Anda di halaman 1dari 4

Wanita Tua di Kamar 9

Aku merasa melihat bayangan kematian. Gelap, kelam, pekat, dan lekat. Sangat dekat.
Aku rasa aku akan mati. Kejadian itu berlangsung dengan cepat dan tiba-tiba.

Aku dan teman-temanku baru saja mendorong troly baju ganti pasien sampai ke
kamar 8 dari 10 kamar yang ditempati pasien covid 19. Seketika dadaku tiba-tiba terasa
tidak nyaman, berat, dan terhimpit. Aku mulai bernapas dengan cepat. Jantungku
bertabuh kencang dan aku yakin rasanya seperti jantungku melonjak dan berpindah
disebelah telingaku. Bertalu-talu di kedua kupingku. Pandanganku kabur, udara
disekitarku seperti menyusut, google ku berembun. Baju scrub dibalik hazmatku basah.
Peluh mulai bermunculan dan kemudian mengalir dari dahiku. Berselancar bebas
menuju alisku, menimbulkan gatal dikeningku yang entah mengapa dapat kuabaikan
kali ini.
Aku melambaikan tanganku kearah sejawat di depanku. Memberikan tanda
sedang meminta pertolongan. Aku memukul-mukul dadaku seperti hendak
membebaskan paru-paruku. Tetapi sepertinya dia tidak dapat memahami apa yang
ingin kusampaikan. Dia memandangku dengan ekspresi penuh tanya di matanya.
Bingung melihatku yang menggapai-gapai gagang pintu dan berusaha membuat
pintunya terbuka.
“Aku butuh udara,” teriakku dalam hati. Panik, dengan kaki gementar aku berlari
keluar begitu pintu yang bertekanan negatif itu berhasil kubuka. Kehabisan tenaga, aku
mengumpulkan sisa-sisa energiku, berusaha mengatur napasku seperti yang biasa
kuajarkan kepada pasienku. Sia-sia. Aku mengangkat sedikit masker yang kukenakan
untuk memberi tambahan ruang pada hidungku yang tertutup dua lapis masker.
Refleks tanganku mengambil oksimetri yang tergantung di atas meja dan
memasangkan pada jariku yang berlapis dua pasang sarung tangan, sambil berharap
oksimetrinya dapat membaca jumlah oksigen tubuhku. 94%. Aku semakin panik.
Aku mulai menepuk-nepuk dadaku lagi. Mataku sudah basah. Aku takut. Takut.
Sangat takut. Air mataku mengalir. Apakah aku terkena covid 19? Pikirku panik.
Ternyata seperti ini. Sedekat ini jarak antara hidup dan mati. Jujur aku belum
siap. Masih banyak hal yang belum kulakukan. Bagaimana dengan orang tuaku? Aku
anak perantauan. Bagaimana kalau aku mati? Bagaimana jasadku? Keluargaku tidak
akan pernah melihatku. Aku akan meninggal sendirian. Kesepian. Tidak, tekadku. Aku
tidak ingin menambah list daftar tenaga kesehatan yang gugur karena pandemi ini.
Fokus, kataku dalam hati. Sebagian dari kewarasanku mengambil alih. Gementaran,
aku mulai menarik napas dalam.
Aku baru akan menyeret kakiku untuk duduk, ketika sesorang mengusap-usap
punggungku. Tangannya yang paling dekat denganku menggengam tanganku dan
membantuku duduk. Ia membisikan kata-kata yang terdengar jauh di telingaku. Butuh
beberapa waktu untuk bisa terdengar jelas.“Tarik napas dalam” ucapnya hampir tidak
terdengar. “tarik napas dalam” ujarnya lagi. Kata-katanya seakan menarikku dari arus
ketakutanku. Aku baru menyadari sesaat kemudian kalau dia bukan sejawatku ketika
dari arah depan seseorang berpakaian hazmat menghampiriku. Bersisian keduanya
mengusap punggungku dan membantu menenangkanku.
Setelah cukup tenang, aku merasakan napasku mulai teratur. Dari balik googleku
yang buram, aku melihat ia adalah wanita tua itu. Pasien di kamar 9. Wanita bijaksana
kesukaan semua orang di ruangan perawatan covid ini. Aku tahu, kita tidak boleh
membeda-bedakan pasien tetapi tetap, wanita tua ini berbeda. Wanita tua ini punya
kekuatan dan spirit yang tidak dimiliki pasien lainnya. Tingginya semangat untuk
sembuh sebanding dengan besaran usianya. Tatapannya kuat dan lembut di saat yang
sama. Kata-kata yang keluar dari mulutnya menggambarkan kecerdasan. Dan keriput
di wajahnya menyiratkan usia tua, kebijakan, dan pengalaman kehidupan.
Selang waktu berlalu. Aku memberikan tanda kepada Ners Anne, teman
sejawatku, yang duduk di sebelahku dan berkata bahwa aku baik-baik saja sekarang.
“Pergilah. Masih banyak pekerjaan yang belum selesai. Dua kamar lagi. Ada dua pasien
lagi yang harus dimandikan. Aku akan menyusulmu”. “Tidak, ujarnya khawatir. Kamu
istirahat, tenangkan dirimu dan keluarlah. Buka baju hazmatmu dan mandilah oke?
Aku akan menyelesaikannya dengan bantuan yang lain”, Perintahnya. Aku hanya
mengangguk lemah. Setuju. Karena satu hal yang kubutuhkan saat ini adalah segera
melepaskan baju pelindung ini.

***
Aku menyeka wajahku, memandang pantulan wajahku di cermin besar Hotel
tempat kami tenaga kesehatan untuk sementara menginap. Masing-masing orang
memilih untuk untuk tinggal di hotel yang disediakan pemerintah dan pihak-pihak
terkait dengan alasan dan cerita yang berbeda-beda. Ada yang tidak ingin membawa
virus ke rumah, tempat keluarga dan orang tercinta berada. Ada yang karena dijauhi
tetangga dan lingkungan sekitar, ada yang tidak tahan dengan pandangan kasihan dan
bisik-bisik tetangga sebelah, dan ada yang bahkan diusir dari tempat tinggalnya karena
ketakutan dan ketidaktahuan akan bagaimana virus covid 19 ini.
Ini adalah kali ketigaku mandi di hari ini. Dan mungkin akan menjadi mandi yang
keempat malam nanti. Atau mungkin menjadi mandi kelimaku jika aku butuh untuk
keluar sore nanti. Pandemi covid 19 ini benar-benar mengubah tatanan dan kebiasaan
baru. Jika sebelum pandemi kau akan mandi sebelum keluar dari rumah, untuk saat ini
pilihan yang bijak adalah pastikan dirimu sebaiknya segera mandi setelah aktivitas
apapun dari luar.
Sosokku dalam cermin mendesah, kilatan kejadian pagi tadi kembali ke benakku.
Wanita tua itu, tanpa bicara menggenggam tanganku. Tebalnya sarung tanganku tidak
menghalangiku untuk merasakan ada cinta seorang Ibu dalam genggaman itu.
Memikirkannya membuat mataku panas. Ahhh.. aku rindu ibuku… Apakah mereka
baik-baik saja? Apakah mereka khawatir tentang anaknya disini? Ah ibuku… wanita
lembutku. Aku rindu.
Waktu baru menunjukan pukul 11.00 ketika aku terbangun dari tidurku.
Seharusnya setelah dinas malam, aku akan tidur seharian sampai pukul 16.00 atau
pukul 17.00 dan akan terbangun karena perutku butuh makanan. Tetapi sudah sejak
beberapa malam yang lalu, jam biologisku porak-poranda. Tidurku tidak berkualitas.
Aku sering terbangun dimalam hari. Akhir-akhir ini indra pendengaranku meningkat
dan membuatku sangat sensitif terhadap suara. Sedikit saja suara bisa membuatku
terbangun dan membutuhkan waktu berjam-jam untuk kembali terlelap. Ya Tuhan..
Aku butuh tidur hingga tahap REM pikirku. Sejak aku dijadwalkan swab naso dan
orofaring 3 hari yang lalu membuatku gelisah dan tidak bisa tidur. Aku gelisah
menunggu hasil swabku. Aku gelisah memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk
yang akan terjadi kepadaku.
Bagaimana kalau aku positif covid 19? Aku tidak ingin menjadi orang pertama
yang menularkan kepada orang-orang lain disekitarku. Aku tidak akan tahan dengan
padangan kasihan ataupun ucapan semangat dari orang-orang yang lain. Aku tidak
ingin dikasihani. Aku tidak ingin orang-orang tiba-tiba menjauhiku karena aku
terjangkit covid 19. Kalaupun aku terjangkit, aku ini korban dan ini adalah resiko dari
pekerjaanku sebagai perawat pikirku. Aku bukan penyebabnya. Kalau aku terkena
bagaimana jika imun tubuhku tidak kuat? Apa yang akan terjadi? Ah aku terlalu
overthinking, pikirku dengan mata yang berat dan pikiran yang kelelahan, sesaat
kemudian aku jatuh tertidur.
***
Hari ini wanita tua itu berbaring tak berdaya. Wajahnya yang lelah seakan sedang
berjuang menghirup oksigen yang terpasang. Balon oksigennya terlihat kembang
kempis. Dadanya naik turun dengan cepat. Aku membenarkan posisi tidurnya dan
bertanya apakah ia sudah nyaman dengan posisinya. Ia hanya menggangguk pelan.
Terlalu lemah untuk menjawab.
Kabel-kabel syringe pump, infuse pump dan bedside monitor bertebaran di
sekitar tubuhnya. Bunyi alarm pada bedside monitor menandakan ketidaknormalan
pada tanda vitalnya. Aku menengok pada monitor. Napasnya 47 kali per menit.
Oksigennya maksimal. Obat-obat penopang tekanan darah bersisian kanan dan kiri.
Selang urinal teruntai di samping tempat tidurnya.
Aku menyeka peluh di keningnya. Betapa cepat wanita tua ini mengalami
penurunan kodisi klinis. Baru saja dua hari yang lalu dia memegang tanganku dan
menenangkanku. Mentransfer energinya kepadaku untuk tetap kuat dan bertarung
dengan hazmatku. Hari ini disini, ia terbaring lemah, tak berdaya.
Aku menggenggam tangannya. Mengusap-usap lengannya. Berharap
kehadiranku memberi arti kepadanya. Bahwa aku ada disini. Bahwa ada seseorang di
sebelahnya. Aku tak ingin dia merasa sendirian. Tanpa ditemani keluarga seperti
semua pasien isolasi yang dirawat. Sungguh menyakitkan melihat ada pasien yang
menderita sakit dan harus berjuang sendirian. Aku yakin bukan hanya kesakitan yang
dihadapi oleh pasien-pasien itu. Ada hal yang lebih besar dari itu. Kesepian. Bahkan
ada yang menghadapi ajal dan meninggal dalam kesendirian tanpa keluarga dan orang
terdekat. Yang ada hanyalah perawat, sebagai keluarga terdekatnya.
Aku merapikan meja di samping tempat tidurnya. Menata tissue, botol-botol air
minum, kaca mata dan sebuah buku yang sering dibacanya. Aku menengok sekilas
pada judulnya. “To kill a mockingbird” by Harper Lee. Wanita ini selalu penuh kejutan,
pikirku. Aku menatap kagum pada sosoknya yang sedang terbaring. Dalam hatiku
bertanya-tanya, berapa banyak wanita tua, usia 80an yang membaca buku yang
termasuk dalam list teratas “every adult should read before they die”. Memikirkan itu
membuatku tersenyum. Aku memasukan pampers dan tissue basah kedalam
lemarinya, membuang sampah-sampah dan merapikan sekitar kasurnya. Lalu aku
membantunya minum susu menggunakan sedotan.
Setelah selesai meminumkannya susu, Ia mulai menutup matanya untuk tidur.
Melihat itu dengan sopan aku meminta diri untuk pergi meninggalkan kamarnya.
Sebelum aku pergi, aku mendengar ia mengguman pelan, “Ners Nika…”Seketika aku
menghentikan langkahku dan kembali menghampirinya dan berkata lembut “ada apa
bu?”Aku melihat senyum tipis terukir di atas wajahnya. “terima kasih,” katanya.
“Terima kasih karena telah memberi kami harapan untuk bertahan hidup”. Ujarnya
terpatah-patah. “Terima kasih ners”
Kali ini ada helaian nada sedih pada kata-katanya. Aku menarik napas panjang.
Tiba-tiba saja tenggorokanku sakit. Seperti ingin menangis. Aku mencoba tersenyum
sambil membelai punggung tangannya. “Hei, tidak apa-apa bu.” Kataku
lembut.“Jangan banyak bicara dulu. Simpan tenaga ibu untuk lawan penyakitnya. Ibu
harus kuat dan semangat ya. Ada keluarga ibu dirumah yang menunggu ibu untuk
pulang” kataku berusaha menguatkannya.
“Tidak, tidak apa-apa. Aku harus bilang terima kasih selagi sempat” katanya
pelan. “Aku wanita tua, perjuanganku mungkin akan segera selesai. Tapi perjuangan
kamu masih panjang, terus berikan semangat pada orang lain untuk tetap hidup. Kita
hidup di masyarakat dimana menggenggam tangan pasien dan menguatkannya akan
terasa aneh. Tapi kamu melakukannya. Kamu memberikan penguatan kepada orang
yang kamu rawat. Terima kasih”. Aku tersenyum, mengangguk pelan kepadanya,
bersyukur bahwa ada seseorang pasien tersentuh dengan hal kecil yang dilakukan
seorang perawat.

***
Hari ini, seminggu setelah kematian wanita tua itu, aku sedang menonton video
yang dikirim temanku. Video potongan pidato calon presiden Amerika Serikat Joe
Bidden yang berpidato kepada para perawat. Ada penggalan kata-katanya yang
membuatku teringat pada wanita tua itu, “Doctors allow you to live, Nurses, they make
you want to live”. Dan hari ini aku semakin percaya bahwa seseorang yang hadir dalam
hidup kamu, siapa pun itu, akan memberikan pelajaran hidup bagi kamu. Termasuk
wanita tua itu. Ia hadir dalam hidupku untuk memberikan pelajaran hidup untuk
merawat dengan tulus. Untuk terus memberikan harapan kepada pasien untuk terus
bertahan hidup.

PS :
Untuk semua perawat covid, seluruh tenaga kesehatan, pasien covid, para covid
survivor, pemerintah, stake holder, dan seluruh masyarakat indonesia dimana pun
kamu berada, kamu tidak sendirian, busungkan dadamu, tegakkan bahumu dan angkat
dagumu.

Karena virus covid 19 masih ada dan perjuangan kita belum selesai.

Jakarta, 20 November 2020

Anda mungkin juga menyukai