Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ramses Benediktus Sihotang

NPM : 190510069
Semester : III-A
Mata Kuliah : Filsafat Budaya
Dosen : Dr. Laurentius Tambunan
PEMBERIAN ULOS DALAM ADAT UPACARA MENINGGAL DALAM BUDAYA
BATAK TOBA
Pengantar
Suku Batak Toba merupakan salah satu suku yang terdapat di Sumatera Utara. Suku ini
berkembang dalam sebuah pulau yang dinamakan pulau Samosir yang dikelilingi Danau Toba. Dari
pulau ini, berkembanglah suku tersebut ke berbagai tempat dan menjadi salah satu suku yang
mempunyai penyebaran yang signifikan.
Suku Batak Toba terkenal dengan pesta adat yang banyak dilakukan. Dalam merayakan
adat, suku Batak Toba memiliki cara tersendiri yang mengagumkan. Suku ini mempunyai kekhasan
dalam adat, yakni merayakan segala gerak kehidupan dengan pesta. Perayaan-perayaan yang ada
dalam kebudayaan Batak Toba sangat beragam, mulai dari kelahiran anak (di beberapa daerah
disebut mamusuri, suatu upacara untuk seorang anak yang sudah balita dan di dalamnya dilakukan
pemberian parompa/selendang gendong sebagai tanda doa agar anak itu panjang umur); upacara
pengguntingan rambut oleh tulang (paman), upacara tersebut melambangkan bahwa hula-hula itu
sangat dihormati dalam Batak Toba, padanya pasu-pasu satonga langit (berkat setengah langit); ada
juga upacara perkawinan, di dalamnya terdapat berbagai aspek yang harus dilalui supaya
perkawinan itu dikatakan sah, seperti martuppol, mangalap ari, sampai pada upacara mangadati
yang dilakukan dengan pesta. Sebuah keluarga dikatakan sebagai keluarga yang “terhormat” apabila
keluarga itu sudah mangadati, di mana pihak laki-laki telah “melunasi” semua hal yang berkenaan
dengan pesta adat tersebut. Akhirnya, masyarakat mengenal adat yang dilakukan dalam upacara
penghormatan terakhir kepada seorang yang telah meninggal dunia. Dalam pembahasan ini, penulis
membatasi bahasan pada upacara yang dilakukan pada seseorang yang telah meninggal.

Upacara Pada Seseorang yang Telah Meninggal


Pada prinsipnya, budaya Batak Toba sangat memberikan perhatian pada pesta. Banyak pesta
yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba terkait dengan kehidupan adat istiadatnya. Ketika
seseorang hendak melakukan suatu pesta terkait dengan adat istiadat, maka dia akan mengundang
orang atau masyarakat Batak Toba lainnya, mulai dari keluarga terdekat (dalihan natolu) sampai
semua orang yang pernah dikenalnya. Sebagai partisipasi, seorang yang diundang ke pesta adat
biasanya membawa sesuatu yang dapat menopang berlangsungnya pesta tersebut. Jika ia masih ada
dalam lingkaran dalihan natolu, maka seseorang itu biasanya membawa beras dalam tandok
(sejenis tenunan dari tumbuhan pandan) atau dapat juga membawa ulos. Sedangkan jika ia tidak
termasuk dalam lingkaran dalihan natolu maka seseorang itu seminimal mungkin harus membawa
sejumlah uang sebagai tumpak (uang partisipasi karena telah menikmati pesta).
Dalam pelaksanaan adat pada seorang yang telah meninggal, keluarga akan memberikan
penghormatan setinggi-tingginya dalam bentuk pesta yang ada, seturut adat na hombar tu si (adat
yang sesuai dengan orang yang telah meninggal tersebut). Dalam pesta-pesta yang diselenggarakan,
pihak parboru merupakan pihak yang mempersiapkan banyak hal. Hal ini berlaku dalam semua
bentuk pesta dalam adat Batak Toba.

