Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH

FARMAKOTERAPI II

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN BAWAH

KELAS S1-6B

OLEH KELOMPOK 3 :

1. Ema Wahyuni 1701057


2. Fadia Rahma Salsabila 1701058
3. Fadila Toha 1701059
4. Gina Asriana 1701060
5. Ginta Ivoni 1701061
6. Zulfithri Mutiara R 1701093

DOSEN PENGAMPU :

SEPTI MUHARNI, M.FARM., APT

PROGRAM STUDI S.1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIVERSITAS RIAU

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr wb.
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan karunia-
Nya serta dorongan dari semua pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas pada
makalah ini dengan baik dan seksama. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Septi
Muharni, M.Farm., Apt yang telah membimbing penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Dan juga kepada semua pihak yang tidak dapat di sebutkan
satu persatu atas segala bantuan dan partisipasi nya baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam menyelesaikan tugas pada makalah ini.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan Ibu, Serta Rekan-Rekan sekalian.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan
kemampuan dan pengetahuan beserta kesempurnaan adalah milik Allah SWT. penulis
berharap semoga tugas makalah ini dapat memberikan manfaat dan pencerahaan untuk rekan-
rekan yang membaca pada saat melakukan pengamatan lebih lanjut.

Wassalamualaikum. Wr.wb

Pekanbaru, Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................................ii

Daftar Isi...............................................................................................................................iii

BAB I Pendahuluan.............................................................................................................1

BAB II Isi..............................................................................................................................2

1BRONKIOLITIS..................................................................................................................2

2. BRONKITIS......................................................................................................................6

3. BATUK REJAN (WHOOPING COUGH)........................................................................13

4 PNEUMONIA.....................................................................................................................18

5. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik...........................................................................23

6. ASMA................................................................................................................................30

BAB III Penutup..................................................................................................................40

3.1 Kesimpulan......................................................................................................................40

3.2 Saran.................................................................................................................................40

Daftar Pustaka......................................................................................................................41

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit saluran pernafasan merupakan setelah satu penyebab kematian yang
paling sering utama pada anak, karena saluran nafas pada bayi masih sempit dan
daya tahan tubuhnya masih rendah (Ngastiyah, 1997).

Peradangan akut parenkim paru biasanya berasal dari suatu infeksi, disebut
Pneumonia atau Pneumonitis. Istilah pneumonitis seringkali digunakan untuk
menyatakan peradangan paru nonspesifik yang etiologinya tidak diketahui.
Pneumonia merupakan penyakit yang sering terjadi dan setiap tahunnya
menyerang penduduk Amerika.(Anonim, 1982).

A. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Penyakit Infeksi Bronkiolitis?
2. Apa Yang Dimaksud Penyakit Infeksi Bronchitis?
3. Apa Yang Dimaksud Penyakit Batuk Rejan?
4. Apa Yang Dimaksud Penyakit Pneumonia?
5. Apa Yang Dimaksdu Penyakit PPOK?
6. Apa Yang Dimaksud Penyakit Asma?
B. Tujuan
1. Memahami Apa Yang Dimaksud Penyakit Infeksi Bronkiolitis
2. Memahami Apa Yang Dimaksud Penyakit Infeksi Bronchitis
3. Memahami Apa Yang Dimaksud Penyakit PPOK
4. Memahami Apa Yang Dimaksud Penyakit Asma
5. Memahami Apa Yang Dimaksdu Penyakit Pneumonia
6. Memahami Apa Yang Dimaksdu Penyakit Batuk Reajn

1
BAB II
ISI
1. BRONKIOLITIS

A. Defenisi
Bronkiolitis adalah suatu penyakit paru obstruktif pada bayi dan anak yang paling
sering disebabkan oleh infeksi RSV (Respiratory Syncytial Virus) (Bernstein & P.
shelov, 2016).
Bronkiolitis sering diderita bayi atau anak berumur kurang dari dua tahun
paling sering pada usia 6 bulan (Ngastiyah, 2005).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi yang mempengaruhi saluran udara kecil
(bronkiolus) dan mengganggu fungsi paru-paru penderitanya. Pada saat
bronkiolus meradang, saluran ini membengkak dan menghasilkan lendir sehingga
menutup jalan napas.
Pada anak-anak, bronkiolitis memiliki beberapa sifat khas, yakni sebagai
berikut
a. Paling sering menyerang bayi dan balita karena hidung dan saluran
udara kecil (bronkiolus) lebih mudah terhambat daripada anak-anak
yang lebih tua atau orang dewasa
b. Biasanya terjadi selama 2 tahun pertama kehidupan, yang paling
umum sekitar 3 sampai usia 6 bulan
c. Lebih umum pada laki-laki, bayi premature, anak-anak yang belum
ASI, dan mereka yang hidup dalam kondisi yang penuh sesak (Mendri
& Sarwo prayogi, 2017)
B. Epidemiologi dan Etiologi
Bronkiolitis merupakan infeksi akut saluran pernapasan bawah pada bayi yang
ditandai oleh mengi dan hiperekspansi, yang disebabkan oleh saluran pernapasan
kecil yang tersumbat dan meradang. RSV(Resipratory Syntyc Virus) merupakan
penyebab utama (60% kasus), begitu pula virus parainfluenza (20%). Kadang-
kadang dapat disebabkan pula oleh virus influenza, adenovirus, rhinovirus, M.
pneumoniae, dan enterovirus. RSV juga menyebabkan trakeobronkitis,
pneumonia, dan infeksi saluran pernapasan atas dengan otitis media.

2
a. Infeksi asimtomatik jarang terjadi.
b. RSV merupakan paramiksovirus RNA dengan dua subtipe utama yaitu A
dan B
c. Imunitas yang terbentuk bersifat inkomplet dan sering terjadi infeksi
berulang. Penyakit berat jarang terjadi setelah infeksi primer. Pada usia 2
tahun hampir semua anak mempunyai bukti serologis adanya infeksi.
d. Epidemi terjadi setiap tahun pada musim dingin dan musim semi awal.
e. Penyakit ini lebih banyak terdapat pada anak laki-laki, bayi yang mendapat
ASI, dan anak dari kelompok sosial ekonomi rendah.
f. Penyakit paling berat terjadi pada bayi muda (usia <2 bulan), bayi yang
terlahir prematur atau dengan penyakit jantung paru kronik, dan pada bayi
dengan gangguan sistem imun.
g. Penyebarannya melalui infeksi droplet ke membran mukosa,melalui udara
atau kontak langsung.Pertumbuhan virus berlangsung selama 1 minggu.
h. Virus mudah diinaktivasi oleh desinfektan dan bertahan hanya beberapa
jam di permukaan.
i. RSV juga dapat menyebabkan pneumonitis berat pada orang berusia
lanjut.
j. Masa inkubasi 3-5 hari (berkisar 2-8 hari).

