarakat tentang larangan untuk membakar hutan
dan lahan dengan alasan apapun.
Pencegahan kebakaran hutan dapat dilakukan dengan :
a. Pembentukan satuan petugas pemadam kebakaran.
b. Pembuatan sekat kuning di area yang rawan akan kebakaran.
c. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang kebakaran hutan
d. Mengukur luasan area/lahan rawan kebakaran.
e. Membuat peta area/lahan rawan kebakaran (Irwandi, Jumani, & Ismail,
2016).
Kegiatan yang BPBD dalam melakukan penanggulangan bencana kebakaran hutan
dan lahan juga memiliki beberapa kegiatan-kegiatan lainnya seperti :
a. Membuat tempat penampungan air
BPBD melakukan pemberdayaan masyarakat, agar masyarakat tersebut bisa
membuat tempat penampungan air di daerah dekat titik-titik rawan kebakaran
hutan dan lahan . Dengan adanya tempat penampungan air tersebut
harapannya adalah apabila terjadi kebakaran hutan dan lahan maka dapat
diminimalisir dengan memadamkan kebakaran tersebut dari tempat
penampungan air yang sudah disediakan.
b. Melakukan pemetaan daerah rawan kebakaran
Dengan melakukan pemetaan di daerah yang rawan kebakaran
diharapkan agar masyarakat lebih fokus dan mengetahui titik mana saja yang
sering terjadi kebakaran sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Hasil
pemetaan nantinya akan dibuat sedetail mungkin agar lebih memudahkan
masyarakat ataupun instansi untuk lebih waspada terhadap titik rawan
kebakaran tersebut dan hasil dari pemetaan dapat juga digunakan sebagai
pedoman oleh berbagai instansi dalam menjalankan kegiatannya di setiap
unit kawasan atau daerah.
c. Menyediakan sistem informasi kebakaran hutan yang cepat, terpadu dan
akurat
Dengan menyediakan sistem informasi kebakaran hutan maka akan dapat
membantu pihak yang terkait ataupun masyarakat dalam rangka
mengantisipasi daerah-daerah yang tidak terdapat di dalam titik-titik rawan
bencana. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa daerah-daerah yang
tidak terdapat di titik rawan kebakaran nantinya sewaktu-waktu dapat
mengalami kebakaran hutan dan lahan juga. Sehingga dibutuhkan lah
sistem informasi kebakaran hutan dan lahan untuk selalu memberikan
informasi yang cepat, terpadu dan akurat mengenai daerah yang ada dititik
rawan bencana ataupun yang tidak ada di dalam titik rawan bencana. Hal
itu dapat dilakukan dengan cara menganalisis keadaan kondisi dari
lingkungan daerah tersebut.
d. Melakukan pemantauan cuaca dan kondisi udara
Pemantuan ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana keadaan cuaca
sebelum terjadinya ancaman bencana kebakaran hutan. Seperti contohnya
apabila keadaan cuaca di Kabupaten Kotawaringin Barat menjadi panas dan
kondisi udara menjadi tidak stabil maka
2.4 Saat Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
1. Respon Awal Kejadian
BNPB sebagai koordinator penanganan kebakaran hutan dan lahan tingkat nasional,
melaksanakan tugas sebagai berikut: a. Melaporkan kepada Presiden setelah adanya notifikasi
kejadian awal yang dampak kebakarannya signifikan secara nasional; b. Segera
mengkoordinasikan/ membangun komunikasi dengan instansi utama dan pendukung di
tingkat nasional dan di tingkat daerah untuk menetapkan langkah operasi pemadaman; c.
Melakukan kaji cepat situasi dan penilaian dampak serta menganalisa untuk menentukan
tindakan penanganan yang tepat guna memenuhi permintaan kebutuhan pengerahan
sumberdaya; d. Menganalisa semua permintaan kebutuhan sumberdaya yang masuk sebelum
menetapkan prioritas utama penanganan darurat; e. Mengaktifkan Pusdalops BNPB sebagai
Pusat Pengendali Kebakaran Hutan dan Lahan Nasional (Pusdalkarhut Nas); f. Memastikan
keamanan dan keselamatan semua personil yang bertugas dalam operasi penanganan darurat
ini (membuat rencana pengamanan operasi).

