Anda di halaman 1dari 5

Tugas Kelompok 01

(Minggu 3 / Sesi 4)

Pengantar:

Tugas kelompok pertama akan mengambil bahan dari materi-materi yang dibahas pada minggu
ketiga, baik yang berasal dari Lecturer Notes, materi ppt, buku yang menjadi bahan referensi, dan
peraturan perundangan yang terkait dengan materi minggu pertama dan kedua.

Uraian Tugas:

1. Pilihlah salah satu permasalahan tentang perjanjian dalam kegiatan perekonomian di Indonesia
(bisa perjanjian apa saja dalam bidang bisnis).
2. Berikan analisa dan pemikiran kalian terhadap permasalahan yang diangkat tersebut dengan
melihat pada undang-undang terkait dan kaitkan dengan asas-asas dan konsep-konsep hukum
yang telah dipelajari dalam ppt dan lecturer notes
3. Tugas dibuat dengan essay (tulisan) dengan membahas :
a. Latar belakang permasalahan;
b. Kaitkan dengan teori-teori atau asas-asas dalam perjanjian;
c. Kaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan yang diangkat;
d. Simpulan dan saran
4. Aturan penulisan: huruf TNR 12, spasi 1.5, margin masing-masing 3 cm, disusun dalam 5
sampai 7 halaman (tidak termasuk halaman cover). Tugas wajib dilengkapi dengan daftar
pustaka
5. Cantumkanlah sumber dari setiap kutipan yang diambil untuk bahan menulis tugas, terutama
pada setiap akhir kutipan dan harus sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam daftar pustaka
(misalnya jika dari buku, tulislah nama penulisnya, judul buku, tahun terbit dan halaman yang
dikutip. Jika dari sumber internet tulislah link sumber tersebut dan tanggal berapa kalian
mengakses sumber tersebut).
6. Dalam cover disebutkan judul, nama pembuat tugas dan nomor induk mahasiswa. Jika ada
nama mahasiswa yang tidak dicantumkan dalam lembar jawaban, maka dianggap tidak
aktif mengerjakan tugas.

Kelompok 5
1.Frianta A Pangaribuan – 2201861124

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


2.Abigail Tiffany - 2201918841
3. Regi marselina – 2201869240
4 Subhan islam - 2201919535

Jawaban

I. Latar Belakang
PT Freeport Indonesia yang terletak di Papua, Indonesia merupakan sebuah
perusahaan tambang mineral, anak dari induk perusahaan (holding company) Freeport-
McMoRan asal Delaware, Amerika Serikat. PT Freeport Indonesia tersebut adalah salah satu
PMA (Perusahaan Milik Asing) pertama yang beroperasi di Indonesia. Sejak dimulainya
Ekspedisi Freeport (Freeport Expedition) oleh Forbes Wilson dan Del Flint untuk
menemukan kembali lokasi tambang Erstberg di tahun 1963. Dari penemuan tersebut,
Freeport Expedition dimulai dan dibentuklah PT Freeport Indonesia pada tahun 1967 sebagai
PMA (Perusahaan Milik Asing) di Indonesia melalui perjanjian Kontrak Karya (Contract of
Work) yang berlaku selama 30 tahun sejak ditandatangani pada 7 April 1967 yang disepakati
antara PT Freeport Indonesia sebagai afiliasi dari perusahaaan induk Freeport McMoRan
dengan Pemerintah Negara Republik Indonesia yang diwakili oleh Menteri Pertambangan
dan Energi.
Status PT Freeport Indonesia saat itu sebagai Kontraktor yang ditunjuk oleh
Pemerintah untuk mengolah hasil bumi di Indonesia, khususnya Papua. Namun sistem bagi
hasil dalam perjanjian Kontrak Karya (Contract of Work) antara Freeport dengan Pemerintah
Indonesia sangatlah kecil, dengan alasan bahwa PT Freeport Indonesia membutuhkan
penelitian dan operasi pertambangan Mineral membutuhkan dana investasi yang lebih besar
dengan masa pengembalian modal yang lebih panjang dibanding dengan usaha pertambangan
di sektor minyak bumi.
PT Freeport Indonesia kemudian memulai produksi penambangan dan pengolahan
bijih (ores) yang kemudian diolah menjadi emas dan tembaga pada tahun 1972 dan
pengapalan atas hasil produksi mineral pada tahun selanjutnya. Pada tahun 1988, di dua
pertiga masa perjanjian Kontrak Karya (Contract of Work), PT Freeport Indonesia
menemukan cadangan lokasi penambangan baru yaitu, Grasberg. Penemuan Grasberg inilah
yang menjadikan dasar penjanjian Kontrak Karya Kedua (Contract of Work II) antara
Freeport dengan Pemerintah Negara Republik
Indonesia. Sejatinya Kontrak Karya Kedua (Contract of Work II) bukanlah perpanjangan atas
Kontrak Karya Pertama, melainkan perjanjian yang benar-benar baru.