C. Patologi Dan Patogenesis


RSV menyebabkan inflamasi peribronkial berbentuk bercak dengan edema,
produksi materi nekrotik dan fibrin yang menyebabkan obstruksi. Bila obstruksi
yang terjadi parsial, hal ini menyebabkan terperangkapnya udara dan hiperinflasi.
Bila obstruksi komplit, maka menyebabkan kolaps. Pneumonia interstisial juga
dapat terjadi. Respons imun lokal mungkin penting dalam patogenesis seperti
yang ditunjukkan oleh peningkatan antibodi imunoglobulin E(lgE) spesiflk pada
sekret nasofaring.Akan tetapi, antibodi sistemik mempunyai daya proteksi yang
buruk karena penyakit dapat terjadi walaupun terdapat antibodi maternal atau
antibodi yang dirangsang oleh vaksin. Suatu kandidat vaksin yang inaktif
menyebabkan respons yang berlebihan terhadap infeksi virus liar dan
menimbulkan penyakit yang lebih berat.

3
D. Manifestasi Klinis
Karakteristik bronkiolitis RSV adalah:
a. Demam, pilek, dan batuk.
b. Pucat, takipnea, takikardia, dan kegelisahan yang berlebihan
c. Wheezing
d. Cemas
e. Pada auskultasi terdengar mengi dengan atau tanpa ronki difus
f. Demam bersifat intermiten dan jarang melampaui 39 0 C
g. Penyakit berlangsung selama 3-7 hari dengan pemulihan bertahap dalam
1-2 minggu.
h. Sering bersin dan banyak secret atau lender
i. Demam ringan
j. Tidak dapat makan dan gangguan tidur
k. Retraksi atau tarikan pada dinding-dinding dada; suprasternal, intercostal,
dan subcostal pada inspirasi
l. Nafas cepat

E. Komplikasi
a. Pada RSV primer, 1% kasus membutuhkan perawatan di rumah sakit
b. Komplikasi utama adalah gagal napas, yang jarang terjadi pada anak-anak
yang sebelumnya sehat. Sampai dengan dua pertiga kasus fatal terjadi pada
pasien dengan penyakit jantung paru atau yang mengalami imunosupresi.
Apnea dan hipoksia tidak jarang terjadi pada bayi yang dirawat di rumah
sakit, karena infeksi bakteri sekunder sering terjadi. Hiperreaktivitas
saluran napas dan asma mungkin berkaitan dengan bronkiolitis pada bayi.
Bronkiolitis obliterans sangat jarang dan merupakan komplikasi berat yang
timbul setelah bronkiolitis adenovirus.

F. Diagnosis
Diagnosis terutama bersifat epidemiologis dan klinis meskipun kondisinya
harus dibedakan dari asma yang biasanya rekuren, dan dari pneumonia dimana

4
tanda obstruksi saluran pernapasan yang jelas pada keadaan normal tidak terlihat.
Manifestasi nonspesifik yang menunjang RSV meliputi:
a. Leukosit yang normal atau sedikit meningkat dengan hitung jenis yang
limfositik
b. Tanda dinding bronkus yang menonjol dan hiperinflasi serta area
konsolidasikolaps multipel pada rontgen toraks
c. Hipoksemia tanpa hiperkapnia (kecuali terjadi gagal napas).

Diagnosis spesifik dibuat berdasarkan salah satu cara berikut:

a. Isolasi virus dari swab hidung atau tenggorok


b. Deteksi antígen atau RNA dari aspirat nasofaring
c. Peningkatan atau penurunan titer antibodi sebanyak empat kali lipat atau
titer antibodi yang tinggi pada pengukuran tunggal.

G. Pengobatan
Anak-anak dengan tanda-tanda keterlibatan saluran pernapasan bawah paling
baik diobati di rumah sakit pada ruang isolasi. Pada kasus berat:
a. Diberi oksigen dengan pemantauan P02 atau saturasi oksigen
b. Dirawat dalam udara yang lembap
c. Diberi makan melalui selang nasogas. trik bila bayi sulit diberi makan
dengan cara biasa
d. Dilakukan pengisapan berulang yang membantu mempertahankan jalan
napas
e. Diobservasi secara hati-hati untuk menghindari overhidrasi
f. Pertimbangkan ventilasi dan ribavirin aerosol bila penyakit menjadi berate
Antibiotik, bronkodilator, dan kortikosteroid tidak efektif.

H. Pencegahan
a. Pengendalian infeksi silang di bangsal perawatan anak.
b. Bayi sebaiknya tidak bertemu dengan orang dewasa atau kakak yang
mengalami infeksi saluran pernapasan atas.
c. RSV-IVIG (Imunoglobulin dengan titer antibodi netralisasi yang tinggi
terhadap RSV) atau palivizumab (antibodi monoklonal murin untuk

5
manusia) dapat diberikan untuk melindungi orang-orang yang berisiko
tinggi mengalami penyakit berat selama wabah.
d. Percobaan dengan vaksin RSV yang dimatikan dihentikan karena
terjadinya penyakit klinis berat pada orang yang divaksinasi.

I. Prognosis
Kematian sangat jarang kecuali bila bayi memiliki penyakit dasar, dilahirkan
prematur, atau berusia <2 bulan. Pada kategori ini terdapat mortalitas yang cukup
bermakna (5-35%).

2. BRONKITIS

Bronkhitis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya inflamsi


pada pembuluh bronkus, trakea dan bronchial.inflamsi menyebabkan bengkak
pada permukaannya, mempersempit ruang pembuluh dan menimbulkan sekresi
dari cairan inflamsi.

A. Klasifikasi
1. Bronkitis Akut
Bronkitis akut pada bayi dan anak biasanya juga bersama dengan trakeitis,
merupakan penyakit saluran napas akut (ISNA) yang sering dijumpai.
(berakhir dalam masa 3 hari hingga 3 minggu)
2. Bronkitis Kronik dan atau Batuk Berulang.
Bronkitis Kronik dan atau berulang adalah kedaan klinis yang disebabkan
oleh berbagai sebab dengan gejala batuk yang berlangsung sekurang-
kurangnya selama 2 minggu berturut-turut dan atau berulang paling sedikit
3 kali dalam 3 bulan dengan atau tanpa disertai gejala respiratorik dan non
respiratorik lainnya. Dengan memakai batasan ini maka secara jelas
terlihat bahwa Bronkitis Kronik termasuk dalam kelompok BKB tersebut.
Dalam keadaan kurangnya data penyelidikan mengenai Bronkitis Kronik
pada anak maka untuk menegakkan diagnosa Bronkitis Kronik baru dapat
ditegakkan setelah menyingkirkan semua penyebab lainnya dari BKB.

6
(boleh berakhir sehingga 3 bulan dan menyerang semula untuk selama 2
tahun atau lebih).

