oleh
Sahrotul Yuniawati, S.Kep
NIM 192311101211
2. Definisi
Pasien dengan gagal ginjal sering mengalami gejala klinis yang berkaitan
dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, anemia, malnutrisi dan gangguan
gastrointestinal. Salah satu dari komplikasi tersebut adalah uremic encephalopathy.
Uremic encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik yang terjadi pada pasien
dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan nilai kadar Creatinine
Clearance menurun dan tetap di bawah 15 mL/mnt.
Uremic encephalopathy merupakan salah satu bentuk dari ensefalopati
metabolik. Ensefalopati metabolik merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang
global yang menyebabkan terjadi perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku dan
kejang yang disebabkan oleh kelainan pada otak maupun diluar otak.
Istilah Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronis merupakan
terjadinya kerusakan ginjal secara permanen yang akan memburuk seiring
berjalannya waktu. CKD merupakan penyakit ginjal stadium akhir atau End Stage of
Renal Disease (ESRD) yang membutuhkan penanganan berupa transplantasi ginjal
atau dengan upaya dialisis (American Kidney Fund, 2018., National Kidney
Foundation, 2018). CKD merupakan kondisi dimana ginjal mengalami kerusakan
sehingga tidak dapat menyaring darah sebagaimana mestinya (Center for Disease
Control and Prevention, 2018). Semakin cepat kerusakan ginjal diketahui, maka
semakin cepat tindakan yang dapat dilakukan untuk melindungi ginjal (National
Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, 2018).
3. Epidemiologi
Data dari Global Burden of Disease Study tahun 2010, GGK berada di posisi
18 sebagai penyebab kematian di dunia (16,3 dari 100.000 kematian / tahun) (Lozano,
Naghavi, Foreman, Lim, Shibuyan,et., al, 2012 ; Jos, 2016). Di Indonesia, prevalensi
CKD sangat tinggi. Data dari Riskesdas (2018) menyatakan bahwa prevalensi Gagal
Ginjal Kronis usia ≥15 Tahun pada tahun 2018 mencapai 0,38%.
Pasien GGK membutuhkan terapi sebagai pengganti fungsi ginjal, salah
satunya adalah hemodialisis. Menurut data dari Pernefri tahun 2011, 87% (sebanyak
13.619 orang) pasien gagal ginjal kronik stase akhir yang menjalani hemodialisis.
Data dari Indonesian Renal Registry (IRR) yang dikutip oleh Sodikin dan Suparti,
(2015) melaporkan pasien baru yang mengalami hemodialisa meningkat setiap
tahunnya.
Angka kejadian UE di dunia tidak diketahui. UE dapat terjadi pada pasien
manapun dengan End-Stage Renal Disease (ESRD), dan angka kejadian UE secara
langsung tergantung pada jumlah pasien tersebut. Peningkatan kasus ESRD seiiring
dengan peningkatan kasus UE. Berdasarkan Center for Disease Control and
Prevention (CDC), pada tahun 2013 jumlah pasien ESRD yang dirawat di Amerika
Serikat sebesar 1973,20 per 1 juta jumlah penduduk sedangkan di Asia sebesar 2990
per 1 juta penduduk. Di Indonesia, berdasarkan Pusat Data dan Informasi
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, jumlah pasien GGK diperkirakan
sekitar 50 orang per satu juta penduduk, 60% nya adalah laki-laki, usia dewasa dan
usia lanjut.
4. Etiologi
Penyakit ginjal kronik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, nefropati
analgesik, nefropati refluks, ginjal polikistik, nefropati diabeti, penyebab lain seperti
hipertensi, obstruksi, gout, dan tidak diketahui (Mansjoer, 2000). InfoDATIN (2017)
menyebutkan bahwa faktor resiko proporsi terbesar pasien hemodialisis disebabkan
oleh penyakit hipertensi dan diabetes. Di Indonesia, sampai dengan tahun 2000,
penyebab terbanyak adalah glomerulonefritis, namun beberapa tahun terakhir menjadi
hipertensi berdasarkan data IRR (InfoDATIN, 2017).
a. Hipertensi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-
perubahan stuktur pada arteriol diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan
hialinisasi (sklerosis) di dinding pembuluh darah. Pada ginjal karena aterosklerosis
ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis benigna. Ginjal
mengecil, biasanya simetris dan permukaan berlubang-lubang dan berglanula.
Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi
tubulus, sehingga seluruh nefron rusak.
b. Diabetes
Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi penderita diabetes di Indonesia
adalah sebesar 5,7%, dan hanya 26,3% yang telah terdiagnosis. Diabetes mellitus
menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam bentuk nefropati diabetik yaitu semua lesi
yang terjadi di ginjal pada diabetes mellitus. Seiring waktu, tingginya tingkat gula
dalam darah merusak jutaan unit penyaringan kecil dalam setiap ginjal. Hal ini
akhirnya mengarah pada gagal ginjal.
c. Obesitas
Pada obesitas, ginjal juga harus bekerja lebih keras menyaring darah lebih dari
normal untuk memenuhi kebutuhan metabolik akibat peningkatan berat badan.
Peningkatan fungsi ini dapat merusak ginjal dan meningkatkan risiko terjadinya PGK
dalam jangka panjang.
d. Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
e. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE),
poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
f. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
g. Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
h. Nefropati obstruktif
5. Klasifikasi
American Society of Nephrology (2018) menjelaskan bahwa CKD dapat
diklasifikasikan berdasarkan stadium penyakitnya, yaitu:
Stadium 1 GFR ≥90 mL/min/1,73 GFR normal dengan
m2 proteinuria
Stadium 2 GFR 60-89 Berhubungan dengan
mL/min/1,73 m2 penurunan fungsi pada
proses filtrasi, sehingga
terjadi penutrunan GFR
dan proteinuria
Stadium 3A GFR 30-59 Low risk progression to
Stadium 3B mL/min/1,73 m2 kidney failure
Stadium 4 GFR 15-29 High risk progression
mL/min/1,73 m2 to kidney failure
Stadium 5 GFR <15 Gagal ginjal
Stadium 5D mL/min/1,73 m2
Stadium 5T
6. Manifestasi klinis
Penyakit ginjal kronis awalnya tidak menunjukkan tanda dan gejala namun
dapat berjalan progresif menjadi gagal ginjal. Penyakit ginjal bisa dicegah dan
ditanggulangi dan kemungkinan untuk mendapatkan terapi yang efektif akan lebih
besar jika diketahui lebih awal (InfoDATIN, 2017).
a) Manifestasi kardiovaskular : hipertensi, gagal ginjal kongestif, edema pulmonal.
Perikarditis.
b) Gejala-gejala dermatologis : gatal-gatal hebat (pruritus), serangan uremik tidak
umum karena pengobatan dini dan agresif
c) Gejala-gejala gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah dan cegukan, penurunan
aliran saliva, haus, rasa kecap logam dalam mulut, kehilangan kemampuan
penghidu dan pengecap dan parotitis atau stomatitis
d) Perubahan neuromuskular: perubahan tingkat kesadaran, kacau mental,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.
e) Perubahan hematologis: kecenderungan perdarahan
f) Keletihan dan letargik, sakit kepala, kelemahan umum
Tanda gejala dari Ensefalopati Uremikum
Ringan Sedang Berat
Anoreksia Muntah Gatal
Mual Lamban Gangguan
orientasi
Insomnia Mudah lelah Kebingungan
“restlessness” Mengantuk Tingkah laku aneh
Kurang atensi Perubahan pola tidur Bicara pelo
Tidak mampu Emosional Hipotermia
menyalurkan ide
Penurunan libido Paranoia Mioklonus
Penurunan kognitif Asterixis
Penurunan abstraksi Kejang
Penurunan Stupor
kemampuan seksual
Koma
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan CKD
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa gagal ginjal
kronik yaitu
a. Urinalisis
Urinalisis adalah pemeriksaan mikroskopik urine. Prosedur ini memeriksa sedimen
setelah urine disentrifugasi. Urine yang normal hampir tidak mengandung sedimen
(Baradero, dkk, 2008).
b. Darah
Penilaian CKD dengan ganguan yang serius dapat dilakukan dengan
pemerikasaan laboratorium, seperti: kadar serum sodium/natrium dan
potassium/kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb, hematokrit, kadar urea
nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi kreatinin urin, urinalisis.
1) Hb: menurun pada adanya anemia
2) pH: asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan
kemampuan ginjal untuk mengekresikan hidrogen dan hasil akhir metabolisme.
3) BUN/kreatinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein),
perfusi renal, dan masukkan protein. Serum kreatinin meningkat pada kerusakan
glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal
dan perkembangan penyakit. Biasanya meningkat pada proporsi rasio 10:1.