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


Dalam perjanjian Kontrak Karya Kedua (Contract of Work II) inilah yang kemudian
menjadi polemik dikemudian hari. Beberapa Pasal (Article) dalam perjanjian Kontrak Karya
Kedua dinilai tidak sesuai dengan Keadilan Sosial dan juga bertentangan dengan Undang –
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang di terbitkan
kemudian dan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 atas Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara.
Pertama adalah Pasal 31 tentang Daluarsa (Article 31 about Term):
“Subject to the provisions herein contained, this Agreement shall have an initial term of 30 years
from the date of the signing of this Agreement; provided that the Company shall be entitled to
apply for two successive ten year extensions of such term, subject to Government approval. The
Government will not unreasonably withhold or delay such approval. Such application by the
Company may be made at any time during the term of this Agreement, including any prior
extension.”
Klausul tersebut memberikan hak istimewa bagi PT Freeport Indonesia untuk
melakukan perpanjangan hingga 20 Tahun (2 x 10 tahun) setelah masa Kontrak Karya II
selesai dan Pemerintah Indonesia tidak dapat menahan atau membatalkan pengajuan
perpanjangan tersebut tanpa alasan yang dapat diterima oleh PT Freeport Indonesia dan
Freeport McMoRan. Hal ini memungkinkan PT Freeport Indonesia untuk mendulang mineral
di Papua hingga tahun 2041. Dalam berjalannya perjanjian Kontrak Karya Kedua,
Pemerintah menerbitkan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara dimana status Kontrak Karya divalidasi melalui Bab Peralihan Pasal
169:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang
telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu
berakhirnya kontrak/perjanjian.
b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai
penerimaan negara.
c. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf b
adalah upaya peningkatan penerimaan negara.”
Pembahasan pemilikan PT Freeport Indonesia juga dimasukan ke dalam Kontrak
Karya II dimana dalam hal Pemilikan Saham oleh Warga Negara Indonesia yang dalam hal
ini dikhususkan ke Pemerintah Indonesia melalui Badan Usaha Milik Negara. PT Freeport

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


Indonesia diwajibkan menyatakan divestasi saham paling sedikit sebesar 51% dalam tahapan-
tahapan tertentu seperti tertuang dalam Article 24 Promotion of National Interest:
“the Company shall be required to sell or cause to be sold in public offerings on the Jakarta
Stock Exchange, or otherwise to Indonesian Nationals, sufficient shares to equal a total of
51% of the issued share capital of the Company not later than the twentieth anniversary of
the date of the signing of this Agreement, to the extent requested by the Government to meet
the requirements of then existing laws and regulations and to the extent the financial market
conditions in Indonesia at the time permit the shares to be sold in an orderly market at a fair
price.”
Pasal tersebut menjelaskan bahwa PT Freeport Indonesia diwajibkan untuk menjual
sahamnya kepada publik melalui Bursa Efek Jakarta setara dengan 51% selambatnya 20
Tahun sejak perjanjian Kontrak Karya Kedua ditandatangani sesuai dengan kebijakan pasar
dan harga yang pantas. Seharusnya PT Freeport Indonesia sudah melakukan divestasi hingga
51% di Tahun 2011, namun hingga Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 diterbitkan
divestasi tersebut belum terpenuhi.