Mangulosi
Penghormatan terakhir dalam adat Batak Toba sangat berhubungan erat dengan pemberian
ulos, baik kepada orang yang telah meninggal, maupun kepada keluarga terdekat yang ditinggalkan.
Secara umum, ulos menjadi suatu simbol kelengkapan pesta. Jika seorang yang telah meninggal di-
ulosi, maka seseorang itu sudah layak untuk dikuburkan.
Ulos menjadi suatu simbol yang kerap digunakan oleh masyarakat Batak Toba. Dalam
masyarakat Batak Toba, ulos menjadi suatu sumber kehangatan dalam hubungan spiritual
kekerabatan Batak.1 Ada tiga elemen penting yang hendak ditonjolkan dalam pemberian ulos
(mangulosi):2 1. Hubungan kekerabatan antara si pemberi dan si penerima ulos; 2. Hubungan
penghormatan/penghargaan dari si pemberi kepada si penerima ulos; 3. Hubungan kekerabatan
spiritual dilandasi pengharapan spiritual dalam doa bagi kehidupan si penerima ulos.
Dalam mangulosi, ada jenis ulos tertentu yang diberikan kepada orang yang telah meninggal
dan kepada keluarga yang ditinggalkan. Ulos yang diberikan dalam upacara penghormatan terakhir
adalah ulos saput, ulos tujung, ulos sampe tua, dan ulos panggabei (ulos holong). Pemberian ulos
ini dilakukan secara bergiliran dan menjadi suatu siklus yang melengkapi acara penghormatan
terakhir kepada seorang yang telah meninggal. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa ulos yang
pertama diberikan adalah ulos saput kepada yang telah meninggal. Kemudian, dilanjutkan dengan
pemberian ulos tujung kepada seorang duda/janda yang ditinggal. Ulos ini diikatkan di sekeliling
kepala duda/janda tersebut. Sama halnya dengan ulos tujung, ulos sampe tua juga diberikan kepada
janda/duda yang ditinggal. Perbedaan terletak pada kategori yang ada. Ulos tujung diberikan kepada
duda/janda yang belum saur matua, sedangkan ulos sampe tua diberikan kepada duda/janda yang
sudah saur matua dan ulos ini diletakkan di atas bahu seorang duda/janda tersebut. Setelah
pemberian ketiga jenis ulos di atas, maka dilanjutkan dengan memberikan ulos holong kepada anak-
anak yang ditinggalkan.

1. Ulos Saput
Ulos Saput merupakan ulos yang diberikan kepada seorang yang telah meninggal. Jenis ulos
yang digunakan ada, yaitu ulos ragi sibolang dan ulos ragi idup, serta ulos ragi jugia. Pemberian
ulos ini masih dibagi dua. Ulos saput ragi sibolang merupakan ulos yang diberikan kepada
seseorang yang telah meninggal namun dia belum saur matua.3 Dalam hal ini, baik mereka yang
telah mempunyai anak maupun belum mempunyai anak. Sedangkan ulos saput ragi idup/ragi
hotang dan ulos saput ragi jugia diberikan kepada orang yang sudah saur matua. Dalam hal ini,
semua anak yang dimilikinya sudah menikah.
Tulang/Paman merupakan satu-satunya orang yang memberikan ulos ini kepada dia yang
sudah meninggal. Hal ini hendak menandakan bahwa tulang, yang telah memberikan parompa
kepada keponakannya, selalu menyertai keponakannya. Hal ini juga dihubungkan dengan adagium
dalam bahasa Batak Toba, yakni “Pasu-pasu ni tulang satonga langit”.

2. Ulos Tujung
Setelah memberikan ulos saput kepada orang yang telah meninggal, maka kemudian disusul
pemberian ulos tujung kepada pasangan yang ditinggalkan. Ulos ini merupakan suatu sebutan bagi
ulos yang diikatkan melingkar di kepala istri atau suami yang telah meninggal dan belum saur
matua. Ulos yang digunakan adalah ulos ragi sibolang. Pemberian ulos ini merupakan suatu tanda
berdukacita yang sangat mendalam. Pada zaman dahulu, ulos ini baru dapat dibuka setelah satu
minggu dan yang membukanya adalah hula-hula4. Perlu diperhatikan bahwa pemberian ulos ini
terbagi menjadi dua. Seorang duda yang ditinggal meninggal akan diulosi oleh paman kandung,
sedangkan janda yang ditinggal meninggal diulosi oleh orang tua kandungnya, atau oleh saudara
kandungnya.

1
R.H.P. Sitompul, Ulos Batak: Tempo Dulu-Masa Sekarang (Jakarta: Kerukunan Masyarakat Batak, 2009),
hlm. vi.
R.H.P. Sitompul, Ulos Batak..., hlm. vi.
2

Ada tiga tingkatan dalam pesta kematian yang hendak diberikan kepada seorang Batak Toba. Golongan
3

