Anda di halaman 1dari 5

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis sintiserkosis tergantung lokasi dan jumlah kista, serta reson pjamu.
Bila hanya terdapat sedikit lesi dan terleak dilokasi yang tidak strategis misalnya diotot atau
beberapa daerah diotak,infeksi trsebut dapat terjadi tanpa gejala, namun tetap bisa menjadi
salah satu alasan diagnosis sistiserkosis. Pada kasus penyakit neurologis, terdapat gejala
sebelum gejala pertama timbul. Masa inkubasi ini siperkirakan berdasarkan masa hidup kista
jaringan. Merupakan penemuan histopatologi kista yang ditemukan pada manusia yang tanpa
gejala sistiserkosis dan telah meninggal akibat penyebab lain. Sebaliknya kebanyakan kista
dari pasien dengan gejala berhibungan dengan respon peradangan termasuk didalamnya
limfosit, eosinofil, granulosit, dan sel plasma. Oleh karenanya, gejala sistiserkosis parenkimal
timbul akibat peradangan ketika kista kehilangan kemampuan memodulasi respon pejamu.
Prubahan yang terjadi berhubungan dengan stadium peradangan. Dalam stadium koloidal,
kista terlihat sam dengan kista koloid dengan materi gelatin dalam cairan kista dan degenerasi
hialin dari larva. Dalam stadium granular-granular, kista ulai berkontraksi dan dindingnya
digantikan dengan nodul fokal limfoid serta nekrosis. Akhirnya pada stadium klasifikasi
nodular aringan granulasi digantokan oleh struktur kolagen klasifikasi.

Manifestasi utama neurosistiserkosis adalah kejang (70-90%). Gejalah lain adalah sakit
kepala, peningkatan tekanan intrakranial (mual dn muntah), dan gangguan status mental
termasuk visikosis. Hanya sedikit pasien yang menunjukkan klumpuhn saraf klanial mapun
gejala vokal lainna. Bentuk manifestasi klinis:

1. Infeksi innaktif, ditandai dengan penemuan residu infeksi aktif sebelumnya(klasifikasi


intraparenkimal). Gejala yang timbul berupa sakit kepala,kejang,pisikosis.
2. Infeksi aktif, terdiri atas niorosistiserkosis parenkiml aktif da ensaelpalitis sistiserkal.
3. Niorosistirkosis ekstra parenkimal yang memiliki bentuk niorosistiserkosis
fentrikular.
4. Bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis oftalmika, penyakit serebrofaskular,
sistiserkosis, sakit kepala migran defekniorokognitif, sistiserkosis ekstra nioral.

Diagnosis

Kriteria diagnostik yang dapat dilakukan berdasarkan pencitraan, teserologi,presentasi


klinis, dan riwayat pajanan. Pencitraan merupakan metode utama untuk
niorosistiserkosis. computerized tomography CT adalah metode terbaik untuk
mendeteksi klasifikasi yang menunjukkan infeksi in aktif. CT lebih unggul dari MRI
sebaliknya MRI lebih sensitif untuk menemukan kista di parenkim dan ekstra parenkim
otak, termasuk dalam mendeteksi reaksi peradangan. Teserologi memiliki penggunaan
luas dan juga sangat befariasi tes ini menggunakan antigen yang tidak terfaksi
menyebabkan positif dan negatif palsu. Hal itu diperkiran karna aveditas kista dengan
immonnoglogulin yang menyebabkan positif palsu, selain itu high cutopffs menyebabkan
negatif palsu salah satu yang dikembangkan adalah dengan pemeriksaan antigen on
cosfer. Pemeriksaan EITB telah terbukti spesifik untuk pemeriksaan infeksi T.solium.
EITB sensitif pada kista parenkim aktif multipel atau niorosistiserkosis ekstra parenkim.
Sensitifitasna rendah pada pasien dengan kista perenkimal atau klasifikasi sehingga pada
infeksi in aktif pemeriksaan serologi sering kali negatif. Pemeriksaa EITB lebih baik
ketika menggunakan serum dari pada liquor serebrosfinalis didaerah yang belum
memiliki fasilitas CT dan MRI serologi berperan penting untuk diagnosis. Untuk
menyatakan seorang menderita sistiser kosis diperlukan beberapa penemuan positif.
Kriteria mayor pertama adalah penemuan berdasarkan pemeriksaan pencitraan ditemukan
sistiserkus yang berukuran 0,5 – 2Cm keduanya ditemukan anti body spesifik
antisisistiserkal menggunakan EITB. Kriteria minor antara lain : kejang, peningkatan
teknan intrakanial, klasifikasi intraserebral pungtatta, nodulsubkotan,, atau hilannya lesi
setelah pengobatan anti parasit kombinasi dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan
dua kriteria minor. Ditambah riwayat pajanan digunakan untuk menegakkan diagnosis.

