FARMAKOTERAPI II
KELAS S1-6B
OLEH KELOMPOK 3 :
DOSEN PENGAMPU :
2020
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr wb.
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan karunia-
Nya serta dorongan dari semua pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas pada
makalah ini dengan baik dan seksama. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Septi
Muharni, M.Farm., Apt yang telah membimbing penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Dan juga kepada semua pihak yang tidak dapat di sebutkan
satu persatu atas segala bantuan dan partisipasi nya baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam menyelesaikan tugas pada makalah ini.
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan Ibu, Serta Rekan-Rekan sekalian.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan
kemampuan dan pengetahuan beserta kesempurnaan adalah milik Allah SWT. penulis
berharap semoga tugas makalah ini dapat memberikan manfaat dan pencerahaan untuk rekan-
rekan yang membaca pada saat melakukan pengamatan lebih lanjut.
Wassalamualaikum. Wr.wb
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan.............................................................................................................1
BAB II Isi..............................................................................................................................2
1BRONKIOLITIS..................................................................................................................2
2. BRONKITIS......................................................................................................................6
4 PNEUMONIA.....................................................................................................................18
6. ASMA................................................................................................................................30
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................40
3.2 Saran.................................................................................................................................40
Daftar Pustaka......................................................................................................................41
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit saluran pernafasan merupakan setelah satu penyebab kematian yang
paling sering utama pada anak, karena saluran nafas pada bayi masih sempit dan
daya tahan tubuhnya masih rendah (Ngastiyah, 1997).
Peradangan akut parenkim paru biasanya berasal dari suatu infeksi, disebut
Pneumonia atau Pneumonitis. Istilah pneumonitis seringkali digunakan untuk
menyatakan peradangan paru nonspesifik yang etiologinya tidak diketahui.
Pneumonia merupakan penyakit yang sering terjadi dan setiap tahunnya
menyerang penduduk Amerika.(Anonim, 1982).
A. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Penyakit Infeksi Bronkiolitis?
2. Apa Yang Dimaksud Penyakit Infeksi Bronchitis?
3. Apa Yang Dimaksud Penyakit Batuk Rejan?
4. Apa Yang Dimaksud Penyakit Pneumonia?
5. Apa Yang Dimaksdu Penyakit PPOK?
6. Apa Yang Dimaksud Penyakit Asma?
B. Tujuan
1. Memahami Apa Yang Dimaksud Penyakit Infeksi Bronkiolitis
2. Memahami Apa Yang Dimaksud Penyakit Infeksi Bronchitis
3. Memahami Apa Yang Dimaksud Penyakit PPOK
4. Memahami Apa Yang Dimaksud Penyakit Asma
5. Memahami Apa Yang Dimaksdu Penyakit Pneumonia
6. Memahami Apa Yang Dimaksdu Penyakit Batuk Reajn
1
BAB II
ISI
1. BRONKIOLITIS
A. Defenisi
Bronkiolitis adalah suatu penyakit paru obstruktif pada bayi dan anak yang paling
sering disebabkan oleh infeksi RSV (Respiratory Syncytial Virus) (Bernstein & P.
shelov, 2016).
Bronkiolitis sering diderita bayi atau anak berumur kurang dari dua tahun
paling sering pada usia 6 bulan (Ngastiyah, 2005).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi yang mempengaruhi saluran udara kecil
(bronkiolus) dan mengganggu fungsi paru-paru penderitanya. Pada saat
bronkiolus meradang, saluran ini membengkak dan menghasilkan lendir sehingga
menutup jalan napas.
Pada anak-anak, bronkiolitis memiliki beberapa sifat khas, yakni sebagai
berikut
a. Paling sering menyerang bayi dan balita karena hidung dan saluran
udara kecil (bronkiolus) lebih mudah terhambat daripada anak-anak
yang lebih tua atau orang dewasa
b. Biasanya terjadi selama 2 tahun pertama kehidupan, yang paling
umum sekitar 3 sampai usia 6 bulan
c. Lebih umum pada laki-laki, bayi premature, anak-anak yang belum
ASI, dan mereka yang hidup dalam kondisi yang penuh sesak (Mendri
& Sarwo prayogi, 2017)
B. Epidemiologi dan Etiologi
Bronkiolitis merupakan infeksi akut saluran pernapasan bawah pada bayi yang
ditandai oleh mengi dan hiperekspansi, yang disebabkan oleh saluran pernapasan
kecil yang tersumbat dan meradang. RSV(Resipratory Syntyc Virus) merupakan
penyebab utama (60% kasus), begitu pula virus parainfluenza (20%). Kadang-
kadang dapat disebabkan pula oleh virus influenza, adenovirus, rhinovirus, M.
pneumoniae, dan enterovirus. RSV juga menyebabkan trakeobronkitis,
pneumonia, dan infeksi saluran pernapasan atas dengan otitis media.