II. Pengertian Perjanjian


 Perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih mengenai hal tertentu yang
disetujui oleh kedua belah pihak. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) yang berlaku sebagai dasar hukum perjanjian di Indonesia, pada dasarnya para
pihak diberi kebebasan untuk menentukan isi perjanjian yang disepakati. Namun, kebebasan
tersebut tidak menghilangkan kewajiban para pihak untuk tetap mematuhi ketentuan yang
berlaku. Maka, perlu memperhatikan surat perjanjian yang dibuat telah memenuhi seluruh
syarat sah perjanjian.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4 syarat sahnya perjanjian yang harus
dipenuhi ketika membuat surat perjanjian yang sah menurut hukum yang berlaku.
1. Kesepakatan Para Pihak, dalam membuat suatu surat perjanjian, para pihak harus
mencapai kesepakatan para pihak atas hal-hal yang diperjanjikan. Kesepakatan yang
dimaksud di sini adalah kesepakatan tersebut lahir dari kehendak para pihak tanpa ada
unsur kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan.
2. Kecakapan Para Pihak, istilah kecakapan yang dimaksud dalam hal ini berarti
wewenang para pihak untuk membuat perjanjian. KUHPerdata menentukan bahwa setiap
orang dinyatakan cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika menurut undang-undang
dinyatakan tidak cakap. Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, orang-orang yang dinyatakan
tidak cakap adalah mereka yang:
 Belum dewasa, berarti mereka yang belum berusia 21 tahun atau belum menikah.

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


 Berada di bawah pengampuan, dikarenakan keadaan mental yang dianggap kurang
sempurna, maka dipersamakan dengan orang yang belum dewasa. Berdasarkan Pasal
433 KUHPerdata, seseorang dianggap berada di bawah pengampuan apabila orang
tersebut dalam keadaan sakit jiwa, memiliki daya pikir yang rendah, serta orang yang
tidak mampu mengatur keuangannya sehingga menyebabkan keborosan yang
berlebih.
3. Adanya Objek Perjanjian, suatu perjanjian harus memiliki objek yang jelas. Objek
tersebut tidak hanya berupa barang dalam bentuk fisik, namun juga dapat berupa jasa yang
dapat ditentukan jenisnya. Contohnya, dalam suatu perjanjian jual beli, Rudi berniat untuk
menjual mobil merk ‘X’ berwarna hitam yang diproduksi tahun 2012 kepada Santo dengan
harga Rp115.000.000. Dalam perjanjian, Rudi secara jelas menyatakan barang apa yang akan
dijual beserta jenis, harga, hingga ciri-ciri barang tersebut.
4. Sebab yang Halal, Sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian itu sendiri,
dimana
perjanjian dibuat berdasarkan tujuan yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku,
tidak benar atau dilarang membuat perjanjian tersebut menjadi tidak sah. Sebab yang tidak
halal adalah sebab dilarang oleh Undang-Undang, berlawanan dengan norma dan ketertiban
umum yang dianut oleh masyarakat di mana perjanjian tersebut dibuat. Contohnya, ketika
seseorang melakukan perjanjian untuk membunuh orang lain, dikarenakan membunuh orang
lain dilarang oleh Undang-Undang, sehingga perjanjian tersebut menjadi tidak sah.
Keempat syarat sah perjanjian tersebut dibagi dalam dua kategori, yaitu syarat
subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif adalah kesepakatan dan kecakapan para
pihak. Sedangkan adanya objek perjanjian dan sebab yang halal merupakan syarat objektif.
Tidak dipenuhinya syarat sah perjanjian akan berujung pada pembatalan perjanjian. Apabila
para pihak tidak memenuhi syarat subjektif, maka konsekuensinya adalah perjanjian yang
telah dibuat dapat dibatalkan atau voidable. Artinya, salah satu pihak yang merasa dirugikan
dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada hakim. Sedangkan, jika syarat objektif
tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut akan dianggap batal demi hukum atau null and void.
Artinya, perjanjian ini dianggap tidak pernah ada sehingga tidak akan mengikat para pihak.

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic

Anda mungkin juga menyukai