4) Osmolalitas serum: labih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan urine.
5) Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan
seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
6) Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
7) pH, kalsium dan bikarbonat: menurun.
8) Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat.
9) Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan protein
melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan penurunan sintesis
karena kekurangan asam amino esensial (Doenges, 2000).
c. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan
gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia). Pemeriksaan ini menilai besar dan
bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system
pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostate.
d. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi
dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan
rontgen tulang, foto polos abdomen. Berberapa pemeriksaan radiologi yang biasa
digunanakan untuk mengetahui gangguan fungsi ginjal antara lain:
1) Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika urinaria
untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari ginjal. Pada
gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang mungkin disebabkan
karena adanya proses infeksi.
2) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara jelas
struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras atau tanpa
kontras.
3) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan fungsi
ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus gangguan ginjal
yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali kongental, kelainan prostat,
calculi ginjal, abses / batu ginjal, serta obstruksi saluran kencing.
4) Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena, dan
kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras. Pemeriksaan ini biasanya
dilakukan pada kasus renal arteri stenosis, aneurisma ginjal, arterovenous fistula,
serta beberapa gangguan bentuk vaskuler.
5) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus
yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi pada ginjal serta
post transplantasi ginjal.
e. Biopsi Ginjal
Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan mengambil
jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus
golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan perencanaan
transplantasi ginjal.
f. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi darah arteri,
pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam pemeriksaan ini
diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri femoralis, radialis, atau
brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah diberi heparin untuk mencegah
pembekuan darah sebelum dilakukan uji laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah
arteri pada penderita gagal ginjal akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolik
dengan nilai PO2 normal,PCO2 rendah, pH rendah, dan defisit basa tinggi (Grace dan
Borley, 2006).
Pemeriksaan uremi ensepalopati
Pemeriksaan laboratorium pada UE antara lain darah lengkap, elektrolit, glukosa,
ureum, kreatinin, fungsi hati dan amonia. Pada UE terdapat nilai kreatinin yang
tinggi. Darah lengkap diperiksa untuk melihat adanya anemia karena dapat berperan
dalam beratnya perubahan status mental. Sementara jika ditemukan leukositosis
menunjukkan adanya proses infeksi. Elektrolit, dan glukosa diperiksa untuk
menyingkirkan penyebab ensefalopati lainnya
8. Patofisiologi
Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme
protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah, maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal
menyebabkan penurunan substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Dengan menurunnya GFR mengakibatkan penurunan kreatinin dan peningkatan
kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam
usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin sampai
ke otak mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama
pada neurosensori. Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga
meningkat.
Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau
diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit.
Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung kongestif. Penderita
dapat menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan suplai oksigen dengan
kebutuhan. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites.
Hal ini menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu
dimonitor balance cairannya. Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis
metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Terjadi
penurunan produksi eritropoetin yang mengakibatkan terjadinya anemia. Sehingga
pada penderita dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan kulit terlihat pucat
menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas. Dengan menurunnya filtrasi
melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan
kadar serum kalsium. Pasien gagal ginjal mengalami kulit berwarna pucat akibat
anemia dan gatal-gatal akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori
kulit. Butiran uremik merupakan suatu penumpukan kristal urea dikulit. Laju
penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan
gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi
(Smeltzer dan Bare, 2001).
Patofisiologi dari uremi ensepalopati (UE). Urea menembus sawar darah otak
melalui sel endotel dari kapiler otak. Urea sendiri tidak bisa dijadikan satu-satunya
penyebab dalam terjadinya ensefalopati, karena jumlah ureum dan kreatinin tidak
berhubungan dengan tingkat penurunan kesadaran ataupun adanya asterixis dan
myoclonus. Pada gangguan ginjal, metabolisme otak menurun sehingga
menyebabkan rendahnya konsumsi oksigen serebri. Penjelasan yang memungkinkan
pada perubahan ini adalah reduksi neurotransmitter, menyebabkan aktivitas metabolik
berkurang. Dengan adanya uremia, terdapat peningkatan kalsium transpor akibat
PTH. Beberapa studi menyatakan bahwa aktivitas pompa Na/K ATPase ouabain-
sensitif menurun pada keadaan uremik akut maupun kronik. Karena pompa ini
penting dalam pelepasan neurotransmitter seperti biogenic amines, hal ini dapat
membantu menjelaskan gangguan fungsi sinaps dan menurunnya konsentrasi
neurotransmitter yang mengalami uremi.