2
a. Infeksi asimtomatik jarang terjadi.
b. RSV merupakan paramiksovirus RNA dengan dua subtipe utama yaitu A
dan B
c. Imunitas yang terbentuk bersifat inkomplet dan sering terjadi infeksi
berulang. Penyakit berat jarang terjadi setelah infeksi primer. Pada usia 2
tahun hampir semua anak mempunyai bukti serologis adanya infeksi.
d. Epidemi terjadi setiap tahun pada musim dingin dan musim semi awal.
e. Penyakit ini lebih banyak terdapat pada anak laki-laki, bayi yang mendapat
ASI, dan anak dari kelompok sosial ekonomi rendah.
f. Penyakit paling berat terjadi pada bayi muda (usia <2 bulan), bayi yang
terlahir prematur atau dengan penyakit jantung paru kronik, dan pada bayi
dengan gangguan sistem imun.
g. Penyebarannya melalui infeksi droplet ke membran mukosa,melalui udara
atau kontak langsung.Pertumbuhan virus berlangsung selama 1 minggu.
h. Virus mudah diinaktivasi oleh desinfektan dan bertahan hanya beberapa
jam di permukaan.
i. RSV juga dapat menyebabkan pneumonitis berat pada orang berusia
lanjut.
j. Masa inkubasi 3-5 hari (berkisar 2-8 hari).
3
D. Manifestasi Klinis
Karakteristik bronkiolitis RSV adalah:
a. Demam, pilek, dan batuk.
b. Pucat, takipnea, takikardia, dan kegelisahan yang berlebihan
c. Wheezing
d. Cemas
e. Pada auskultasi terdengar mengi dengan atau tanpa ronki difus
f. Demam bersifat intermiten dan jarang melampaui 39 0 C
g. Penyakit berlangsung selama 3-7 hari dengan pemulihan bertahap dalam
1-2 minggu.
h. Sering bersin dan banyak secret atau lender
i. Demam ringan
j. Tidak dapat makan dan gangguan tidur
k. Retraksi atau tarikan pada dinding-dinding dada; suprasternal, intercostal,
dan subcostal pada inspirasi
l. Nafas cepat
E. Komplikasi
a. Pada RSV primer, 1% kasus membutuhkan perawatan di rumah sakit
b. Komplikasi utama adalah gagal napas, yang jarang terjadi pada anak-anak
yang sebelumnya sehat. Sampai dengan dua pertiga kasus fatal terjadi pada
pasien dengan penyakit jantung paru atau yang mengalami imunosupresi.
Apnea dan hipoksia tidak jarang terjadi pada bayi yang dirawat di rumah
sakit, karena infeksi bakteri sekunder sering terjadi. Hiperreaktivitas
saluran napas dan asma mungkin berkaitan dengan bronkiolitis pada bayi.
Bronkiolitis obliterans sangat jarang dan merupakan komplikasi berat yang
timbul setelah bronkiolitis adenovirus.
F. Diagnosis
Diagnosis terutama bersifat epidemiologis dan klinis meskipun kondisinya
harus dibedakan dari asma yang biasanya rekuren, dan dari pneumonia dimana
4
tanda obstruksi saluran pernapasan yang jelas pada keadaan normal tidak terlihat.
Manifestasi nonspesifik yang menunjang RSV meliputi:
a. Leukosit yang normal atau sedikit meningkat dengan hitung jenis yang
limfositik
b. Tanda dinding bronkus yang menonjol dan hiperinflasi serta area
konsolidasikolaps multipel pada rontgen toraks
c. Hipoksemia tanpa hiperkapnia (kecuali terjadi gagal napas).
G. Pengobatan
Anak-anak dengan tanda-tanda keterlibatan saluran pernapasan bawah paling
baik diobati di rumah sakit pada ruang isolasi. Pada kasus berat:
a. Diberi oksigen dengan pemantauan P02 atau saturasi oksigen
b. Dirawat dalam udara yang lembap
c. Diberi makan melalui selang nasogas. trik bila bayi sulit diberi makan
dengan cara biasa
d. Dilakukan pengisapan berulang yang membantu mempertahankan jalan
napas
e. Diobservasi secara hati-hati untuk menghindari overhidrasi
f. Pertimbangkan ventilasi dan ribavirin aerosol bila penyakit menjadi berate
Antibiotik, bronkodilator, dan kortikosteroid tidak efektif.
