Anda di halaman 1dari 6

JURNAL PERKULIAHAN

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu dan Kemuhammadiyahan

Dosen : Prof. Dr. H. Marzuki Noor, M.S

Tanggal : 07 November 2020 (Kuliah Minggu V)

Topik : Tinjauan Ontologi dan Epistemologi Kajian Manajemen

Metode : Daring dengan diskusi.

Deskripsi

Pada perkuliahan minggu ke lima ini telah dipelajari tentang tinjauan ontologis dan
epistemologis kajian manajemen setelah sebelumnya mempelajari paradigma-paradigma
kebenaran dalam filsafat.

Seorang ahli bisnis dan Profesor bidang manajemen bernama Peter Drucker berpendapat
bahwa praktik manajemen memiliki dimensi filosofis yang sangat mendalam. Menurut
Drucker manajemen tidak bisa dilepaskan dari filsafat karena tanpa filsafat manajemen tidak
memiliki dasar yang kuat. Sebaliknya tanpa filsafat manajemen hanya sekedar menjadi
pengetahuan dan insight yang belum diterapkan kedalam praktik.

Dari pendapat Drucker diatas dapat penulis pahami bahwa antara filsafat dan manajemen
memiliki keterkaitan dimana filsafat dalam manajemen berfungsi sebagai dasar atau pondasi
dalam melakukan tindakan-tindakan dalam mengatur atau memanajemen suatu
organisasi/perusahaan.

Untuk menjawab pertanyaan dalam filsafat, ada 3 kajian yang digunakan yaitu ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Dibawah ini akan penulis jelaskan mengenai ontologi dan
epistemologi yang penulis dapatkan dalam perkuliahan kali ini dan juga tambahan literatur
yang penulis dapatkan dari buku dan internet
A. ONTOLOGI

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno yang berasal dari
Yunani. Istilah Ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “on” atau “ontos” artinya yang
ada dan “logos” artinya ilmu.
Jadi, secara etimologi Ontologi berarti ilmu yang mempelajari apa yang ada. Menurut
Suriasumantri (1985), Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh
kita ingin tahu, atau dengan kata lain suatu kajian mengenai teori tentang “ada”.

Ontologi seringkali disamakan dengan metafisika. Istilah metafisika pertama kali digunakan
oleh Andronicus dari Rhodesia pada zaman 70 tahun sebelum masehi. Artinya adalah segala
sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat supra-fisis atau kerangka penjelasan
yang menerobos melampaui pemikiran biasa yang memang sangat terbatas. Makna lain
istilah metafisika adalah ilmu yang menyelidiki hakikat apa yang ada dibalik alam nyata.

Lalu apa kaitan otologi dengan manajemen? Yang menjadi persoalan Ontologi dalam ilmu
manajemen adalah :

1. Siapa yang membutuhkan manajemen?


2. Apa saja yang dipelajari dalam ilmu manajemen?
3. Apakah manajemen itu hanya terkait dengan teknik dan tips-tips praktis untuk
mengatur orang Ataukah ada yang lain?
4. Apakah sebenarnya hakikat ilmu manajemen?

Jawaban dari pertanyaan diatas adalah semua orang yang terlibat dalam suatu organisasi
mulai dari organisasi kecil dalam hal ini rumah tangga sampai organisasi besar dalam hal ini
perusahaan/negara tentu membutuhkan manajemen.

Manajemen mempelajari bagaimana cara memanfaatkan atau mengatur berbagai sumber daya
yang kita miliki untuk mencapai suatu tujuan.

Manajemen adalah ilmu atau seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan
sumber daya lainnya agar efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan. Dalam
organisasi/perusahaan profit tentu berfokus pada keuntungan/laba sebagai tujuan utamanya.
Sedangkan organisasi/lembaga non profit tujuannya dalam hal social, politik, budaya,
pendidikan dan tujuan non profit lainnya.

Ontologis dalam kajian manajemen adalah hakekat/makna dari praktik manajemen yaitu
tentang untuk apa sebenarnya praktik manajemen yang kita lakukan. Praktik manajemen yang
kita lakukan adalah untuk mencapai suatu tujuan. Dalam mencapai tujuann perusahaan,
seorang manajer/pemimpin tidak boleh menghalalkan segala cara, ada rambu-rambu yang
harus dipatuhi. Itulah hakikat dari praktik manajemen yang kita lakukan.

B. EPISTEMOLOGI

Epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.


Epistemologi dapat juga diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar (theory of
knowledges). Istilah epistemologi dipakai pertama kali oleh Ferier, J.F tahun 1854 untuk
membedakannya dengan cabang filsafat lain yaitu ontologi (metafisika umum).

Ferrier, J. F. (1854), Membagi filsafat menjadi ontologi dan epistemologi, Kata


'Epistemologi' menunjukkan teori pengetahuan yang valid, sebuah wilayah penting dari teori
filsafat, dan ajaran tentang kemampuan manusia untuk mengakui kenyataan, pada sumber-
sumber, bentuk dan metode kognisi, kebenaran dan cara-cara mencapai itu. Istilah itu yang
dimaksud adalah penyelidikan asal mula pengetahuan atau strukturnya, metodenya, dan
validitasnya. Ruang lingkup epistemologi pada Manajemen dapat dilihat dalam kaitannya
dengan sejumlah disiplin ilmu yang bisa ”kerja sama” seperti: pendidikan, ekonomi, politik,
dan lain-lain.