2. Operasi Pemadaman
1) Pemadaman Darat
a) Pengerahan Personil (BPBD, Manggala Agni, Dinas Damkar, MPA, TNI-POLRI,
Instansi/mitra kerja terkait dan Kelompok Masyarakat Terlatih);
b) Koordinasi dan Komando;
c) Penyampaian data melalui Pusdalops;
d) Komando dilaksanakan oleh Incident Commander).
2) Pemadaman Udara Pemadaman Udara merupakan pedukung dari pemadaman darat.
a) Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), operasi hujan buatan;
b) Melakukan pemboman air;
c) Melakukan penipisan awan dengan mikrosprayer
Pelaksanaan pemadaman dilakukan dengan mengerahkan semua tenaga dan peralatan
yang ada. Prosedur yang dapat dilaksanakan, yaitu:
a. Monitoring
Adanya informasi yang lengkap tentang bahaya kebakaran (termasuk didalamnya lokasi
kebakaran, sumber air) yang diterima oleh POSKO Pengendalian Kebakaran Hutan dan
Lahan. POSKO kemudian memobilisasi satuan penanggulangan kebakaran hutan sesuai
kebutuhan.
b. Persiapan
Persiapan pemadaman kebakaran harus dilakukan secermat mungkin. Persiapan yang
kurang akan menimbulkan kesulitan setelah berada di lapangan, bahkan dapat menimbulkan
bahaya bagi orang yang terlibat dalam pemadaman kebakaran tersebut. Persiapan sebelum ke
lokasi, meliputi pembagian personil dalam kelompok serta penyediaan alat transportasi, alat
pemadam kebakaran, P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan), alat komunikasi, dan
peta lokasi. Persiapan di lokasi, dilakukan penyebaran masyarakat di tiap kelompok
pengendali kebakaran. Pengarahan singkat tugas masingmasing kelompok dan diberikan
peralatan pada tiap kelompok dimana minimal terdapat dua alat komunikasi pada tiap
kelompok dan minimal satu orang menguasai lokasi. Pendirian POSKO dekat lokasi
kebakaran untuk menyediakan konsumsi, transportasi dan pelayanan kesehatan
darurat/kecelakaan.
c. Pengaturan strategi pemadaman kebakaran
Pemadaman kebakaran dapat dilakukan dengan penyemprotan air ketempat kebakaran
yang terjadi, pembuatan sekat bakar tidak permanen di depan arah pergerakan api,
pembakaran terkendali mulai dari jalur sekat bakar untuk melawan pembakaran yang
berbalik.
d. Pelaksanaan upaya pemadaman kebakaran
Upaya pemadaman dilaksanakan secara terus menerus sampai api dapat dikuasai dan
dipadamkan dengan tuntas. Tiap perkembangan yang terjadi selama upaya pemadaman harus
dilaporkan ke POSKO Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Setelah api padam tetap
dilakukan pengawasan untuk mencegah kemungkinan terjadinya kebakaran kembali

2.5 Pasca Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan


Aspek koordinasi merupakan inti dalam sebuah manajemen. Koordinasi berkaitan dengan
proses menggerakkan dan mengimbangi setiap anggota tim pada sebuah organisasi
berdasarkan bidang kerja yang diberikan kepada mereka sehingga bisa mencapai tujuan
organisasi secara keseluruhan (Branch, 2002;54).

Beberapa strategi dan langkah dalam fase pasca bencana kebakaran hutan dan lahan :
1. Identifikasi: areal bekas terbakar, penyebab kebakaran, luas kebakaran, tipe vegetasi
terbakar, pengaruh terhadap lingkungan/ ekosistem dan informasi untuk mendukung
penegakan hukum.
2. Monitoring dan pemeriksaan lokasi terbakar.
3. Penegakan hukum (Ditjen Penegakan Hukum KLHK, POLRI dan Kejaksaan).
4. Pelaporan.

