Anda di halaman 1dari 15

A.

Pengertian

Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak

terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).

Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada

waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang

mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya (FKUI, 2006).

Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi

keluarnya urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan secara obyektif dan

menimbulkan gangguan hygiene dan social.

B. Klasifikasi

Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006)

a. Inkontinensia Dorongan

Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami

pengluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat untuk

berkemih.

b. Inkontinensia Total

Inkontinensia Total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami

pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.

c. Inkontinensia Stres

Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan urin kurang dari 50 ml, terjadi
dengan peningkatan tekanan abdomen
d. Inkontinensia refleks

Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluran urin yang tidak

dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih

mencapai jumlah tertentu.

e. Inkontinensia fungsional

Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa disadari

dan tidak dapat diperkirakan.

C. Etiologi

Etiologi Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001) :

a. Poliuria, nokturia

b. Gagal jantung

c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.

d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh :

1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek

akibat melahirkan dapat mgengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.

2) Perokok, Minum alkohol.

3) Obesitas

4) Infeksi saluran kemih (ISK)

D. Tanda dan Gejala

a. Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)

1) Inkontinensia Dorongan :
a) Sering miksi

b) Spasme kandung kemih

2) Inkontinensia total

a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.

b) Tidak ada distensi kandung kemih.

c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.

3) Inkontinensia stres

a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.

b) Adanya dorongan berkemih.

c) Sering miksi.

d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.

4) Inkontinensia refleks

a) Tidak dorongan untuk berkemih.

b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.

c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.

5) Inkontinensia fungsional

a) Adanya dorongan berkemih.

b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

E. Patofisiologi

Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:

1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika Urinaria

(Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml.
Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih dapat

ditundas 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih

atau miksi terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter

ekternal relaksasi,yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua

urine dikeluarkan dengan proses ini.Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan, tetapi

residu urine 50 ml atau kurang dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml

mengindikasikan adanya retensi urine.Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan

adalah terjadinya kontrasi kandung kemih tanpa disadari. Wanita lansia, terjadi

penurunan produksi esterogen menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek akibat

melahirkan mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar (Stanley M & Beare G

Patricia, 2006).

2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih.

Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak

dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang terganggu

menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.

F. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji S,

2001). Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat

mahal.Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisik.

Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin.

Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi

tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan
untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau

berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara

lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung

kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.

a. Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan

fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.Tes laboratorium tambahan

seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsiumglukosasitol.

b. Catatan Berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan

untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urine dan tidak

inkontinensia urine, dan gejala berkaitan denga inkontinensia urine. Pencatatan  pola

berkemih tersebut dilakukan selam 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk

memantau respons terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena

dapat menyadarkan pasien faktor pemicu.

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,

mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,

medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.

Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :Pemanfaatan

kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan

jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak

tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
a. Terapi non farmakologi

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya

inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula

darah tinggi, dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan

latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik

relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan

dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.Lansia dianjurkan

untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya

diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3

jam.Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan

kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal

kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila

ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif

(berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot

dasar panggul secara berulang-ulang.

Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan

cara :

Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka,

kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang

± 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar

dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan

urethra dapat tertutup dengan baik.


b. Terapi farmakologi

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik

seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada

inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk

meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik

agonis sepertiBethanecholataualfakolinergik antagonis sepertiprazosinuntuk

stimulasi kontraksi, danterapi diberikan secara singkat.

c. Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi,

bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia

tipeoverflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan

retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia

prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).

d. Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan

inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang

mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter.

e. Pemantauan Asupan Cairan

Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari dengan

rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan asumsi tidak ada
kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat membatasi asupan cairan secara

tidak tepat untuk mencegah kejadian-kejadian yang memalukan. Pengurangan asupan

cairan sebelum waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia pada malam hari, tetapi

cairan harus diminum lebih banyak selama siang hari sehingga total asupan cairan

setiap harinya tetap sama.

Konsep Asuhan Keperawatan

Pengkajian

Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan klien dengan

diagnosa medis Inkontinensia Urine :

1) Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,

pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.

2) Keluhan Utama

Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia,

urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha yang

telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.

4) Riwayat Penyakit Dahulu

Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih) yang

berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.


5) Riwayat Penyakit keluarga

Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita

penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang menderita DM,

Hipertensi.

6) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :

a)   B1 (breathing)

Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai

oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.

b)   B2 (blood)

Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah

c)   B3 (brain)

Kesadaran biasanya sadar penuh

d)   B4 (bladder)

Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat

karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta

disertai keluarnya darah  apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah

supra pubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih

menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang

kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik /

pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing / dapat juga di luar

waktu kencing.

e)   B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan

abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi

pada ginjal.

f)   B6 (bone)

Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang

lain, adakah nyeri pada persendian.

Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih dan

kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih

2. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang lama.

3. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine.

4. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat

Intervensi

1) Diagnosa 1

Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih dan

kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih.

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa melaporkan

suatu pengurangan / penghilangan inkontinensia


Kriteria Hasil :

Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional penatalaksanaan.

Intervensi :

1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.

R: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi kandung kemih

2. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari

R: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enurasis

3. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang telah direncanakan

R: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume urine

sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.

4. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi dengan

posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada

kebocoran yang lebih dulu.

R: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.

5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan 2000 ml,

kecuali harus dibatasi.

R: Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal.

6. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan kemungkinan

perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan frekuensi

inkonteninsia.

2) Diagnosa 2

Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat berkemih dengan

nyaman.

Kriteria Hasil :

Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri.

Intervensi :

1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien inkontinensia, cuci

daerah perineal sesegera mungkin.

R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.

2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari (merupakan bagian

dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah buang air besar.

R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke

saluran perkemihan.

3. Ikuti kewas padaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung, pemakaian

sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang terjadi (memberikan

perawatan perianal, pengosongan kantung drainase urine, penampungan spesimen urine).

Pertahankan teknik aseptik bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari

kateter indwelling.

R: Untuk mencegah kontaminasi silang.

4. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan masukan

sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.

R: Untuk mencegah stasis urine.

5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.

 Tingkatkan masukan sari buah berri.


 Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.

R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah berri diperlukan

untuk mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari buah

dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih.

3) Diagnosa 3

Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keruskan integritas kulit teratasi.

Kriteria Hasil :

 Jumlah bakteri <100.000/ml.

 Kulit periostomal tetap utuh.

 Suhu 37° C.

 Urine jernih dengan sedimen minimal.

Intervensi :

1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam.

R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan.

2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit

bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-kira

setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran

kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi

bila telah seperempat sampai setengah penuh.


R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan

kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine

dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.

4) Diagnosa 4

Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan seimbang

Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg

Intervensi

1. Awasi TTV

R: Pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume intravascular, khususnya

pada pasien dengan fungsi jantung buruk.

2. Catat pemasukan dan pengeluaran

R: Untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan resiko

kelebihan cairan

3. Awasi berat jenis urine

R: Untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikn urine

4. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam

R: Membantu periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan yang terbatas dan

menurunkan rasa haus

5. Timbang BB setiap hari

R: Untuk mengawasi status cairan


Evaluasi

Evaluasi keperawatan terhadap gangguan inkontinensia dapat dinilai dari adanya kemampuan

dalam :

a) Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai dengan asupan

cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan obat, kompresi pada kandung

kemih atau kateter

b) Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal kering tanpa

inflamasi dan kulit di sekitar uterostomi kering.

c) Memerikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak ditemukan

adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang.

d) Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi inkontinensia

dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.

Anda mungkin juga menyukai