Permasalahan epistemologi pada ilmu manajemen berkisar pada proses yang memungkinkan
ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu, bagaimana prosedurnya, apa yang harus
diperhatikan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, apakah yang disebut kebenaran
dan apa saja kriterianya, serta sarana apa yang membantu orang mendapatkan pengetahuan
yang berupa ilmu.

Disposisi epistemologis terfokus pada kemampuan seseorang dalam memahami fakta dengan
cara mempercayai atau memegang keyakinan. Sikap ini akan berangsur-angsur menjadi
perilaku ketika dikombinasikan dengan keinginan dan sikap mental lainnya. Keyakinan dapat
menjadi pengetahuan melalui tahapan dan kriteria dengan standar ilmu pengetahuan.
Perdebatan epistemologis terjadi dalam ilmu-ilmu sosial yang menyangkut hubungan antara
objektif dan subjektif. Menurut Hollis (1994) terdapat dua pendekatan epistemologis yaitu
naturalism dan hermeneutika.

Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai keseluruhan realitas.
Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, mulai dari dunia
fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan
waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam.
Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung
pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di
luar alam (Harold H. Titus et.al. 1984). Pendekatan naturalisme menggunakan dasar
pengetahuan sosial dengan dua tradisi utama yaitu positvisme dan realisme. Di bawah
naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun pernyataan-
pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat
(Kerlinger, 1973) sebagai berikut: dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang
(repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable), dan dapat di/ter-
ramalkan (predictable). Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk
mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari
kebenaran adalah teori korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu
pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan
tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang
terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang
ditunjuk oleh pernyataan tersebut. Realisme adalah suatu bentuk yang dapat
merepresentasikan kenyataan. Realisme terpusat pada pertanyaan tentang representasi, yaitu
tentang bagaimana dunia dikonstruksi dan disajikan secara sosial kepada dan oleh diri kita.
Inti realisme dapat dipahami sebagai kajian tentang budaya sebagai praktik-praktik
pemaknaan dari representasi. Hal ini berarti bahwa kita harus mempelajari asal-usul tekstual
dari makna. Hal ini juga menuntut kita untuk meneliti cara-cara tentang bagaimana makna
diproduksi dalam beragam konteks.

Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada
pengalaman inderawi ataupun gagasan yang terbangun dari dalam. Dengan demikian
realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealism dan
empirisme. Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode
induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks pemerolehan pengetahuan
adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan
pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja
menganalisa kategori fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis walaupun tidak dapat
diobservasi secara langsung.

Pendekatan epistemologi kedua yaitu hermeneutika. Dalam Webster’s Third New


International Dictionary dijelaskan definisi hermeneutika yaitu studi tentang prinsipprinsip
metodologis interpretasi dan eksplanasi, khususnya studi tentang prinsip-prinsip umum
interpretasi Bibel. Setidaknya ada tiga bidang yang sering akrab dengan term hermeneutika
yaitu teologi, filsafat, dan sastra. Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian
makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian
makna pada ketiga unsur hermeneutika adalah penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik
beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori
hermeneutika yaitu hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis.

1. Hermeneutika teoritis

Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”,


yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian
dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks.

2. Hermeneutika filosofis

Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan
obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana “tindakan
memahami” itu sendiri.

3. Hermeneutika kritis

Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks. hermeneutika kritis
menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya.

Refleksi:

Secara substantif, setelah mengikuti perkuliahan Minggu ke V ini, dapat disimpulkan bahwa
antara filsafat dan manajemen memiliki keterkaitan dimana filsafat dalam manajemen
berfungsi sebagai dasar atau pondasi dalam melakukan tindakan-tindakan dalam mengatur
atau memanajemen suatu organisasi/perusahaan.
Ontologis dalam kajian manajemen adalah hakekat/makna dari praktik manajemen yaitu
tentang untuk apa sebenarnya praktik manajemen yang kita lakukan. Praktik manajemen yang
kita lakukan adalah untuk mencapai suatu tujuan. Dalam mencapai tujuann perusahaan,
seorang manajer/pemimpin tidak boleh menghalalkan segala cara, ada rambu-rambu yang
harus dipatuhi. Itulah hakikat dari praktik manajemen yang kita lakukan.

Permasalahan epistemologi pada ilmu manajemen berkisar pada proses yang memungkinkan
ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu, bagaimana prosedurnya, apa yang harus
diperhatikan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, apakah yang disebut kebenaran
dan apa saja kriterianya, serta sarana apa yang membantu orang mendapatkan pengetahuan
yang berupa ilmu. Disposisi epistemologis terfokus pada kemampuan seseorang dalam
memahami fakta dengan cara mempercayai atau memegang keyakinan. Sikap ini akan
berangsur-angsur menjadi perilaku ketika dikombinasikan dengan keinginan dan sikap
mental lainnya.

DAFTAR LITERATUR
Ayommi, Desi dkk. 2020. Tinjauan Ontologis Kajian Manajemen, Makalah
dipresentasikan pada Presentasi Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu dan
Kemuhammadiyahan secara Daring.
Bintara, Aswin dkk. 2020. Tinjauan Epistemologis Kajian Manajemen, Makalah
dipresentasikan pada Presentasi Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu dan
Kemuhammadiyahan secara Daring.
Sumitro. 2014. Epistemologi Ilmu Manajemen. Jurnal Ilmiah AMIK Labuhan Batu. 02(1),
h.1-11.
https://Jojonomic.com/blog/lembaga-non-profit/
https://denovoidea.wordpress.com/2009/02/23/manajemen-dan-filsafat/
https://profnadiroh.wordpress.com/2011/04/11/ontologi-epistemologi-dan-aksiologi/

Anda mungkin juga menyukai