Kegiatan Pasca Kebakaran hutan dan lahan yang harus dilakukan meliputi:
a. Pengukuran langsung areal yang terbakar.
b. Overlay hasil pengukuran pada sebuah peta.
c. Perhitungan kerugian/taksasi dampak ekonomi dan ekologi kejadian kebakaran hutan.
d. Pelaporan kejadian kebakaran hutan pada Dinas Kehutanan
e. Pengecekan ulang areal yang terbakar.
f. Perumusan kegiatan rehabilitasi areal yang terbakar.
g. Koordinasi ulang mengenai sistem pengawasan areal yang terbakar, guna mengurangi
persentase terjadinya kebaran hutan di areal yang sama atau di dekat areal tersebut.

Berdasarkan hasil pengamatan dan observasi lapang, pihak Dinas Kehutanan sebaiknya lebih
menekankan pada wujud nyata dari hasil pengukuran dan pelaporan kejadian kebakaran,
yaitu kegiatan penanaman kembali/rehabilitasi pada areal bekas terbakar, sehingga kejadian
kebakaran di areal yang sama dapat segera diantisipasi

Berdasarkan hal tersebut di atas, sudah saatnya pengendalian kebakaran hutan dan lahan
ditangani secara terencana, menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan. Dengan kata lain, bahwa
pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak hanya tertuju pada pemadaman saat kebakaran
hutan musim kemarau, tetapi hal-hal lain yang bersifat pencegahan harus direncanakan dan
dilakukan berkelanjutan baik pada musim kemarau maupun pada musim penghujan.

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, A. (2008). Community based fire management as an effort to solve the
REDD risk. Tekno Forest Plantation, 1(1), 11–22 (in Indonesian with English
Abstract)

Cahyono, S. Andy, Sofyan P. Warsito, Wahyu Andayani, dan Dwidjono H.


Darwanto. 2015. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan di Indonesia
dan Implikasi Kebijakannya. Jurnal Sylva Lestari, Vol. 3, No. 1. Hal : 103 – 112.

Rasyid, Fachmi. 2014. Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan. Jurnal


Lingkar Widyaiswara, Edisi 1, No. 4. Hal : 47 – 59

Pasaribu,Sahat M dan Supena Priyatno.2008. MEMAHAMI PENYEBAB


KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA:
KASUS DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT,Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, Edisi
1,Hal :1- 2

Sinaga, Agree Hutam, Deni Elfiati, Delvian.2015.AKTIVITAS MIKROORGANISME


TANAH PADA TANAH BEKAS KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN SAMOSIR (Soil
Microorganism Activity on Soil in Forest Fire Samosir Regency).jurnal Peronema Forestry
Science. Edisi 1,Hal : 1-7

Kunto Arief Wibowo.2019,Manajemen Penanganan Kebekaran Hutan dan Lahan


(Karhutla) Guna Peningkatan Ekonomi Kerakyatan, Jurnal Studi Sosial dan Politik, Vol.3,
No.1, Hal : 69-83.

Wibowo, K. (2019). Manajemen Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla)


Guna Peningkatan Ekonomi Kerakyatan. Jurnal Studi Sosial Dan Politik, 3(1), 69-83.
https://doi.org/https://doi.org/10.19109/jssp.v3i1.4072.

Irwandi , Jumani dan Ismail B.2016. Upaya Penanggulangan Kebakaran Hutan Dan
Lahan Di Desa Purwajaya Kecamatan Loa Janan Kabupaten Kutai Kertanegara
Kalimantan Timur. Jurnal Agrifor Volume Xv Nomor 2. Hal 209-210

Triutomo, Sugeng. 2013. Rencana Kontinjensi Nasional Menghadapi Ancaman


Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan. Jakarta : Badan Penanggulangan
Bencana.

Anda mungkin juga menyukai