Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kearifan lokal atau “local genius” merupakan istilah yang diperkenalkan
oleh Wales dalam Ayatrohaedi yaitu “the sum of the cultural characteristics
which the vast majority of a people have in common as a result of their
experiences in early life”. Tesaurus Indonesia menempatkan kata kearifan sejajar
dengan kebajikan, kebijakan, kebijaksanaan dan kecendekiaan. Sedang kata arif
memiliki kesetaraan makna dengan: akil, bajik, bakir, bestari, bijak, bijaksana,
cendekia, cerdas, cerdik, cergas, mahardika, pandai, pintar, dan terpelajar.
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan
setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau
kecerdasan setempat (local genious) (Daniah, 2014).
Definisi kearifan lokal bervariasi menurut referensi dan cakupannya,
namun dari definisi-definisi tersebut terdapat beberapa kata kunci, yaitu:
pengetahuan, gagasan, nilai, keterampilan, pengalaman, tingkah laku, dan
kebiasaan adat yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah tertentu. Pengetahuan
dan pengalaman masyarakat, menurut para ahli, menyatu dengan sistem norma,
kepercayaan, kebersamaan, keadilan yang diekspresikan sebagai tradisi
masyarakat sebagai hasil abstraksi dan interaksinya dengan alam dan lingkungan
di sekitarnya dalam kurun waktu yang lama. Kearifan lokal, karena itu menjadi
pedoman dalam bersikap dan bertindak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari masyarakat (Hidayati, 2016).
Hutan Mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang
penting di wilayah pesisir dan lautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai
penyedia bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam
biota, penahan abrasi, amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah,
pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga memiliki
fungsi sosial dan ekonomis penting sebagai penghasil bibit/benih ikan, udang,
kerang kepiting, telur burung, madu, dan lainnya sebagai kawasan wisata,
konservasi, pendidikan dan penelitian. dan merupakan bagian dasar rantai
makanan sebab serasah mangrove yang jatuh akan diuraikan oleh
mokroorganisme dengan cepat dan mencadi sumber makanan bagi organisma
perairan. Fungsi hutan bakau di wilayah pesisir bukan hanya penting sebagai
pelindung fisik tetapi juga sebagai bagian terintegrasi dari eksositem wilayah
pesisir lainnya, seperti ekosistem terumbu karang dan ekosistem padang lamun
(Daniah, 2014).
Mengacu pada Undang-Undang No 31/2004 Pasal 6 tentang Perikanan,
menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan
dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan
lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat didukung menjadi dasar
konstitusi bagi pengelolaan berbasis kearifan lokal. Hal ini membuat pengelolaan
sumber daya alam akan dilaksanakan mulai dari tingkat daerah sampai ke pusat
dan akan mereduksi peran negara yang selama ini terlalu dominan. Praktek
pengelolaan perikanan yang berbasis kearifan lokal tersebut terbukti mampu untuk
menciptakan perikanan berkelanjutan, dari berbagai aspek seperti sosial ekonomi,
ekologi, komunitas maupun kelembagaan.. Oleh karena itu, penting untuk melihat
dampak pengelolaan berbasis kearifan lokal terhadap keberlanjutan sumber daya
alam (Moita, 2017).
Memahami kondisi terkini mengenai berbagai aktivitas dan kegiatan di
kawasan hutan mangrove, maka kearifan-kearifan lokal masyarakat perlu terus
dikaji dan dikembangnya khususnya yang berkenaan dengan upaya kelestarian
sumberdaya hutan mangrove. Ketergantungan dan ketidakterpisahan antara
pengelolaan sumberdaya mangrove dengan sistem sosial masyarakat dapat dilihat
dari kehidupan sehariseharinya di kawasan hutan mangrove. Berbagai kearifan
lokal mengenai pengelolaan mangrove seperti di berbagai daerah ada yg
melakukan ritual sedekah laut sedekah laut yang diadakan satu tahun sekali dan
didalam sedekah laut terdapat acara penanaman hutan mangrove. Masyarakat
dalam mempertahankan dan melestarikan hutan mangrovenya mempunyai
idea/gagasan serta kebiasaan untuk tidak menebang mangrove untuk keperluan
komersial, tidak melakukan penangkapan kepiting dan kerang kepuh yang
berkuran kecil dan pengaturan jarak dalam melakukan penangkapan ikan, untuk
kelakuan, tidak boleh bersiul dan berbicara takabur saat berada di laut, dan hutan
dipandang sesuatu yang keramat yang mesti dijaga, untuk budaya/adat istiadat
yaitu melakukan penghormatan terhadap laut (menyemah laut) (Arfan, 2018).
Pentingnya nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir di wilayah ini, menjadi komitmen sebagian masyarakat karena tidah hanya
berorientasi pada penghormatan tradisi leluhur masa lalu, namun menjadi katup
pengaman bagi keberlangsungan sistem sosial. Masyarakat yang mayoritas
mendiami wilayah ini menjadikan tradisi sebagai fokus yang menaungi semua
produk budaya termasuk nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan wilayah
pesisir. Eksistensi nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam
termasuk lingkungan pesisir merupakan norma-norma yang terkait dengan
pengetahuan, teknologi, kepercayaan, kelembagaan yang dipraktekan oleh suatu
komunitas/masyarakat selama bertahun-tahun dalam mengelola sumberdaya alam
yang ada (Moita, 2017).

Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan
mangrove di pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan
2. Untuk mengetahui hubungan kearifan lokal dengan pengelolaan sumberdaya
hutan mangrove di pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan.

Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan laporan ini adalah untuk menambah wawasan
mengenai kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan mangrove di
pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan. Dan manfaat lainnya adalah sebagai salah
satu syarat untuk mengikuti praktikum Laboratorium Manajemen Sumberdaya
Perikanan serta sebagai bahan bacaan serta sumber informasi bagi pihak yang
membutuhkan.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kesimpulan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di pesisir pantai timur Sulawesi
Selatan, dapat disimpulkan bahwa produk kearifan lokal adalah terdiri dari
ide/gagasan, nilai-nilai dan norma. Produk ini pada dasarnya mendukung
kelestarian hutan mangrove maupun sumberdaya hutan mangrove yang ada
didalamya. Pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove telah berdasarkan
kaedah-kaedah kelestarian alam. Kerusakan hutan mangrove dan
sumberdayanya biasanya disebabkan oleh faktor alam dan orang di luar
kawasan mangrove yang masuk dan memanfaatkan hutan mangrove yang
tindakannya berpotensi mengakibatkan hutan mangrove dan sumberdayanya
akan berkurang.
2. Hubungan kearifan lokal dengan pengelolaan sumberdaya hutan mangrove
adalah agar dapat menjaga kestabilan ekosistem mangrove dengan baik dan
juga mampu menciptakan berbagai aspek sosial ekonomi, ekologi,
komunitas maupun kelembagaan. Oleh karena itu, penting untuk melihat
dampak pengelolaan berbesis kearifan lokal terhadap keberlanjutan
sumberdaya alam.

Saran
Saran untuk penulisan ini adalah sebaiknya pembaca lebih memahami
materi yang akan disampaikan agar pelaksanaan pratikum dapat berjalan dengan
lancar dan dapat bermanfaat sebagai bahan refrensi.
DAFTAR PUSTAKA

Arfan, A. 2018. Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya


Hutan Mangrove di Pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan. Jurnal Kearifan
lokal Masyarakat dalam Pengelolaan. 1 (1).

Daniah. 2014. Kearifan Lokal (Local Wisdom) sebagai Basis Pendidikan Karakter.
Jurnal Nilai-nilai Kearifan Lokal. 1 (1).

Hidayati, D. 2016. Memudarnya Nilai Kearifan Lokal Masyarakat dalam


Pengelolaan Sumberdaya Air. Jurnal Kependudukan Indonesia. 11 (1).

Moita, S. 2017. Kearifan Lokal Masyarakat Etnis Tolaki dalam Pengelolaan


Sumberdaya Pesisir di Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe
Provinsi Sultra. Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis. 2 (1).

Anda mungkin juga menyukai