PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam merupakan agama yang bersifat universal yang diturunkan oleh Allah
SWT kepada seluruh umat manusia dalam rangka untuk mensejahterakan, memberikan
kedamaian, menciptakan suasana sejuk dan harmonis bukan hanya diantara sesama umat
manusia tetapi juga bagi seluruh makhluk Allah yang hidup di muka bumi ini.
“Dan kami tidak akan mengutus kamu wahai Muhammad kecuali untuk menjadi Rahmat
bagi sekalian alam”.
Implementasi dari kehadiran Agama Islam sebagai Rahmat bagi sekalian alam ditunjukkan
dengan ajaran-ajaran agama Islam baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun dari Al-
Hadits Rasulullah SAW yang mengajarkan tentang kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat
secara seimbang.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan akhirat
dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi. Dan berbuat
baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”
(QS.Al-Qashash:77)
Senada dengan firman Allah SWT tersebut, adalah Hadits yang disampaikan oleh
Rasulullah SAW, Artinya : “Bekerjalah untuk kepentingan duniamu seolah-olah kamu
hidup selama-lamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu mati esok
pagi”.
1
Sudah menjadi kewajiban bagi manusia sebagai mahluk yang memiliki banyak kebutuhan
dan kepentingan dalam kehidupannya untuk bekerja guna memenuhi segala kebutuhannya
tersebut. Seorang muslim harus menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat.
Tidak hanya berorientasi pada kepentingan akhirat saja, seorang muslim juga harus
memikirkan kepentingan duniawi. Untuk menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat
tersebut, maka wajib bagi seorang muslim untuk bekerja. Bekerja adalah kodrat hidup, baik
kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun kehidupan individual dan sosial
dalam berbagai bidang. Karena itu, agar manusia benar-benar “hidup” dalam kehidupan ini ia
memerlukan ruh (spirit). Untuk ini, Al-qur’an diturunkan sebagai “ruhan min amrina”, yakni
spirit hidup ciptaan Allah, sekaligus sebagai “nur” (cahaya) yang tak kunjung padam, agar
kehidupan manusia tidak tersesat. Dalam Al-qur’an dan Al-hadits banyak ditemukan literatur
yang memerintahkan seorang muslim untuk bekerja dalam memenuhi dan melengkapi
kebutuhan dunianya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etos Kerja
Etos kerja menurut Mochtar Buchori (dalam asifudin, 2004) dapat diartikan sebagai
sifat dan pandangan terhadap kerja, kebiasaan kerja, ciri-ciri atau sifat-sifat mengenai
cara kerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok manusia atau kelompok bangsa.
Etos kerja terdiri dari dua kata yaitu etos dan kerja. Kata etos berasal dari bahasa
Yunani “Ethos” yang berarti sikap, kepribadian, karakter, watak, keyakinan atas
sesuatu. Sedangkan kata kerja, berarti usaha untuk melalukan sesuatu dengan
perencanaan dan tanggung jawab.
Etos Kerja adalah nilai yang melandasi norma-norma tentang kerja. Etos berarti
watak dasar suatu masyarakat, sedangkan perwujudan luarnya adalah struktur dan
norma sosial. Dalam masyarakat yang memiliki penghargaan tinggi terhadap kerja,
orang yang menganggur biasanya mempunyai status sosial rendah atau dianggap
rendah. Dalam masyarakat seperti ini, semangat dan produktivitas kerja warga
masyarakat biasanya tinggi, misalnya yang tampak pada masyarakat Jepang.
Etos kerja dalam Islam dapat didefinisikan sebagai cara pandang yang diyakini
seorang muslim bahwa bekerja tidak hanya memuliakan diri, tetapi juga sebagai
suatu manifestasi dari amal sholeh dan mempunyai nilai ibadah yang luhur.
Etos kerja dalam Islam merupakan totalitas kepribadian diri serta cara
mengekspresikan, memandang, meyakini,dan memberikan sesuatu yang bermakna,
yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high
performance).
Dari pengertian-pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa, Etos kerja dalam
perspektif Islam didefinisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan yang
sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan
kemanusiaanya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal soleh. Sehingga bekerja
3
yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim,
melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah yang didera
kerinduan untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat dipercaya, menampilkan
dirinya sebagai manusia yang amanah, menunjukkan sikap pengabdian.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-
Ku” (QS. Adz-Dzaariyat:56)
Seorang muslim yang memiliki etos kerja adalah mereka yang selalu obsesif atau
ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat yang merupakan bagian amanah dari Allah. Dan
cara pandang untuk melaksanakan sesuatu harus didasarkan kepada tiga dimensi kesadaran,
yaitu Dimensi ma’rifat (aku tahu), Dimensi hakikat (aku berharap), dan Dimensi syariat (aku
berbuat).
4
Kerja Keras Sebuah Tuntunan
Atas dasar-dasar hal tersebut diatas, dapat ditarik benang merah bahwa
sesungguhnya antara penghayatan agama yang diwujudkan dalam bentuk iman yang
sempurna, mempunyai hubungan timbal balik dengan etos kerja seseorang. Seseorang
yang memiliki iman yang sempurna dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan memiliki
etos kerja yang tinggi, yang pada akhirnya meningkatkan produktifitas yang tinggi, baik
dalam pekerjaan maupun dalam pelayanannya sesuai dengan bidang tugasnya masing-
masing. Hubungan timbal balik tersebut dapat dilihat dari tiga teori sebagai berikut :
Ajaran agama Islam memiliki seperangkat nilai yang berkaitan dengan bekerja keras,
antara lain adalah :
5
1) Bekerja keras adalah merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap orang
yang mengaku dirinya beriman kepada Allah SWT, hal ini dibuktikan dengan
banyaknya perintah Allah dalam Al-qur’an yang menyuruh untuk bekerja, seperti
artinya bekerjalah sampai-sampai Allah memerintahkan : Apabila kamu telah selesai
melaksanakan ibadah sholat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah
karunia dari Allah SWT.
2) Salah satu prasyarat untuk terhindarnya umat manusia dari kerugian yang sangat
besar adalah dengan bekerja yaitu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik. Yang
dalam bahasa Al-qur’an disebut dengan Amilusshalihat.
3) Nabi muhammad SAW memerintahkan dalam salah satu haditsnya, agar hari ini umat
Islam menanam buah-buahan dan atau tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi
manusia, sekalipun dia tahu bahwa besok itu kiamat akan datang.
4) Bekerja secara produktif adalah merupakan ciri dan karakteristik seorang muslim
yang terbaik sesuai dengan implementasi hadits Nabi, tangan diatas (yang memberi)
lebih baik daripada tangan yang dibawah (yang menerima). Oleh karena itulah pada
hadits lain, Nabi bersabda : “Andainya seseorang mencari kayu bakar dan
dipikulkan diatas punggungnya, hal itu jauh lebih baik daripada ia meminta-minta
pada seseorang yang kadang-kadang diberi dan kadang-kadang ditolak”.
5) Bekerja disamakan dengan Jihad Fi Sabilillah. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi :
Kalau ia bekerja hendak menghidupkan anak-anaknya yang masih kecil, ia adalah
jihad fi sabililla. Kalau ia bekerja untuk membela kedua orang tuanya yang sudah
lanjut usia, iapun disebut jihad fi sabilillah. Kalau ia bekerja untuk kepentingan
dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, ia adalah jihad fi sabilillah.
Atas dasar hal-hal tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya, bahwa
nilai-nilai religius/islami memberikan dorongan yang sangat besar terhadap umatnya baik
sebagai pegawai negeri sipil, wiraswasta, petani dan masyarakat pada umumnya untuk
menciptakan produktifitas kerja sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Dengan demikian maka seseorang yang memiliki kehidupan beragama yang baik, iman
yang kuat dan islam yang kaffah, maka yang bersangkutan dapat dipastikan memiliki etos
kerja dan produktifitas yang tinggi.
6
Filsuf perancis, Rene Descartes (1596-1650) terkenal karena ucapannya jepense
donc je suis (cogito ergo sum: bahasa latin) yang artinya ‘aku berfikir, maka aku ada’. Ini
karena menurutnya berfikir adalah bentuk wujud manusia sesungguhnya. Pandangan ini
tidak salah, tetapi kurang mencukupi. Eksistensi manusia tidak semata ditentukan oleh
kegiatan berfikirnya, tetapi juga oleh perbuatannya. Dalam teologi Al-qur’an, ungkapan
yang seharusnya ialah ‘aku berbuat, maka aku ada’. Demikian itu karena dalam
pandangan Al-qur’an, kerja atau amal adalah bentuk keberadaan manusia yang
sesungguhnya. Manusia ada karena kerja (amal), dan kerja itulah yang membuat
eksistensi kemanusiaan. Pandangan ini ditegaskan dalam (QS. Al Najm, 53:36-42).
Dalam pandangan Al-qur’an, harga manusia sangat ditentukan oleh apa yang
dimilikinya, dan itu tidak lain adalah amal perbuatan atau kerjanya. Dengan amal atau
kerja baiknya itu manusia tidak hanya menemukan jati dirinya, tetapi akan meraih harkat
tertingginya sebagai manusia yaitu “Bertemu dengan Allah dengan penuh ridho-Nya”.
Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang
esa”. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun
Dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS.Al-Kahfi, 18:110).
Syirik dalam kontek ini bukan dalam maknanya sebagai melakukan kultus atau
pemujaan terhadap selain Allah, seperti arca dsb, tetapi mengalihkan tujuan melakukan
pekerjaan atau amal kepada selain Allah. Maka hendaklah manusia tidak memandang
sepele apapun bentuk kerja yang ia lakukan. Manusia harus memberi makna pada
pekerjaannya itu sedemikian rupa sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dalam makna
hidupnya yang menyeluruh dan total, yaitu sebagai pengabdian (taqarrub, pendekatan
diri) kepada Allah SWT.
7
demikian itu haruslah diorientasikan kepada Allah. Tuhan semesta alam, dalam arti untuk
meraih ridha-Nya.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shaleh maka (pahalanya) untuk dirinya
sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan
sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba(Nya)”.
(QS. Fushshilat, 41:46)
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika
kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri,…” (QS. Al Israa, 17:7)
“ Maka apabila kamu telah selesai dari ( sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain ” (QS.94:7)
“ Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung ”
(QS.62:10)
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Etos kerja merupakan dasar dari sebuah kesuksesan seseorang dan suatu bangsa,
baik itu kesuksesan di dunia maupun kesuksesan di akhirat. Oleh karena itu, marilah kita
semua tanamkan etos kerja yang islami didalam diri kita masing-masing. Lakukan
pekerjaan dengan sungguh-sungguh, total dan maksimal nikmati setiap aktifitas yang
anda lakukan dan yang paling penting niati semua itu karena Allah SWT.
Muslim yang berprofesi sebagai pejabat tak akan korupsi karena dia niati untuk
beribadah bukan karena harta.
Polisi akan mengayomi masyarakatnya dengan sungguh-sungguh, karena dia
meyakini apa yang dilakukannya itu akan dibalas dengan kebaikan oleh Allah.
Pedagang akan jujur karena dia yakin dengan begitu keuntungannya akan berlipat
dan rezekinya halal.
Pelajar akan bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu, karena dia yakin bahwa
niat baik yang dia tanamkan akan membawanya kepada derajat yang lebih tinggi.
B. Saran
9
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1990, Mengangkat Kualitas Hidup Umat, Jakarta : Dirjen BIMAS Islam.
1999
10