Anda di halaman 1dari 35

UPAYA PEMAJUAN, PENGHORMATAN DAN PERLINDUNGAN HAM DI

INDONESIA

A. Hakikat Hak Asasi Manusia


Hak asasi merupakan hak yang paling bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak
asasi manusia merupakan suatu keharusan agar warga negara dapat hidup sesuai dengan
kemanusiaannya. Hak asasi manusia melingkupi antara lain hak atas kebebasan
berpendapat, hak atas kecukupan pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan dan
pekerjaan, hak atas hidup yang sehat serta hak-hak lainnya sebagaimana tercantum dalam
Deklarasi Hak Asasi Manusia Tahun 1948.
Penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia merupakan suatu
keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya.
Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga ditujukan untuk memenuhi hak-hak
asasi warga negara. Hak asasi tidak sebatas pada kebebasan berpendapat ataupun
berorganisasi, tetapi juga menyangkut pemenuhan hak atas keyakinan, hak atas pangan,
pekerjaan, pendidikan, kesehatan, rasa aman, penghidupan yang layak, dan lain-lain.
Kesemuanya itu tidak hanya merupakan tugas pemerintah tetapi juga seluruh warga
negara untuk memastikan bahwa hak tersebut dapat dipenuhi secara konsisten dan
berkesinambungan.
Penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat mutlak bagi upaya-upaya
penciptaan Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan
ketertiban diwujudkan, maka kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan yang
rukun akan dapat terwujud. Namun ketiadaan penegakan hukum dan ketertiban akan
menghambat pencapaian masyarakat yang berusaha dan bekerja dengan baik untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut menunjukkan adanya keterkaitan yang erat
antara damai, adil dan sejahtera.

Tiga Permasaalahan HAM di Indonesia


1. Masih banyaknya pelenggaran HAM
Pelanggaran hak asasi manusia masih banyak terjadi dan dilakukan oleh kelompok
atau golongan, atau seseorang terhadap kelompok atau golongan, atau orang lainnya.
Oleh karena itu sangat penting untuk melihat berbagai pelanggaran hak asasi manusia
yang dilakukan terhadap warga sipil dan mencari serta menyelesaikan berbagai
pemecahan masalah secara objektif dan adil sesuai ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

2. Banyaknya pelanggar HAM yang tidak dapat bertanggung jawab dan tidak dapat
dihukum (impunitas).
Impunitas ini telah meluas dan terjadi hampir di setiap kasus pelanggran HAM. Seperti
kasus pelanggaran HAM pada tragedy Trisakti dan Semanggi. Hal tersebut sangat
mengkhawatirkan karena akan melemahkan kedudukan korban pelanggaran HAM.

3. Tidak berfungsinya institusi-institusi negara yang berwenang dan wajib menegakkan


HAM.
Hal tersebut terjadi di seluruh institusi yang ada, mulai dari Komisi Nasional (Komnas)
HAM, Kejaksaan agung, pengadilan, kementrian Hukum dan HAM, DPR-RI, hingga
Lembaga Kepresidenan. Hal itu diakibatkan karena seluruh institusi-institusi tersebut
terjebak dalam alas an prosedural hukum, politik birokrasi, tidak adanya good-will, dan
aksi saling lempar tanggung jawab.
Penegakan hukum dan kepastian hukum belum dinikmati oleh masyarakat Indonesia.
Bagi sebagian masyarakat Indonesia, hukum dirasakan belum memberikan rasa keadilan,
kesetaraan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya terhadap masyarakat
kecil dan tidak mampu. Penegakan hukum dan kepastian hukum masih melihat status
sosial seseorang,demikian pula pelaksanaan putusan pengadilan yang seringkali hanya
memihak pada pihak yang kuat dan penguasa. Hukum dalam pengadilan hanya sekedar
diberlakukan sebagai aturan-aturan tertulis. Penggunaan interpretasi hukum dan
yurisprodensi belum digunakan secara optimal oleh hakim untuk memberikan putusan
yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Penegakan hukum yang tidak adil, tidak tegas, dan diskriminatif. Khususnya dalam
pemberantasan korupsi selama ini disebkan antara lain karena tidak adanya keteladanan
dari pimpinan pemerintah beserta jajarannya dari tingkat pusat sampai ke daerah, serta
tidak adanya kemauan politik yang besar, tidal saja lembaga Eksekutif, tetapi juga
lembaga Legislatif dan lembaga Yudikatif. Bahkan dari hasil survey yang dilakukan oleh
lembaga swadaya masyarakat, tindak pidana korupsi sejak masa reformasi terjadi justru
pada lingkungan lembaga Legislatif baik di pusat maupun di daerah.
Penanganan perkara korupsi oleh Kejaksaan Agung selama kurun waktu 2001-2004
tidak secara optimal terinformasikan secara luas kepada masyarakat. Dari 1.807 kasus
yang ditangani, sebanyak 1.174 perkara telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri
sebanyak 1.099 perkara atau 93,6 persen telah diberikan putusan. Pengembalian
kekayaan rakyat dari perkara korupsi selama kurun waktu 2001-2004 seluruhnya
berjumlah Rp 70 miliar, dan jumlah uang pengganti yang dapat ditagih dari terpidana
kasus korupsi melalui instrumen perdata sejumlah Rp 12 miliar, yang keseluruhannya
telah dikembalikan kepada Kantor Kas Negara. Namun karena perkara korupsi dalam
jumlah besar, maka perkara korupsi yang telah diselesaikan tidak secara optimal
terinformasikan secara luas kepada masyarakat.
Besarnya harapan masyarakat dan tuntutan terhadap kinerja Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk menegakkan
hukum dan kepastian hukum. Pembentukan KPK dan Pengadilan Tipikor yang
berlandaskan pada Undang-undang No. 30 Tahun2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidan Korupsi merupakan titik kulminasi tuntutan masyarakat terhadap
pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini telah sangat meresahkan dan
menghambat pencapaian kesejahteraan mayarakat. Praktik korupsi yang terjadi di
Indonesia juga telah membuat posisi Indonesia semakin terpuruk dalam lingkungan
pergaulan masyarakat internasional sebagai salah satu negara yang pemerintahannya
terbesar melakukan praktik korupsi. Era reformasi yang seharusnya lebih memberikan
peluang dan harapan untuk mengembalikan berbagai penyimpangan dan penyelewengan
yang selama ini terjadi, dalam kenyataannya telah semakin memperluas praktek korupsi
tidak saja pada lembaga Eksekutif namun juga lembaga Legislatif dan Yudikatif.
Demikian juga pelaksanaan otonomi daerah yang telah semakin menyuburkan praktek
korupsi yang melibatkan tidak saja aparat pemerintah daerah tetapi juga lembaga
legislative daerah.
Saat ini kurang lebih 6 (enam) kasus besar sedang dilakukan penyidikan oleh KPK
dan secara bertahap akan segera dilimpahkan kepada Pengadilan Tipikor. Walaupun tidak
mudah dan cepat untuk memberantas praktik korupsi, akan tetapi upaya memperkuat
pemberantasan korupsi harus dilanjutkan. Untuk itu diperlukan dukungan masyarakat
dalam bentuk pengawasan dan pelibatan masyarakat yang lebih besar terhadap
penyelenggaraan negar, keteladanan dan sikap tidak konsisten dan sosok yang bersih dari
para penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif), serta dukungan komitmen
politik (political will) Pemimpin tertinggi negara.
Tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi seringkali tidak tuntas. Cukup
banyak laporan dan informasi dari masyarakat mengenai terjadinya korupsi, namun
dalam kenyataannya hanya sedikit perkara korupsi yang sampai ke pengadilan. Dengan
alas an tidak cukup bukti, pada tingkat kejaksaan pelaku tindak pidana korupsi akhirnya
dibebaskan. Oleh karena itu, apabila masyarakat menjadi tidak percaya
terhadappenegakan hukum khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pemerintah secara terus menerus berupaya untuk meningkatkan penghormatan dan
pengakuan terhadap hak asasi manusia dengan proses yang lebih transparan dan
melibatkan tidak saja instansi/lembaga pemerintah tetapi juga berbagai organisasi non
pemerintah dan organisasi lainnya. Dengan demikian berbagai pemikiran bersama yang
dihasilkan diharapkan menjadi milik bersama bangsa Indonesia untuk dilaksanakan
bersama-sama.

1. Pengertian Hak Asasi Manusia


Hak-hak asasi manusia selalu berhubungan dengan kewajiban asasi manusia,
bahkan kewajiban asasi tersebut harus terlebih dahulu dilakukan agar hak-hak asasi dapat
terpenuhi.
G. J. Wolhoff mengatakan hak-hak asasi adalah sejumlah hak yang seakan-akan
Berakar dalam tabiat setiap pribadi manusia justru karena kemanusiaannya yang
tidak dapat dicabut oleh siapapun juga karena jika dicabut akan hilang kemanusiaannya.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa hak-hak asasi manusia ini merupakan hak
kodrat yang ada pada manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa
sehingga hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri.
Adapun kewajiban-kewajiban asasi ialah kewajiban-kewajiban dasar yang pokok
yang harus dijalankan oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakat seperti kewajiban
taat pada peraturan perundang-undangan, kewajiban untuk bekerja sehubungan dengan
kelangsung hidup manusia. Maka, apabila orang menuntut hak-hak asasinya terpenuhi,
maka pada saat yang sama pula terdapat keharusan agar orang tersebut melaksanakan
kewajiban-kewajiban asasinya. Dengan kata lain, tuntutan atas hak-hak asasi harus
disertai pelaksanaan kewajiban-kewajiban asasi.
Hak asasi manusia (HAM)adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh
dan dibawanya sejak dalam kandungan, dengan tidak membedakan bangsa, ras, suku,
agama, maupun jenis kelamin serta bersifat universal. HAM pada hakekatnya adalah
hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia hanya karena ia manusia. Dengan demikian
HAM mengandung makna (a) hakikatnya sebagai manusia, mendapatkan pengakuan oleh
manusia lain, dan (b) pelaksanaan hak-hak itu hanya dimungkinkan karena manusia
tersebut menjadi anggota masyarakat. HAM tidak berlaku kalau manusia hidup pada
suatu daerah yang sama sekali tidak mempunyai kontak dengan manusia lain. Disebut
asasi, karena tanpa hak tersebut seseorang tidak dapat hidup sebagaimana layaknya
manusia. Hakikat manusia tidak lain adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi
penalaran. Inilah pebedaan esensial antara manusia dengan makhluk lainnya.
Setelah dunia mengalami dua perang yang melibatkan hampir seluruh dunia dan
hak-hak asasi diinjak-injak, timbul keinginan untuk merumuskan hak asasi itu dalam
suatu naskah internasional. Usaha itu pada tahun 1948 berhasil dengan diterimanya
Universal Declaration of Human Rights (Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi
Manusia) oleh negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Deklarasi HAM PBB memerinci sejumlah cita-cita dan harapan yang
digandrungi oleh setiap manusia dimuka bumi, seperti hak untuk hidup, hak untuk
memeluk agama, hak berserikat, hak untuk menyuarakan pendapat, hak untuk
mendapatkan penghidupan yang layak, hak untuk bebas dari rasa takut serta hak-hak
yang lain. Teori HAM versi barat mengatakan bahwa pemerintah dimanapun
berkewajiban melindungi rakyatnya dari pelanggaran HAM.
Dalam Pembukaan UUD 1945, juga ditegaskan bahwa, “Pemerintahan negara
Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan….”.
Oleh karena itu HAM sering dikatakan memiliki dimensi universal , ini mengandung
makna suatu pengakuan bahwa HAM harus dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia di
muka bumi. Selain dari itu, pemerintah di seluruh dunia memikul kewajiban moral unuk
menjamin terlaksananya HAM yang dapat dinikmati oleh rakyatnya masing-masing.

2. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia


Sejarah membuktikan bahwa kesadaran manusia terhadap hak-hak asasi akan meningkat
bila terjadi pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan seperti adanya perbudakan, penjajahan
maupun ketidakadilan. Perjuangan atas pengakuan dan usaha menegakkan hak-hak asasi
manusia dari pelbagai bangsa banyak dituangkan dalam berbagai konvensi, konstitusi,
perundang-undangan, teori serta hasil-hasil pemikiran yang pernah hadir di muka bumi
ini.
Sejak Socrates dan Plato perjuangan terhadap hak asasi manusia selalu
dibicarakan. Kedua filsuf tersebut merupakan pelopor dan peletak dasar diakuinya hak-
hak asasi manusia. Mereka mengajarkan untuk mengeritik pemerintah yang tidak
berdasarkan kebijaksanaan dalam menjalankan pemerintahan.
Sejarah hak asasi manusia secara khusus dapat ditelusuri sejak adanya Magna
Charta di Inggris (1215), Habeas Corpus Act (1679), Petition of Rights (1689), Bill of
Rights (1689), La Declaration des Droits de l’homme et du Citoyen (1789). Setelah
Perang Dunia II (1939-1945) yang memakan banyak korban pelanggaran hak-hak asasi
manusia, maka Franklin D. Roosevelt (Presiden AS) mencetuskan “The Four
Freedom”yakni:
a. Freedom of Speech and Expression (kebebasan untuk berbicara dan menyatakan
pendapat);
b. Freedom of Religion (kebebasan untuk beragama);
c. Freedom from Fear (kebebasan dari ketakutan);
d. Freedom from Want (kebebasan dari kemelaratan).
Setelah Universal Declaration of Human Rights diterima PBB pada 10 Desember
1948di Paris, kemudian diterima pula “Covenants of Human Rights” pada sidang PBB
tangal 16 Desember 1966, maka hingga sekarang masalah hak asasi manusia telah diakui
dalam hukum internasional.
Hak-hak asasi yang melekat pada manusia dapat diklasifikasi sebagai berikut:
a. Hak asasi pribadi (personal rights), meliputi:
 Hak akan kebebasan berpendapat
 Hak akan kebebasan beragama
 Hak akan kebebasan bergerak, dll.
b. Hak asasi ekonomi (property rights) meliputi:
 hak memiliki
 hak manfaat
 hak membeli
 hak menjual, dll.
c. `Hak asasi sosial dan kebudayaan (social and cultural rights) meliputi:
 hak mendapatkan pendidikan
 hak mengembangkan kebudayaan, dll.
d. Hak asasi keadilan (procedural rights) meliputi:
 Hak mendapatkan keadilan
 Hak mendapatkan peradilan
 Hak mendapatkan perlindungan, dll.
e. Hak asasi politik (political rights) meliputi:
 Hak untuk memilih
 Hak untuk dipilih
 Hak untuk berorganisasi/berserikat, dll.