B. Etiologi
a. Bronchitis akut

Bronchitis biasanya lebih sering disebabkan oleh virus seperti


rhinovirus,Respiratory Syncitial Virus (RSV), virus influenza, virus para
influenza, dan Coxsackievirus. Bronchitis adalah suatu peradangan pada bronchus
yang disebabkan oleh berbagaimacam mikroorganisme baik virus, bakteri,
maupun parasit.

b. Bronchitis kronik:

Terkadang peradangan dan penebalan dinding pipa bronchial menjadi


permanen. Kondisi yang diketahui sebagai bronchitis kronis. Anda umumnya
mempertimbangkan bahwa anda mengalami bronchitis kronis jika anda batuk
setiap hari yang hilang setelah tiga bulan dalam setahun dalam dua tahun berturut.
Tidak seperti bronchitis akut, bronchitis kronis terus berlanjut dan merupakan
penyakit yang serius. Merokok adalah penyebab yang paling besar, tetapi polusi
udara dan debu atau gas beracun pada lingkungan atau tempat kerja juga dapat
berkontribusi pada penyakit ini

C. Patofisiologi
a. Bronkhitis akut
 Penyebab utama adalah virus common cold, rhinovirus, coronavirus,
virus pathogen pada saluran pernapasan bawah: virus influenza, adeno
virus, respiratory syncytial virus.
 Patogen penyebab yang lain: mycoplasma pnemoniae, chlamydia
pnemoniae, bordetella pertussis.
 Infeksi bronkus dan trakea menyababkan membrane mukosa udem dan
merah serta peningkatan sekresi bronkus. Kerusakan epitel salurna
pernapasan dapat bervariasi dari ringan-berat dan dapat berpengaruh

7
pada fungsi mukosiliari bronkus. Selain itu peningkatan sekresi bronkial
yang kental dan lengket akan menggangu aktivitas mukosiliari.
 Infeksi saluran pernapasan akut mungkin berkaintan dengan peningkatan
hiperaktivitas saluran pernapasan dan mungkin menjadi pathogenesis
penyakit paru kronis obstruktif.

b. Bronkhitis kronik

Bronkitis kronik terjadi akibat dari bebrapa faktor pendukung termasuk


merokok, terpapar debu, polusi lingkungan, dan infeksi bakteri atau virus

Pada bronchitis kronis, dinding bronkus menebal dan jumlah mucus yang
disekresi del globet dipermukaan epitel bronkus besar dan kecil meningkat nyata.
Hipertropi kelenjar mucus dan dilatasi saluran kelanjar mucus juga ditemui.
Akibatnya pasien dengan kronis bronkhitis mempunyai lebih banyak mucus serta
secara nyata disaluran napas perifer dan selanjutnya akan mengganggu pertahanan
paru normal dan menyababkan penyumbatan mucus disaluran pernapasan yang
lebih kecil. Selanjutnya kondisi patologis ini dapat menyebabkan parut pada
bronkus kecil dan meningkatkan obstruksi saluran napas dan perlemahan dinding
bronkus.

D. Manifestasi klinik
a. Bronchitis akut
 Bronkitis adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan jarang
menyebabkan kematian. Bronkitis akut biasanya diawali dengan infeksi
saluran pernapasan atas. Pasien mengalami gejala yang tidak spesifik
seperti: tidak enak badan, sakit kepala, ingusan, sakit leher.
 Batuk adalah penanda bronkitis akut yang terjadi awal dan akan menetap
walaupun keluhan nasal dan nasofaring menghilang. Seringkali, awalnya
batuk nonproduktif tetapi berkembang menghasilkan sputum yang
mukopurulen.

8
 Pemeriksaan dada menunjukkan adanya ronki dan bunyi tidak normal
bilateral. Foto sinar X menunjukkan hasil normal. Kultur bakteri sputum
umumnya digunakan secara terbatas karena ketidak mampuan untuk
meniadakan flora normal nasofaring dengan teknik sampling.

b. Bronchitis kronik
 Penenda bronchitis kronik adalah batuk, mulai dari batuk ringan produktif
– batuk berat produktif dengan sputum purulen. Pengeluaran dahak jumlah
banyak biasanya terjadi pada awal pagi, walau banyak pasien
mengeluarkan dahak sepanjang hari. Sputum yang dikeluarkan biasanya
kental lengket dan berwarna putih-kuning.
 Dengan pengecualian penemuan pulmonal, pemeriksaan fisik pasien
dengan bronchitis kronis ringan – sedang bronchitis kronis umumnya tidak
nyata.
 Peningkatan jumlah granulosit polimorfonukleus disputum sering
memperkuat iritasi bronkus, dimana jumlah eosinophil menunjukkan
komponen alergi.

E. Faktor risiko
a. Penularan bronkhitis melalui droplet. Faktor risiko terjadinya bronkhitis
adalah sebagai berikut:
a. Merokok
b. Infeksi sinus dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan
atas dan menimbulkan batuk kronik
c. Bronkhiektasi
d. Anomali saluran pernapasan
e. Foreign bodies
f. Aspirasi berulang

F. Komplikasi

9
a. Bronkitis Akut yang tidak ditangani cenderung menjadi Bronkitis Kronik.
b. Pada anak yang sehat jarang terjadi komplikasi, tetapi pada anak dengan
gizi kurang dapat terjadi Othithis Media, Sinusitis dan Pneumonia
c. Bronkitis Kronik menyebabkan mudah terserang infeksi.
d. Bila sekret tetap tinggal, dapat menyebabkan atelektasisi atau
Bronkietaksis

G. Tatalaksana terapi
 Bronkhitis akut
a. Tujuan terapi
Membuat pasien nyaman dan pada kasus berat untuk mengobati dehidrasi
dan gangguan respirasi.
b. Terapi farmakologi
a. Terapi simtomatis dan suportif. Antipiretik tunggal seringkali
cukup. Istirahat dan analgesic antipiretik lemah sering dapat
mengatsi keluhan lemah dan demam. Aspirin atau paracetamol
(650mg untuk dewasa dan atau 10-15mg/kg bb/ dosis pada anak
dengan dosis harian maksimun dewasa 4mg dan anak 60mg/kg)
b. Atau gunakan ibuprofen 200-800 mg pada dewasa, anak 10mg/kg.
dosis maksimum dewasa 3,2g dan 40mg/kg/dosis pada anak.
Berikan setiap 4-6 jam.
c. Pasien dianjurkan untuk minum cairan untuk mencegah dehidrasi
dan kemungkinan penurunan sekresi respirasi dan kekentalan
mucus. Pada anak pemberian aspirin harus dihindari karena adanya
hubungan antara penggunaan aspirin dengan munculnya sindrom
reye. Paracetamol lebih dianjurkan.
d. Terpai embun dan atau penggunaan uap dapat mengencerkan
secret. Batuk ringan yang menetap yang mengganggu dapat
diterapi dengan dekstrometrofan, tetapi batuk yang lebih berat
mungkin membutuhkan kodein atau obat yang sejenis.

10
e. Penggunaan rutin antibiotic tidak dianjurkan, tetapi pada pasein
dengan demam menetap dan gejala pernafasan lebih dari 4-6 hari,
kemungkinan karena adaya infeksi harus dicurigai.
f. Bila mungkin terapi antibiotic ditujukan terhadap patogen yang
diantisipasi ( misalnya: Streptococcus pneumonia dan
Haemophilus influenza) dan bakteri yang dominan tumbuh pada
kultur tenggorokan.
g. M. pneumonia bila dicurigai atau positif agglutinin dingin
(titer≥1:32) atau dipastikan oleh kultur/serologi. Terapi dengan
eritromisin atau analognya (klaritromisin atau azitromisin).
Fluorokuinolon juga menunjukan aktivitas terhadap pathogen
tersebut (misalnya gatifloksasin atau levofloksasin dosis tinggi)
dan dapat digunakan pada orang dewasa.
h. selama epidemic yang melibatkan virus influenza A, Amantadin
atau Rimantadin mungkin efektif untuk meminimkan gejala –
gejala terkait bila diberikan diawal penyakit.
 Bronchitis kronik
a. Tujuan terapi
Mengurangi keparahan gejala dan menghilangkan kekambuan akut dan
mencapai perpanjangan interval yang bebas infeksi.
b. Terapi farmakologi
a. Pada ekserbasi akut pemberian bronkodilator oral atau aerosol
seperti albuterol aerosol.
b. Untuk pasien yang secara konsisten tetap menunjukkan
keterbatasan dalam masuknya udara pernapasan, perubahan terapi
bronkodilator harus dipertimbangkan.
c. Pengunaan antibiotik masih diperdebatkan, walau penting.
Pemilihan antibiotik sesuai dengan patogen, resiko interaksi
rendah, dan tidak menimbulkan masalah kepatuhan.
d. Pemilihan antibiotik harus mempertimbangkan resistensi patogen
terhadap penisilin. Ampisilin sering dipertimbangkan sebagai
pilihan untuk bronchitis kronis ekserbasi aakut, tetapi regimen

