Anda di halaman 1dari 20

BAB I

RINGKASAN MATERI

A. Definisi
Subdural hematoma adalah penimbunan darah di dalam rongga
subdural (di antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi
akibat robeknya vena- vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan
sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat
laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural paling
sering terjadi pada permukaan lateral hemisferium dan sebagian di daerah
temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Perdarahan subdural juga
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak
dibawahnya berat.
Perdarahan subdural yang disebabkan karena perdarahan vena, biasanya
darah yang terkumpul hanya 100-200 cc dan berhenti karena tamponade
hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi
yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap
meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah sehingga dapat
memicu lagi timbulnya perdarahan-perdarahan kecil dan membentuk suatu
kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah. Subdural
hematome dibagi menjadi 3 fase, yaitu akut, subakut dan kronik. Dikatakan
akut apabila kurang dari 72 jam, subakut 3-7 hari setelah trauma, dan kronik
bila 21 hari atau 3 minggu lebih setelah trauma.
Hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar
otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi oleh cairan. Paling sering
disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga terjadi kecenderungan perdarahan
yang serius dan aneurisma. Hematoma subdural lebih sering terjadi pada vena
dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani
ruang subdural.
Perdarahan subdural adalah perdarahan karena trauma yang terjadi
antara membran luar dan menengah (meninges) yang meliputi otak.
Hematoma subdural disebabkan karena robekan permukaan vena atau
pengeluaran kumpulan darah vena. Hematoma subdural dalam bentuk kronik,
hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena
penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu
merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah
cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi
gumpalan darah

B. Tanda dan Gejala


Gejala perdarahan otak subdural bisa segera muncul atau beberapa
minggu setelah cedera. Itu sebabnya, beberapa orang mungkin akan terlihat
baik-baik saja setelah mengalami cedera. Namun, tekanan tinggi pada otak
yang terus dibiarkan dapat menyebabkan :
 Sakit kepala parah
 Pusing
 Mual dan muntah
 Bicara melantur
 Disorientasi (mengantuk, kebingungan, linglung)
 Perubahan perilaku
 Kejang
 Amnesia
 Mati rasa
 Kelemahan pada satu sisi tubuh
 Kehilangan kesadaran atau koma