Dalam sejarah umat manusia telah tercatat banyak kejadian tentang seseorang
atau segolongan manusia mengadakan perlawanan terhadap penguasa atau golongan lain
untuk memperjuangkan apa yang dianggap menjadi haknya. Sering perjuangan itu
menuntut pengobanan jiwa dan raga.Di dunia barat telah berulangkali ada usaha untuk
merumuskan serta memperjuangkan beberapa hak yang dianggap suci dan harus dijamin.
Keinginan itu muncul setiap kali terjadi hal-hal yang dianggap menyinggung perasaan
dan merendahkan martabat manusia. Dalam proses ini telah lahir beberapa naskah yang
secara berangsur-angsur menetapkan bahwa ada beberapa hak yang mendasari kehidupan
manusia dan karena itu bersifat universal dan asasi.
Pengakuan dan penghargaan HAM tidak diperoleh secara tiba-tiba, tetapi melalui
sejarah yang panjang. Pengakuan HAM dimulai dari (1) Inggris dengan dikeluarkanya
Magna Charta pada tahun 1215 yaitu suatu dokumen yang mencatat tentang beberapa
hak yang diberikan Raja John kepada para bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka.
Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan raja. Pada tahun 1689 keluarlah Bill of
rights (Undang-Undang Hak) suatu undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris
sesudah berhasil dalam tahun sebelumnya mengadakan perlawanan terhadap Raja James
II, dalam suatu revolusi tak berdarah (The Glorius Revolution of 1988). (2) Di Perancis
pada tahun 1789 terjadi revolusi untuk menurunkan kekuasaan Raja Louis XVI yang
sewenang-wenang. Revolusi ini menghasilkan UUD Perancis yang memuat tentang “La
Declaration des droits de l’homme et du citoyen (pernyataan hak manusia dan warga
negara). (3) Di Amerika Serikat pada 4 Juli 1776,lahirlah The Declaration of American
Independence atau naskah pernyataan kemerdekaan rakyat Amerika Serikat dari koloni
Inggris. (4) Di Rusia pada tahun 1937 mulai mencantumkan hak untuk mendapat
pekerjaan, hak untuk beristirahat serta hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran
bagi warga negara.
Hak-hak yang dirumuskan pada abad ke-17 dan ke-18 sangat dipengaruhi oleh
gagasan mengenai Hukum Alam, seperti yang dirumuskan oleh John Locke (1632-1714)
dan Jean Jaques Rousseau (1712-1778) dan hanya terbatas paa hak-hak yang bersifat
politik saja, seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan
sebagainya. Pada abad ke-20 hak-hak politik itu dianggap kurang sempurna, dan mulailah
dicetuskan beberapa hak lain yang lebih luas ruang lingkupnya. Yang sangat terkenal
adalah empat hak yang dirumuskan Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt yang
terkenal dengan The Four Freedoms (empat kebebasan), yaitu : (a) Kebebasan untuk
berbicara dan menyatakan pendapat (fredom of speech); (b) kebebasan beragama
(freedom of religion); (c) kebebasan dari ketakutan (freedom from fear); (d) kebebasan
dari kemelaratan (freedom from want).
Hak yang keempat, yaitu kebebasan dari kemelaratan , khususnya mencerminkan
perubahan dalam alam pikiran umat manusia yang menganggap bahwa hak-hak politik
pada dirinya tidak cukup untuk menciptakan kebahagiaan baginya. Dianggap bahwa hak
politik seperti misalnya hak untuk menyatakan pendapat atau hak untuk memilih dalam
pemilihan umum, tidak ada artinya jika kebutuhan manusia yang paling pokok, yaitu
kebutuhan akan sandang, pangan dan papan tidak dapat dipenuhi. Menurut pendapat ini
hak manusia juga harus mencakup bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Komisi Hak-hak Asasi (Commission on Human Rights) pada tahun 1946
didirikan oleh PBB, menetapkan secara rinci beberapa hak ekonomi dan sosial, di
samping hak-hak politik. Pada tahun 1948 hasil pekerjaan komisi ini, Pernyataan
Sedunia tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
diterima secara aklamasi oleh negara-negara yang tegabung dalam PBB. Kenyataan
menunjukkan bahwa tidak terlalu sulit untuk mencapai kesepakatan mengenai
pernyataan hak asasi , yang memang sejak semula dianggap langkah pertama saja.
Ternyata jauh lebih sukar untuk melaksanakan tindak lanjutnya, yaitu menyusun suatu
perjanjian (covenant) yang mengikat secara yuridis, sehingga diperlukan waktu 18 tahun
sesudah diterimanya pernyataan. Baru pada tahun 1966 Sidang Umum PBB menyetujui
secara aklamasi Perjanjian tentang Hak-Hak ekonomi, Sosial dan Budaya (Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights) serta Perjanjian tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
(Covenant on Civil and Political Rights). Selanjutnya diperlukan 10 tahun lagi sebelum
dua perjanjian itu dinyatakan berlaku. Perjanjian tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya mulai berlaku 1976, setelah diratifikasi oleh 35 negara, sedangkan Perjanjian
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik juga telah diratifikasi. Hak –hak sipil dan politik agak
mudah dirumuskan. Sebaliknya hak-hak ekonomi jauh lebih sukar diperinci (misalnya
konsep ‘penghidupan yang layak” akan berbeda antara negaa kaya dan miskin).
Hak-hak politik pada hakekatnya memiliki sifat melindungi individu terhadap
penyalah gunaan kekuasaan oleh pihak penguasa. Sehingga untuk melaksanakan hak-hak
politik itu sebenarnya cukup mengatur peranan pemerintah melalui perundang-undangan,
agar campur tangannya dalam kehidupan warga masyarakat tidak melampaui batas-batas
tertentu. Akan tetapi ,tidak demikian halnya dengan hak-hak ekonomi. Untuk
melaksanakannya tidak cukup membuat undang-undang, akan tetapi pemerintah harus
secara aktif menggali semua sumber kekayaan masyarakat dan mengatur kegiatan
ekonomi sedemikian rupa sehingga tercipta iklim di mana hak-hak ekonomi, seperti hak
atas pekerjaan, hak atas penghidupan yang layak, betul-betul dapat dilaksanakan.
Kegiatan yang menyeluruh itu akan mendorong pemerintah untuk mengatur dan
mengadakan campur tangan yang luas dalam banyak aspek kehidupan masyarakat,
dengan segala konsekuensinya.
Harus disadari bahwa pelaksanaan hak-hak ekonomi bagi banyak negara
merupakan tugas yang sukar diselenggarakan secara sempurna, oleh karena itu dalam
perjanjian Hak-hak ekonomi ditentukan bahwa setiap negara yang mengikat diri cukup
memberi laporan kepada PBB mengenai kemajuan yang telah dicapai. Pada hakekatnya
perjanjian ini hanya menetapkan kewajiaban bagi negara-negara yang bersangkutan
untuk mengusahakan kemajuan dalam bidang-bidang itu, tetapi tidak bermaksud untuk
mengadakan pengawasan secara efektif. Sebaliknya hak-hak politik harus dapat
dilaksanakan secara efektif, pemikiran ini tercermin dalam dalam Perjanjian tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik, bahwa didirikan suatu Panitia Hak-Hak Asasi (Human Rights
Committee) yang berhak menerima serta menyelidiki pengaduan dari suatu negara
terhadap negara lain dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap sesuatu ketentuan dalam
perjanjian itu. Disamping Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik juga disusun
Optional Protocol yang menetapkan bahwa Panitia Hak-Hak Asasi juga dapat menerima
pengaduan dari perseorangan terhadap negara yang telah menanda tangani Optional
Protocol itu jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Perjanjian Hak-Hak
Sipil dan Politik.
Sebagai ilustrasi berikut ini akan disajikan beberapa contoh hak asasi yang
tercantum dalam Perjanjian Hak-Hak Sipil dan Politik dan Perjanjiann Hak-Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kedua naskah tersebut dimulai dengan pasal yang sama
bunyinya dan yang mungkin dianggap sebagai dasar dari semua macam hak asasi yakni:
“Semua orang mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak itu
mereka secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar
perkembangan mereka di bidang ekonomi, sosial dan budaya”.
Hak-hak sipil dan politik mencakup antara lain: Hak atas hidup (pasal6); hak atas
kebebasan dan keamanan dirinya (pasal 9); hak atas kesamaan di muka badan-badan
peradilan (pasal 14); hak atas kebebasan berfikir dan beragama (pasal 18); hak untuk
mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan (pasal 19); hak atas kebebasan
berkumpul secara damai (pasal 21); hak untuk berserikat (pasal 22).
Sedangkan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mencakup antara lain: Hak atas
pekerjaan (pasal 6); hak untuk membentuk serikat sekerja (pasal 8); hak atas pensiun
(pasal 9); hak atas tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya serta keluarganya, termasuk
makanan, pakaian dan perumahan yang layak (pasal 11); hak atas pendidikan (pasal 13).

B. Instrumen Hukum dan Kelembagaan HAM di Indoensia


1. Hak-hak asasi dalam Undang-Undang Dasar 1945
Hak-hak asasi yang terdapat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 ini
sangat dipengaruhi oleh hak-hak asasi yang dimuat dalam Pembukaan Konstitusi
Perancis yang dikenal dengan nama “La Declaration des Droits del’homme et du
Citoyen” (Hak Asasi Manusia dan Warga Negara). Atas dasar pemikiran ini pandangan
bangsa Indonesia tentang hak-hak asasi manusia berpangkal pada titik keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
Pengakuan akan hak asasi manusia dinyatakan di dalam Pembukaan UUD 1945,
di dalam alinea I : “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa…dst.” Alinea ini menunjukkan
pengakuan hak asasi manusia berupa hak kebebasan atau hak kemerdekaan dari segala
bentuk penjajahan atau penindasan oleh bangsa lain. Pandangan ini menitikberatkan pada
hak kemerdekaan bangsa dari pada kebebasan individu. Kebebasan individu diakui
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan bangsa dan negara.
Di dalam alinea II dinyatakan “….mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.” Hal ini menunjukkan adanya pengakuan atas hak asasi di bidang politik berupa
kedaulatan dan ekonomi.
Di dalam alinea III dinyatakan “…atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa
serta didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas …dst.”
Alinea ini menunjukkan adanya pengakuan bahwa kemerdekaan itu berkat anugerah
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Di dalam alinea IV dinyatakan: “ … melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, melaksanakan ketertiban dunia …dst.” Alinea ini merumuskan juga dasar filsafat
negara (Pancasila) yang maknanya mengandung pengakuan akan hak-hak asasi manusia.
Di dalam Batang Tubuh UUD 1945 termuat hak-hak asasi manusia/warga negara.
Hal ini diatur di dalam beberapa pasal-pasalnya, antara lain:
a). Pasal 27
Hak jaminan dalam bidang hukum dan ekonomi
b). Pasal 28
Pasal ini memberikan jaminan dalam bidang politik berupa hak untuk mengadakan
perserikatan, berkumpul dan menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan
Pasal 28 A
Pasal ini memberikan jaminan akan hak hidup dan mempertahankan kehidupan.
Pasal 28 B: ( TULIS PASALNYA AJA YA )
Pasal ini memberikan jaminan untuk membentuk keluarga, melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah, jaminan atas hak anak untuk hidup, tumbuh dan
berkembang serta perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28 C:
Pasal ini memberikan jaminan setiap orang untuk mengembangkan diri, mendapat
pendidikan, memperoleh manfaat dari iptek, seni dan budaya, hak kolektif dalam
bermasyarakat.
Pasal 28 D:
Pasal ini mengakui jaminan, perlindungan, perlakuan dan kepastian hukum yang
adil, hak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan yang layak, kesempatan dalam
pemerintahan dan hak atas kewarganegaraan.
Pasal 28 E:
Pasal ini mengakui kebebasan memeluk agama, memilih pendidikan, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaran, memilih tempat tinggal. Juga mengakui kebebasan
untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 28 F:
Pasal ini mengakui hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan
melalui segala jenis saluran yang ada.
Pasal 28 G:
Pasal ini mengakui hak perlindungan diri, keluarga, kehormatan, martabat dan harta
benda, rasa aman serta perlindungan dari ancaman. Juga mengakui hak untuk bebas dari
penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia, serta suaka politik dari
negara lain.
Pasal 28 H:
Pasal ini mengakui hak hidup sejahtera lahir batin, hak bertempat tinggal dan hak
akan lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak pelayanan kesehatan, hak jaminan sosial,
hak milik pribadi.
Pasal 28 I:
Pasal ini mengakui hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun yaitu;
hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak beragama, hak tidak diperbudak, hak diakui
sebagai pribadi di depan hukum, hak tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Pasal ini juga mengkaui hak masyarakat tradisional dan identitas budaya.
Perlindungan, pemajuan dan penegakan hak asasi adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah.
Pasal 28 J:
Pasal ini menegaskan perlunya setiap orang menghormati hak asasi orang lain. Juga
penegasan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia harus tunduk pada pembatasan-
pembatasanya sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam negara demokratis.
c). Pasal 29:
Pasal ini mengakui kebebasan dalam menjalankan perintah agama sesuai
kepercayaan masing-masing.
d). Pasal 31:
Pasal ini mengakui hak setiap warga negara akan pengajaran.
e). Pasal 32:
Pasal ini mengakui adanya jaminan dan perlindungan budaya.
f). Pasal 33:
Pasal ini mengandung pengakuan hak-hak ekonomi berupa hak memiliki dan
menikmati hasil kekayaan alam Indonesia.
g). Pasal 34:
Pasal ini mengatur hak-hak asasi di bidang kesejahteraan sosial. Negara
berkewajiban menjamin dan melindungi fakir miskin, anak-anak yatim, orang telantar
dan jompo untuk dapat hidup secara manusiawi.

2. Pasal-Pasal HAM dalam Peraturan Internasional dan UUD 1945


Sebagaimana negara-negara anggota PBB lainnya, Indonesia telah mencantumkan
beberapa hak asasi di dalam undang-undang dasarnya. Hak asasi yang tercantum dalam
UUD 1945 tidak termuat dalam suatu piagam yang terpisah, tetapi tersebar dalam
beberapa pasal, terutama pasal 27 hingga 31. Hak-hak asasi yang dimuat terbatas
jumlahnya dan dirumuskan secara singkat. Hal ini tidak mengherankan, mengingat bahwa
naskah ini tersusun pada akhir masa pendudukan Jepang dalam suasana mendesak. Tidak
cukup waktunya untuk membicarakan hak-hak asasi secara mendalam.
Di antara para tokoh Indonesia pada waktu itu terdapat perbedaan pendapat
mengenai peranan hak-hak asasi di dalam negara demokratis. Pendapat-pendapat pada
waktu itu banyak dipengaruhi oleh “declaration des droits de l’homme et du citoyen”
yang dianggap pada waktu itu sebagai sumber individualisme dan liberalisme, oleh
karena itu dianggap bertentangan dengan asas negara “kekeluargaan dan gotong royong”.
Ir Soekarno pada waktu itu menyatakan sebagai berikut: “Jikalau kita betul-betul hendak
mendasarkan negara kita kepada faham tolong meolong, faham gotong royong dan
keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap faham individualisme dan liberalisme
daripadanya”. Sebaliknya Dr.Hatta mengatakan bahwa walaupun yang dibentuk itu
negara kekeluargaan, tetapi masih perlu ditetapkan beberapa hak dari warga negara,
jangan sampai timbul negara kekuasaan (negara penindas).
Akhirnya bisa dimengerti mengapa hak-hak asasi manusia tidak lengkap dimuat
dalam UUD 1945, karena UUD tersebut dibuat beberapa tahun sebelum pernyataan hak-
hak asasi diterima oleh PBB. Diterimanya pernyataan serta perjanjian oleh mayoritas
anggota PBB menunjukkan bahwa gagasan mengenai perlunya jaminan HAM bagi setiap
negara, mendapat dukungan mayoritas umat manusia, bukan merupakan gagasan liberal
semata.
Pengalaman menunjukkan pada masa Demokrasi terpimpin Orde Lama), maupun
zaman Orde baru, betapa gampangnya suatu UUD dapat diselewengkan untuk
kepentingan penguasa yang ambisius. Hal itu terjadi antara lain dikarenakan tidak
lengkapnya HAM dicantumkan dalam UUD, serta kurang adanya jaminan dari undang-
undang yang ada.
Sebagai ilustrasi berikut ini akan diberikan contoh sekaligus perbandingan
berbagai hak, menurut UUD 1945, Declaration of Human Rights dan Covenant on Civil
and Political Rights:

(1). Hak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat


UUD 1945 pasal 28, menyatakan kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU.
Declaration of Human Rights (DHR), pasal 19, Setiap orang berhak kebebasan
mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai
pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apa pun juga
dan tidak memandang batas-batas.
Covenant on Civil and Political Rights (CCPR), pasal 19, (1) Setiap orang berhak
untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan; (2) Setiap orang berhak untuk
mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan segala macam penerangan dan gagasan tanpa menghiraukan pembatasan-
pembatasan, baik secara lisan, maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau
melalui media lain menurut pilihannya.

(2). Hak atas kedudukan yang sama dalam hukum


UUD 1945, pasal 27(1), segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
DHR, pasal 7: Sekalian orang adalah sama terhadap UU dan berhak atas
perlindungan hukum yang sama dengan tidak ada perbedaan.
CCPR, pasal 26: Semua orang adalah sama terhadap hukum dan berhak atas
perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Dalam hubungan ini, hukum
melarang setiap diskriminasi serta menjamin semua orang akan perlindungan yang sama
dan efektif terhadap diskriminasi atas dasar apa pun seperti ras, warna kulit, kelamin,
bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, bangsa asal atau kedudukan sosial-
asal, milik,kelahiran atau kedudukan lainnya.

(3). Hak atas kebebasan berkumpul


UUD 1945, pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU.
DHR, pasal 20: (1)Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan
berapat; (2) tiada seorang jua pun dapat dipaksa memasuki salah satu perkumpulan.
CCPR, pasal 21: Hak berkumpul secara bebas diakui. Tiada satu pembatasan pun
dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini, kecuali yang ditentukan oleh hukum dan
yang diperlukan dalam masyarakat demokratis, demi kepentingan keamanan nasional
atau keselamatan umum, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan dan moral
umum atau perlindungan terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain.

(4). Hak atas kebebasan beragama


UUD 1945, pasal 29, (1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Mahaesa; (2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
DHR, pasal 18, Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan
agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan
kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya,
melakukannya, beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri.
CCPR, pasal 18, (1) Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin
dan agama. Hak ini mencakup kebebasan untuk memeluk atau menerima agama atau
kepercayaan pilihannya, serta kebebasan untuk baik secara pribadi atau pun bersama
anggota masyarakat lingkungannya serta secara terbuka ataupun tertutup, menyatakan
agama atau kepercayaannya melalui ibadah, ketaatan, tindakan dan ajaran. (2) Tak
seorangpun dapat dikenakan paksaan sehingga mengakibatkan terganggunya kebebasan
untuk memeluk atau menerima agama atau kepercayaan pilihannya. (3) Kebebasan untuk
menyatakan agama atau kepercayaannya hanya dapat dikenakan pembatasan menurut
ketentuan ketentuan hukum dan yang perlu untuk menjaga keselamatan umum,
ketertiban, kesehatan atau moral dan hak-hak dasar serta kebebasan orang lain. (4)
Negara-negara peserta dalam Perjanjian ini mengikat diri untuk menghormati kebebasan
orang tua dan di mana berlaku, wali hukum, untuk menjamin pendidikan agama dan
moral anaknya menurut keyakinannya masing-msing.
(5). Hak atas penghidupan yang layak
UUD 1945, pasal 27 (2): Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
DHR, pasal 25: (1) Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin
kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk soal makanan,
pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya, serta usaha-usaha sosial yang
diperlukan, dan berhak atas jaminan di waktu mengalami pengangguran, janda, lanjut
usia atau mengalami kekurangan nafkah lain-lain karena keadaan yang di luar
kekuasaannya. (2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa.
Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus
mendapat perlindungan sosial yang sama.
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR), pasal 11: (1)
Negara-negara peserta dalam perjanjian ini mengakui setiap orang atas tingkat kehidupan
yang layak bagi dirinya serta keluarganya, termasuk sandang, pangan, dan perumahan
yang layak, dan perbaikan secara terus menerus dari lingkungan hidupnya. Negara-negara
peserta akan mengambil langkah-langkah yang wajar untuk menjamin terlaksananya hak
tersebut, agar diakui kepentingan hakiki dari kerjasama internasional yang didasarkan
atas persetujuan yang bebas.

(6). Hak atas kebebasan berserikat


UUD 1945, pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU.
DHR, pasal 23, (4): Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-
serikat sekerja untuk melindungi kepentingannya.
CESCR, pasal 8: (1) Negara-negara peserta perjanjian ini mengikat diri untuk
menjamin; (a) hak setiap oang untuk membentuk serikat sekerja dan menjadi anggota
serikat sekerja pilihannya, sesuai dengan peraturan organisasi yang bersangkutan, guna
meningkatkan serta melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi dan sialnya. Tiada
suatu pembatasan pun dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini, kecuali yang
ditentukan oleh hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi
kepentingan keamanan nasional atau ketetiban umum atau untuk melindungi hak-hak
serta kebebasan –kebebasan orang lain. (b) Hak bagi serikat sekerja untuk mendirikan
federasi atau konfederasi nasional serta hak bagi yang tersebut belakangan untuk
membentuk atau menjadi anggota organisasi serikat sekerja internasional. (c) Hak bagi
serikat sekerja untuk bertindak secara bebas dan hanya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan
hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan
nasional atau ketertiban umum atau untuk melindungi hak-hak serta kebebasan-
kebebasan orang lain. (d) Hak untuk melancarkan pemogokan, asalkan dijalankan
menurut ketentuan-ketntuan hukum negara yang bersangkutan.
CCPR, pasal 22: (1) Setiap orang berhak atas untuk berserikat, termasuk hak
untuk membentuk dan ikut serta dalam serikat-serikat sekerja guna melindungi
kepentingan-kepentingannya.

(7). Hak atas pengajaran


UUD 1945, pasal 31: (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional,
yang diatur dengan UU.
DHR, pasal 26: (1) Setiap orang berhak mendapat pengajaran. Pengajaran harus
dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya dalam tingkat sekolah dasar. Pengajaran sekolah
rendah harus diwajibkan.Pengajaran teknik dan vak harus terbuka bagi semua orang dan
pelajaran tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang,
berdasarkan kecerdasan. (2) Pengajaran harus ditujukan kearah perkembangan pribadi
yang seluas-luasnya serta untuk memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak
manusia dan kebebasan asasi. Pengajaran harus mempertinggi saling pengertian, rasa
saling menerima serta rasa saling persahabatan antara semua bangsa, golongan-golongan
kebangsaan atau penganut agama, serta harus memajukan kegiatan-kegiatan PBB dalam
memelihara perdamaian. (3) Ibu-Bapak mempunyai hak utama untuk memilih macam
pengajaran yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.
CESCR, pasal 13: (1)Negara-negara perserta dalam perjanjian ini mengakui hak
setiap orang atas pendidikan. Mereka sepakat bahwa pendidikan akan mengarah pada
pengembangan penuh dari kepribadian orang serta kesadaran akan harga dirinya, serta
memperkuat rasa hormat terhadap hak-hak manusia serta kebebasan-kebebasan dasar. (2)
Negara-negara peserta dalam perjanjian ini mengakui bahwa dalam usaha melaksanakan
hak ini secara penuh: (a) Pendidikan dasar diwajibkan dan terbuka bagi semua orang. (b)
Pendidikan menengah dalam segala bentuknya termasuk pendidikan teknik dan kejuruan
menengah, akan diselenggarakan dan terbuka bagi semua melalui cara-cara yang layak,
serta khususnya dengan dimulainya pendidikan cuma-cuma serta bertahap. (c)
Pendidikan tinggi akan diusahakan terbuka bagi semua berdasarkan kesanggupan,
melalui cara-cara yang layak, serta khususnya dengan dimulainya pendidikan cuma-cuma
secara bertahap. (d)Pendidikan masyarakat dianjurkan atau ditingkatkan sejauh mungkin
bagi mereka yang belum pernah atau belum menyelesaikan pendidikan dasar secara
penuh. (e) Pengembangan sistem sekolah pada setiap tingkat digiatkan secara kuat,
sistem beasiswa yang layak diadakan dan syarat-syaat materiil dari staf pengajar
ditingkatkan secara terus menerus.

C. Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia


Perlindungan HAM di Indonesia
Penegakkan pada masa Orde Baru punya dua ciri khas, yakni persoalan filosofis dan
persoalan praktis. Persoalan filosofis terkait dengan persepsi yang keliru terhadap
hakekat penegakan HAM. Persolan praktis menyangkut adanya kesenjangan antara
peraturan hokum dan kenyataan pelaksanaan dilapangan.
Sebagaimana diketahui, UUD 1945 sebelum diamandemen, meskipun tidak
sekomplit UUD RIS dan UUDS 1950, telah memuat beberapa ketentuan penting
mengenai HAM, seperti dalam pasal 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33 dan 34. Selain adanya
jaminan konstitusi juga terdapat jaminan HAM di dalam berbagai produk peraturan
perundangh-undangan yang lebih rendah tingkatannya.
Persoalan muncul ketika ada kesenjngan antara hukum dan praktek di lapangan.
Terdapat bentuk umum pelanggaran HAM pada era Orde Baru, pertama masih cukup
populernya praktik represi politik oleh aparat negara. Kasus penanganan konflik-konflik
politik baik demonstrasi, protes, kerusuhan, serangan bersenjata, maupun pembunuhan
denmgan alas an politik. Penanganan kasus Tanjung Priok, Kedung Ombo, Santa Cruz,
Sampang, Peristiwa 27 Juli 1996, semua itu oleh Komnas HAM dinyatakan sebagai
pelanggaran HAM berat. Penggunaan UU Anti Subversi secara amat longgar, serta
tergantung penafsiran penguasa, merupakan contoh dari pelanggaran HAM dalam
politik.
Kedua, praktis pembatasan partisipasi politik, juga merupakan bentuk pelanggaran
HAM. Hal ini mengingkari hak yang dimiliki warga negara untuk berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pendapat sebagaimana diatur dalam pasal 28 UUD 1945.
Ketiga, praktik eksploitasi ekonomi juga merupakan salah satu pelanggaran HAM.
Eksploitasi ini bisa dilakukan oleh negara, perusahaan nasional, perusahaan multi
nasional. Di sector perburuhan dan ketenagakerjaan misalnya upah buruh yng sangat
rendah, dilarangnya serikat pekerja.

HAM di Indonesia seteah reformasi


Sejak bergulirnya reformasi telah terjadi kemajuan peraturan dibidang HAM, antara lain
a. Lahirnya Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia.
b. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Mnanusia.
c. UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
d. UUD 1945 hasil amandemen pasal 28A s/d 28J semua memuat tentang HAM.
e. Peraturan Presiden RI No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Tahun 2004-2009, penegakan HAM merupakan salah satu dari sasaran
styrategis yang diatur.
Munculnya berbagai peraturan seperti disebutkan diatas menunjukkan bahwa prospek
perlindungan HAM secara normative di Indonesia cukup baik. Namun belum tentu
mencerminkan keberadaan HAM secara riil dalam praktik penyelenggaraan negara.
Kondisi Indonesia saat ini bisa digambarkan memiliki peraturan HAM tetapi tidak
enikmati HAM karena lemahnya rasa hormat terhadap HAM. Hal ini bisa dilihat masih
banyaknya pelanggran HAM dalam penyelenggaraan negara pada era reformasi, antara
lain:
a. Pelindungan HAM di bidang penegakan hukum masih diskriminatif, sehingga
prinsip persamaam di depan hukum tidak dipenuhi baik dalam penyidikan,
penuntutan, peradil;an, maupn pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.
b. Perlindungan HAM di bidang sosial ekonomi belum sesuai harapan mesyarakat.
Korupsi yang dilakukan aparat pemerintah maupun anggota Dewan baik di pusat
maupun di daerah. Berbagai protes buruh dan petani atas ketidakberpihakan
kepada upaya perbaikan kesejahteraan menunjukkan belum terkomodasinya
kepentingan ekonomi mereka.
c. Praktik represi atau penyiksaan oleh aparat negara. Terhadap berbagai unjuk rasa
menunjukkan belum dihormatinya hak kebebasan menyampaikan pendapat yang
diatur oleh UUD 1945.

HAM Dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR)


Pada tanggal 10 Desember 1948 Majelis Umum PBB mengesahkan UDHR, yang
memungkinkan HAM bersifat universal, yang tidak lagi local atau merupakan
kepentingan suatu negara melainkan hak asasi untuk seluruh umat manusia di dunia.
Sebenarnya UDHR tersebut disebut sebagai tonggak perjuangan HAM yang kedua
setelah Bill of Rights.
UDHR terdiri dari 30 pasal dengan satu pembukaan (Mukadimah) yang terdiri dari 6
alinea. Dilihat dari isinya UDHR terdiri dari tiga kategori. Pertama, hal-hal yang
berhubungan dengan hak-hak sipil dan politik yang menjadi hak semua orang diatur
dalam Pasal 3-21. Kedua, hal-hal yang berhubyngan dengan hak-hak ekonomi, sosial,
dan kebudayaan yang menjadi hak semua orang diatur dalam Pasal 22-27. Ketiga,
merupakan pasal-pasal penutup, yaitu Pasal 28-30.
Lebih rinci, substansi yang diatur sebagai hak-hak sipil dan politik meliputi: hak untuk
bebas dari diskriminasi, untuk memiliki kehidupan, kebebasan, dan keamanan, untuk
bebas beragama, untuk bebas berpikir dan berekspresi, untuk bebas berkumpul dan
berserikat, untuk bebas dari penganiayaan dan hukuman kejam, untuk menikmati
kesamaan dihadapan hukum, untuk bebas dari penangkapan secara sewenang-wenang,
untuk memperoleh peradilan yang adil, untuk mendapat perlindungan terhadap kehidupan
pribadi (privasi), dan untuk bebas bergerak. Sedangkan hak sosial dan ekonomi di dalam
Deklarasi mencakup: hak untuk menikah dan membentuk keluarga, untuk bebas dari
perkawinan paksa, untuk memperoleh pendidikan, untuk mendapat pekerjaan, untuk
menikmati standar kehidupan yang layak, untuk istirahat dan bersenang-senang, serta
untuk memperoleh jaminan selama sakit, cacat atau tua.
HAM sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen-dokumen HAM yang muncul
pada abad ke-20 seperti UDHR, mempunyai beberapa cirri yang menonjol. Pertama,
HAM adalah hak, yang menunjuk pada norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas
tinggi yang penegakannya bersifat wajib. Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal,
yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini
menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama
kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah
seseorang memiliki atau tidak memiliki HAM, ini juga menyiratkan bahwa hak-hak
tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu cirri HAM yang berlaku sekarang
adalah HAM itu merupakan hak internasional. Ketiga, HAM dianggap ada dengan
sendirinya, tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam system adat
atau system hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum
merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankanmenurut hukum, namun hak itu eksis
dan sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan
hukumnya. Keempat, HAM dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak
seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, HAM cukup kuat kedudukannya
sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-
norma nasional yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang
dilakukan demi HAM. Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu
maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan
dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan
terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada dimanapun diwajibkan untuk
tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin
sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif
guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang lain.

Proses Penegakan HAM


Proses penegakan HAM di Indonesia dilakukan melalui lembaga Komnas
HAM, Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM ad hoc.
1. Proses penegakan HAM melalui Komnas HAM prosedurnya sebagai berikut:
a. Menerima pengaduan, dari setiap orang atau kelompok yang memiliki alas an
kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar. Pengaduan dapat dilakukan secara lisan
ataupun tertulis.
b. Melakukan pemeriksaan, pemeriksaan dapat dilakukan dengan memanggil
pengadu, korban, saksi atau pihak lain yang terkait. Berdasarkan hasil
pemeriksaan dapat ditentukan apakah penuntutan bisa dilanjutkan atau dihentikan.
Dihentikan apabila tidak memiliki bukti awal yang kuat, bukan termasuk masalah
pelanggran HAM.
c. Menyelesaikan pengaduan setelah melalui tahap pemeriksaan. Kewenangan ini
bisa berupa: perdamaian kedua belah pihak; penyelesaian perkara melalui cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi; pemberian saran kepada para pihak
untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan; penyampaian rekomendasi
atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk
ditindaklanjuti penyelesaiannya; serta penyampaian rekomendasi atas suatu kasus
pelanggaran hak asasi manusia kepada DPR untuk ditindaklanjuti.

2. Proses penegakan HAM melalui Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM)
a. Penangkapan. Jaksa Agung melakukan penangkapan untuk kepentingan
penyidikan, dengan memperlihatkan surat tugas. Dalam hal tertangkap tangan
tidak diperlukan surat perintah tetapi cukup dengan menyerahkan barang bukti.
b. Penahanan. Jaksa Agung berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan
penyidikan paling lama 90 hari, dan dapat diperpanjang paling lama 60 hari.
Penahanan untuk kepentingan penuntutan paling lama 30 hari dan dapat
diperpanjang paling lama 20 hari. Sedangkan penahanan untuk kepentingan
pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM paling lama 90 hari dan dapat
diperpanjang paling lama 30 hri. Kemudian penahanan untuk banding di
Pengadilan Tinggi paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30
hari. Penahanan untuk kepentingan kasasai di Mahkamah Agung lamanya sama
dengan untuk kepentingan banding di Pengadilan Tinggi.
c. Penyelidikan. Penyelidikan dilakukan oleh Komnas HAM. Untuk kepentingan
penyelidikan KomnasHAM dapat membentuk Tim ad hoc yang terdiri dari
KomnasHAM dan unsure masyarakat.
d. Penyidikan. Penyidikan dilakukan oleh Jaksa agung. Jaksa agung dapat
mengangkat penyidik ad hoc. Apabila tidak diperoleh bukti yang cukup, maka
dikeluarkan surat penghentian penyidikan oleh Jaksa agung.
e. Penuntutan. Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc.
f. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan. Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan
oleh 5 orang hakim terdiri dari 2 orang hakim HAM dan 3 orang hakim ad hoc.
Pemeriksaan sidang pengadilan paling lama 180 hari. Untuk banding ke
Pengadilan Tinggi paling lama 90 hari, sedangkan untuk kasasi paling lama 90
hari.
3. Proses Pengadilan HAM Ad Hoc
Proses pengadilam HAM ad hoc pada dasarnya sama dengan pengadilan HAM.
Perbedaannya pada kasus pelanggran HAM yang diperiksa, yakni khusus menngani
kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 39 Tahun 1999
Tentang HAM. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa
tertentu dengan Keputusan Presiden. Jadi sifatnya tidak permanen, sedangkan Pengadilan
HAM bersifat permanen.

Hambatan dan Tantangan dalam Penegakan HAM di Indonesia


Penegakan HAM di Indonesia masih menemui berbagai hambatan dan tantangan.
Adanya hambatan dapat dilihat masih banyaknya elanggaran HAM di Indonesia.
Terutama pelanggaran HAM yang dilakukan pemeritah, seperti pelanggaran hukum oleh
aparat , penculikan dan penyiksaan, penyadapan telepon dan lain-lain. Ataupun
pelanggran HAM yang berupa demonstrasi illegal, terorisme, subversi dan sebaginya.
Penyalahgunaan kekuasaan dengan melakukan penculikan terhadap aktivis yang kristis
yang tidak sejalan dengan kepentingannya adalah juga merupakan pelanggaran HAM.
Perlakukan diskriminatif terhadap kelompk lain yang tidak sejalan dengan penguasa
adalah bentuk pelanggaran HAM juga. Karena pemerintah seharusny memberikan
perlakukan dan pelayanan yang sama terhadap semua warga negara. Hukum yang dibuat
oleh penguasa kadang-kadang juga tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, karena
di dalam merumuskannya tidak melibatkan masyarakat.
Indonesia dianggap telah banyak melakukan pelanggaran HAM berat terhadap
rakyatnya, seperti kasus Timor Timur, Aceh, Papua, Tanjung Priok dan sebagainya.
Sorotan dunia terjadi karena upaya penegakan HAM melalui pengadilan HAM ad hoc
dinilai belum mampu mengadili penanggung jawab utama kasus-kasus di atas. Sehingga
ada kesan yang dikorbankan adalah bawahan.

Partisipasi dalam Penegakan HAM


Penegakam HAM pertama-tama merupakan tanggungjawab negara dan pemerintah.
Karena keberadaan negara pada hakikatnya adalah untuk melindungi warga negara. Oleh
karena itu tujuan negara seperti dikemukakan oleh John Locke untuk melindungi hak
asasi manusia

BAB 3
PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DAN IMPLIKASINYA

Setelah mengikuti pembahasan dalam bab ini, kamu diharapkan memiliki


kemampuan membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan, dan
menggunakan informasi tentang penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan
implikasinya, dan secara khusus memiliki kemampuan penegakan HAM dan
implikasinya.

Ruang lingkup pembahasan dalam bab ini mencakup:


 Pengertian dan macam-macam HAM.
 Hambatan dan tantangan dalam penegakan HAM di Indonesia.
 Pelanggaran dan proses peradilan HAM internasional.
 Konsekuensi jika suatu negara tidak menegakkan HAM.
 Sanksi internasional atas pelanggaran HAM.
 Proses penegakan HAM di Indonesia.
 Partisipasi terhadap penegakan HAM dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

Pembahasan dalam bab ini berkaitan dengan pengetahuan kewarganegaraan yang


telah diperoleh sebelumnya, yakni hakikat bangsa dan negara dan nilai, macam-macam
norma dan sanksinya. Sedangkan manfaat mempelajari bab tiga ini, kamu akan
memahami tentang penegakan HAM dan implikasinya (maksudnya) baik secara teoritik
dan praktiknya, baik dalam lingkup nasional dan internasional, dan bagaimana kamu
berpartisipasi dalam penegakan HAM dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Kemudian agar memudahkan kamu untuk menguasai pembahasan dan berbagai
aktivitas dalam bab tiga ini, sebaiknya kamu berusaha menguasai dengan baik tentang
negara demokrasi dan negara hukum. Dan untuk memudahkan melaksanakan berbagai
aktivitas yang perlu dilakukan dalam pembelajaran dalam bab tiga ini, sebaiknya kamu
mempersiapkan UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26 Tahun
2000 tentang Peradilan HAM, dan juga sumber lain, misalnya majalah, surat kabar, dan
lain-lain yang berkaitan dengan masalah pelanggaran HAM dan proses peradilannya.

A.PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM HAK ASASI MANUSIA


1. Pengertian HAM
Apa pengertian atau konsep hak asasi manusia (HAM) itu? Apabila dianalisis
maka kamu akan mendapatkan pengertian beraneka ragam pengertian HAM.
Pengertian HAM antara lain dapat ditemukan dari penglihatan dari dimensi (segi),
visi, perkembangan Deklarasi Hak Asasi Universal/PBB (Universal Declaration of
Human Right/UDHR), dan menurut UU No. 39 Tahun 1999.
Pengertian hak asasi manusia dilihat dari dimensi visi menurut Safroedin Bahar
(1994), mencakup visi filsafati, visi yuridis-konstitusional dan visi politik. Visi
filsafati sebagian besar berasal dari teknologi agama-agama, yang menempatkan jati
diri manusia pada tempat yang tinggi sebagai makhluk Tuhan. Visi yuridis-
konstitusional, mengaitkan pemahaman hak asasi manusia itu dengan tugas, hak,
wewenang, dan tanggung jawab negara sebagai suatu nationstate. Sedangkan visi
politik memahami hak asasi manusia dalam kenyataan hidup sehari-hari, yang
umumnya berwujud pelanggaran hak asasi manusia, baik oleh sesama warga
masyarakat yang lebih kuat maupun oleh oknum-oknum pejabat pemerintah.
T. Mulya Lubis (1987) memberi pengertian HAM dari segi perkembangan hak
asasi manusia. Pengertian hak asasi manusia mencakup generasi I, generasi II,
generasi III, dan pendekatan struktural. Generasi I konsep HAM, sarat dengan hak-
hak yuridis, seperti hak untuk tidak disiksa dan ditahan, hak akan persamaan di
hadapan hukum (equality before the law), hak akan peradilan yang jujur (fair trial),
praduga tak bersalah, dan sebagainya. Generasi I ini merupakan reaksi terhadap
kehidupan kenegaraan yang totaliter dan fasistis yang mewarnai tahun-tahun sebelum
Perang Dunia II.
Generasi II konsep HAM, merupakan perluasan secara horizontal generasi I,
sehingga konsep HAM mencakup juga bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Generasi II merupakan reaksi bagi negara dunia ketiga yang telah memperoleh
kemerdekaan dalam rangka mengisi kemerdekaannya setelah Perang Dunia II.
Generasi III konsep HAM, merupakan ramuan dari hak hukum, sosial, ekonomi,
politik, dan budaya menjadi apa yang disebut hak akan pembangunan (the right to
development). Hak asasi manusia dinilai sebagai totalitas yang tidak boleh dipisah-
pisahkan. Dengan demikian, hak asasi manusia sekaligus menjadi satu masalah
antardisiplin yang harus didekati secara interdisipliner.
Pendekatan struktural (melihat akibat kebijakan pemerintah yang diterapkan)
dalam hak asasi manusia seharusnya merupakan generasi IV dari konsep HAM.
Karena dalam realitas masalah-masalah pelanggaran hak asasi manusia cenderung
merupakan akibat kebijakan yang tidak berpihak pada hak asasi manusia. Misalnya:
berkembangnya sistem sosial yang memihak ke atas dan memelaratkan mereka yang
di bawah, suatu pola hubungan yang menekan (repressive). Sebab jika konsep ini
tidak dikembangkan, maka yang kita lakukan hanya memperbaiki gejala, bukan
penyakit. Sehingga perjuangan hak asasi manusia akan berhenti sebagai pelampiasan
emosi (emotional outlet).
Pengertian hak asasi manusia menurut UDHR dapat ditemukan dalam
Mukaddimah yang pada prinsipnya dinyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan
pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri setiap orang akan hak-hak yang
sama dan takteralihkan dari semua anggota keluarga manusia ialah dasar dari
kebebasan, keadilan, dan perdamaian dunia.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, mengartikan hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. UU No. 39 Tahun
1999 juga mendefinisikan kewajiban dasar manusia berupa seperangkat kewajiban
yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak
asasi manusia.

Tugas dan Latihan


Coba kamu cermati berbagai pengertian HAM pada gambar atas, kemudian
kerjakan tugas dan latihan sebagai berikut!
1. Tuliskan pengertian HAM menurut pemahamanmu!
2. Guru dan tenaga paramedis sebagai PNS diberi gaji dan tunjangan fungsional
oleh pemerintah. Pemberian tersebut masuk pengertian HAM atau bukan?
Tugas dan latihan di atas bersifat individual dan dipresentasikan di depan kelas.

2. Macam-macam HAM
Apa saja jenis atau macam-macam hak asasi manusia? Ada berbagai pandangan
tentang macam-macam HAM. Misalnya: Thomas Hobbes berpendapat bahwa satu-
satunya hak asasi adalah hak hidup. Sedangkan menurut John Locke dan aliran
liberalisme klasik, hak asasi meliputi hak hidup (the right to life), hak kemerdekaan
(the right to liberty) dan hak milik (the right to property). Pendapat John Locke ini
sangat dipengaruhi oleh gagasan hukum alam (natural law) ketika dalam keadaan
alamiah (state of nature), yaitu suatu keadaan di mana belum terdapat kekuasaan dan
otorita apa-apa, semua orang sama sekali bebas dan sama derajatnya. Dalam
perkembangan selanjutnya, di antaranya orang-orang itu sering terjadi percekcokan
karena perbedaan pemilikan harta benda dan karena ada orang yang hidup di atas
penderitaan orang lain. Kondisi seperti itu telah menggeser keadaan alamiah ke
keadaan perang (state war), menimbulkan pemikiran untuk melindungi ketiga hak-
hak fundamental di atas (hak hidup, merdeka, dan memiliki). Untuk itu kemudian
mereka berkumpul dan mengadakan perjanjian untuk bermasyarakat untuk
menyerahkan sebagian hak-hak mereka kepada seorang pemimpin yang bertugas
untuk melindungi ketiga hak tersebut sebagai hak individu dan masyarakat yang tidak
dapat dipisahkan dari dirinya dan diserahkan kepada pemimpin negara dan diterima
manusia sejak lahir dan bukan merupakan pemberian hukum manusia atau
masyarakat.
Dalam UDHR yang memuat 30 pasal, 31 ayat apabila ditelaah lebih lanjut secara
garis besar macam-macam hak asasi manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga
bagian, yaitu:
a. hak-hak politik dan yuridis,
b. hak-hak atas martabat dan integritas manusia,
c. hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya.

Apa perbedaan antara hak politik dengan hak sipil? Perbedaan antara keduanya,
dapat dikemukakan bahwa hak politik merupakan hak yang didapat oleh seseorang
dalam hubungan sebagai seorang anggota di dalam lembaga politik, seperti: hak
memilih, hak dipilih, hak mencalonkan diri untuk menduduki jabatan-jabatan politik,
hak memegang jabatan-jabatan umum dalam negara atau hak yang menjadikan
seseorang ikut serta di dalam mengatur kepentingan negara atau pemerintahan.
Dengan kata lain lapangan hak-hak politik sangat luas sekali, mencakup asas-asas
masyarakat, dasar-dasar negara, tata hukum, partisipasi rakyat di dalamnya,
pembagian kekuasaan, dan batas-batas kewenangan penguasa terhadap warga
negaranya. Sedangkan yang dimaksud hak-hak sipil dalam pengertian yang luas
mencakup hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan, merupakan hak yang dinikmati
oleh manusia dalam hubungannya dengan warga negara yang lainnya dan tidak ada
hubungannya dengan penyelenggaraan kekuasaan negara, salah satu jabatan dan
kegiatannya.
Dalam perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik dan perjanjian tentang hak-hak
sosial, ekonomi dan budaya, macam-macam hak asasi manusia dapat dikemukakan
sebagai berikut. Yang termasuk hak-hak sipil dan politik antara lain:
a. hak atas hidup,
b. hak atas kebebasan dan keamanan dirinya,
c. hak atas keamanan di muka badan-badan peradilan,
d. hak atas kebebasan berpikir, mempunyai keyakinan (conscience), beragama,
e. hak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan,
f. hak atas kebebasan berkumpul secara damai, dan
g. hak untuk berserikat.
Sedangkan macam-macam hak asasi manusia menurut perjanjian tentang hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya antara lain:
a. hak atas pekerjaan,
b. hak untuk membentuk serikat kerja,
c. hak atas pensiun,
d. hak atas tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya serta keluarganya, termasuk
makanan, pakaian, perumahan yang layak, dan
e. hak atas pendidikan.

Pembagian hak asasi manusia yang agak mirip dengan kedua covenant tersebut di
atas, adalah yang mengikuti pembedaan sebagai berikut:
a. Hak-hak asasi pribadi atau “personal rights”, yang meliputi kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan
sebagainya.
b. Hak-hak asasi ekonomi atau “property rights”, yaitu hak untuk memiliki sesuatu,
membeli, dan menjualnya serta memanfaatkannya.
c. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan atau yang biasa disebut “rights of legal equality”.
d. Hak-hak asasi politik atau “political rights”, yaitu hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih dalam pemilihan umum), hak
mendirikan partai politik, dan sebagainya.
e. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau “social and culture rights”, misalnya
hak untuk memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan, dan sebagainya.
f. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan
atau “procedural rights”, misalnya peraturan dalam hal penangkapan,
penggeledahan, peradilan, dan sebagainya.

Pendapat lain tentang macam-macam hak asasi manusia dikemukakan Franz Magnis
Suseno (1987) yang mengelompokkan menjadi empat kelompok yaitu hak asasi negatif
atau liberal, hak asasi aktif atau demokratis, hak asasi positif, dan hak asasi sosial. Uraian
masing-masing hak sebagai berikut:

1. Hak asasi negatif atau liberal


Kelompok hak asasi pertama ini diperjuangkan oleh kaum liberalisme dan pada
hakikatnya mau melindungi kehidupan pribadi manusia terhadap campur tangan
negara dan kekuatan-kekuatan sosial lain. Hak asasi ini didasarkan pada kebebasan
dan hak individu untuk mengurus diri sendiri dan oleh karena itu juga disebut hak-hak
kebebasan (liberal). Sedangkan dikatakan negatif karena prinsip yang dianut bahwa
kehidupan saya (pribadi) tidak boleh dicampuri pihak luar. Kehidupan pribadi
merupakan otonomi setiap orang yang harus dihormati. Otonomi ini merupakan
kedaulatan asasinya sendiri yang merupakan dasar segala usaha lain, maka hak asasi
negatif ini tetap merupakan inti hak asasi manusia. Macam-macam hak asasi manusia
negatif, antara lain:
a. hak atas hidup,
b. hak kebutuhan jasmani,
c. kebebasan bergerak,
d. kebebasan untuk memilih jodoh,
e. perlindungan terhadap hak milik,
f. hak untuk mengurus kerumahtanggaan sendiri,
g. hak untuk memilih pekerjaan dan tempat tinggal,
h. kebebasan beragama,
i. kebebasan untuk mengikuti suara hati sejauh tidak mengurangi kebebasan serupa
orang lain,
j. kebebasan berpikir,
k. kebebasan untuk berkumpul dan berserikat,
l. hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang.

2. Hak asasi aktif atau demokratis


Dasar hak ini adalah keyakinan akan kedaulatan rakyat yang menuntut agar rakyat
memerintah dirinya sendiri dan setiap pemerintah di bawah kekuasaan rakyat. Hak ini
disebut aktif karena merupakan hak atau suatu aktivitas manusia untuk ikut menentukan
arah perkembangan masyarakat/negaranya. Yang termasuk hak asasi aktif, antara lain:
a. hak untuk memilih wakil dalam badan pembuat undang-undang,
b. hak untuk mengangkat dan mengontrol pemerintah,
c. hak untuk menyatakan pendapat,
d. hak atas kebebasan pers, dan
e. hak untuk membentuk perkumpulan politik.

3. Hak asasi positif


Kalau hak-hak negatif menghalau campur tangan negara dalam urusan pribadi
manusia, maka sebaliknya hak-hak positif justru menuntut prestasi-prestasi tertentu
dari negara. Paham hak asasi positif berdasarkan anggapan bahwa negara bukan
tujuan pada dirinya sendiri, melainkan merupakan lembaga yang diciptakan dan
dipelihara oleh masyarakat untuk memberikan pelayanan-pelayanan tertentu
(pelayanan publik). Oleh karena itu, tidak boleh ada anggota masyarakat yang tidak
mendapat pelayanan itu hanya karena ia terlalu miskin untuk membayar biayanya.
Yang termasuk hak asasi positif, antara lain:
a. hak atas perlindungan hukum (misalnya: hak atas perlakuan yang sama di depan
hukum, hak atas keadilan)
b. hak warga masyarakat atas kewarganegaraan.

4. Hak asasi sosial


Hak asasi sosial ini merupakan paham tentang kewajiban negara untuk menjamin
hasil kerja kaum buruh yang wajar dan merupakan hasil kesadaran kaum buruh
melawan kaum borjuis. Hak asasi sosial mencerminkan kesadaran bahwa setiap
anggota masyarakat berhak atas bagian yang adil dari harta benda material dan
kultural bangsanya dan atas bagian yang wajar dari hasil nilai ekonomis. Hak ini
harus dijamin dengan tindakan negara. Yang termasuk hak asasi sosial, antara lain:
a. hak atas jaminan sosial,
b. hak atas pekerjaan,
c. hak membentuk serikat kerja,
d. hak atas pendidikan, dan
e. hak ikut serta dalam kehidupan kultural masyarakat.

Tugas dan Latihan


Coba kamu identifikasi hak-hak jenis apa saja yang telah tampak berkembang dan
yang belum berkembang di lingkunganmu masing-masing? Lingkungan bisa pada
tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota. Tugas ini bersifat individual dan
dipresentasikan di depan kelas.

B. HAMBATAN DAN TANTANGAN DALAM PENEGAKAN HAM DI


INDONESIA
Penegakan HAM di Indonesia masih menemui berbagai hambatan dan tantangan.
Adanya hambatan dapat dilihat masih banyaknya pelanggaran HAM di Indonesia.
Terutama pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah (governmental crimes), seperti
pelanggaran hukum oleh aparat intelejen (polisi rahasia), penculikan dan penyiksaan oleh
aparat keamanan (polisi, militer), penyadapan telepon, dan lain-lain. Juga pelanggaran
HAM yang bernuansa kejahatan politik (political crimes), seperti demonstrasi ilegal,
terorisme, gerakan subversi, dan sebagainya.
Dengan demikian pelanggaran HAM mempunyai nuansa khusus, yakni penyalah-
gunaan kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan dalam arti para pelaku berbuat dalam
konteks pemerintah dan difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah. Dengan kata lain pelaku
melakukan perbuatan tidak sah dalam statusnya sebagai pemerintah. Di Indonesia
menunjukkan bahwa beberapa individu dan kelompok yang memegang kekuasaan
berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya yang otoriter dengan mengombinasikan
antara ideologi dengan teror. Misalnya, dengan melakukan penculikan terhadap aktivis
partai politik lain (yang sedang tidak berkuasa), pemerintah melakukan tindakan
diskriminatif terhadap kelompok lain yang tidak sejalan dengan kepentingannya. Padahal
pemerintah seharusnya memberikan perlakuan dan pelayanan yang sama terhadap semua
warga negara, tanpa memandang perbedaan ideologi politiknya.
Kombinasi ideologi dan teror bahkan tidak jarang dikokohkan dalam hukum positif
yang merupakan instrumen kekuasaan dengan dalih untuk mewujudkan ketertiban umum
(public order) dan pembangunan ekonomi. Hukum positif yang dilahirkan oleh aparat
negara tanpa melibatkan partisipasi rakyat, akan melahirkan hukum yang sering tidak
sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Dengan perkataan lain hukum positif hanya
berperan sebagai alat legitimasi bagi penguasa.
Oleh karena itu, tidak mengherankan dewasa ini Indonesia disorot oleh dunia inter-
nasional sehubungan dengan dakwaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat
khususnya dalam masalah Timor Timur, Aceh, Tanjung Priok, dan sebagainya. Sorotan
itu terutama karena upaya penegakan HAM melalui Pengadilan Ad. Hoc HAM dinilai
belum mampu mengadili penanggung jawab utama. Sehingga ada kesan yang
dikorbankan adalah bawahan. Dalam hal ini tampak dengan jelas ada hambatan yang
sangat kuat ketika ingin menegakkan HAM tetapi yang dihadapi menyangkut para
pejabat tinggi negara.
Pertanyaannya, siapakah yang bertanggung jawab ketika pelanggaran HAM yang
dikelompokkan dalam pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah? Menurut Muladi
(2000), seorang pakar Hukum Pidana terkemuka di Indonesia menyatakan bahwa dalam
pelanggaran dikenal apa yang dinamakan pertanggungjawaban individual (individual
criminal responsibility). Maksudnya orang dianggap mempunyai pertanggungjawaban
pidana apabila yang bersangkutan di samping telah melakukan perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur pidana dan bersifat melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar, juga
mempunyai kemampuan bertanggung jawab, melakukannya dengan kesalahan (sengaja
atau alpa) serta tidak ada alasan pemaaf. Muladi menjelaskan lebih lanjut bahwa
pertanggungjawaban individu dalam pelanggaran HAM mempunyai arti khusus sebagai
berikut:
1. Pelaku kejahatan (mereka yang merencanakan, menggerakkan, memerintahkan,
melakukan atau memberikan bantuan di dalam perencanaan, persiapan atau
pelaksanaan kejahatan) tidak dapat berdalih bahwa perbuatannya dilakukan untuk
kepentingan atau karena perintah negara dan melemparkan tanggung jawabnya
kepada negara (state responsibility).
2. Kedudukan resmi si pelaku tidak dapat dijadikan alasan untuk membebaskan yang
bersangkutan dari tanggung jawab atau pengurangan pidana.
3. Alasan bahwa pelaku melakukan kejahatan atas perintah dari pemerintah atau karena
perintah atasan (crimes by obedience) bukan merupakan alasan pembenar. Paling
dapat dipertimbangkan sebagai salah satu alasan keringanan pidana.
4. Kenyataan bahwa perbuatan dilakukan oleh bawahan tidak menghapuskan tanggung
jawab atasan, apabila ia mengetahui atau cukup beralasan untuk mengetahui bahwa
bawahan tersebut sedang melakukan kejahatan atau telah melakukannya dan atasan
gagal untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah perbuatan atau
memidana si pelaku.

Tugas dan Latihan


Coba kamu identifikasi hambatan apa saja yang dihadapi ketika diupayakan
penegakan HAM di Timor Timur, Aceh, Tanjung Priok, Kerusuhan Mei 1998.
Dan bagaimana jalan keluarnya untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
Tugas ini bersifat kelompok, misalnya kelompok dibagi menjadi Kelompok Timor
Timur, Kelompok Aceh, Kelompok Tanjung Priok, dan Kelompok Kerusuhan Mei
1998. Informasi bisa kamu peroleh dari membaca surat kabar, majalah, internet,
dan sebagainya. Hasil kerja kelompok dibuat laporannya dan dipresentasikan di
depan kelas.
Apabila hambatan penegakan HAM menyangkut masalah yang menjadi kendala tidak
efektifnya ketika upaya penegakan HAM dilakukan, maka tantangan penegakan HAM
merupakan masalah yang menghadang di hadapan kita ketika akan melakukan upaya
penegakan HAM. Oleh karena itu, tantangan akan bisa merupakan peluang ketika kita
bisa memanfaatkannya dan akan menjadi hambatan ketika kita tidak mampu
memanfaatkannya. Apa tantangan dalam penegakan HAM di Indonesia? Tantangan itu
bisa diilustrasikan sebagai berikut:
1. Pasca perang dingin, penegakan HAM tidak lagi dianggap sebagai masalah internal
suatu negara, tetapi telah menjadi masalah internasional. Oleh karena itu, persoalan-
persoalan domestik akan menjadi urusan internasional.
2. Kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan terjadinya arus penyebaran informasi
secara cepat ke seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu, suatu pelanggaran HAM
domestik tidak lagi dapat diisolir sebagai masalah internal. Misalnya, peristiwa
kerusuhan di Santa Cruz, Timor Timur (awal 1990-an), diungkap secara besar-
besaran oleh media massa internasional.
3. Munculnya desakan yang kuat dari berbagai kelompok dalam masyarakat. Desakan
dari kelompok masyarakat dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni:
Pertama, kelompok masyarakat yang kebutuhan primer dan sekundernya relatif tidak
menjadi masalah. Kelompok ini menuntut terpenuhinya kebutuhan tingkat selanjutnya
(tertier), antara lain tumbuhnya proses demokratisasi dalam masyarakat. Tuntutan
kelompok pertama ini terutama terpenuhinya hak sipil dan hak politik. Kedua,
kelompok masyarakat yang menjadi korban pelanggaran HAM kini mulai menyadari
akan perlunya perjuangan untuk melakukan gerakan penegakan HAM. Aspek
pelanggaran HAM yang dirasakan kelompok ini menyangkut hak ekonomi, hak
sosial, dan hak kultural. Misalnya: gerakan masyarakat miskin kota yang menuntut
pelayanan sosial dasar (perumahan yang sehat, pelayanan kesehatan, dan lain-lain).
Contoh lain adalah gerakan antipenggusuran (anti-Eviction) dari warga miskin kota.
Ketiga, kelompok yang mulai menyadari bahwa globalisasi membawa dampak positif
dan negatif. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang belum mampu
berkompetisi dalam pasar bebas, lebih banyak akan memperoleh dampak negatif.
Apalagi globalisasi dewasa ini cenderung merupakan rekolonialisasi (kolonialisme
baru) terutama oleh pihak kapitalisme swasta (dulu kolonialisasi oleh negara). Aktor
utama dalam rekolonialisasi adalah Perusahaan-perusahaan Multi Nasional (Multy
National Corporations/MNC), Bank Dunia dan IMF. Dalam memperjuangkan
kolonialisme baru, mereka melakukan perebutan dan pendominasian kebijakan
pemerintah tingkat global serta melakukan kesepakatan yang dibuat Organisasi
Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Proses penjajahan baru
dilandasi oleh neoliberal.
Pokok-pokok pikiran neoliberalisme meliputi:
a. Bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah di bidang
perburuhan, investasi, harga serta biarkan perusahaan swasta mempunyai ruang
mengatur diri sendiri untuk tumbuh dengan menyediakan kawasan pertumbuhan,
seperti Otorita Batam, NAFTA, SIJORI, dan lain sebagainya.
b. Hentikan subsidi negara kepada rakyat, karena bertentangan dengan prinsip neo-
liberal tentang jauhkan campur tangan pemerintah dan juga bertentangan dengan
prinsip pasar dan persaingan bebas.
c. Hapuskan ideologi “kesejahteraan bersama” dan pemilikan komunal, seperti
banyak yang dianut oleh masyarakat “tradisional”.
Mereka yakin kesejahteraan dan pemilikan bersama akan menghalangi
pertumbuhan. Akibat dari prinsip tersebut adalah serahkan “manajemen” sumber daya
alam pada ahlinya, dan bukan pada masyarakat “tradisional” (masyarakat adat) yang
tidak mampu mengelola sumber daya alam secara efisien dan efektif. Akibat
kolonialisme baru masyarakat Indonesia mulai merasakan akibatnya dengan semakin
terlantarnya hak asasi ekonomi, sosial, dan kulturalnya. Dewasa ini telah muncul
gerakan menolak kolonialisme baru, seperti: Gerakan Koalisi Antihutang di
Indonesia, Gerakan Petani Ramah Lingkungan, Gerakan Pembaruan Agraria yang
dikembangkan oleh Serikat Petani Sumatera Utara dan Konsorsium Pembaruan
Agraria.
4. Semakin kuatnya jaringan kerja sama antar-LSM di berbagai negara mengakibatkan
sebuah pelanggaran HAM yang terjadi di suatu negara akan dengan cepat menyebar
ke negara lain. Hal ini bisa menurunkan kredibilitas internasional negara yang
bersangkutan.

Tugas dan Latihan


Coba kamu membuat kesimpulan tantangan apa saja yang akan dihadapi negara
Indonesia dalam penegakan HAM? Kemudian kemukakan pendapatmu apa yang
sebaiknya dilakukan negara Indonesia dalam menghadapi tantangan tersebut?
Tugas ini bersifat individual dan dipresentasikan di depan kelas.

C. PELANGGARAN DAN PROSES PERADILAN HAM INTERNASIONAL


1. Apa saja yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM internasional?
Dalam kehidupan internasional kita melihat banyak terjadi pelanggaran HAM
secara internasional. Pelanggaran HAM secara internasional menurut Statuta Roma
tentang Mahkamah Pidana Internasional meliputi kejahatan genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan perang agresif.

a. Genosida
Genosida merupakan perbuatan yang dilakukan untuk menghancurkan
seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau
keagamaan, seperti:
1) Membunuh anggota kelompok tersebut.
2) Menimbulkan luka atau tekanan mental yang serius terhadap para anggota
kelompok tersebut.
3) Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang
diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau
sebagian.
4) Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran
dalam kelompok tersebut.
5) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok
lain.

b. Kejahatan terhadap kemanusiaan


Kejahatan ini merupakan perbuatan pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,
pemindahan paksa (deportasi), memenjarakan, penyiksaan, perkosaan,
penganiayaan, penghilangan paksa, dan kejahatan apartheid yang dilakukan
sebagai bagian serangan meluas atau sistematis yang diketahuinya bahwa
serangan itu ditujukan terhadap penduduk sipil. Kejahatan ini dapat terjadi selain
pada masa damai (untuk mempertahankan rezim) juga pada masa perang. Contoh:
korban pasca jajak pendapat di Timor Timur, oleh Timor Timur diadukan sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan. Korban sipil rakyat Irak akibat pengeboman AS
telah terpola secara sistematis, dapat dimasukkan dalam kejahatan ini.

c. Kejahatan perang
Kejahatan perang adalah melancarkan perang yang menyebabkan kerugian
bagi orang sipil, kerusakan objek sipil atau kerusakan meluas, berjangka panjang
dan berat terhadap lingkungan. Membunuh atau melukai secara curang pihak
musuh atau perlakuan mempermalukan tawanan perang, juga masuk dalam
kategori kejahatan perang. Ketentuan mengenai kejahatan perang dapat ditemukan
dalam Geneva Convention 1949.

d. Kejahatan perang agresif


Kejahatan perang agresif atau dikenal sebagai kejahatan terhadap perdamaian
(crimes against peace), yaitu merencanakan, memprakarsai perang atau memulai
perang yang melanggar hukum internasional. Ketentuan tentang kejahatan perang
agresif dapat ditemukan dalam Rome Statute of The Internasional Criminal Court
atau dikenal Statuta Roma 1998.

Invasi AS ke Irak bisa dikategorikan dalam kejahatan perang agresif. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa AS dewasa ini mengembangkan doktrin Pedoman Rencana
Pertahanan (Defence Planning Guidance/DPG). Doktrin DPG mengharuskan AS
mengatur dunia berdasarkan kepentingannya yang ditentukan syarat-syaratnya oleh
AS, baik menyangkut kepentingan politik, ekonomi, dan militer. DPG kemudian
disempurnakan tanggal 22 September 2002 melalui Strategi Keamanan Nasional
(National Security Strategic/NSS). Isi NNS antara lain: “Kita harus menyerang bukan
hanya negara-negara yang menentang, tetapi juga negara-negara yang dianggap
berpotensi teroris”. Doktrin NSS menunjukkan tidak hanya menduduki lebih dulu
(preemtive), tetapi juga preemtion yang memungkinkan AS secara sepihak kapan saja
dan di mana saja dapat melemahkan negara lain, termasuk melemahkan sekutu-
sekutunya.

Tugas dan Latihan


1. Coba kamu buat kesimpulan tentang pelanggaran HAM berat yang telah
diuraikan di atas!
2. Coba kamu analisis apakah doktrin DPG yang dianut Amerika Serikat
cenderung akan mengakibatkan pelanggaran HAM atau tidak?
Tugas ini bersifat individual dan dipresentasikan di depan kelas.

2. Bagaimana proses peradilan HAM internasional?


Di antara kasus-kasus pelanggaran HAM internasional sebagian telah diselesaikan
melalui pengadilan HAM dan masih banyak kasus-kasus pelanggaran lain yang belum
tersentuh, terutama jika menyangkut penguasa di negara besar seperti Amerika
Serikat. Beberapa contoh bentuk pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran
HAM secara internasional.

a. Pengadilan kejahatan internasional Ad. Hoc


Pengadilan kejahatan internasional Ad. Hoc (Mahkamah Kejahatan
Internasional yang khusus dan terbatas) setelah selesai mengadili kemudian
dibubarkan atau dilikuidasi. Dalam praktik pengadilan kejahatan internasional Ad.
Hoc dilakukan dengan dua cara. Pertama, dibentuk oleh negara-negara
berdasarkan perjanjian internasional. Ini terjadi pasca Perang Dunia II ketika
dibentuk Pengadilan Militer Internasional (International Military Tribunal/IMT)
yang berkedudukan di Nurenberg dan Tokyo. IMT waktu itu bertugas mengadili
penjahat perang Jerman dan Jepang. Kedua, dibentuk lewat Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB). Contohnya: Pengadilan Kejahatan
Internasional untuk Yugoslavia (International Court Tribunal for
Yugoslavia/ICTY), untuk mengadili pelanggaran HAM di Yugoslavia. Kemudian
Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda (International Court Tribunal
for Rwanda/ICTR), untuk mengadili pelanggaran HAM yang terjadi di Rwanda.

b. Pengadilan internasional yang bersifat permanen


Pengadilan permanen yang dimaksud adalah Pengadilan Kejahatan
Internasional atau Mahkamah Pidana Internasional (MPI). Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal of Court/ICC) didirikan berdasarkan
perjanjian internasional pada tanggal 17 Juli 1998, yang dikenal dengan nama
Statuta Roma. MPI berkedudukan di Den Haag Belanda. MPI berbeda dengan
Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ). Mahkamah
Internasional (MI) menekankan pada negara sebagai subjek hukumnya, sedangkan
MPI menjadikan setiap individu yang diduga melakukan kejahatan yaitu genosida,
kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi sebagai subjek
hukumnya. MPI bersifat permanen dan berfungsi mewujudkan rasa keadilan
universal bagi semua pihak yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat
universal dan juga diharapkan mampu menciptakan perdamaian dunia.
Sejak tahun 2002, MPI telah mulai aktif bekerja. Pimpinan Serbia Slobodan
Milosevic diadili lewat lembaga ini. Namun MPI hanya berlaku bagi negara yang
telah meratifikasi. Amerika Serikat sebagai negara yang mendengung-dengungkan
HAM ternyata menolak meratifikasi. Alasannya sebagai “Polisi Dunia”, Amerika
Serikat banyak mengirim pasukan ke berbagai belahan dunia sehingga ratifikasi
bisa membuat pasukan Amerika Serikat sendiri diseret ke MPI. Dengan demikian
dapat dinyatakan hukum internasional dalam hal kepentingan politik, ekonomi,
dan militer Amerika Serikat nol besar. Indonesia juga belum meratifikasi Statuta
Roma.

c. Pengadilan HAM nasional


Pelanggaran HAM secara internasional dapat diadili melalui pengadilan HAM
nasional. Dalam praktik dikenal ada beberapa bentuk. Pertama, pengadilan
nasional di mana tersangka memiliki kewarganegaraan. Dalam hal ini dapat
dicontohkan Pengadilan HAM Ad. Hoc untuk kasus dalam pelanggaran HAM
pasca jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999. Pengadilan ini sesungguhnya
menguntungkan WNI yang didakwa, karena menurut doktrin “ne bis in idem”,
penuntutan tidak bisa dilakukan lagi apabila terhadap mereka telah dilakukan
penuntutan dan proses peradilan. Sehingga para pelaku yang didakwa melanggar
HAM tersebut, tidak dapat lagi diadili di pengadilan internasional, jika ada pihak-
pihak yang merasa tidak puas atas keputusan yang dijatuhkan Pengadilan HAM
Ad. Hoc dan ingin mengajukannya lagi ke pengadilan internasional. Kedua,
pengadilan nasional di luar kewarganegaraan tersangka. Pengadilan ini biasanya
mempunyai keterkaitan dengan peristiwa. Contohnya: Kejaksaan Spanyol
menuntut Agusto Pinochet mantan Presiden Chile (1973-1990) diekstradisi ke
Spanyol atas tuduhan sebagai dalang pembunuhan atau penghilangan nyawa 94
orang termasuk warga Chile, Spanyol, Argentina, Inggris dan Amerika Serikat.
Ketiga, menggelar pengadilan nasional, namun dengan hakim internasional,
seperti yang dilakukan di Kosovo. Pengadilan terhadap pimpinan Khmer Merah di
Kamboja atas tuduhan bahwa pemerintahan teror mereka tahun 1975-1979 telah
menyebabkan tewasnya 1,7 juta saudara sebangsa mereka, akan diselesaikan
melalui bentuk yang ketiga ini. Kamboja dan PBB pada 6 Juni 2003 telah
menandatangani sebuah perjanjian untuk membentuk sebuah mahkamah yang
akan mengadili para pemimpin Khmer Merah. Tujuh negara ditambah Kamboja
akan menjadi bagian tim hakim internasional. Ketujuh negara yang akan
mengirimkan hakim yaitu: Jepang, India, Perancis, Rusia, Australia, Inggris, dan
Amerika Serikat. Sedangkan biaya pengeluaran diperkirakan sejumlah 20 juta-60
juta dolar Amerika Serikat dan Jepang menyatakan kesediaannya untuk
menanggung biaya pengeluaran tersebut.

Tugas dan Latihan


Coba kamu diskusikan jika pelanggaran HAM berat di Indonesia tidak di-
lakukan proses pengadilan atau dilakukan tetapi tidak serius, misal aktor
utamanya tidak diadili. Apakah hal itu bisa diambil alih oleh pengadilan HAM
internasional? Bagilah kelas ke dalam 3 kelompok misalnya, kemudian hasil
diskusi kelompok dipresentasikan di depan kelas.

D. KONSEKUENSI JIKA SUATU NEGARA TIDAK MENEGAKKAN


HAM
Konsekuensi apa yang akan dialami jika suatu negara tidak menegakkan HAM? Ada
beberapa kemungkinan yang akan dialami negara apabila tidak secara sungguh-sungguh
menegakkan HAM. Kemungkinan konsekuensi atau akibat itu, misalnya negara yang
bersangkutan sulit untuk berkembang sebagai negara demokrasi dan negara hukum.
Sebab seperti yang dinyatakan oleh International Commision of Jurist yang merupakan
suatu organisasi ahli hukum internasional dalam konferensinya di Bangkok tahun 1965,
mengajukan syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya Pemerintahan Demokratis di
bawah Rule of Law (Representative Government under the Rule of Law) ialah:
1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak
individu, harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan
atas hak-hak yang dijamin.
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3. Pemilihan umum yang bebas.
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education).
Selanjutnya International Commision of Jurists memberikan rumusan tentang
“pemerintah demokrasi berdasarkan perwakilan” (representative government;
representative democracy) sebagai sistem politik yang demokratis, yakni suatu bentuk
pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan
oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung
jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.
International Commision of Jurist, juga menegaskan bahwa dalam demokrasi
berdasarkan perwakilan mengutamakan terjaminnya hak-hak asasi golongan minoritas
terhadap mayoritas. Oleh karena itu, dinamakan juga “demokrasi dengan hak-hak asasi
yang terlindungi”.
Konsekuensi lain, bagi suatu negara jika tidak menegakkan HAM akan mendapat
banyak protes dari rakyatnya. Protes dari rakyat tentang pelanggaran HAM tidak lagi
dapat dipandang sebagai bentuk penentangan terhadap negara dan pemerintah, sebab
dalam instrumen HAM PBB ditegaskan bahwa perlindungan dan penegakan HAM di
suatu negara merupakan tanggung jawab negara yang bersangkutan.
Di samping konsekuensi tersebut, juga masih ada yang lain yaitu negara yang tidak
menegakkan HAM akan menghadapi kesulitan dalam melakukan hubungan internasional.
Sebab dewasa ini demokrasi, HAM, dan masalah lingkungan hidup telah menjadi isu
global. Padahal dalam era globalisasi kelancaran dalam hubungan luar negeri bagi suatu
negara sangat penting, agar memperoleh manfaat bagi kepentingan nasional masing-
masing.
Dengan perkataan lain, dewasa ini suatu negara tidak dapat menghindarkan diri untuk
tidak menegakkan HAM, sebab HAM memiliki kekuatan penunjang utama yaitu
kekuatan moral dan hati nurani kemanusiaan yang didukung kekuatan pendapat umum
dunia. Oleh karena itu, suatu negara jika tidak menegakkan HAM tidak saja akan
mendapat perlawanan dari dalam negeri tetapi juga dari dunia internasional dan akan
dinilai sebagai negara tidak beradab. Dengan demikian penegakan HAM sudah
seharusnya menjadi program nasional masing-masing negara.

Tugas dan Latihan


Coba kamu analisis konsekuensi apa yang akan dialami oleh negara
Indonesia, jika tidak menegakkan HAM? Tugas ini bersifat individual dan
dipresentasikan di depan kelas.

E. SANKSI INTERNASIONAL ATAS PELANGGARAN HAM


Piagam HAM Sedunia atau Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM),
sebagai deklarasi universal tidak memiliki kekuatan mengikat secara kuat bagi dunia
internasional, tetapi kemudian dikembangkan dalam bentuk covenant dan protokol
menjadi memiliki kekuatan mengikat yang kuat bagi negara penandatangan maupun yang
telah meratifikasinya. DUHAM juga merupakan standar internasional mengenai HAM
yang tampak sangat dihormati oleh anggota PBB. Oleh karena itu, jika suatu negara tidak
menegakkan HAM yang sejalan dengan Piagam HAM Sedunia/DUHAM, maka akan
mendapat sanksi internasional. Sanksi itu tidak hanya akan dikucilkan dalam pergaulan
internasional tetapi juga akan mendapat tekanan oleh masyarakat internasional. Tekanan
internasional bisa berwujud embargo militer, bantuan keuangan, dan politik. Prediksi ini
didasarkan atas kenyataan yang melanda negara kita dan negara lain, ketika dianggap
tidak menegakkan HAM oleh dunia internasional.
Beberapa contoh sanksi internasional yang menimpa negara kita, ketika dianggap
tidak menegakkan HAM yang sejalan dengan standar internasional.
Pertama, pada tahun 1999, karena alasan pelanggaran HAM di Timor Timur,
Kongres AS menunda bantuan dan latihan militer Indonesia, yaitu program IMET
(International Military Education and Training (IMET) dan Extended IMET (EIMET).
Diakui kalangan TNI, akibat kebijakan ini terjadi penurunan kemampuan tempur TNI
karena keterbatasan peralatan, suku cadang dan persenjataan jenis senjata yang
mematikan (lethal weapon). Bersamaan dengan kampanye luas pemberantasan terorisme
yang tengah terjadi dalam masyarakat internasional, kedua program di atas dibuka
kembali. Berbagai industri besar semacam Boeing, United Technology, General Electric,
Coca Cola, dan Nike melalui Dewan Usaha Amerika-ASEAN mendesak Washington
agar segera mencabut embargo penjualan senjata ke Indonesia.
Kedua, ancaman penghentian bantuan keuangan oleh negara-negara yang tergabung
dalam IGGI (International Government Group for Indonesia), karena Indonesia banyak
melakukan pelanggaran HAM. Sebagai reaksinya, maka Indonesia ketika itu kemudian
membuat CGI.
Ketiga, tekanan politik misalnya adanya upaya pembentukan pengadilan internasional
Ad. Hoc untuk mengadili pelanggaran HAM pasca jajak pendapat di Timor Timur. Suatu
ketika DK PBB didesak untuk membentuk Pengadilan Kejahatan Internasional untuk
Timor Timur (International Court Tribunal for East Timor/ICTET), namun pengadilan
tersebut urung dibentuk karena keberatan Indonesia. Sebagai kompromi, Indonesia
membentuk Pengadilan HAM melalui UU No. 26 Tahun 2000. Apabila Indonesia tidak
mengambil kompromi ini, maka tanggung jawab itu akan diambil oleh masyarakat
internasional. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem hukum HAM terdapat
ketentuan pertanggungjawaban negara mencakup tiga bentuk yaitu: menghormati
(obligation to respect), melindungi (obligation to protect), pemenuhan (obligation to
fulfil) HAM. Jika Indonesia mengabaikan ketentuan sistem hukum HAM, maka dapat
dinilai telah melakukan pelanggaran HAM atau hukum internasional dan masyarakat
internasional dapat mengambil alih. Dalam kaitan ini dapat dicontohkan: AS pernah
melakukan pengadilan nasional terhadap Presiden Panama Jenderal Manuel Noriega
setelah ditangkap di istananya oleh pasukan militer pada tahun 1990, dengan tuduhan
terlibat kejahatan perdagangan kokain.
Berbagai kasus pelanggaran dan kejahatan HAM di berbagai negara sebagian telah
ditanggapi secara positif dengan upaya menyelesaikannya melalui Pengadilan HAM
Internasional. Beberapa keputusan pengadilan HAM Internasional (yurisprudensi) di
antaranya:
1. Pembantaian Serbia di Bosnia terhadap 100.000 laki-laki, wanita, dan anak-anak
dengan cara yang sangat biadab, sementara sebagian lagi dipaksa untuk meninggalkan
rumah mereka. Kasus pelanggaran HAM ini mendorong PBB untuk membentuk
Pengadilan Kejahatan Internasional Ad. Hoc untuk Yugoslavia (International
Court Tribunal for Yugoslavia/ICTY) pada tahun 1993.
2. Pada awal September 1998, Jean Kambanda mantan Perdana Menteri Rwanda
Afrika Tengah dihukum penjara seumur hidup oleh Pengadilan Kejahatan
Internasional Ad. Hoc (International Court Tribunal for Rwanda/ICTR) yang
didirikan PBB pada tahun 1994. Kambanda dihukum karena keterlibatannya dalam
pembunuhan massal terhadap suku Tutsi di negara itu.
3. Keputusan Pengadilan Inggris pada tahun 1998 tentang penahanan mantan diktator
Chile Jenderal Augusto Pinochet oleh polisi Inggris sangat bertentangan dengan
hukum. Pengadilan juga melarang ekstradisi Pinochet ke Spanyol, seperti yang
diminta Hakim Baltasar Garzon yang menghendaki Pinochet diadili atas kejahatannya
melakukan pembunuhan massal, terorisme dan penyiksaan yang korbannya di
antaranya warga Spanyol. Namun kemudian pengadilan Inggris mengatakan bahwa
Pinochet dapat diadili oleh sebuah pengadilan internasional, berdasarkan prinsip-
prinsip Nurenberg bahwa pejabat-pejabat negara dapat dituntut untuk kejahatan-
kejahatan internasional.

Tugas dan Latihan


1. Coba kamu identifikasi sanksi-sanksi internasional atas pelanggaran HAM!
2. Tentukan posisimu (setuju/tidak setuju) disertai alasan atas sanksi pem-
berhentian bantuan militer atau bantuan keuangan dari IGGI terhadap
Indonesia!
Kedua tugas bersifat individual dan dipresentasikan di depan kelas.

F. PROSES PENEGAKAN HAM DI INDONESIA


Bagaimana proses penegakan HAM di Indonesia? Proses penegakan HAM di
Indonesia dilakukan melalui lembaga Komnas HAM, Pengadilan HAM, dan Pengadilan
HAM Ad. Hoc.
Proses penegakan HAM melalui Komnas HAM melalui prosedur sebagai berikut:

Tahap pertama, menerima pengaduan


Yakni menerima pengaduan dari setiap orang atau kelompok yang memiliki alasan
kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar. Pengaduan dapat dilakukan secara lisan atau
tertulis.

Tahap kedua, melakukan pemeriksaan


Yakni pemeriksaan atas pengaduan. Untuk kepentingan pemeriksaan dapat me-
manggil pengadu, korban saksi atau pihak lain yang terkait. Hasil pemeriksaan dapat
diputuskan untuk dihentikan atau dilanjutkan sejalan dengan peraturan tata tertib dalam
Komnas HAM. Dihentikan apabila tidak memiliki bukti awal yang menandai, bukan
masalah pelanggaran HAM, tidak ada kesungguhan dari pengadu.

Tahap ketiga, melakukan penyelesaian


Yakni kewenangan Komnas HAM untuk menyelesaikan pengaduan setelah melalui
tahap pemeriksaan. Kewenangan itu bisa berupa:
1. perdamaian kedua belah pihak,
2. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, dan
penilaian ahli,
3. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan,
4. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada
pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya, dan
5. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada
Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditindaklanjuti.
Proses penegakan HAM melalui Pengadilan HAM, melalui prosedur sebagai berikut:
Tahap pertama, penangkapan
Jaksa Agung melakukan penangkapan untuk kepentingan penyelidikan, dengan
memperlihatkan surat tugas. Dalam hal tertangkap tangan tidak diperlukan surat perintah
tetapi cukup dengan menyerahkan barang bukti.

Tahap kedua, penahanan


Jaksa Agung berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan penyelidikan
paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang paling lama 60 hari. Penahanan untuk
kepentingan penuntutan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang paling lama 20 hari.
Sedangkan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM paling
lama 90 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari. Kemudian penahanan untuk
banding di Pengadilan Tinggi paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30
hari. Penahanan untuk kepentingan kasasi di Mahkamah Agung lamanya sama dengan
untuk kepentingan banding di Pengadilan Tinggi.

Tahap ketiga, penyelidikan


Penyelidikan dilakukan oleh Komnas HAM. Untuk kepentingan penyelidikan,
Komnas HAM dapat membentuk Tim Ad. Hoc., yang terdiri dari Komnas HAM dan
unsur masyarakat.

Tahap keempat, penyelidikan


Penyelidikan dilakukan oleh Jaksa Agung dapat mengangkat penyelidik Ad. Hoc.
Apabila tidak diperoleh bukti yang cukup, maka dikeluarkan surat penghentian
penyelidikan oleh Jaksa Agung.

Tahap kelima, penuntutan


Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum Ad. Hoc.
Tahap keenam, pemeriksaan di sidang pengadilan

Pemeriksaan sidang pengadilan dilakukan oleh 5 orang hakim terdiri dari 2 hakim
Pengadilan HAM dan 3 orang hakim Ad. Hoc. Pemeriksaan sidang pengadilan paling
lama 180 hari. Untuk banding ke Pengadilan Tinggi paling lama 90 hari, sedangkan
untuk kasasi paling lama 90 hari.
Proses Pengadilan HAM Ad. Hoc prosedurnya pada dasarnya sama dengan
Pengadilan HAM. Perbedaannya pada kasus pelanggaran HAM yang diperiksa, yakni
khusus menangani kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum diundangkannya UU
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pengadilan HAM Ad. Hoc dibentuk atas usul DPR
berdasarkan peristiwa-peristiwa tertentu dengan keputusan Presiden. Jadi sifatnya tidak
permanen, sedangkan Pengadilan HAM bersifat permanen.

Tugas dan Latihan


Buatlah bagan yang menggambarkan penegakan HAM melalui Komnas HAM,
Pengadilan HAM, Pengadilan HAM Ad. Hoc! Tugas ini bersifat kelompok dan
dipresentasikan di depan kelas.
G. BERPARTISIPASI TERHADAP PENEGAKAN HAM DALAM
KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA
Penegakan HAM pertama-tama merupakan tanggung jawab negara dan pemerintah.
Karena keberadaan negara pada hakikatnya adalah untuk melindungi HAM dan hak
warga negara. Oleh karena itu, tujuan negara seperti dikemukakan John Locke adalah
untuk melindungi hak asasi manusia (hak-hak alam). Perubahan dari masyarakat alamiah
(natural society) ke masyarakat bernegara (political society) dan kemudian berkembang
ke masyarakat kewarganegaraan (civil society), manusia tidak pernah melepaskan hak
asasinya.
Bila kita cermati alasan proklamasi untuk mendirikan Negara Indonesia tercinta
adalah karena alasan HAM, yakni “... kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa ...”.
Begitu pula tujuan NKRI adalah untuk mewujudkan kebahagiaan bagi rakyatnya
(common good) yang tentunya dalam kebahagiaan itu mensyaratkan penegakan HAM.
Coba kamu simak tujuan NKRI adalah “... melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...”.
Namun dalam kenyataannya pemerintah yang memiliki fungsi untuk mewujudkan
tujuan negara, seringkali tidak mampu dengan baik mewujudkan tujuan negara. Bahkan
pada umumnya menjadi pelanggar HAM. Oleh karena itu, semata-mata menyerahkan
penegakan HAM kepada pemerintah hampir dapat dipastikan sulit untuk menegakkan
HAM secara efektif. Untuk itu partisipasi secara individual warga negara, kelompok, dan
kelembagaan dari masyarakat mutlak diperlukan.
Kemudian pertanyaan yang timbul adalah: Siapa yang dapat berpartisipasi dalam
penegakan HAM? Apa yang menjadi sarana partisipasi dalam penegakan HAM itu?
Bagaimana cara berpartisipasi dalam penegakan HAM itu? Setiap orang,
kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, LSM atau lembaga kemasyarakatan
lainnya berhak berpartisipasi dalam penegakan atau pemajuan HAM. Sasaran dalam
berpartisipasi bisa diarahkan untuk:
1. Memberikan masukan agar kebijakan publik berpartisipasi bisa diarahkan.
2. Melakukan kontrol terhadap pemerintah agar berbagai tindakan sejalan dengan HAM.
3. Mendorong dan mendukung pemerintah dalam menegakkan HAM.
Berbagai cara berpartisipasi yang dapat dilakukan dalam penegakan HAM, misalnya
melaporkan adanya pelanggaran HAM oleh penguasa kepada Komnas HAM, meminta
DPR mencabut suatu UU yang dalam praktiknya banyak menimbulkan pelanggaran
HAM, memberikan masukan ke DPR agar ada peninjauan kembali suatu RUU yang
isinya dinilai banyak bertentangan dengan HAM, memberikan kritik terhadap kerja
Komnas HAM, menyadarkan masyarakat bawah (buruh, tani, nelayan) akan perlunya
memperjuangkan hak-hak mereka, membuat poster-poster dan ditempelkan di lingkungan
sekolah yang menggambarkan perlunya penegakan HAM, dan sebagainya.

Tugas dan Latihan


Coba kamu buat suatu rencana partisipasi dalam penegakan HAM di
lingkunganmu masing-masing, yang menyangkut siapa pelakunya, sasarannya,
dan caranya. Tugas ini bersifat individual dan dipresentasikan di depan kelas.
DAFTAR PUSTAKA
Agenda Reformasi, 1999, Membangun Masyarakat Madani, Diskusi Kompas –
Paramadina Mulya, Yogyakarta: Kanisius.
Emmerson, Donald. K., 2001, Indonesia Beyond Soeharto, Jakarta: Gramedia.
Hestu Cipto Handoyo, dkk., 2000, Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia,
Yogyakarta: Universitas Atmajaya.
Ismail Sunny, 1978, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta: Aksara Baru.
Kaelan, 2001, Pendidikan Pancasila, Jogjakarta: Paradigma.
Kartasapoetra, R.G., 1978, Sistematika Hukum Tata Negara, Jakarta: Bina Aksara.
Notonagoro, 1975, Pancasila Ilmiah Populer, Jakarta: Pancuran Tujuh.
Pamudji S, 1983, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional, Jakarta: Bina Aksara.
Riswanda Imawan, 1999, Makna Reformasi, Salah Kaprah, SKH Kedaulatan Rakyat, 22
Juni 1999.
Syafrudin Bahar, dkk., ed., 1995, Risalah Sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara R.I.

Anda mungkin juga menyukai