Gagal Ginjal
A. Clinical Pathway Kronis/Chroni Sekresi protein terganggu
c Kidney
Retensi Na Sindroma uremia
Disease
Nyeri Akut
9. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan konservatif
1) Pengaturan diet protein.
Pengaturan diet penting sekali pada pengobatan GGK. Pembatasan protein
tidak hanya mengurangi kadar BUN dan mungkin juga hasil metabolisme
protein toksik yang belum diketahui, tetapi juga mengurangi asupan kalium,
fosfat, dan produksi ion hidrogen yang berasal dari protein.
2) Pengaturan diet kalium.
Hiperkalemia umumnya menjadi masalah dalam gagal ginjal lanjut, dan juga
menjadi penting untuk membatasi asupan kalium dalam diet.
3) Pengaturan diet natrium dan cairan.
Pengaturan natrium dalam diet memiliki arti penting dalam gagal ginjal.
Jumlah natrium yang biasanya diperbolehkan adalah 40 hingga 90 mEq/hari
(1 hingga 2 gr natrium), tetapi asupan natrium yang optimal harus ditentukan
secara individual pada setiap pasien untuk mempertahankan hidrasi yang baik.
4) Pencegahan dan pengobatan komplikasi.
Kategori kedua dari tindakan konservatif yang digunakan pada pengobatan
gagal ginjal adalah tindakan yang ditujukan untuk mencegah dan mengatasi
komplikasi meliputi hipertensi, hiperkalemia, anemia, dll.
5) Pengobatan segera pada infeksi.
Pasien GGK memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap serangan infeksi,
terutama infeksi saluran kemih. Semua jenis infeksi dapat memperkuat proses
katabolisme dan mengganggu nutrisi yang adekuat serta keseimbangan cairan
dan elektrolit sehingga infeksi harus segera diobati untuk mencegah gangguan
fungsi ginjal lebih lanjut.
6) Pemberian obat dengan hati-hati.
Ginjal mengekskresikan banyak obat sehingga obat-obatan harus diberikan
secara hati-hati pada pasien uremik.
b. Penatalaksanaan Terapi Pengganti Ginjal
1) Hemodialisis
Hemodialisa merupakan suatu proses penyaringan darah untuk mengeluarkan
produk-produk sampah metabolisme pada pasien dalam keadaan sakit akut
dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal (ESRD atau
end-stage renal disease) yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi
permanen. Satu membran sintetik yang semipermeabel menggantikan
glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang
terganggu fungsinya (Smeltzer dan Bare, 2001). Tindakan terapi dialisis tidak
boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia dan malnutrisi. Tetapi
terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien CKD yang belum tahap
akhir akan memperburuk faal ginjal (GFR).
2) Dialisis Peritoneal
Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisis pada penanganan gagal
ginjal akut dan kronik.
3) Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal.
BAB 2. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
I. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, suku bangsa, agama, perkawinan,
No.registrasi, pendidikan, pekerjaan, tinggi badan, berat badan, tanggal dan jam
masuk rumah sakit. identitas penanggung jawab.
II. Riwayat Kesehatan
1. Diagnosa Medik
Diagnosa medik jelas yaitu CKD dengan penyakit lain yang menyertai jika ada.
2. Keluhan utama
Biasanya badan terasa lemah, mual, muntah, dan terdapat odem.
3. Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan pada pasien atau keluarga keluhan muncul sejak kapan, Keluhan lain
yang menyerta biasanya: gangguan pernapasan, anemia, hiperkelemia,
anoreksia, tugor pada kulit jelek, gatal-gatal pada kulit, asidosis metabolik.. hal-
hal yang telah dilakukan oleh pasien dan keluarga untuk mengatasi keluhan
tersebut sebelum MRS.
4. Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan pada pasien atau keluarga apakah ada riwayat penyakit DM,
hipertensi, ISK, glomerulonefritis, obesitas
5. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan pada pasien apakah keluarga pasien ada yang mengalami keluhan
yang saa dengan pasien atau apakah keluarga ada yang mengalami penyakit
DM , hipertensi dan glomerulonefritis
III. Pengkajian Keperawatan
1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Perawat harus melakukan anamnesis kepada pasien tentang persepsi sehat-
sakit, pengetahuan status kesehatan pasien saat ini, perilaku untuk mengatasi
kesehatan dan pola pemeliharaan kesehatan.