Dalam banyak kasus, gejala hematoma subdural kronis bisa serupa


dengan gejala demensia, stroke, tumor, atau masalah lain di otak. Itu
sebabnya, Anda harus segera pergi ke dokter jika Anda baru saja mengalami
cedera kepala, terutama jika tidak tampak perdarahan luar (perdarahan otak
subdural biasanya tidak ditandai dengan perdarahan terbuka di kepala), atau
mengalami gejala-gejala yang sudah disebutkan di atas.
C. Manifestasi klinis
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak
yang terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume
SDH. Penderita-penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan
parenkim otak difus yang membuat mereka tidak sadar dengan tanda-
tanda gangguan batang otak. Penderita dengan SDH yang lebih ringan
akan sadar kembali pada derajat kesadaran tertentu sesuai dengan
beratnya benturan trauma pada saat terjadi kecelakaan (initial
impact). Keadaan berikutnya akan ditentukan oleh kecepatan
pertambahan hematoma dan penanggulangannya. Pada penderita dengan
benturan trauma yang ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada waktu
terjadinya trauma. SDH dan lesi massa intrakranial lainnya yang dapat
membesar hendaklah dicurigai bila ditemukan penurunan kesadaran setelah
kejadian trauma. Stone dkk melaporkan bahwa lebih dari separuh
penderita tidak sadar sejak kejadian trauma, yang lain menunjukkan
beberapa lucid interval.
Gejala-gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan
oleh massa hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah
gejala klinik yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik
hematoma atau lesi parenkim otak biasanya terletak ipsilateral terhadap
pupil yang melebar dan kontralateral terhadap defisit motorik. Akan
tetapi gambaran pupil dan gambaran motorik tidak merupakan
indikator yang mutlak bagi menentukan letak hematoma. Gejala motorik
mungkin tidak sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak kontralateral
terhadap SDH atau karena terjadi kompresi pedunkulus serebral yang
kontralateral pada tepi bebas tentorium. Trauma langsung pada saraf
okulomotor atau batang otak pada saat terjadi trauma menyebabkan
dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diamater pupil
lebih dipercaya sebagai indikator letak SDH.
Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom
seperti pada tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan
kesadaran. Penurunan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat
seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada efek massa atau lesi
lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari
peninggian tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo,
papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil,
dan defisit neurologis lainnya, kadang kala dengan riwayat trauma
yang tidak jelas, sering diduga tumor otak.
a. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam
24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan
trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan
oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam
foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada
batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya
pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah.
b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu
lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera.
Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga
disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya
trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya
diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun
jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda- tanda status
neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun
perlahan- lahan dalam beberapa jam. Dengan meningkatnya
tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan
respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran
isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh
akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan
melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.
c. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa
minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.
Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan
subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan
subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah
dikelilingi oleh membrane fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan
osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma,
terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan
ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut
dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma. Hematoma subdural
yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan, sehingga selama
beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan
CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala
bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan
lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali
diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan
melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
 Sakit kepala yang menetap
 Rasa mengantuk yang hilang-timbul
 Linglung
 Perubahan ingatan
 Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
D. Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan
dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang
menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam
duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang
bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus
venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi
pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana
mereka menembus duramater. Perdarahan yang besar akan menimbulkan
gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak
daerah parietal. Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura
interhemisferik serta tentorium atau diantara lobus temporal dan dasar
tengkorak. Perdarahan subdural akut pada fisura interhemisferik pernah
dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena- vena yang berjalan diantara
hemisfer bagian medial dan falks ; juga pernah dilaporkan disebabkan
oleh lesi traumatik dari arteri pericalosal karena cedera kepala.
Perdarahan subdural interhemisferik akan memberikan gejala klasik
monoparesis pada tungkai bawah. Pada anak- anak kecil perdarahan
subdural di fisura interhemisferik posterior dan tentorium sering
ditemukan karena goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken baby
syndrome). Walaupun perdarahan subdural jenis ini tidak patognomonis
akibat penyiksaan kejam (child abused) terhadap anak, kemungkinannya
tetap harus dicurigai. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku
dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula.
Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya
dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan
intracranial yang berangsur meningkat.
Perdarahan subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi
cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila
volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja
dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara
perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan
terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul.
Karena perdarahan yang timbul berlangsung perlahan, maka lucid
interval juga lebih lama dibandingkan perdarahan epidural, berkisar dari
beberapa jam sampai beberapa hari. Pada perdarahan subdural yang
kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang
besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang
membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari
pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena
pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat
berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan
intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial
dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan
dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra
kranial terjadi relat if perlahan karena komplains tekanan intra kranial
yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai
pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut.
Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi
serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi
herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen
magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui
incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada
hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus
dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang
lainnya.
E. Pemeriksaan diagnostik
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah
rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
2. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan
adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan
kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada
hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan
fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.
3. CT-Scan
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka
terdapat suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu
melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat dan
keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksi
4. MRI (Magnetic resonance imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk
mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan
mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa
SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan ketimbang MRI
pada fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa setelah trauma
terutama untuk menetukan kerusakan parenkim otak yang
berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan
pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak
nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat
membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena
pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.
F. Penatalaksanaan medik
Konservatif:
1. Bedrest total
2. Pemberian obat-obatan
3. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
Prioritas Perawatan:
1. Maksimalkan perfusi / fungsi otak
2. Mencegah komplikasi
3. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal
4. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana
pengobatan, dan rehabilitasi.
Tujuan:
1. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap
2. Komplikasi tidak terjadi
3. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain
4. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam
perawatan
5. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh
keluarga sebagai sumber informasi.

H. Komplikasi
Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko. Cedera parenkim
otak biasanya berhubungan dengan subdural hematom akut dan dapat
meningkatkan tekanan intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi rekurensi
atau masih terdapat sisa hematom yang mungkin memperlukan tindakan
pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga pasien mengalami kejang pasca
trauma setelah cedera kepala berat. Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa
terjadi setelah kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat terjadi
setelah dilakukan tindakan intrakranial.
Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang menjalani
operasi drainase, sebanyak 5,4-19% mengalami komplikasi medis atau
operasi. Komplikasi medis, seperti kejang, pneumonia, empiema, dan
infeksi lain, terjadi pada 16,9% kasus. Komplikasi operasi, seperti
massa subdural, hematom intraparenkim, atau tension pneumocephalus
terjadi pada 2,3% kasus.
Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT
scan 4 hari pasca operasi. Tindakan reoperasi untuk reakumulasi
hematom dilapaorkan sekitar 12-22%. Kejang pasca operasi dilaporkan
terjadi pada 3-10% pasien. Empiema subdural, abses otak dan meningitis
telah dilaporkan terjadi pada kurang dari 1% pasien setelah operasi
drainase dari hematoma subdural kronis (SDH). Pada pasien ini,
timbulnya komplikasi terkait dengan anestesi, rawat inap, usia pasien, dan
kondisi medis secara bersamaan.