Terapi

Terapi sistiserkinosis berbeda pada setiap individu berdasrkan patogenesis


penyakitnya. Hal yan perlu diperhatikan adalah lokasi kista, gejala seperti kjang atau
hidrosefalus, vibilitas kista (termasuk stadium degenerasi kista) dan derajat respons
peradanga pejamu. Untuk mencegah transmisi perlu dilakukan peningkatan sanitasi
lingkungn, memasak daging babi sampai matang, menekan jumlah ekresi telur taenia,
edukasi terhadap masyarakat termasuk kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan
setelah ke amar mandi serta memasak air minum hingga matang. Upaya yang juga dapat
dilakukan adalah melakukan pencgahan infeksi sistiserkosis di babi dengan vaksinasi.

Pada infeksi inaktif pasien dapat diterapi untuk mengatsi gejala seperti kejang.
Apabila terdapat hidrosefalus, mka dapat dibantu dengan prosedur tambahan misalnya
dengan operasi pembuatan shunt ventrikuloperitoneal. Pengobatan antiparasit tidak
diperlukan karna tidak ada parasit hidup pada pasien. Penderita neurosistiserkosis aktof,
mmerlukan berbagai pengobatan tambahan untuk mengatasi kista hidup, gejala dan reaksi
akibat pengobatanya sendiri. Obat yang digunakan adalah praziquantel (50-100mg/kg
dalam 3 dosis terbagi) selama 14 hari . albendazol (15mg/kg dalam 2-3 dosis terbagi)
selma 8 hari, kortikosteroid (10-30 mg deksametason per hari atau 60 mg prenidson. Di
lanjutkan dengan tappering off saat ingn menghentikan pemberian) dan juga obat
antikonvulsan seperti fenitonin atau fenobarbital. Pemberian kortikosteroid adalah untuk
engatasi reaksi peradangan yang terutaa terjadi setelah pengobatan praziquantel.
Tujuannya untuk mencegah peradangan yang dapat mengancam nyawa pada ensefalitis
sisteserkal, neurosistiserkosis subarakhnoid, dan neurosistisrkosis intramedular spinal.
Prednison lebih baik dibandingkan deksametason unuk penggunaan jangka panjang.
Selain itu dapat digunakan manitol (2g/kg per hari) untk hpertensi sekunder akut akibat
neurosistiserkosis.

Pemakaia praziquantel bersama antikonvulsan dapat menyebabkan nduksi


metabolisme, oleh karena itu diperlukan simetidin (400mg 3 kali per hari) untuk
menghamabat metabolisme praziquantel tersebut. Interaksi obat ini relatif tidak terjadi
pada penggunaan albendazol. Hal lain yang perlu diperhatikan saat pengobatan adalah
reaksi peradangan yang menyebabkan demam, mual, muntah, dan sakit kepala bahkan
dapat menjadi edema serebral. Selain itu, bila sistiserkosis terdapat di otot maka dapat
terjadi miositis akibat pengobatan. Neurosistiserkosis parenkim, pengobatan yang
dianjurkan adalah albendazol (15 mg/kg/hari oral, selama 7 hari atau lebih). Bertujuan
untuk menghancurkan seluruh kista dan meringankan kejang sampai 45%. Diberikan
scara simultan dengan deksametason (0,1 mg/kg/hari) minimal selama minggu pertama
terapi. Pilihan lain adalah praziquantel (25mg/kg 3kali sehari, oral dengan interval 2 jam
atau dosis standar (50-100 mg/kg/hari selama 15 hari). Efikasi dosis tunggal lebih baik
pada pendrita dengan kista tunggal atau kista sedikit, namn kurang bermanfaat bila
jumlah kistanya banyak. Neurosistiserkosis subarakhnoid, dosis optimal dan durasi terapi
antiparasitik jnis ini belum ada. Penggunaan albendazol pada sistiserki raksaa
(15mg/kg/hari selama 4 minggu) menunjukan hasil yang baik. Meskipun begitu,
diperlukan beberapa kali pengulangan pengobatan (satu kali siklus tidak cukup). Dosis
antiradang yang digunakan juga belum ditetapkan dapat digunakan prednison (60
mg/kg/hari selama 10 hari) dan toppering off 5 mg/hari setiap 5 hari. Komplikasi
serebrovaskular, untuk komplikasi serebrovaskular, belum ditetapakan standar
penatalaksanaan. Saat ini pengobatan diberikan selama kortikosteroid untuk mengurangi
peradangan (deksametason 16-24 mg/hari pada kondisi akut, dan prednison oral 1
mg/kg/hari ntuk jangka panjang). Evaluasi dilakukan dengan pemeriksaan doppler
transkranial untuk mementau terapi kortikosteroid. Sementara penggunaan obat
neuroprotektif belum jelas manfaatnya. Pengobatan taeniasis adekuat terhadap cacing pita
penting untuk menghentikan transmisi sistiserkosis, Taenia solium dapat diobati dengan
niklomasid dosis tungggal 2 gram / praziquantel 5mg/kg. Niklosamid merupakan obat
pilihan karena tidak diabsorbsi usus ehingga dapat menghindarkan dari risisko gejala
neurologi bila pasien juga menderita neurositiserkosis. Terapi keduanya memiliki
efektifitas lebih dari 95% namun belum ada penelitian lebih lanjut identifikasi
kesembuhan adalah dengan ditemukanya skoleks stelah pengobatan karena skoleks
setelah pengobatan karena skoleks yang tersisa dapat tumbuh kembali dalam jangka
waktu 2 bulan dilakukan dengan penggunaan purgative osmotik sebelum dan sesudah
pengobatan.

Cacing Pita yang Kurang Pentng di Indonesia (Hymenolepis Nana)

Sejarah : Speies ini ditemukan oleh Bilharz pada tahun 1851 dalam usus halus seseorang
di Kairo. Grasee dan Rovell (1887,1892) pertama kali memperkenalkan daur hidup yang
tidak mempunyai hospes perantara.

Hospes dan Nama penyakit : Hospesnya adalah manusia dan tikus, cacing ini
menyebabkn penyakit himenolepiasis.

Distribusi Geografik : Penyebaranya kosmopolit, lebih banyak didapat di daerah denga


iklim panas dari pada di iklim dingin dan juga ditemukan di indonesia.

Morfologi dan Daur hidup : Dari golongan Cestoda yang ditemukan pada manusia.
Cacing ini mempunyai ukuran terkcil panjangnya 25-40 mm dan lebarnya 1 mm. Ukuran
strobila biasanya berbanding terbalik dengan jumlah cacing yang ada dalam dengan
jumlah cacig yang ada dalam hospes. Skloleks berbentuk bulat keci dengan 4 buah batil
isap dan rostelum yang pendek dan berkait-kait. Bagian leher panjang dan halus. Telur
keluar dari proglotid paling distal yang hancur. Bentuknya lonjong ukuranya 30-47
mikron, dengan lapisan yang jernih dan lapisan dalam yang mengelilingi sebuah onlosfer
dengan penebalan pada kedua kutub. Dari masing-masing ketb keluar 4-8 filamen. Dalam
onkosfer terdapat 3 pasang duri (kait) yang berbentuk lanset. Cacing dewasa hidup dalam
usus halus untuk beberapa minggu. Proglotid gravid melepaskan diri dari badan, telurnya
dapat ditemukan dalam tinja. Cacing ini tidak memerlukan hospes perantara. Bila telur
tertelan kembali oleh manusi atau tikus maka rongga usus halus telur menetas, larva maka
di rongga usus halus dan membentuk larva sistiserkoid, kemudian keluar ke rongga usus
dan menjadi dewasa dalam waktu 2 minggu atau lebih. Pada infeksi percobaab berbagai
pinjal dan kutu beras dapat menularkan murine strain.

Anda mungkin juga menyukai