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Gejala: Peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan
(malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa tak sedap pada
mulut.
Tanda: Distensi abdomen/asites, pembesaran hati (tahap akhir). Perubahan
turgor kulit/kelembaban. Edema (umum, tergantung). Ulserasi (umum,
tergantung). Ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah. Penurunan otot, penurunan
lemak subkutan, penampilan tak bertenaga
3. Pola eliminasi
Pada pola eliminasi perlu dikaji adanya perubahan ataupun gangguan pada
kebiasaan BAB dan BAK. Gejala: penurunan frekuensi urine, oliguria, onuria
(gagal tahap lanjut), abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah, coklat, berawan,
oliguria, dapat menjadi anuria.
4. Pola aktivitas dan latihan
Gejala: Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise.
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak..
5. Pola tidur dan istirahat
Gangguan tidur (Insomnia/gelisah atau samnolen).
6. Pola Kognitif dan konseptual
Tingkat kesadaran, orientasi, daya penciuman, daya rasa, daya raba, daya
pendengaran, daya penglihatan, nyeri (PQRST), faktor budaya yang
mempengaruhi nyeri, cara-cara yang dilakukan pasien untuk mengurangi
nyeri, kemampuan komunikasi, tingkat pendidikan, luka.
7. Pola persepsi diri
Perawat harus mengkaji pasien mengenai Keadaan sosial : pekerjaan, situasi
keluarga, kelompok sosial, Identitas personal : penjelasan tentang diri sendiri,
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, keadaan fisik, segala sesuatu yang
berkaiyan dengan tubuh (yg disukai dan tidak), Harga diri : perasaan
mengenai diri sendiri, Ancaman terhadap konsep diri (sakit, perubahan fungsi
dan peran).
8. Pola peran dan hubungan
Perawat mengkaji Peran pasien dalam keluarga, pekerjaan dan sosial,
kepuasan peran pasien, pengaruh status kesehatan terhadap peran,
pentingnya keluarga, pengambil keputusan dalam keluarga, orang-orang
terdekat pasien, pola hubungan orang tua dan anak. Akibat dari proses
inflamasi tersebut secara langsung akan mempengaruhi hubungan baik
intrapersonal maupun interpersonal.
9. Pola seksualitas dan reproduksi
Masalah seksual, dekripsi prilaku seksual, pengetahuan terkait seksualitas dan
reproduksi, dan efek status kesehatan terhadap seksualitas. Masalah
riwayat gangguan fisik dan psikologis terkait seksualitas. Pada pola
reproduksi dan seksual pada pasien yang sudah menikah akan mengalami
perubahan.
10. Pola toleransi coping-stress
Perawat perlu mengkaji adalah sifat pencetus stress yang dirasakan baru-baru
ini, tingkat stress yang dirasakan, gambaran respons umum dan khusus
terhadap stress, strategi mengatasi stress yang biasa digunakan dan
keefektifannya, strategi koping yang biasa digunakan, pengetahuan dan
penggunaan teknik manajemen stress, hubungan antara manajemen stress
dengan keluarga. Faktor stress, contohnya financial, hubungan dan
sebagainya. Perasaan yang tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda: Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Latar belakang etnik dan budaya pasien, status ekonomi, perilaku kesehatan
terkait nilai atau kepercayaan, tujuan hidup pasien, pentingnya agama
bagi pasien, akibat penyakit terhadap aktivitas keagamaan. Adanya
kecemasan dalam sisi spiritual akan menyebabkan masalah yang baru yang
ditimbulkan akibat dari ketakutan akan kematian dan akan mengganggu
kebiasaan ibadahnya.
IV. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : Kedaan umum pasien biasanya lemah.
Tekanan Darah : Biasanya tinggi (Normal : 120/80mmHg)
Pernafasan (RR): (Rentang normal : 16-24x/menit)
Gejala: Napas pendek; dispnea noktural paroksismal; batuk dengan/tanpa
sputum kental dan banyak.
Tanda: takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi/kedalaman. Batuk produktif
dengan sputum merah muda encer (edema paru).
Sirkulasi.
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi : nyeri dada (angina).
Tanda: Hipertensi : DVJ, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada
kaki, telapak, tangan, Distritmia jantung. Nadi lemah halus, hipotensi ortostatik
menunjukkan hipovolemia, yang jarang pada penyakit tahap akhir.