H. Pencegahan
a. Pengendalian infeksi silang di bangsal perawatan anak.
b. Bayi sebaiknya tidak bertemu dengan orang dewasa atau kakak yang
mengalami infeksi saluran pernapasan atas.
c. RSV-IVIG (Imunoglobulin dengan titer antibodi netralisasi yang tinggi
terhadap RSV) atau palivizumab (antibodi monoklonal murin untuk
5
manusia) dapat diberikan untuk melindungi orang-orang yang berisiko
tinggi mengalami penyakit berat selama wabah.
d. Percobaan dengan vaksin RSV yang dimatikan dihentikan karena
terjadinya penyakit klinis berat pada orang yang divaksinasi.
I. Prognosis
Kematian sangat jarang kecuali bila bayi memiliki penyakit dasar, dilahirkan
prematur, atau berusia <2 bulan. Pada kategori ini terdapat mortalitas yang cukup
bermakna (5-35%).
2. BRONKITIS
A. Klasifikasi
1. Bronkitis Akut
Bronkitis akut pada bayi dan anak biasanya juga bersama dengan trakeitis,
merupakan penyakit saluran napas akut (ISNA) yang sering dijumpai.
(berakhir dalam masa 3 hari hingga 3 minggu)
2. Bronkitis Kronik dan atau Batuk Berulang.
Bronkitis Kronik dan atau berulang adalah kedaan klinis yang disebabkan
oleh berbagai sebab dengan gejala batuk yang berlangsung sekurang-
kurangnya selama 2 minggu berturut-turut dan atau berulang paling sedikit
3 kali dalam 3 bulan dengan atau tanpa disertai gejala respiratorik dan non
respiratorik lainnya. Dengan memakai batasan ini maka secara jelas
terlihat bahwa Bronkitis Kronik termasuk dalam kelompok BKB tersebut.
Dalam keadaan kurangnya data penyelidikan mengenai Bronkitis Kronik
pada anak maka untuk menegakkan diagnosa Bronkitis Kronik baru dapat
ditegakkan setelah menyingkirkan semua penyebab lainnya dari BKB.
6
(boleh berakhir sehingga 3 bulan dan menyerang semula untuk selama 2
tahun atau lebih).
B. Etiologi
a. Bronchitis akut
b. Bronchitis kronik:
C. Patofisiologi
a. Bronkhitis akut
Penyebab utama adalah virus common cold, rhinovirus, coronavirus,
virus pathogen pada saluran pernapasan bawah: virus influenza, adeno
virus, respiratory syncytial virus.
Patogen penyebab yang lain: mycoplasma pnemoniae, chlamydia
pnemoniae, bordetella pertussis.
Infeksi bronkus dan trakea menyababkan membrane mukosa udem dan
merah serta peningkatan sekresi bronkus. Kerusakan epitel salurna
pernapasan dapat bervariasi dari ringan-berat dan dapat berpengaruh
7
pada fungsi mukosiliari bronkus. Selain itu peningkatan sekresi bronkial
yang kental dan lengket akan menggangu aktivitas mukosiliari.
Infeksi saluran pernapasan akut mungkin berkaintan dengan peningkatan
hiperaktivitas saluran pernapasan dan mungkin menjadi pathogenesis
penyakit paru kronis obstruktif.
b. Bronkhitis kronik
Pada bronchitis kronis, dinding bronkus menebal dan jumlah mucus yang
disekresi del globet dipermukaan epitel bronkus besar dan kecil meningkat nyata.
Hipertropi kelenjar mucus dan dilatasi saluran kelanjar mucus juga ditemui.
Akibatnya pasien dengan kronis bronkhitis mempunyai lebih banyak mucus serta
secara nyata disaluran napas perifer dan selanjutnya akan mengganggu pertahanan
paru normal dan menyababkan penyumbatan mucus disaluran pernapasan yang
lebih kecil. Selanjutnya kondisi patologis ini dapat menyebabkan parut pada
bronkus kecil dan meningkatkan obstruksi saluran napas dan perlemahan dinding
bronkus.
D. Manifestasi klinik
a. Bronchitis akut
Bronkitis adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan jarang
menyebabkan kematian. Bronkitis akut biasanya diawali dengan infeksi
saluran pernapasan atas. Pasien mengalami gejala yang tidak spesifik
seperti: tidak enak badan, sakit kepala, ingusan, sakit leher.
Batuk adalah penanda bronkitis akut yang terjadi awal dan akan menetap
walaupun keluhan nasal dan nasofaring menghilang. Seringkali, awalnya
batuk nonproduktif tetapi berkembang menghasilkan sputum yang
mukopurulen.
8
Pemeriksaan dada menunjukkan adanya ronki dan bunyi tidak normal
bilateral. Foto sinar X menunjukkan hasil normal. Kultur bakteri sputum
umumnya digunakan secara terbatas karena ketidak mampuan untuk
meniadakan flora normal nasofaring dengan teknik sampling.
b. Bronchitis kronik
Penenda bronchitis kronik adalah batuk, mulai dari batuk ringan produktif
– batuk berat produktif dengan sputum purulen. Pengeluaran dahak jumlah
banyak biasanya terjadi pada awal pagi, walau banyak pasien
mengeluarkan dahak sepanjang hari. Sputum yang dikeluarkan biasanya
kental lengket dan berwarna putih-kuning.
Dengan pengecualian penemuan pulmonal, pemeriksaan fisik pasien
dengan bronchitis kronis ringan – sedang bronchitis kronis umumnya tidak
nyata.
Peningkatan jumlah granulosit polimorfonukleus disputum sering
memperkuat iritasi bronkus, dimana jumlah eosinophil menunjukkan
komponen alergi.
E. Faktor risiko
a. Penularan bronkhitis melalui droplet. Faktor risiko terjadinya bronkhitis
adalah sebagai berikut:
a. Merokok
b. Infeksi sinus dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan
atas dan menimbulkan batuk kronik
c. Bronkhiektasi
d. Anomali saluran pernapasan
e. Foreign bodies
f. Aspirasi berulang
F. Komplikasi
9
a. Bronkitis Akut yang tidak ditangani cenderung menjadi Bronkitis Kronik.
b. Pada anak yang sehat jarang terjadi komplikasi, tetapi pada anak dengan
gizi kurang dapat terjadi Othithis Media, Sinusitis dan Pneumonia
c. Bronkitis Kronik menyebabkan mudah terserang infeksi.
d. Bila sekret tetap tinggal, dapat menyebabkan atelektasisi atau
Bronkietaksis
G. Tatalaksana terapi
Bronkhitis akut
a. Tujuan terapi
Membuat pasien nyaman dan pada kasus berat untuk mengobati dehidrasi
dan gangguan respirasi.
b. Terapi farmakologi
a. Terapi simtomatis dan suportif. Antipiretik tunggal seringkali
cukup. Istirahat dan analgesic antipiretik lemah sering dapat
mengatsi keluhan lemah dan demam. Aspirin atau paracetamol
(650mg untuk dewasa dan atau 10-15mg/kg bb/ dosis pada anak
dengan dosis harian maksimun dewasa 4mg dan anak 60mg/kg)
b. Atau gunakan ibuprofen 200-800 mg pada dewasa, anak 10mg/kg.
dosis maksimum dewasa 3,2g dan 40mg/kg/dosis pada anak.
Berikan setiap 4-6 jam.
c. Pasien dianjurkan untuk minum cairan untuk mencegah dehidrasi
dan kemungkinan penurunan sekresi respirasi dan kekentalan
mucus. Pada anak pemberian aspirin harus dihindari karena adanya
hubungan antara penggunaan aspirin dengan munculnya sindrom
reye. Paracetamol lebih dianjurkan.
d. Terpai embun dan atau penggunaan uap dapat mengencerkan
secret. Batuk ringan yang menetap yang mengganggu dapat
diterapi dengan dekstrometrofan, tetapi batuk yang lebih berat
mungkin membutuhkan kodein atau obat yang sejenis.
10
e. Penggunaan rutin antibiotic tidak dianjurkan, tetapi pada pasein
dengan demam menetap dan gejala pernafasan lebih dari 4-6 hari,
kemungkinan karena adaya infeksi harus dicurigai.
f. Bila mungkin terapi antibiotic ditujukan terhadap patogen yang
diantisipasi ( misalnya: Streptococcus pneumonia dan
Haemophilus influenza) dan bakteri yang dominan tumbuh pada
kultur tenggorokan.
g. M. pneumonia bila dicurigai atau positif agglutinin dingin
(titer≥1:32) atau dipastikan oleh kultur/serologi. Terapi dengan
eritromisin atau analognya (klaritromisin atau azitromisin).
Fluorokuinolon juga menunjukan aktivitas terhadap pathogen
tersebut (misalnya gatifloksasin atau levofloksasin dosis tinggi)
dan dapat digunakan pada orang dewasa.
h. selama epidemic yang melibatkan virus influenza A, Amantadin
atau Rimantadin mungkin efektif untuk meminimkan gejala –
gejala terkait bila diberikan diawal penyakit.
Bronchitis kronik
a. Tujuan terapi
Mengurangi keparahan gejala dan menghilangkan kekambuan akut dan
mencapai perpanjangan interval yang bebas infeksi.
b. Terapi farmakologi
a. Pada ekserbasi akut pemberian bronkodilator oral atau aerosol
seperti albuterol aerosol.
b. Untuk pasien yang secara konsisten tetap menunjukkan
keterbatasan dalam masuknya udara pernapasan, perubahan terapi
bronkodilator harus dipertimbangkan.
c. Pengunaan antibiotik masih diperdebatkan, walau penting.
Pemilihan antibiotik sesuai dengan patogen, resiko interaksi
rendah, dan tidak menimbulkan masalah kepatuhan.
d. Pemilihan antibiotik harus mempertimbangkan resistensi patogen
terhadap penisilin. Ampisilin sering dipertimbangkan sebagai
pilihan untuk bronchitis kronis ekserbasi aakut, tetapi regimen
11
dosis dan resisten terhadap betalaktamase membatasi keamanan
dan cost-effectiveness.
e. Bila mikroplasma terlibat dalam infeksi, pengunaan makrolid
masih diragukan. Azitromisin dapat dipertimbangkan sebagai
pilihan untuk kasus mikoplasma.
f. Florokuinolon antibiotik alternatif yang efektif untuk dewasa
terutama bila patogen adalah gram negatif, atau untuk pasien yang
parah. Beberapa S.penumonii resisten terhadap fluorokuinon yang
generasi awal, sehingga dibutuhkan generasi yang lebih baru
seperti gatifloksasin
g. Pada pasien yang mempunyai riwayat kekambuhan oleh karena
faktor pencetus kejadian tertentuseperti musim dingin, percobaan
profilaksis antibiotic mungkin bermanfaat. Bila tidak ada perbaikan
secara klinis, selama periode yang sesuai misalnya 2-3 bulan/tahun
untuk 2-3 tahun, terapi profilaksis dapat dihentikan.
Alternatif terapi
a. Sambiloto
12
Sambiloto memiliki efek farmakologis seperti anti-radang,
menurunkan panas, menghilangkan sakit (analgetik),
menghilangkan bengkak, dan penawar racun (anti-toksik).
b. Pegagan
Efek farmakologis dari pegagan yakni anti-infeksi, anti-
bakterial, penurunan panas, penenang, peluruh kemih,
membesihkan darah, dan lainnya.
c. Bawang putih
d. Sirih
Sirih memiliki efek farmakologis seperti menimbulkan rasa
hangat, pedas, berkhasiat menghentikan batuk, mengurangi
peradangan, menghilangkan gatal, dan lain-lain.
e. Kulit Jeruk mandarin
Efek farmakologis dari kulit jeruk mandarin seperti pedas
dan hangat. Khasiat dari kulit Jeruk Mandarin ialah anti-asma,
peluruh dahak, anti-peradangan, dan lainnya.
f. Jahe
Efek farmakologis Jahe ialah antibiotik, peluruh dahak,
anti-radang, melancarkan sirkulasi darah, dan lainnya.
g. Daun Saga
Efek farmakologis Daun Saga ialah penyejuk pada kulit dan
selaput lendir serta anti-batuk
13
napas ke dalam yang tajam yang terjadi setelah batuk paroksismal.
Beberapa virus (terutama adenovirus), M. pneumonia, C. trachomatis, dan
B. parapertussis dapat menyebabkan penyakit yang serupa namun lebih
ringan.
Batuk rejan:
14
akibat peningkatan tekanan saat batuk paroksismal. Bordetella pertussis
menghasilkan sejumlah zat yang aktif secara biologis:
C. Manifestasi klinis
15
terjadi terutama Saat malam hari,sampai dengan 6 bulan. Semua
infeksi ringan yang terjadi bersamaan dapat memicu paroksisme.
D. Komplikasi
Saluran pernapasan
E. Diagnosis
16
d. kolaps paru atau konsolidasi (20%). Konfirmasi dapat diperoleh dari:
kultur swab hidung pada media selektif berbasis arang atau media
BordetGengou
e. deteksi antigen pertusis langsung pada aspirat nasofaring.
F. Pengobatan
17
G. Pencegahan
H. Prognosis
4. PNEUMONIA
A. DEFENISI
18
dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat.
B. ETIOLOGI
19
chlamydia pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan
B.
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli,
Klebsiella pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus
aureus, anaerob oral.
C. PATOGENESIS
1) Inokulasi langsung;
Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah dengan kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau
jamur. Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5-2,0 mikron melalui udara dapat
mencapai brokonsul terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi.
Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian
terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal
ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
20
abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang sanagt tinggi 108-
10/ml, sehingga aspirasi dari
sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inoculum bakteri
yang tinggi dan terjadi pneumonia.
D. MANIFESTASI KLINIK
E. PENATALAKSANAAN TERAPI
21
hasil terapi dengan antibiotika berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih
sering terjadi dengan antibiotika berspektrum luas.
22
5. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
A. Defenisi
B. Etiologi
a. Merokok
23
yang terakhir saat PPOK berkembang. 10% orang yang tidak merokok juga
mungkin menderita PPOK.
b. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik
yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu
gandum, dan asbes mempunyai resiko yang lebih besar daripada yang bekerja
ditempat selain yang disebutkan.
c. Polusi udara
Faktor host/pasiennya:
a. Usia
Semakin bertambah usia semakin besar resiko menderita PPOK. Pada pasien
yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita
gangguan genetik berupa defisiensi α1 antitripsin. Namun kejadian ini hanya
dialami < 1% pasien PPOK.
b. Jenis kelamin
24
tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki resiko lebih
besar untuk mengalami PPOK.
C. Patofisiologis
Bronkitis kronik
Secara normal silia dan mukus di bronkus melindungi dari inhalasi
iritan, yaitu dengan menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi yang
terus-menerus seperti asap rokok atau polutan dapat menyebabkan
respon yang berlebihan pada mekanisme pertahanan ini. Asap
rokok menghambat pembersihan mukosiliar. Faktor yang
menyebabkan gagalnya pembersihan mukosiliar adalah adanya
proliferasi sel goblet dan pergantian epitel yang bersilia dengan
yang tidak bersilia.
Inflamasi yang terjadi pada bronkitis kronis dengan
pengeluaran mukus dan penyempitan lumen bronkus juga diikuti
fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafasan yang kecil,
yang makin mempersempit saluran pernafasan. Autopsi
menunjukkan bahwa pasien dengan bronkitis kronis mempunyai
diameter saluran pernafasan yang kurang dari 0,4 mm.
Emfisema
Emfisema khususnya melibatkan asinus yaitu bagian dari
paru-paru yang bertanggung jawab untuk pertukaran gas. Asinus
terdiri dari bronkiolus, duktus alveolus, dan kantong alveolar. Pada
emfisema terjadi kerusakan dinding dalam asinus sehingga
25
permukaan untuk pertukaran gas berkurang. Ada beberapa tipe
emfisema berdasarkan pola asinus yang terserang, tetapi yang
paling berkaitan dengan PPOK adalah emfisema sentrilobular.
Emfisema tipe ini secara selektif menyerang bagian bronkiolus.
Dinding-dinding mulai berlubang, membesar dan beragabung dan
akhirnya cenderung menjadi satu ruang.
D. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pasien dengan penyakit PPOK adalah
perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK yaitu :
a. Malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya
ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang muncul
di pagi hari. Napas pendek sedang yang berkembang menjaddi napas
pendek akut.
E. Terapi
1. Terapi farmakologi PPOK kronik.
1. bronkodilator
digunakan untuk mengontrol gejala. Keuntungan klinis
bronkodilator termasuk peningkatan kapasitas latihan fisik,
penurunan terperangkapnya udara, dan peredaran gejala seperti
dispenia. Namun peningkatan berarti pada penurunan fungsi
paru-paru seperti FEV1 mungkin tidak terlihat.
baru 0: pada 1: 2: 3: 4:
resiko ringan sedang parah sangat
parah
karakteristik
2. simpatomimetik
26
meningkatkan pembentukan adenosin monofosfat siklik (cAMP)
simpatomimetik juga dapat meningkatkan klirens mukosiliar.
Albuterol, levalbuterol, bitolterol, pirbuterol, dan terbutalin
merupakan agen aksi pendek yang disukai karena mempunyai
selektivitas β2 lebih besar dan durasi aksi lebih panjang dibandingkan
lainnya. Agen aksi pendek digunakan untuk meredakan gejala secara
akut. Durasi agen aksi pendek yaitu 4-6 jam.
Formoterol dan salmeterol merupakan agonis β2 inhalasi aksi panjang
yang diberikan tiap 12 jamberdasarkan jadwal dan menghasilkan
bronkodilatasi selama interval dosis.
3.Antikolinergik
27
Kombinasi antikolinergik inhalasi dengan agonis β2 sering
digunakan terutama ketika perkembangan penyakit dan gejala
semakin memburuk seiring waktu.
Sediaan kombinasi yang mengandung albuterol dan ipratropium
dalam MDI digunakan untuk terapi pemeliharaan PPOK.
2. Metilxantin
Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan
menginhibisi fosfodiesterase (yang kemudian meningkatkan kadar
cAMP), inhibisi influks ion kalsium kedalam otot polos, antagonis
prostaglandin, stimulasi katekolaminendogen, anatagonis reseptor
adenosin, dan bahkan inhibisin pelepasan mediator dari sel mast dan
leukosit.
Peranan teofilin dalam PPOK adalah sebagai terapi pemeliharaan pada
pasien sakit bukan akut. Terapi dapat diawali pada dosis 200 mg dua
kali sehari dan ditingkatkan bertahap setiap 3-5 hari sampai dosis
target. Kebanyakan pasien memerlukan dosis harian 400-900 mg.
5.Kortikosteroid
28
tingkat III atau IV (FEV1 kurang dari 50%) yang mengalami keadaan
memburuk berulang.
1. Bronkodilator
Bronkodilator dapat diberikan melalui MDI atau
nebulisasi dengan efek yang serupa. Nebulisasi dapat
dipertimbangkan untuk pasien dengan dispenia parah
yang tidak dapat menahan nafas setelah pemakaian
MDI.
Dosis dan frekuensi bronkodilator dapat ditingkatkan
pada keparahan akut untuk menyediakan pereda gejala.
2. Kortikosteroid
Hasil pengujian klinis menyarankan kepada pasien
dengan PPOK yang memburuk secara akut untuk
menerima kortikosteroid oral atau intravena dalam
jangka pendek. Karena variabilitas yang besar dalam
rentang dosis yang digunakan dalam pengujian ini,
dosis optimum dalam durasi terapi tidak diketahui.
Terlihat bahwa terapi jangka pendek (9-14 hari) sama
efektifnya dengan terapi jangka panjang dan dengan
resiko efek samping yang lebih rendah. Jika terapi
dilanjutkan untuklebih dari 2 minggu, jadwal oral yang
diturunkan bertahap sebaiknya diberikan untuk
menghindari supresi poros hipotalamus-pituitari-
adrenal.
3. Terapi antimikroba
Pemilihan terapi antimikroba empirik sebaiknya
didasarkan pada organisme yang paling mungkin.
Organisme yang paling umum organisme yang paling
29
umum untuk PPOK memburuk akut adalah
haemophilus influenza, moraxellacatarrhalis,
streptococcus pneumonia, dan haemophillus
parainfluenzae.
Terapi sebaiknya dimulai dalam 24 jam setelah
munculnya gejala untuk mencegah pasien dibawa
kerumah sakit dan dilanjutkan selama paling tidak 7-10
hari. Pemberian selama 5 hari dengan beberapa agen
memberikan efek yang sebanding.
Pada keadaan memburuk tanpa komplikasi, terapi yang
direkomendasikan termasuk makrolida (azitromisin,
klaritromisin). Sefalosporin generasi kedua atau ketiga
atau doksisiklin.trimetroprim-sulfametoksazol
sebaiknya tidak digunakan karena meningkatkan
resistensi pneumococcus. Amoksisilin dan sefalosporin
generasi pertama tidak direkomendasikan karena
kerentanan dari β-laktamase. Eritromisin tidak
direkomendasikan karena insufiensi aktivitas melawan
H. Influenza.
Pada keadaan memburuk dengan komplikasi dimana
mungkin terdapatpneumococci resisten obat, yang
H.influenza dan M.catarrhalis penghasil β-laktamase,
dan organisme enterik gram negatif, terapi yang
direkomendasikan termasuk amoksisilin/klavulanat atau
fluorokuinon dengan peningkatan aktivitas terhadap
pneumococcus (levofloksasin, gatifloksasin,
moksifloksasin)
6. ASMA
A. Defenisi
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran pernafasan yang
melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas
30
akut bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi saluran pernafasan, dan
gejala pernafasan (mengi dan sesak). Obstruksi jalan nafas umumnya
bersifat reversible, namun dapat menjadi kurang reversible bahkan relative
non reversible, tergantung berat dan lamanya penyakit.
B. Etiologi
Walaupun prevalensi kejadian asma pada populasi tidak kecil, yaitu 3-5%
etiologic asma belum dapat ditetapkan dengan pasti. Tampaknya terdapat
hubungan antara asma dengan alergi. Pada sebagian penderita asma
ditemukan riwayat alergiserangan asmanya juga sering dipicu oleh
pemajanan terhadap akergen. Pasien yang mempunyai komponen alergi,
jika ditelusuri ternyata terdapat riwayat asma pada keluarga, hal ini
menimbulkan pendapat bahwa terdapat factor genetic.
C. Patofisiologi
Keadaan yang dapat menimbulkan asma menstimulasi terjadinya
bronkopasme melalui salah satu dari 3 mekanisme yaitu:
1. Degranulasi sel mast dengan melibatkan immunoglobulin E (IgE)
2. Degranulasi sel mast tanpa melibatkan IgE
Degranulasi sel mast menyebabkan terlepasnya histamin, yaitu suatu
slow-reacting substance of anaphylaxis, dan kinin yang menyebabkan
bronkokontriksi
3. Stimulasi langsung otot bronkus tanpa melibatkan sel mast
Episode bronkopastik berkaitan dengan fluktuasi konsentrasi c-GMP
(cyclic guanosine monophosphate) atau konsentrasi c-AMP (cyclic
adenosine monophosphate), atau konsentrasi keduanya didalam otot
polosbronkus dan sel mast. Peningkatan konsentrasi c-GMP dan
penurunan konsentrasi c-AMP intraseluler berkaitan dengan terjadinya
bronkospasme sedangkan keadaan peningkatan c-AMP dan penurunan
c-GMP menyebabkan bronkokodilatasi. Produk IgE spesifik
memerlukan sensitisasi terlebih dahulu. Penurunan aliran udara
ekspirasi tidak hanya diakibatkan oleh bronkokontriksi saja, tetapi juga
oleh adanya edema mukosa dan sekresi lender yang berlebihan.
31
D. Manifestasi klinis
Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat
hiperaktifitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversible secara
spontan atau melalui pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain:
1. Bising mengi (wheezing) dan terdengar dengan atau tanpa stetoskop.
2. Batuk yang produktif, sering pada malam hari
3. Nafas atau dada seperti tertekan.
32
E. Terapi non farmakologi
1. Edukasi pasien Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra
dokter dalam penatalaksanaan asma. Edukasi kepada pasien/keluarga
bertujuan untuk :
- meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan
pola penyakit asma sendiri)
- meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma
sendiri/asma mandiri)
- meningkatkan kepuasan
- meningkatkan rasa percaya diri
- meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
- membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol
asma Bentuk pemberian edukasi
- Komunikasi/nasehat saat berobat
- Ceramah
- Latihan/training
- Supervisi
- Diskusi
- Tukar menukar informasi (sharing of information group)
- Film/video presentasi
- Leaflet, brosur, buku bacaan
- dll
33
2. Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang penanganan
yang diberikan dan bagaimana pasien melakukannya. Bila mungkin kaitkan
dengan perbaikan yang dialami pasien (gejala dan faal paru).
5. Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan pasien,
sehingga pasien merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara konkret.
2. Pengukuran peak flow meter Perlu dilakukan pada pasien dengan asma
sedang sampai berat. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak
Flow Meter ini dianjurkan pada :
1. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh
pasien di rumah.
34
Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan
berjalan baik
Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan
atau penghentian obat
Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD
4. Pemberian oksigen
Penghentian merokok
Menghindari kegemukan
Kegiatan fisik misalnya senam asma
F. Terapi farmakologi
1. Simpatomimetik
berikut :
35
kontraktilitas dan irama jantung.
bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada
2. Xantin
36
serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi
3. Antikolinergik
A. Ipratropium Bromida
B. Tiotropium Bromida
A. Kromolin Natrium
37
aktivitas glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan
B. Nedokromil Natrium
5. Kortikosteroid
sistemik minimal.
A. Zafirlukast
38
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang
B. Montelukast Sodium
C. Zilueton
¾ Mekanisme Kerja
39
BAB III
3.1 Kesimpulan
Infeksi Saluran Pernafasan Bawah memiliki berbagai macam penyakit
lainnya.
3.2 Saran
40
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. 2008. ISO
Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Indonesia.
41