Pertama, seseorang yang masih kecil sampai ketika menikah, namun anak yang dimilikinya masih satu orang yang
menikah; Golongan Kedua, seseorang yang telah menikah dan 3 atau 4 anaknya telah menikah. Ini disebut sebagai Sari
Matua; Golongan ketiga, seseorang yang telah menikah dan semua anaknya telah menikah. Ini disebut juga sebagai
Saur Matua.
4
Hula-hula merupakan suatu bagian dari dalihan natolu yang merupakan pihak pemberi mempelai perempuan.
3. Ulos Sampe Tua
Ulos sampe tua ini merupakan ulos yang diberikan kepada janda atau duda yang telah saur
matua. Ulos yang digunakan adalah ulos ragi idup atau ulos ragi hotang dan ulos ragi jugia. Ulos
ini di-ulos-kan di bahu seorang duda atau janda yang ditinggal tersebut. Berbeda dengan ulos
tujung yang menjadi tanda dukacita besar, ulos sampe tua malah menjadi tanda kegembiraan (las ni
roha) dan tanda berkat (hatuaon), sebab suami-istri yang sudah saur matua merupakan keluarga
yang dianggap diberkati dalam suku Batak Toba. Ulos ini sebenarnya sama dengan ulos tujung.
Yang membedakannya adalah, ulos tujung diberikan kepada duda/janda yang belum saur matua,
sedangkan ulos sampe tua diberikan kepada seorang duda/janda yang sudah saur matua.

4. Ulos Panggabei (Ulos Holong)


Ulos panggabei (ulos holong) merupakan ulos yang diberikan kepada semua keturunan dari
orang tua yang meninggal dunia, baik putera-puteri dan bahkan semua cucu yang ada. Pemberian
ulos ini dilakukan setelah pemberian ulos sampe tua. Pada awalnya, pemberian ulos ini hanya
dengan menyentuhkan satu ulos kepada semua keturunan yang ada. Proses itu dimulai dari
keturunan sulung, sampai kepada cucu dan kembali kepada anak sulung tersebut. Praktek ini
kemudian berkembang dan dapat memberikan lima sampai tujuh ulos kepada keturunan. Jumlah
ulos dan jenisnya diatur dalam Tonggo Raja5 yang dilaksanakan sebelumnya. Satu hal yang menjadi
makna pemberian ulos ini adalah supaya seluruh keturunan orang tua yang meninggal itu bersatu.

Penutup
Dalam masyarakat Batak Toba, terdapat suatu adagium yang sangat dijunjung tinggi oleh
masyarakatnya, yaitu hagabeon, hamoraon, hasangapon. Hagabeon dicapai dengan mempunyai
putera-puteri yang banyak, maranak sampulu pitu marboru sampulu onom. Hamoraon dicapai saat
seseorang itu mempunyai kecukupan dalam segala hal terutama kecukupan dalam ekonomi.
Hasangapon dicapai saat seseorang itu dapat mengikuti atau melaksanakan segala macam
paradatan yang dituntut sebagai seorang masyarakat Batak Toba. Pada akhirnya, seseorang
dianggap sangap ketika acara penghormatan terakhirnya dirayakan dengan meriah (Dengan catatan
harus saur matua) dan keturunannya kelak dapat mendirikan tugu yang menjulang tinggi. Suatu
pemahaman dalam suku Batak Toba, semakin tinggi dan megah tugu yang dibangun atas namanya,
maka semakin besar kemungkinan seorang Batak itu masuk surga karena mendapat penghargaan
yang tinggi.

Daftar Pustaka
5
Tonggo Raja merupakan suatu pertemuan yang diadakan sebelum mengadakan pesta dalam suku Batak Toba.
Semua pesta yang hendak diadakan harus melewati pertemuan ini. Pertemuan ini dihadiri oleh seluruh keluarga yang
hendak berpesta (Dalihan Natolu yang mencakup dongan tubu, boru dan hula-hula), Raja Huta (Orang yang diakui
sebagai raja di suatu desa. Jabatan ini biasanya dipegang oleh marga yang pertama kali membentuk suatu desa), orang-
orang yang dituakan di suatu desa, perwakilan-perwakilan suatu desa dan parhobas (orang yang biasanya memberi diri
sebagai pelayan dalam suatu pesta).
Sitompul, R.H.P. Ulos Batak: Tempo Dulu-Masa Sekarang. Jakarta: Kerukunan Masyarakat Batak,
2009.

Baal, J. Van. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. Translated by J. Piry. Jakarta:
Gramedia, 1987.
Dillistone, F. W. The Power of Symbols. Translated by A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius,
2002.
Siregar, Mangihut. "Industri Kreatif Ulos pada Masyarakat Pulau Samosir." Jurnal Studi Kultural,
2016: 1-5.
Sitompul, R.H.P. Ulos Batak: Tempo Dulu-Masa Kini. Jakarta: Kerukunan Masyarakat Batak,
2009.
Takari, Muhammad. "ULOS dan Sejenisnya dalam Budaya Batak di Sumatera Utara: Makna,
Fungsi, dan Teknologi." Pengajian Media, Fakulti Sastera dan Sains Sosial, Universiti
Malaya, Pensyarah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 2009.

Anda mungkin juga menyukai