Denyut nadi (HR): (Normal : 60-100x/menit)
Suhu tubuh : kadang normal atau tinggi (Normal: 36 ˚C)
Nyeri/kenyamanan.
Gejala: Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki (memburuk saat
malam hari).
Tanda: Perilaku berhari-hari/distraksi, gelisah.
a) Pengkajian Fisik Head to Toe (Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi)
1. Kepala
Inspeksi kepala pasien simetris. Kulit kepala. Ada tidaknya nyeri tekan atau
benjolan pada kepala.
Gejala: Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang, sindrom “kaki
gelisah” bebas rasa terbakar pada telapak kaki. Bebas kesemutan dan
kelemahan, khususnya ekstremitas bawah (neuropati perifer).
Tanda: Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan
tingkat kesadaran, strupor, koma, kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang,
rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
2. Leher
Lihat JVP pasien. Melihat ada atau tidaknya pembesaran kelenjar tiroid.
Ada nyeri pada leher atau tidak.
3. Dada
inspeksi : adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma, pergerakan
napas yang tertinggal, suara napas melemah.
Palpasi : Fremitus suara meningkat.
Perkusi : Suara ketok redup.
Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah, kasar dan
yang nyaring.
4. Abdomen
Lihat ada tidaknya masalah pada abdomen pasien. Bisa dinilai ada nyeri
tekan atau tidak.
5. Urogenital
Lihat ada tidaknya masalah pada system urogenital pasien.
6. Ekstremitas
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kelelahan ekstremitas,
kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
7. Kulit dan kuku
Kulit dan kuku pasien dilihat apakah pucat. Pada kulit terjadi sianosis,
dingin dan lembab, tugor kulit menurun, kulit gatal, ada/berulangnya
infeksi, pruritis, demam (sepsis, dehidrasi), normotermia dapat secara
actual terjadi peningkatan pada pasien yang mengalami suhu tubuh lebih
rendah dari normal (efek GGK/depresi respon imun), petekie, area
ekimosis pada kulit.
8. Keadaan local
Keadaan pasien biasanya kurang baik dan lemah, membutuhkan keluarga
untuk selalu mendampingi.
V. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Darah
2. Pemeriksaan Radiologi
3. Tes Fungsi Ginjal
2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran Gas
2. Nyeri akut
3. Hipervolemia
4. Resiko deficit nutrisi
5. Kerusakan integritas Jaringan/kulit
6. Intoleransi Aktivitas
7. perfusi perifer tidak efektif
3. Intervensi/Nursing Care Plan
No Diagnosa SLKI SIKI
Keperawatan
1 Gangguan Setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 2x24 jam diharapkan gangguan Pemantauan respirasi :
pertukaran Gas
pertukaran gas membaik dengan kriteria hasil
1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman
(skore 5):
dan upaya nafas
1. Tingkat kesadaran
2. Monitor pola nafas
2. Dispneu 3. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
4. Auskultasi bunyi nafas
3. Bunyi nafas tambahan
5. Monitor AGD
4. Pusing 6. Monitor hasil x-ray toraks
7. Dokumentasi hasil pemantauan
5. Penglihatan kabur
8. Jelaskan tujuan dan prosedur
6. Gelisah pemantauan
9. Kolabolari dengan tim medis lainnya
7. Nafas cuping hidung
8. PCO2
9. PO2
10. Takikardia
11. Sianosis
12. Pola nafas
13. Warna kulit
Lozano, R., Naghavi, M., Foreman, K., Lim, S., Shibuya, K., Aboyans, V.,&
AlMazroa, M. A. (2012). Global and regional mortality from 235 causes of
death for 20 age groups in 1990 and 2010: a systematic analysis for the Global
Burden of Disease Study 2010. The lancet, 380(9859), 2095-2128
Mansjoer, A. et.al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Ed.3.
Jakarta: Media Aesculapius.
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. 2018. Chronic
Kidney Disease (CKD). 2018. https://www.niddk.nih.gov/health-
information/kidney-disease/chronic-kidney-disease-ckd/what-is-chronic-
kidney-disease (diakses pada tanggal 06 Desember 2020)
Sodikin dan Suparti. (2015). Fatique pada pasien gagal ginjal terminal (GGT) yang
menjalani hemodialisis di RSUD Prrof.DR.Margono Soekardjo Purwokerto.
Universitas Muhammadiyah purwokerto
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI