Anda di halaman 1dari 22

PROPOSAL

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK N-HEKSAN DAUN MAJA


(Aegle marmelos L.) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI
Staphylococus aureus DAN Eserchia coli SECARA

BIOAUTOGRAFI

SILVANA PAPOIWO

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PANCASAKTI

MAKASSAR

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia mengenal dan memakai

tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan masalah

kesehatan yang dihadapi, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-

obatan moderennya menyentuh masyarakat. Pengetahuan tentang pengobatan

tradisional merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengalaman, yang

secara turun temurun telah diwariskan oleh generasi terdahulu kepada generasi

berikutnya termasuk generasi saat ini (Ginting, M., 2010).

Pengobatan dengan menggunakan ramuan tumbuhan secara tradisional

umumnya tidak menimbulkan efek samping yang berarti seperti yang sering

terjadi pada pengobatan kimiawi (Latief, A., 2013).

Prevalensi infeksi jamur masih cukup tinggi di Indonesia karena

merupakan negara yang beriklim tropis dan lembab. Salah satunya adalah

pitiriasis versicolor atau yang dikenal oleh orang awam sebagai penyakit panu.

Penyakit ini disebabkan oleh jamur Malassezia furfur. Malassezia furfur yang

merupakan mikroflora normal berada pada fase hifa mempunyai sifat invasif, dan

patogen. Bagian tubuh yang diserang jamur ini meliputi badan dan kadang-kadang

dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher dan kulit kepala

yang berambut.
Salah satu tanaman herbal yang sering digunakan masyarakat enrekang

dalam pengobatan penyakit panu adalah daun maja (Aegle marmelos L.).

Tumbuhan maja dikenal dengan berbagai sebutan seperti, maja, bila gedang, bila-

bila, bilak dan bila peak. Tumbuhan maja tersebar luas di Indonesia karena

tumbuh baik di iklim seluruh wilayah Indonesia. Maja yang dalam bahasa latinnya

Aegl emarmelos Linn adalah tumbuhan tingkat tinggi yang tahan dimusim

kemarau tetapi mudah gugur daunnya dan berasal dari daerah Asia tropika dan

subtropika, yang merupakan suku jeruk-jerukan atau Rutaceae. Tumbuhan Aegle

marmelos Linn merupakan salah satu jenis tumbuhan obat yang terdapat di hutan

tropis Indonesia (Sastroamidjojo, 1997).

Daun tumbuhan Aegle marmelos L. menghasilkan essensial oil yang

mempunyai aktivitas antifungal (Shankarananth, dkk dalam Pince, S., 2014).

Daun maja mengandung α-limonene, 56%-α-δ-phellandzene, sineol,

17% cyrnene, citonellol, citiol, 5% cumin aldehyde, alkaloids, o-(3,3-

dimethylallyl)-halfordinol, n-2-ethoxy-2-(4-methoxyphenyl) ethylcinnamide, n-2-

methoxy-2-(4-3,3-dimethyalloxy phenyl), ethylcinnamide, dan n-2-methoxy-2-(4-

methoxyphenyl)-ethylcinnamamide (Arief, H., 2009).

Karena itu, berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka

telah dilakukan pengujian mengenai aktivitas ekstrak Daun Maja (Aegle

marmelos L.) terhadap pertumbuhan Malassezia furfur secara bioautografi.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Berapa persentase jumlah komponen kimia dari ekstrak Daun Maja (Aegle

marmelos L.) yang dapat menghambat pertumbuhan Malassezia furfur dengan

pengujian secara bioautografi?

2. Berapa zona hambat dari komponen kimia ekstrak Daun Maja (Aegle

marmelos L.) yang mempunyai aktivitas menghambat pertumbuhan

Malassezia furfur dengan pengujian secara bioautografi?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, tujuan

penelitian ini sebagai berikut:

1. Menentukan persentase jumlah komponen kimia dari ekstrak Daun Maja

(Aegle marmelos L.) yang dapat menghambat pertumbuhan Malassezia furfur

dengan pengujian secara bioautografi.

2. Menentukan zona hambat dari komponen kimia ekstrak Daun Maja (Aegle

marmelos L.) yang mempunyai aktivitas menghambat pertumbuhan

Malassezia furfur dengan pengujian secara bioautografi.

D. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai manfaat ekstrak Daun

Maja (Aegle marmelos L.) yang berfungsi sebagai antijamur terhadap

pertumbuhan Malassezia furfur.


2. Meningkatkan wawasan dan pengetahuan dalam melakukan penelitian yang

berkaitan dengan masalah kesehatan.

3. Dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya.

E. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi ekstraksi dan uji aktivitas ekstrak

Daun Maja (Aegle marmelos L.) terhadap pertumbuhan Malassezia furfur secara

bioautografi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Tanaman

Maja mempunyai rasa manis, harum, dan tajam ditenggorokan.

Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam maja diantaranya zat lemak dan

minyak terbang yang mengandung linonen. Daging buah maja mengandung

substansi semacam minyak balsem, 2-furocoumarins-psoralen, dan marmelosin

(C13H12O3). Buah, akar, dan daun maja bersifat antibiotik. Selain itu, akar, daun

dan ranting digunakan untuk mengobati gigitan ular.

1. Morfologi tanaman Maja (Aegle marmelos L.)

Pohon; tinggi 10-15 m. Ranting berduri. Anak daun bulat telur sampai

bentuk lanset, meruncing, bergerigi beringgit tidak dalam, panjang 4-13,5 cm.

Bunga dalam malai atau tandan. Daun mahkota 4-5, bulat telur terbalik

memanjang, 1-1,5 cm panjangnya, dari luar hijau, dari dalam keputih-putihan.

Buah bentuk bola atau bulat memanjang, diameter 5-12,5 cm. Apr., Okt.-Nop.

Liar dan ditanam sebagai pohon buah; 1-300 m. Slijmappel, N, Maja, Ind, S,

Maos, J, Bila ghedang, Md, Bila paek, Md (Van Steenis, C.G.G.J., dkk, 2010)

2. Klasifikasi tanaman Maja (Aegle marmelos L.)

Regnum : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Subkelas : Chorypetalae-Dialypetalae
Ordo : Rundales

Famili : Rutaceae

Genus : Aegle

Spesies : Aegle marmelos L. (Tjitrosoepomo, G., 2002)

3. Manfaat tanaman Maja (Aegle marmelos L.)

Efek farmakologis akar maja diantaranya mengobati demam. Kulit

batang dan akar maja untuk obat nyeri jantung, stomakikum, dan sedatif. Daun

maja untuk borok, kudis, panu, eksim, bisul, abortif, demam dan radang selaput

lendir hidung. Buah maja untuk disentri dan diare, sedangkan kulit buahnya untuk

pewangi.

4. Kandungan kimia

Akar maja mengandung psoralen, anthotoxin, o-methylscopoletin,

scopoletin, decursinol, haplonine, dan aegelinol. Daun maja mengandung α-

limonene, 56%-α-δ-phellandzene, sineol, 17% cyrnene, citonellol, citiol, 5%

cumin aldehyde, alkaloids, o-(3,3-dimethylallyl)-halfordinol, n-2-ethoxy-2-(4-

methoxyphenyl) ethylcinnamide, n-2-methoxy-2-(4-3,3-dimethyalloxy phenyl),

ethylcinnamide, dan n-2-methoxy-2-(4-methoxyphenyl)-ethylcinnamamide.

Namun, daun disebutkan dapat menyebabkan aborsi dan steril bagi wanita.

Sementara ranting digunakan sebagai racun ikan. Tanin yang digunakan dalam

jangka waktu lama bersifat antinutrisi dan menyebabkan kanker.

B. Uraian Jamur

Malassezia furfur merupakan jamur lopofilik yang normalnya hidup di

keratin kulit dan folikel rambut manusia saat masa pubertas dan di luar masa itu.
Jamur ini merupakan bagian dari flora normal pada kulit manusia dan hanya

menimbulkan gangguan pada keadaan-keadaan tertentu misalnya pada saat

banyak keringat. Bagian tubuh yang sering terkena adalah punggung, lengan atas,

lengan bawah, dada dan leher. Penyakit ini lebih sering ditemukan di daerah

beriklim panas (Zulkoni, 2010).

1. Klasifikasi Malassezia furfur

Klasifikasi ilmiah dari Malassezia furfur yaitu:

Kingdom : Fungi

Kelas : Basidiomycota

Divisio : Ustilaginomycotina

Sub Divisio : Malasseziales

Genus : Malassezia

Spesies : Malassezia furfur (Partogi, 2008).

2. Morfologi

Jamur tampak sebagai kelompok kecil pada kulit penderita, sel ragi

berbentuk lonjong uniselular atau bentuk bulat bertunas (4-8 um) dan hifa pendek,

berseptum dan kadang bercabang (diameter 2,5-4 um & panjangnya bervariasi).

Bentuk ini dikenal sebagai spaghetti dan meat ball, pada biakan. Malassezia

furfur membentuk khamir, kering dan berwarna putih sampai krem. Pada kulit

penderita jamur tampak sebagai spora bulat dan hifa pendek (Sutanto, 2008).

Makrokonidialnya berbentuk garis yang memiliki indeks bias lain dari

sekitarnya dan jarak-jarak tertentu dipisahkan oleh sekat-sekat atau butir-butir


seperti kalung, hifa tampak pendek, lurus atau bengkok disertai banyak butiran

kecil yang bergerombol (Siregar, 2005).

C. Metode Ekstraksi

1. Pengertian ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan menyari

simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya

matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk.

2. Pengertian ekstraksi

Extractio berasal dari perkataan “extrahere”, “to draw out”, menarik

sari, yaitu suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari bahan asal (Syamsuni,

A., 2012). Cara menarik keluar tersebut dapat dengan cara penyarian, diperas

(dipres), atau distilasi. Bahan baku alami berupa tumbuhan atau hewan

susunannya komplek dan biasa terdiri tidak tunggal. Bahan berkhasiatnya biasa

ada yang larut dalam satu atau lebih dari pelarut, sehingga dalam pengerjaannya

harus selalu dipertimbangkan pemilihan yang tepat, pelarut (menstruum) apa

kalau seandainya yang akan disari alkaloid.

3. Tujuan ekstraksi

Tujuan umum ekstraksi ialah mendapatkan atau memisahkan sebanyak

mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan (concentrata) dari zat-zat yang

tidak berfaedah, agar lebih mudah dipergunakan (kemudahan diabsorpsi, rasa,

pemakaian, dan lain-lain) dan disimpan dibandingkan simplisia asal, dan tujuan

pengobatannya lebih terjamin.


4. Metode penyarian

Pemilihan metode penyarian secara khusus atau spesifik umumnya erat

hubungannya dengan bahan baku, atau bahan aktif yang akan disari. Bahan baku

tumbuhan yang dapat disari bahan aktif mulai dari akar (radix), bahan kayu

(lignum), klika (cortex), daun (folium), biji (semen) atau bunga (flos) atau

mungkin buahnya (fructus). Bahan baku ini ada yang keras setengah keras hingga

yang lunak, dengan demikian pemilihan metode penyarian juga tergantung dari

bahan tersebut. Pada dasarnya penyarian dapat dilakukan dengan cara panas atau

dingin.

Cara penyarian dapat dibedakan menjadi infudasi, maserasi, perkolasi

dan penyarian berkesinambungan. Dari keempat cara tersebut sering dilakukan

modifikasi untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

a. Infudasi

Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan

air pada suhu 90oC selama 15 menit.

Infudasi adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk

menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati.

Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah

tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu sari yang diperoleh dengan cara

ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam.

Cara ini sangat sederhana dan sering digunakan oleh perusahaan obat

tradisional. Dengan beberapa modifikasi, cara ini sering digunakan untuk

membuat ekstrak.
b. Maserasi

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi

dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan

penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang

mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan

konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka

larutan yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi

kesetimbangan konsentrasi antara larutan diluar sel dan di dalam sel.

Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat

aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah

mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak dan lain-

lain.

Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau

pelarut lain. Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah timbulnya

kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian.

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan

dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan.

Kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya

kurang sempurna.

Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara: 10 bagian simplisia

dengan derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam bejana, kemudian dituangi

dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung

dari cahaya, sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas.
Ampas ditambah cairan penyari secukupnya diaduk dan diserkai, sehingga

diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana ditutup, dibiarkan ditempat

sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari. Kemudian endapan dipisahkan.

c. Perkolasi

Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan

cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi.

Prinsip perkolasi adalah sebagai berikut:

Serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder, yang bagian

bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah

melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang

dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak ke bawah disebabkan oleh

kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan di atasnya, dikurangi dengan daya

kapiler yang cenderung untuk menahan.

Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut perkolator, cairan yang

digunakan untuk menyari disebut cairan penyari atau menstrum, larutan zat aktif

yang keluar dari perkolator disebut sari atau perkolat, sedang sisa setelah

dilakukannya penyarian disebut ampas atau sisa perkolasi.

d. Penyarian berkesinambung

Proses yang diuraikan dimuka adalah proses untuk menghasilkan

ekstrak cair, yang akan dilanjutkan dengan proses penguapan. Penyaringan

berkesinambungan menggabungkan kedua proses diatas.

Cairan penyari diisikan pada labu, serbuk simplisia diisikan pada

tabung dari kertas saring atau tabung yang berlubang-lubang dari gelas, baja tahan
karat atau bahan lain yang cocok. Cairan penyari dipanaskan hingga mendidih.

Penyari akan naik ke atas melalui serbuk simplisia. Uap penyari mengembun

karena didinginkan oleh pendingin balik. Embun turun melalui serbuk simplisia

sambil melarutkan zat aktifnya dan kembali ke labu, cairan akan menguap

kembali berulang proses seperti diatas (Dirjen POM, 1986).

D. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi adalah pemisahan campuran senyawa dalam suatu sampel

berdasarkan perbedaan interaksi sampel dengan fasa diam dan fasa gerak. Fasa

diam dapat berupa padatan atau cairan yang diletakkan pada permukaan fasa

pendukung. Fasa gerak dapat berupa gas atau cairan maka berkembangkan

beberapa teknik kromatografi (Rubiyanto. D., 2016).

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan teknik kromatografi yang

berdasar pada prinsip adsorbsi, bedanya dengan kromatografi kolom yaitu

konfigurasi KLT yang berbentuk planar (plate). Fasa diam berupa padatan yang

diaplikasikan berbentuk datar pada permukaan kaca atau aluminium sebagai

penyangganya sedangkan fasa gerak berupa zat cair.

Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah fundamental untuk

“mendapatkan visi” terkait metode pemisahan yang akan kita pilih. KLT

cenderung bersifat analitis, hanya pekerjaan tertentu untuk isolasi (preparatif).

KLT akan memvisualkan senyawa-senyawa yang terkandung di dalam bahan

sehingga bisa diketahui sifat-sifatnya terutama polaritas. Sistem yang dipilih fase

diam dan fase gerak sebisa mungkin memberikan jumlah bercak sebanyak

mungkin. Fase diam serinkali disebut dengan penjerap atau adsorben.


1. Teknik standar

Untuk melakukan KLT dapat digunakan plat yang sudah jadi dan dapat

dibelilewat supplier bahan kimia atau dapat kita buat sendiri dengan menyediakan

bubur adsorben untuk diratakan di atas penyangga. Pembuatan plat dapat

dilakukan dengan langkah-langkah berikut:

a. Melarutkan padatan adsorben dengan akuades atau kloroform atau metanol

atau campurannya hingga diperoleh bubur yang homogen.

b. Membuat lapisan tipis dengan teknik pembentangan menggunakan alat khusus

yang dinamakan Stahl-Desaga, penyemprotan dengan alat semprot, penuangan

dan pencelupan untuk membuat plat makro.

2. Fasa diam

Beberapa jenis adsorben dan penggunaannya antara lain:

a. Silica gel: asam-asam amino, asam-asam lemak dan lain-lain.

b. Alumina: alkaloid, zat warna, fenol-fenol dan lain-lain.

c. Kielsghur (tanah diatomae): gula, oligosakarida, trigliserida dan lain-lain.

d. Selulosa: asam-asam amino, alkaloid dan lain-lain.

Adapun dalam perdagangan banyak dijumpai plat KLT yang terbuat

dari silica gel dengan jenisnya antara lain:

a. Silika gel G: mengandung 13% CaSO4 sebagai bahan pelekat .

b. Silika gel H: tanpa kandungan CaSO4.

c. Silika gel PF: mengandung bahan fluoresensi.

Sebelum digunakan, plat KLT dioptimalkan kerja dengan langkah

aktivasi terlebih dahulu dengan cara:


a. Untuk pemisahan senyawa-senyawa netral, plat KLT diaktivasi dengan

memanaskannya dalam oven bersuhu 100oC selama beberapa menit untuk

menghilangkan air/kelembaban.

b. Untuk pemisahan senyawa yang bersifat basa, sebelum proses kromatografi

pelarut ditambah dengan larutan ammonium hidroksida atau dietil amina.

c. Untuk pemisahan senyawa bersifat asam, pelarut ditambah dengan asam asetat.

3. Fasa gerak

Baik fasa diam dan fasa gerak hanya digunakan bersama-sama dalam

KLT ketika proses kromatografi berlangsung melalui kesetimbangan yang

melibatkan lapisan tipis adsorben, fasa pelarut dan fasa uap pelarut. Dengan

demikian, solvent tidak selalu ekuivalen dengan fasa gerak karena sering

komposisi keduanya berbeda sepanjang jalur plat meskipun digunakan fasa gerak

yang sama dengan pelarut.

Sifat-sifat ideal pelarut yang digunakan dalam KLT antara lain:

a. Tersedia dalam bentuk yang sangat murni dengan harga yang memadai.

b. Tidak bereaksi dengan komponen dalam sampel maupun material fasa diam.

c. Memiliki viskositas dan tegangan permukaan yang sesuai.

d. Memiliki titik didih yang rendah untuk memudahkan pengeringan setelah

pengembangan.

e. Mempunyai kelarutan yang ideal pada berbagai campuran solvent.

f. Tidak toksik dan mudah pembuangan limbahnya.


E. Metode Bioautografi

Bioautografi merupakan metode yang spesifik untuk mendeteksi bercak

pada kromatografi hasil KLT atau kromatografi kertas yang mempunyai aktivitas

sebagai antibakteri, antifungi, antiviral dan antibiotik. Bioautografi dapat juga

digunakan untuk mendeteksi antibiotik yang belum diketahui yang mana metode

kimia dan fisika hanya terbatas pada substansi yang murni. Sementara deteksi

kimia dengan reaksi warna spesifik digunakan sebagai pembanding hasil

bioautografi sehingga kedua metode tersebut saling melengkapi.

Dalam prakteknya, kromatografi diletakkan pada permukaan media

agar di dalam petri yang telah diinokulasi dengan mikroorganisme yang sensitive

untuk antibiotik yang dipelajari. Setelah diinkubasi salama 15-20 jam pada

temperatur kira-kira 37oC akan tampak zona jernih pada lapisan media agar yang

antibiotiknya berdifusi ke lapisan tersebut dan menghambat pertumbuhan

mikroorganisme, sedangkan lapisan media agar yang ditumbuhi media

mikroorganisme akan tampak buram.

Ada 3 metode bioautografi:

1. Bioautografi langsung/direct

Mikroorganisme tumbuh secara langsung di atas lempeng KLT.

2. Bioautografi kontak/contact

Senyawa dipindahkan dari lempeng KLT ke medium.

3. Bioautografi pencelupan/overlay

Medium agar yang telah diinokulasi denganmikroorganisme dituang di atas

lempeng KLT.
Metode bioautografi dalam mendeteksi komponen yang aktif sebagai

antibakteri memiliki beberapa keuntungan dan kerugian:

1. Keuntungan:

a. Dapat mendeteksi bercak pada kromatografi hasil KLT yang mempunyai

aktivitas sebagai antibakteri, antifungi, antibiotik dan antiviral.

b. Dapat digunakan untuk mendeteksi antibiotik yang belum diketahui

mekanismenya.

c. Merupakan metode yang sederhana dan mudah dilakukan.

d. Cepat dalam pengerjaannya.

2. Kerugian:

a. Tidak bisa digunakan untuk senyawa yang tidak mempunyai aktivitas

membunuh ataupun menghambat mikroorganisme.

b. Hasil tidak valid karena kemungkinan adanya kontaminan dari luar atau karena

zat yang diidentifikasi tidak mengandung khasiat bakteri antibakteri.

c. Mempunyai faktor kesalahan yang besar (Mulyaningsih, S., 2004).


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Alat dan Bahan

1. Alat Yang digunakan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Autoklaf, Bejana

maserasi, Bunzen, Cawan petri, Chamber, Gelas ukur, Inkubator, Laminar air flow (LAF),

Lempeng KLT, Neraca analitik, Ose, Oven, Rotavapor, Spoit, dan Waterbath.

2. Bahan yang digunakan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Air suling,

Benzene, Daun Maja, Etanol 96%, Etilasetat, Heksan, Kloroform, Malassezia furfur, medium

Potato Dextrose Agar (PDA), dan Metanol.

B. Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fitokimia dan Mikrobiologi Farmasi

Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Makassar.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah tanaman daun Maja (Aegle marmelos L.) yang

tumbuh di Desa Leoran, Kelurahan Leoran, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

2. Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Malassezia furfur.

17
D. Teknik Pengumpulan Data

1. Pengambilan dan pengolahan bahan uji

Bahan uji berupa Daun Maja diambil pada pagi hari kemudian dicuci di air

mengalir, disortasi basah, kemudian proses perajangan (potong kecil-kecil) dan dikeringkan

dengan cara diangin-anginkan sampai kering.

2. Pembuatan ekstrak Daun Maja

Simplisia Daun Maja ditimbang sebanyak 75 gram kemudian di masukkan ke

dalam bejana maserasi. Ditambahkan pelarut etanol 96 % sampai sampel terendam kurang

lebih 2 cm di atas permukaan sampel. Diaduk-aduk lalu didiamkan selama 5 hari. Setelah 5

hari, disaring kemudian diganti dengan pelarut baru. Dilakukan penggantian pelarut hingga

terekstraksi sempurna (pelarut sudah jernih).

3. Sterilisasi alat

Beberapa alat yang akan digunakan melalui tahap sterilisasi yang bertujuan

mematikan semua bentuk kehidupan mikroorganisme yang ada pada alat. Khusus alat-alat

gelas disterilkan dalam oven pada suhu 1800C selama 2 jam, sedangkan alat ose bulat dan

pingset disterilkan dengan cara pemijaran api spritus. Alat yang mempunyai ukuran atau

berskala disterilkan pada autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit.

4. Pembuatan media Potato Dextrose Agar (PDA)

Cara pembuatan :

Semua bahan yang digunakan ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air

suling hingga semua bahan larut. Dimana untuk melarutkan bahan tersebut dilakukan

pemanasan sampai semua bahan tersebut larut lalu dicek pHnya 5-6 dan disterilkan

dalam otoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 2 atm selama 15 menit.

18
5. Identifikasi komponen kimia secara Kromatografi Lapis Tipis

a. Penyiapan Fase gerak

Fase gerak yang digunakan adalah CHCl3-MeOH-H2O (10:2:1), EtOAc-EOH-

H2O (10:2:1), Benzen-EtOAc (7:3) dan Hexana-EtOAc (7:3). CHCl3-MeOH-H2O dibuat

dengan cara diambil MeOH sebanyak 2 ml dimasukan ke dalam stock erlenmeyer, diambil

H2O sebanyak 1 ml dimasukan ke dalam MeOH, dan diambil CHCl3 sebanyak 10 ml

kemudian d masukkan ke dalam campuran metanol dan air secara perlahan-lahan.

b. Penjenuhan chamber

Cairan pengelusi yang akan digunakan sebagai fase gerak dimasukan ke dalam

chamber yang tertutup. Kedalam eluen tersebut kemudian dimasukkan potongan kertas saring

yang berlebih sampai keluar dari chamber. Jika bagian luar kertas saring sudah basah

menunjukan bahwa chamber sudah jenuh dan siap digunakan.

c. Penyiapan lempeng/fase diam

Pada lempeng KLT dibuat batas penotol dan batas elusi (batas atas 0,5 cm dan

batas bawah 1,5 cm), kemudian diaktifkan di dalam oven dengan suhu 105-110 oC selama 30

menit.

d. Penotolan ekstrak etanol daun maja

Ekstrak etanol ditotolkan pada bagian bawah lempeng dengan menggunakan

penotol secara tegak lurus sehingga diperoleh penotolan yang baik, kemudian diangin

anginkan lalu dimasukkan kedalam chamber yg telah dijenuhkan. Posisi lempeng berdiri

dengan kemiringan kira-kira 80o dari dinding chamber. Chamber ditutup dan biarkan lempeng

terelusi sampai batas tanda bagian atas lempeng. Setelah sampai di batas tanda, lempeng

diangkat. Kemudian lempeng diletakkan pada permukaan medium yang telah disapukan

dengan bakteri uji.

19
e. Pengamatan bercak noda pada sinar UV

Diambil lempeng yang telah ditotolkan ekstrak yang telah mencapai batas atas

lempeng kemudian diamati dibawah sinar lampu UV 254/368 nm.

6. Penyiapan jamur

a. Peremajaan jamur

Jamur yang digunakan adalah Malassezia furfur dari stok murni masing-masing

diambil 1 ose, lalu diinokulasi pada media Potato Dextrose Agar (PDA) miring, diinkubasi

selama 1x24 jam pada suhu 250C.

b. Pembuatan Suspensi

Diambil jamur dari hasil peremajaan kemudian disuspensikan dengan Aquadest

steril.

7. Pengujian

Medium Potato Dextrose Agar (PDA) dituang secara aseptik kedalam cawan petri

sebanyak 20 ml dan dibiarkan memadat kemudian ditambahkan 0,02 ml suspensi jamur

diratakan diatas permukaan medium.

Setelah itu, lempeng sintetik yang telah ditotolkan dengan ekstrak dimasukkan

dengan cara meletakan lempeng KLT tersebut pada permukaan medium berisi suspensi jamur

selama 15-30 menit. Lalu lempeng sintetik tersebut diangkat. Kemudian diinkubasi pada suhu

250C selama 1x24 jam. Setelah itu diukur zona hambatannya.

20
E. Pengamatan Dan Pengukuran Diameter Hambatan

Pengamatan dan pengukuran diameter zona hambatan dari masing-masing

komponen kimia dilakukan setelah diinkubasikan selama 1x24 jam, kemudian diameter zona

hambatan yang terbentuk diukur dengan menggunakan alat jangka sorong. Kemudian

dilakukan pengolahan data.

F. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan nilai Rf hasil KLT dan zona hambat

yang terjadi kemudian dilanjutkan dengan pembahasan.

G. Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan diambil berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan.

21

Anda mungkin juga menyukai