I. Prognosis
Tidak semua perdarahan subdural bersifat letal. Pada beberapa
kasus, perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat
menyebabkan kompresi pada otak, sehingga hanya menimbulkan gejala-
gejala yang ringan. Pada beberapa kasus yang lain, memerlukan tindakan
operatif segera untuk dekompresi otak. Tindakan operasi pada hematoma
subdural kronik memberikan prognosis yang baik, karena sekitar 90 %
kasus pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang disertai
lesi parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi
dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.
Pada penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit
(diameter < 1 cm), prognosanya baik. Sebuah penelitian menemukan
bahwa 78% dari penderita perdarahan subdural kronik yang dioperasi
(burr-hole evacuation) mempunyai prognosa baik dan mendapatkan
penyembuhan sempurna. Perdarahan subdural akut yang sederhana (simple
SDH) ini mempunyai angka mortalitas lebih kurang 20%.
Perdarahan subdural akut yang kompleks (complicated SDH)
biasanya mengenai parenkim otak, misalnya kontusio atau laserasi dari
serebral hemisfer disertai dengan volume hematoma yang banyak.
Pada penderita ini mortalitas melebihi 50% dan biasanya berhubungan
dengan volume subdural hematoma dan jauhnya midline shift. Akan
tetapi, hal yang paling penting untuk meramalkan prognosa ialah ada
atau tidaknya kontusio parenkim otak.
Angka mortalitas pada penderita dengan perdarahan subdural yang
luas dan menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap jaringan otak,
menjadi lebih kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah
kejadian. Walaupun demikian bila dilakukan operasi lebih dari 4 jam
setelah kejadian tidaklah selalu berakhir dengan kematian. Pada
kebanyakan kasus SDH akut, keterlibatan kerusakan parenkim otak
merupakan faktor yang lebih menentukan prognosa akhir (outcome)
daripada tumpukan hematoma ekstra axial di ruang subdural.
Menurut Jamieson dan Yelland derajat kesadaran pada waktu akan
dilakukan operasi adalah satu-satunya faktor penentu terhadap
prognosa akhir (outcome) penderita SDH akut. Penderita yang sadar
pada waktu dioperasi mempunyai mortalitas 9% sedangkan penderita
SDH akut yang tidak sadar pada waktu operasi mempunyai mortalitas
40% - 65%. Tetapi Richards dan Hoff tidak menemukan hubungan
yang bermakna antara derajat kesadaran dan prognosa akhir. Abnormalitas
pupil, bilateral midriasis berhubungan dengan mortalitas yang sangat
tinggi. Seelig dkk melaporkan pada penderita SDH akut dengan
kombinasi refleks okulo-sefalik negatif, relfleks pupil bilateral negatif
dan postur deserebrasi, hanya mempunyai functional survival sebesar
10%.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Diagnosa keperawatan yang sering muncul


Diagnosa Keperawatan yang bisa muncul adalah:
a. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat
napas di otak
b. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
c. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran
(sporos-coma)
d. Potensial gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi,
tidak adekuatnya sirkulasi perifer
e. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.

B. Intervensi keperawatan
No Diagnosa Tujuan/Kriteria Hasil Rencana Tindakan

Keperawatan
1. Pola Nafas  Respiratory Posisikan pasien
tidak efektif status: untuk memaksimalkan
berhubungan Ventilation ventilasi
dengan :  Respiratory Pasang mayo bila perlu
- Hiperventilasi status: Airway Lakukan fisioterapi
- Penurunan patency dada jika perlu
energi/kelelahan  Vital sign Status Keluarkan sekret
- dengan batuk atau
Perusakan/ Setelah dilakukan suction
pelemaha tindakan Auskultasi suara
n muskulo- keperawatan nafas, catat adanya
skeletal selama ……….. suara tambahan
- Kelelahan otot pasien Berikan bronkodilator :
pernafasan menunjukkan -…………………..
- Hipoventilasi keefektifan pola ……
sindrom nafas, dibuktikan ……
- Nyeri dengan kriteria ……
- Kecemasan hasil: …….
- Disfungsi  Berikan pelembab
Neuromuskuler Mendemonstrasikan udara Kassa basah
- Obesitas batuk efektif dan NaCl Lembab
- Injuri tulang suara nafas yang Atur intake untuk
belakang bersih, tidak ada cairan mengoptimalkan
sianosis dan dyspneu keseimbangan.
DS: (mampu Monitor respirasi dan
- Dyspnea mengeluarkan status O2
- Nafas pendek sputum) Bersihkan mulut,
DO: hidung dan
Penurunan secret trakea
tekanan
inspirasi/ek
spirasi
2. Bersihan Jalan NOC: NIC
Nafas tidak  Respiratory  Pastikan
efektif status : kebutuhan
berhubungan Ventilation l /
dengan:  Respiratory tracheal
- Infeksi, status : suctioning.
disfungsi Airway  Berikan O2 ……l/mnt,
neuromuskula patency metode………
r, hiperplasia  Aspiration  Anjurkan pasien
dinding Control Setelah untuk istirahat dan
bronkus, alergi dilakukan tindakan napas dalam
jalan nafas, keperawatan Posisikan pasien
asma, trauma selama untuk
- Obstruksi …………..pasien memaksimalkan
jalan nafas : menunjukkan ventilasi
spasme jalan keefektifan jalan Lakukan fisioterapi
nafas, sekresi nafas dibuktikan dada jika perlu
tertahan, dengan kriteria Keluarkan sekret
banyaknya hasil : dengan ba
mukus,  atau suction
adanya jalan Auskultasi suara
Mendemonstrasik
nafas buatan, nafas, catat adanya
a
sekresi suara tambahan
n batuk efektif
bronkus, Monitor status
dan suara
adanya hemodinamik
nafas yang bersih,
eksudat di Berikan pelembab
tidak ada
alveolus, udara Kassa basah
sianosis dan
adanya benda NaCl
dyspneu
asing di jalan Lembab
(mampu
nafas. Berikan antibiotik :
mengeluarkan
DS:
Atur intake untuk
sputum, bernafas
cairan
dengan
- Dispneu mengoptimalkan
mudah, tidak ada
DO: keseimbangan.
pursed lips)
- Penurunan
Monitor respirasi dan
 Menunjukkan
suara nafas
status O2
jalan nafas yang
- Orthopneu
paten (klien tidak Pertahankan hidrasi
- Cyanosis
merasa tercekik, yang adekuat untuk
- Kelainan suara
irama nafas, mengencerkan sekret
nafas (rales,
frekuensi Jelaskan pada pasien
wheezing)
pernafasan dan keluarga tentang
- Kesulitan
dalam rentang penggunaan
berbicara
- Batuk, tidak normal,
efekotif atau tidak ada suara peralatan: O2,
tidak ada nafas Suction, Inhalasi.
- Produksi abnormal)
sputum  Mampu
- Gelisah mengidentifikasik
- Perubahan an dan mencegah
frekuensi faktor yang
dan irama penyebab.
nafas  Saturasi O2
dalam batas
normal
 Foto thorak
dalam batas
normal
3. Perfusi jaringan NOC : NIC :
cerebral tidak  Circulation status  Monitor TTV
efektifb/d  Neurologic status  Monitor AGD, ukuran
gangguan afinitas  Tissue Prefusion : pupil, ketajaman, kesimetrisan
Hb oksigen, Cerebral dan reaksi
penurunan Setelah dilakukan asuhan  Monitor adanya diplopia,
konsentrasi Hb, selama……… pandangan kabur, nyeri kepala
Hipervolemia, ketidakefektifan perfusi  Monitor level kebingungan
Hipoventilasi, jaringan cerebral teratasi dan orientasi
gangguan dengan kriteria hasil:  Monitor tonus otot
transport O2,  Tekanan systole dan pergerakan
gangguan aliran diastole  Monitor tekanan intrkranial
arteri dan vena dalam rentang yang dan respon nerologis
DO diharapkan  Catat perubahan pasien
- Gangguan status  Tidak ada dalam merespon stimulus
mental ortostatikhipertensi  Monitor status cairan
- Perubahan  Komunikasi jelas  Pertahankan parameter
perilaku  Menunjukkan hemodinamik
- Perubahan konsentrasi dan orientasi  Tinggikan kepala 0-45
respon motorik  Pupil seimbang dan derajat tergantung pada
- Perubahan reaktif konsisi pasien dan order medis
reaksi pupil  Bebas
- Kesulitan
menelan
- Kelemahan atau
paralisis
ekstrermitas
- Abnormalitas
bicara dari
aktivitas kejang
 Tidak
mengalami nyeri
kepala
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Volume


3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Doenges, Marilynn E, dkk. 1993. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman


Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Doenges, Marilynn E.1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. EGC :


Jakarta, hal 569 – 595.

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Volume


2. EGC: Jakarta.

Price, Sylvia dan Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis


Proses- proses Penyakit hal 1174-1176. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat, R. 2004. Subdural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi


kedua hal 818, Jong W.D. Jakarta : EGC.

Charles, F. 2010. Schwartz’s Principles of Surgery, Edition Ninth. United


State of America : The McGraw-Hill.
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK

PADA PASIEN SUBDURAL HEMATOMA

Disusun oleh :

CAHYA SUPRIATNA

010116A016

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

Anda mungkin juga menyukai