11
dosis dan resisten terhadap betalaktamase membatasi keamanan
dan cost-effectiveness.
e. Bila mikroplasma terlibat dalam infeksi, pengunaan makrolid
masih diragukan. Azitromisin dapat dipertimbangkan sebagai
pilihan untuk kasus mikoplasma.
f. Florokuinolon antibiotik alternatif yang efektif untuk dewasa
terutama bila patogen adalah gram negatif, atau untuk pasien yang
parah. Beberapa S.penumonii resisten terhadap fluorokuinon yang
generasi awal, sehingga dibutuhkan generasi yang lebih baru
seperti gatifloksasin
g. Pada pasien yang mempunyai riwayat kekambuhan oleh karena
faktor pencetus kejadian tertentuseperti musim dingin, percobaan
profilaksis antibiotic mungkin bermanfaat. Bila tidak ada perbaikan
secara klinis, selama periode yang sesuai misalnya 2-3 bulan/tahun
untuk 2-3 tahun, terapi profilaksis dapat dihentikan.

H. Terapi non farmakologi


a. Hindarilah kontak dengan kotoran udara seperti asap rokok. Pakai
masker jika udara terkena polusi atau terpapar oleh kotoran seperti
cat, atau pembersih perabot rumah dengan aroma yang kuat.
b. Gunakanlah pelembap ruangan. Udara yang hangat dan lembap
dapat membantu mengurangi batuk dan menghilangkan lendir
secara mudah. Namun, Anda harus membersihkan pelembap
ruangan Anda berdasarkan petunjuk produsen untuk mencegah
berkembangnnya bakteri di dalam tangki air.
c. Jika udara yang dingin menyebabkan flu dan sulit bernapas, maka
gunakanlah masker jika bepergian keluar

Alternatif terapi
a. Sambiloto

12
Sambiloto memiliki efek farmakologis seperti anti-radang,
menurunkan panas, menghilangkan sakit (analgetik),
menghilangkan bengkak, dan penawar racun (anti-toksik).
b. Pegagan
Efek farmakologis dari pegagan yakni anti-infeksi, anti-
bakterial, penurunan panas, penenang, peluruh kemih,
membesihkan darah, dan lainnya.
c. Bawang putih

Bawang Putih memiliki efek farmakologis seperti efek


hangat, sebagai antibiotik, antioksidan, melancarkan peredaran
darah, menstimulasi sistem imu, dan lainnya.

d. Sirih
Sirih memiliki efek farmakologis seperti menimbulkan rasa
hangat, pedas, berkhasiat menghentikan batuk, mengurangi
peradangan, menghilangkan gatal, dan lain-lain.
e. Kulit Jeruk mandarin
Efek farmakologis dari kulit jeruk mandarin seperti pedas
dan hangat. Khasiat dari kulit Jeruk Mandarin ialah anti-asma,
peluruh dahak, anti-peradangan, dan lainnya.
f. Jahe
Efek farmakologis Jahe ialah antibiotik, peluruh dahak,
anti-radang, melancarkan sirkulasi darah, dan lainnya.
g. Daun Saga
Efek farmakologis Daun Saga ialah penyejuk pada kulit dan
selaput lendir serta anti-batuk

3. BATUK REJAN (WHOOPING COUGH)


A. Epidemiologi

Batuk rejan adalah penyakit sangat infeksius yang disebabkan oleh


Bordetella pertussis. Bunyi whoop yang karakteristik adalah akibat tarikan

13
napas ke dalam yang tajam yang terjadi setelah batuk paroksismal.
Beberapa virus (terutama adenovirus), M. pneumonia, C. trachomatis, dan
B. parapertussis dapat menyebabkan penyakit yang serupa namun lebih
ringan.

Batuk rejan:

a. merupakan penyebab utama penyakit pada anak-anak (600.000 kematian


per tahun) di seluruh dunia. Sebagian besar infeksi terjadi pada bayi yang
tidak diimunisasi
b. merupakan penyakit pada anak kecil; 50% kasus terjadi pada anak berusia
<1 tahun, saat mortalitasnya paling tinggi: tidak ada imunitas maternal
yang efektif ditransmisikan. Orang dewasa dapat terinfeksi, saat
penyakitnya lebih ringan; mereka dapat menjadi sumber penularan bagi
anak-anak
c. merupakan penyakit endemik dengan epidemi setiap 3—5 tahun
d. dapat ditularkan dari kasus klinis melalui aerosol, dengan angka serangan
lebih dari 50%
e. terjadi lebih banyak dan lebih serius pada wanita
f. memberikan imunitas yang baik setelah serangan tunggal; serangan kedua
jarang terjadi
g. bersifat infeksius sejak onset gejala kataral sampai dengan 1 bulan
h. mempunyai masa inkubasi 7-14 hari.

B. Patologi dan patogenesis

Patologi primernya terdapat pada paru, dengan manifestasi


sistemik merupakan sekunder akibat toksemia dan komplikasi pernapasan.
Atelektasis paru sering terjadi dan sebagian disebabkan sumbatan bronkus
oleh mukus tebal dan sebagian oleh inflamasi bronkus dan peribronkial.
Meluasnya kolaps bervariasi dari area subsegmental kecil hingga seluruh
lobus. Pada kasus fatal, manifestasi patologis utama adalah perdarahan

14
akibat peningkatan tekanan saat batuk paroksismal. Bordetella pertussis
menghasilkan sejumlah zat yang aktif secara biologis:

a. hemaglutinin filamentosa dan aglutinogen (penting dalam perlekatan


dengan epitel saluran napas bersilia)
b. sitotoksin trakea
c. dermonekrotik dan toksin pertusis (menyebabkan siliostasis dan
kerusakan IokaI sel)
d. toksin pertusis dan adenilat siklase (berinteraksi dengan fungsi fagosit)
e. toksin pertusis (menyebabkan manifestasi sistemik penyakit). Toksin
ini mempunyai struktur unit tipikal A/B dengan ikatan dan komponen
toksin aktif serta diarahkan melawan protein guanine nucleotide
binding (G).

C. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis awal adalah pilek, demam ringan, dan batuk


kering yang merupakan gejala nonspesifik, namun pada anak-anak sangat
infeksius. Akan tetapi, pada 1-2 minggu sesudahnya tanda-tanda lain akan
terlihat.

a. Batuk menjadi lebih berat secara progresif


b. Timbul paroksisme. dengan whoop yang khas pada tarikan napas ke
dalam. Whoop tidak umum pada bayi dan orang dewasa dan dapat
tidak terjadi pada pasien dengan imunitas parsial
c. Batuk dan whoop menjadi lebih sering terutama saat malam hari,
terjadi sampai 50 kali/hari dan biasanya diakhiri dengan muntah.
Paroksisme dapat dicetuskan oleh tindakan perawatan atau
pemeriksaan terhadap si anak, atau oleh pajanan terhadap udara dingin
d. Sering terjadi sianosis selama paroksisme. Serangan apnea mungkin
satusatunya gejala pada anak-anak yang sangat kecil, seperti juga
batuk kronik pada orang dewasa. Setelah 2—4 minggu, paroksisme
menjadi lebih jarang secara bertahap, namun dapat berlangsung terus;

15
terjadi terutama Saat malam hari,sampai dengan 6 bulan. Semua
infeksi ringan yang terjadi bersamaan dapat memicu paroksisme.

D. Komplikasi

Saluran pernapasan

a. Kolaps paru (terutama lobus bawah dan lobus kanan tengah)


b. Pneumonia bakterial sekunder.
a. Komplikasi lain
c. Peningkatan tekanan yang berkaitan dengan batuk paroksismal dapat
menyebabkan perdarahan subkonjungtiva,epistaksis, petekie wajah dan
batang tubuh, emfisema subkutan, pneumotoraks, hernia abdominal, dan
prolaps rektum. Ulserasi frenulum lingual akibat dari gerakan Iidah
berulang pada gigi seri bawah kadang-kadang terjadi
d. Konvulsi dapat menjadi komplikasi pada sebagian kecil kasus (2%) dan
dapat disebabkan oleh perdarahan serebral (jarang), sifat anoksia atau
neurotoksik dari toksin pertusis
e. Muntah dapat menyebabkan penurunan berat badan dan malnutrisi.

E. Diagnosis

Selama fase kataral awal, diagnosis dapat dicurigai dari adanya


riwayat kontak. Dengan perkembangan paroksisme dan whoop yang
tipikal, diagnosis ditegakkan berdasarkan keadaan klinis. Manifestasi
nonspesifik yang menunjang B. pertussis termasuk:

a. batuk paroksismal persisten, memburuk pada malam hari, dan disertai


dengan muntah
b. timbulnya whoop
c. leukositosis (>20 x 109/L) dengan limfositosis (>80%) (tidak umum
terdapat pada bayi)

16
d. kolaps paru atau konsolidasi (20%). Konfirmasi dapat diperoleh dari:
kultur swab hidung pada media selektif berbasis arang atau media
BordetGengou
e. deteksi antigen pertusis langsung pada aspirat nasofaring.

F. Pengobatan

Sebagian beşar anak-anak berusia di bawah 1 tahun dan anak yang


lebih tua dengan komplikasi akan membutuhkan perawatan di rumah sakit.

a. Anak yang lebih tua tanpa komplikasi boleh hanya diobservasi.


Dukungan dan penenangan kepada pasien akan dibutuhkan. Makanan
diberikan dalam porsi kecil dan sering, bila muntah terus berlanjut
maka makanan harus diberikan setelah paroksisme
b. Eritromisin selama 2 minggu dapat mengeliminasi B. pertussis.
Makrolida generasi baru juga efektif, meskipun penelitiannya
sedikit.Untuk pasien yang dirawat di rumah sakit, perawatan pasien
berperan vital.
c. Sebisa mungkin semua kasus sebaiknya diisolasi
d. Saturasi oksigen harus dimonitor dan oksigen harus diberikan untuk
hipoksemia rekuren atau menetap
e. Pengisapan hidung dengan lembut harus dilakukan untuk
menghilangkan sekresi
f. Hidrasi dan nutrisi yang adekuat harus dipertahankan, bila perlu secara
intravena
g. Gangguan terhadap semua aspek harus dijaga agar tetap minimal untuk
mengurangi paroksisme.
h. Pneumonia bakterial sekunder membutuhkan pengobatan antibiotik
parenteral (misalnya sefuroksim)
i. Kolaps paru mayor membutuhkan fisioterapi jangka panjang dan
intensif. Steroid, [3-agonis, dan natrium kromoglikat tidak mempunyai
efek pada paroksisme.

17
G. Pencegahan

a. Kontrol penyakit terutama dengan imunisasi. Pemberian penuh vaksin


wholecell yang dimatikan (3 dosis pada 2, 3, 4 bulan) memberikan
perlindungan pada lebih dari 80% orang selama 1 dasawarsa. Penyakit
yang kurang berat terjadi pada pasien yang tidak terlindungi
sepenuhnya. Vaksin harus mengandung tiga aglutinogen utama
b. Tetap tidak terdapat bukti adanya hubungan kausal antara vaksin
pertusis dengan penyakit neurologis permanen, dan kepercayaan
terhadap vaksin telah meningkat (angka vaksinasi telah meningkat dari
20% pada 1980 menjadi 87% saat ini di Inggris). Akan tetapi, vaksin
aselular yang mempunyai efek samping lebih sedikit telah
dikembangkan dan tampaknya mempunyai efektivitas yang sama. Di
negara berkembang hanya sepertiga bayi yang telah diimunisasi
c. Eritromisin yang diberikan selama 14 hari untuk anak yang berkontak
akan mengurangi penyakit bila anak tersebut sedang berada dalam
tahap kataral
d. Eritromisin sebaiknya diberikan untuk bayi yang berkontak, yang tidak
atau sebagian diimunisasi.

H. Prognosis

Perawatan dan praktik medis yang baik akan mengurangi


komplikasi, namun morbiditasnya tetap tinggi. Pada tahun 1982 di Inggris,
lebih dari 65.000 kasus dilaporkan, dengan 14 kasus kematian (0,02%).

4. PNEUMONIA
A. DEFENISI

Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim


paru distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius

18
dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat.

Pnemunonia dibedakan menjadi dua yaitu pneumonia kominiti dan


pneumonia nosokomial. Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang terjadi
akibat infeksi di luar rumah sakit, sedangkan pneumonia nosokomial adalah
pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah
sakit.

Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi paling


sering ialah menggunakan klasifikasi berdasarkan tempat didapatkannya
pneumonia (pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial), tetapi
pneumonia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan area paru yang terinfeksi
(lobar pneumonia, multilobar pneumonia, bronchial pneumonia, dan intertisial
pneumonia) atau agen kausatif. Pneumonia juga sering diklasifikasikan
berdasarkan kondisi yang mendasari pasien, seperti pneumonia rekurens
(pneumonia yang terjadi berulang kali, berdasarkan penyakit paru kronik),
pneumonia aspirasi (alkoholik, usia tua), dan pneumonia pada gangguan imun
(pneumonia pada pasien tranplantasi organ, onkologi, dan AIDS).

B. ETIOLOGI

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri,


virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan pneumonia
rumah sakit banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan beberapa kota di
Indonesia ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita komunitas adalah
bakteri gram negatif.

Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan


nosokomial:

a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma


pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila,

19
chlamydia pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan
B.
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli,
Klebsiella pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus
aureus, anaerob oral.

C. PATOGENESIS

Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan


(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang
berinteraksi satu sama lain. Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.

Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:

1) Inokulasi langsung;

2) Penyebaran melalui darah;

3) Inhalasi bahan aerosol, dan

4) Kolonosiasi di permukaan mukosa.

Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah dengan kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau
jamur. Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5-2,0 mikron melalui udara dapat
mencapai brokonsul terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi.
Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian
terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal
ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug

20
abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang sanagt tinggi 108-
10/ml, sehingga aspirasi dari

sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inoculum bakteri
yang tinggi dan terjadi pneumonia.

D. MANIFESTASI KLINIK

Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk


(baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen,
atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya
adalah pasien lebih suka berbaring pada 5 yang sakit dengan lutut tertekuk karena
nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada
bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus,
perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan
pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub.

E. PENATALAKSANAAN TERAPI

Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan


antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian
antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman penyebab
infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan antibiotik empiris dan
terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien.

Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor


sensitivitas bakteri terhadap antibiotika, keadaan tubuh pasien, dan faktor biaya
pengobatan.18 Pada infeksi pneumonia (CAP dan HAP) seringkali harus segera
diberikan antibiotika sementara sebelum diperoleh hasil pemeriksaan
mikrobiologik. Pemilihan ini harus didasarkan pada pengalaman empiris yang
rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling mungkin serta antibiotika
terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih antibiotika yang didasarkan pada luas
spektrum kerjanya tidak dibenarkan karena hasil terapi tidaklebih unggul daripada

21
hasil terapi dengan antibiotika berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih
sering terjadi dengan antibiotika berspektrum luas.

22
5. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
A. Defenisi

Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) adalah penyakit yang dikarakterisir


oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya.
Sumbatan aliran darah ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan
respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya.

B. Etiologi

Ada beberapa faktor utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan


menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host.

Faktor paparan lingkungan:

a. Merokok

Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan resiko 30


kali lebih besar pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok, dan
merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kematian akibat ppok terkait
dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok

23
yang terakhir saat PPOK berkembang. 10% orang yang tidak merokok juga
mungkin menderita PPOK.

b. Pekerjaan

Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik
yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu
gandum, dan asbes mempunyai resiko yang lebih besar daripada yang bekerja
ditempat selain yang disebutkan.

c. Polusi udara

Pasien yang mempunyai gangguan paru akan semakin memburuk


gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari asap dapur,
asap pabrik dll.

Faktor host/pasiennya:

a. Usia

Semakin bertambah usia semakin besar resiko menderita PPOK. Pada pasien
yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita
gangguan genetik berupa defisiensi α1 antitripsin. Namun kejadian ini hanya
dialami < 1% pasien PPOK.

b. Jenis kelamin

Laki-laki lebih beresiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini


terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecenderungan
peningkatan prevalansi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita
yang merokok.

c. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi

Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor resiko terjadinya


PPOK. Individual dengan gangguan fungsi paru-paru mengalami penurunan
fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan waktu daripada yang fungsi parunya
normal. Termasuk didalamnya adalah orang-orang yang pertumbuhan parunya

24
tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki resiko lebih
besar untuk mengalami PPOK.

d. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi α antitriptisin (AAT)

Defisiensi AAT terutama dikaitkan dengan kejadian emfisema yang


disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan didalam paru-paru secara progresif
karena adanya ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif.
Pada individual normal faktor protektif AAT akan menghambat enzim proteolitik
sehingga mencegah kerusakan. Karena itu individual yang mengalami defisiensi
AAT akan lebih rentan terhadap kerusakan paru akibat berkurangnya faktor
proteksi ini.

C. Patofisiologis
 Bronkitis kronik
Secara normal silia dan mukus di bronkus melindungi dari inhalasi
iritan, yaitu dengan menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi yang
terus-menerus seperti asap rokok atau polutan dapat menyebabkan
respon yang berlebihan pada mekanisme pertahanan ini. Asap
rokok menghambat pembersihan mukosiliar. Faktor yang
menyebabkan gagalnya pembersihan mukosiliar adalah adanya
proliferasi sel goblet dan pergantian epitel yang bersilia dengan
yang tidak bersilia.
Inflamasi yang terjadi pada bronkitis kronis dengan
pengeluaran mukus dan penyempitan lumen bronkus juga diikuti
fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafasan yang kecil,
yang makin mempersempit saluran pernafasan. Autopsi
menunjukkan bahwa pasien dengan bronkitis kronis mempunyai
diameter saluran pernafasan yang kurang dari 0,4 mm.
 Emfisema
Emfisema khususnya melibatkan asinus yaitu bagian dari
paru-paru yang bertanggung jawab untuk pertukaran gas. Asinus
terdiri dari bronkiolus, duktus alveolus, dan kantong alveolar. Pada
emfisema terjadi kerusakan dinding dalam asinus sehingga

25
permukaan untuk pertukaran gas berkurang. Ada beberapa tipe
emfisema berdasarkan pola asinus yang terserang, tetapi yang
paling berkaitan dengan PPOK adalah emfisema sentrilobular.
Emfisema tipe ini secara selektif menyerang bagian bronkiolus.
Dinding-dinding mulai berlubang, membesar dan beragabung dan
akhirnya cenderung menjadi satu ruang.
D. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pasien dengan penyakit PPOK adalah
perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK yaitu :
a. Malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya
ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang muncul
di pagi hari. Napas pendek sedang yang berkembang menjaddi napas
pendek akut.

E. Terapi
1. Terapi farmakologi PPOK kronik.
1. bronkodilator
digunakan untuk mengontrol gejala. Keuntungan klinis
bronkodilator termasuk peningkatan kapasitas latihan fisik,
penurunan terperangkapnya udara, dan peredaran gejala seperti
dispenia. Namun peningkatan berarti pada penurunan fungsi
paru-paru seperti FEV1 mungkin tidak terlihat.

baru 0: pada 1: 2: 3: 4:
resiko ringan sedang parah sangat
parah
karakteristik

2. simpatomimetik

 Simpatomimetik selektif β2 menyebabkan relaksasi otot polos bronkial


dan bronkodilatasi dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk

26
meningkatkan pembentukan adenosin monofosfat siklik (cAMP)
simpatomimetik juga dapat meningkatkan klirens mukosiliar.
 Albuterol, levalbuterol, bitolterol, pirbuterol, dan terbutalin
merupakan agen aksi pendek yang disukai karena mempunyai
selektivitas β2 lebih besar dan durasi aksi lebih panjang dibandingkan
lainnya. Agen aksi pendek digunakan untuk meredakan gejala secara
akut. Durasi agen aksi pendek yaitu 4-6 jam.
 Formoterol dan salmeterol merupakan agonis β2 inhalasi aksi panjang
yang diberikan tiap 12 jamberdasarkan jadwal dan menghasilkan
bronkodilatasi selama interval dosis.

3.Antikolinergik

 Ketika diberikan secara inhalasi, agen antikolinergik memproduksi


bronkodilatasi dengan menghibisi reseptor kolinergik secara
kompetitif pada otot polos bronkial.
 Ipratropium bromida memiliki onset yang lebih lambat dibandingkan
agonis β2 aksi pendek (15-20 menit vs 5 menit untuk albuterol).
Karena alasan ini zat tsb kurang sesuai untuk penggunaan ketika
dibutuhkan. Efek puncaknya muncul pada 1,5-2 jam dan durasinya
adalah 4-6 jam. Dosis yang direkomendasikan menggunakan MDI
adalah 2 hirup 4 kali sehari.
 Tiotropium bromida merupakan agen aksi panjang yang memberikan
perlindungan terhadap bronkokontriksi kolinergik selama lebih dari 24
jam. Onset terjadi dalam 30 menit dan efek puncak tercapai dalam 3
jam. Zat ini diberikan menggunakan handihaler, yaitu suatu alat nafas
untuk sekali isi serbuk kering. Dosis yang direkomendasikan adalah
inhalasi isi satu kapsul satu kali sehari menggunakan alat inhalasi
handi haler.

4. Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik

27
 Kombinasi antikolinergik inhalasi dengan agonis β2 sering
digunakan terutama ketika perkembangan penyakit dan gejala
semakin memburuk seiring waktu.
 Sediaan kombinasi yang mengandung albuterol dan ipratropium
dalam MDI digunakan untuk terapi pemeliharaan PPOK.
2. Metilxantin
 Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan
menginhibisi fosfodiesterase (yang kemudian meningkatkan kadar
cAMP), inhibisi influks ion kalsium kedalam otot polos, antagonis
prostaglandin, stimulasi katekolaminendogen, anatagonis reseptor
adenosin, dan bahkan inhibisin pelepasan mediator dari sel mast dan
leukosit.
 Peranan teofilin dalam PPOK adalah sebagai terapi pemeliharaan pada
pasien sakit bukan akut. Terapi dapat diawali pada dosis 200 mg dua
kali sehari dan ditingkatkan bertahap setiap 3-5 hari sampai dosis
target. Kebanyakan pasien memerlukan dosis harian 400-900 mg.

5.Kortikosteroid

 Situasi yang sesuai untuk mempertimbangkan kortikosteroid untuk


PPOK termasuk:
1. Penggunaan sistemik jangka pendekuntuk kondisi buruk akut
2. Terapi inhalasi untuk PPOK kronik stabil.
 Mekanisme inflamasi dimana kortikosteroid memberikan efeknya
yang menguntungkan pada PPOK termasuk penurunan permeabilitas
kapiler untuk mengurangi mukus, inhibisi pelepasan enzim proteolitik
dari leukosit, dan inhibisi prostaglandin.
 Keuntungan klinis terapi kortikosteroid sistemik pada penanganana
PPOK seringkali tidak jelas, dan ada resiko toksik. Sebagai
konsekuensi kortikosteroid sistemik, kronik sebaiknya dihindari jika
memungkinkan.
 Penuntun hasil konsensus mengindikasi terapi kortikosteroid inhalasi
sebaiknya dipertimbangkan untuk pasien simtomatik pada penyakit

28
tingkat III atau IV (FEV1 kurang dari 50%) yang mengalami keadaan
memburuk berulang.

2.Terapi farmakologi PPOK yang memburuk

1. Bronkodilator
 Bronkodilator dapat diberikan melalui MDI atau
nebulisasi dengan efek yang serupa. Nebulisasi dapat
dipertimbangkan untuk pasien dengan dispenia parah
yang tidak dapat menahan nafas setelah pemakaian
MDI.
 Dosis dan frekuensi bronkodilator dapat ditingkatkan
pada keparahan akut untuk menyediakan pereda gejala.
2. Kortikosteroid
 Hasil pengujian klinis menyarankan kepada pasien
dengan PPOK yang memburuk secara akut untuk
menerima kortikosteroid oral atau intravena dalam
jangka pendek. Karena variabilitas yang besar dalam
rentang dosis yang digunakan dalam pengujian ini,
dosis optimum dalam durasi terapi tidak diketahui.
 Terlihat bahwa terapi jangka pendek (9-14 hari) sama
efektifnya dengan terapi jangka panjang dan dengan
resiko efek samping yang lebih rendah. Jika terapi
dilanjutkan untuklebih dari 2 minggu, jadwal oral yang
diturunkan bertahap sebaiknya diberikan untuk
menghindari supresi poros hipotalamus-pituitari-
adrenal.
3. Terapi antimikroba
 Pemilihan terapi antimikroba empirik sebaiknya
didasarkan pada organisme yang paling mungkin.
Organisme yang paling umum organisme yang paling

29
umum untuk PPOK memburuk akut adalah
haemophilus influenza, moraxellacatarrhalis,
streptococcus pneumonia, dan haemophillus
parainfluenzae.
 Terapi sebaiknya dimulai dalam 24 jam setelah
munculnya gejala untuk mencegah pasien dibawa
kerumah sakit dan dilanjutkan selama paling tidak 7-10
hari. Pemberian selama 5 hari dengan beberapa agen
memberikan efek yang sebanding.
 Pada keadaan memburuk tanpa komplikasi, terapi yang
direkomendasikan termasuk makrolida (azitromisin,
klaritromisin). Sefalosporin generasi kedua atau ketiga
atau doksisiklin.trimetroprim-sulfametoksazol
sebaiknya tidak digunakan karena meningkatkan
resistensi pneumococcus. Amoksisilin dan sefalosporin
generasi pertama tidak direkomendasikan karena
kerentanan dari β-laktamase. Eritromisin tidak
direkomendasikan karena insufiensi aktivitas melawan
H. Influenza.
 Pada keadaan memburuk dengan komplikasi dimana
mungkin terdapatpneumococci resisten obat, yang
H.influenza dan M.catarrhalis penghasil β-laktamase,
dan organisme enterik gram negatif, terapi yang
direkomendasikan termasuk amoksisilin/klavulanat atau
fluorokuinon dengan peningkatan aktivitas terhadap
pneumococcus (levofloksasin, gatifloksasin,
moksifloksasin)

6. ASMA
A. Defenisi
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran pernafasan yang
melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas

30
akut bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi saluran pernafasan, dan
gejala pernafasan (mengi dan sesak). Obstruksi jalan nafas umumnya
bersifat reversible, namun dapat menjadi kurang reversible bahkan relative
non reversible, tergantung berat dan lamanya penyakit.

B. Etiologi
Walaupun prevalensi kejadian asma pada populasi tidak kecil, yaitu 3-5%
etiologic asma belum dapat ditetapkan dengan pasti. Tampaknya terdapat
hubungan antara asma dengan alergi. Pada sebagian penderita asma
ditemukan riwayat alergiserangan asmanya juga sering dipicu oleh
pemajanan terhadap akergen. Pasien yang mempunyai komponen alergi,
jika ditelusuri ternyata terdapat riwayat asma pada keluarga, hal ini
menimbulkan pendapat bahwa terdapat factor genetic.
C. Patofisiologi
Keadaan yang dapat menimbulkan asma menstimulasi terjadinya
bronkopasme melalui salah satu dari 3 mekanisme yaitu:
1. Degranulasi sel mast dengan melibatkan immunoglobulin E (IgE)
2. Degranulasi sel mast tanpa melibatkan IgE
Degranulasi sel mast menyebabkan terlepasnya histamin, yaitu suatu
slow-reacting substance of anaphylaxis, dan kinin yang menyebabkan
bronkokontriksi
3. Stimulasi langsung otot bronkus tanpa melibatkan sel mast
Episode bronkopastik berkaitan dengan fluktuasi konsentrasi c-GMP
(cyclic guanosine monophosphate) atau konsentrasi c-AMP (cyclic
adenosine monophosphate), atau konsentrasi keduanya didalam otot
polosbronkus dan sel mast. Peningkatan konsentrasi c-GMP dan
penurunan konsentrasi c-AMP intraseluler berkaitan dengan terjadinya
bronkospasme sedangkan keadaan peningkatan c-AMP dan penurunan
c-GMP menyebabkan bronkokodilatasi. Produk IgE spesifik
memerlukan sensitisasi terlebih dahulu. Penurunan aliran udara
ekspirasi tidak hanya diakibatkan oleh bronkokontriksi saja, tetapi juga
oleh adanya edema mukosa dan sekresi lender yang berlebihan.

31
D. Manifestasi klinis
Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat
hiperaktifitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversible secara
spontan atau melalui pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain:
1. Bising mengi (wheezing) dan terdengar dengan atau tanpa stetoskop.
2. Batuk yang produktif, sering pada malam hari
3. Nafas atau dada seperti tertekan.

Gejala bersifat proksimal, yaitu membaik pada siang hari dan


memburuk pada malam hari.

a. VEP/APE nilai 60-75% = ringan


b. VEP/APE nilai 40-59% = sedang
c. VEP/APE nilai <40% = berat

32
E. Terapi non farmakologi
1. Edukasi pasien Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra
dokter dalam penatalaksanaan asma. Edukasi kepada pasien/keluarga
bertujuan untuk :
- meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan
pola penyakit asma sendiri)
- meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma
sendiri/asma mandiri)
- meningkatkan kepuasan
- meningkatkan rasa percaya diri
- meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
- membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol
asma Bentuk pemberian edukasi
- Komunikasi/nasehat saat berobat
- Ceramah
- Latihan/training
- Supervisi
- Diskusi
- Tukar menukar informasi (sharing of information group)
- Film/video presentasi
- Leaflet, brosur, buku bacaan
- dll

Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, upaya meningkatkan


kepatuhan pasien dilakukan dengan :

1. Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk setiap


tindakan/penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan
tersebut dan manfaat yang dapat dirasakan pasien

33
2. Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang penanganan
yang diberikan dan bagaimana pasien melakukannya. Bila mungkin kaitkan
dengan perbaikan yang dialami pasien (gejala dan faal paru).

3. Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan pasien.

4. Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma.

5. Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan pasien,
sehingga pasien merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara konkret.

6. Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang disetujui bersama dan


yang akan dilakukan, pada setiap kunjungan.

7. Mengajak keterlibatan keluarga.

8. Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status


sosioekonomi yang dapat berefek terhadap penanganan asma

2. Pengukuran peak flow meter Perlu dilakukan pada pasien dengan asma
sedang sampai berat. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak
Flow Meter ini dianjurkan pada :

1. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh
pasien di rumah.

2. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.

3. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten


usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit,
pasien yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko
tinggi untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa.

Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu


pengobatan seperti :

34
 Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
 Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan
berjalan baik
 Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan
atau penghentian obat
 Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD

3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

4. Pemberian oksigen

5. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak

6. Kontrol secara teratur

7. Pola hidup sehat Dapat dilakukan dengan :

 Penghentian merokok
 Menghindari kegemukan
 Kegiatan fisik misalnya senam asma

F. Terapi farmakologi

1. Simpatomimetik

Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai

berikut :

1. Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya

vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.

2. Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan

35
kontraktilitas dan irama jantung.

3. Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan

klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.

Selektifitas relatif obat-obat simpatomimetik adalah faktor penentu utama

penggunaan secara klinik dan untuk memprediksi efek samping yang

umum. Obat simpatomimetik selektif β2 memiliki manfaat yang besar dan

bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada

terapi asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan

bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan

efek perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya

alergen, latihan) yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila

diberikan secara sistemik. Pada tabel 2 dapat dilihat perbandingan efek

farmakologi dan sifat farmakokinetik berbagai obat simpatomometik yang

digunakan pada terapi asma.

2. Xantin

Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan

merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah

pulmonal, merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi

asam lambung, menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan

menghambat kontraksi uterus. Teofilin juga merupakan stimulan pusat

pernafasan. Aminofilin mempunyai efek kuat pada kontraktilitas diafragma

pada orang sehat dan dengan demikian mampu menurunkan kelelahan

36
serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi

saluran pernapasan kronik.

3. Antikolinergik

A. Ipratropium Bromida

Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik

(parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal dengan cara

mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat

lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat sistemik.

Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi

dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa

dan seromukus mukosa hidung.

B. Tiotropium Bromida

Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya

digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan,

tiotropium menunjukkan efek farmakologi dengan cara menghambat

reseptor M3 pada otot polos sehingga terjadi bronkodilasi.

Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat sangat

spesifik pada lokasi tertentu.

4. Kromolin Sodium dan Nedokromil

A. Kromolin Natrium

Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak mempunyai

aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau

37
aktivitas glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan

mediator, histamin dan SRS-A (Slow Reacting Substance

Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast. Kromolin bekerja lokal pada

paru-paru tempat obat diberikan.

B. Nedokromil Natrium

Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan

asma. Obat ini akan menghambat aktivasi secara in vitro dan

pembebasan mediator dari berbagai tipe sel berhubungan dengan

asma termasuk eosinofil, neutrofil, makrofag, sel mast, monosit dan

platelet. Nedokromil menghambat perkembangan respon bronko

konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi.

5. Kortikosteroid

Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik

dengan cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid.

Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang

terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan

memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor,

atau merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan inhaler

akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan efek

sistemik minimal.

6. Antagonis Reseptor Leukotrien

A. Zafirlukast

38
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang

selektif dan kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA -

slow-reacting substances of anaphylaxis). Produksi leukotrien dan

okupasi reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan,

konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas selular yang

berhubungan dengan proses inflamasi, yang menimbulkan tanda

dan gejala asma.

B. Montelukast Sodium

Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien selektif dan aktif

pada penggunaan oral, yang menghambat reseptor leukotrien

sisteinil (CysLT1). Leukotrien adalah produk metabolisme asam

arakhidonat dan dilepaskan dari sel mast dan eosinofil. Produksi

leukotrien dan okupasi reseptor berhubungan dengan edema

saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas

selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang

menimbulkan tanda dan gejala asma.

C. Zilueton

¾ Mekanisme Kerja

Zilueton adalah inhibitor spesifik 5-lipoksigenase dan selanjutnya

menghambat pembentukan (LTB1, LTC1, LTD1, Lte1).

39
BAB III
3.1 Kesimpulan
Infeksi Saluran Pernafasan Bawah memiliki berbagai macam penyakit

dimana diantaranya ialah Bronkitis,Bronkiolitis, Batuk Rejan,Asma, PPOK dan

pneumonia. Dan ini banyak disebabkan oleh virus,bakteri dan mikroorganisme

lainnya.

3.2 Saran

Demikian makalah ini dibuat, penulis mengharapkan berbagai kritik dan


saran dari dosen pengajar dan pembaca makalah ini agar makalah ini menjadi
sempurna.

40
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. 2008. ISO

Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan: Jakarta.

Amin HN. Hardhi K. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa


medis dan NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC .
Yogyakarta :MediAction

Anonim.2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan.


DEPKES RI.

Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Indonesia.

Mandal,Wilkins,Dunbar,Mayon-White.2008.Lecture Notes: Penyakit Infeksi Edisi


Keenam.Jakarta: Penerbit Erlangga

41

Anda mungkin juga menyukai