Anda di halaman 1dari 3

Ulasan Lengkap

Kerahasiaan Identitas Pasien

Pada dasarnya, setiap pasien mempunyai hak mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang
diderita termasuk data-data medisnya. Ini diatur dalam Pasal 32 huruf i Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (“UU 44/2009”),

 Hak serupa juga diatur dalam Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Kesehatan (“UU
Kesehatan”) dan Pasal 17 huruf h angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (“UU KIP”) yang pada pokoknya mengatur bahwa setiap orang berhak
atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan
kesehatan dan setiap badan publik wajib membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk
mendapatkan informasi publik, kecuali, salah satunya, mengenai riwayat, kondisi dan perawatan,
pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang, karena bila dibuka dan diberikan kepada pemohon
informasi publik dapat mengungkapkan rahasia pribadi.

 Masih menyangkut hak pasien dan kewajiban rumah sakit, setiap rumah sakit harus menyimpan rahasia
kedokteran, yang hanya dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan
permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, atas persetujuan pasien sendiri,
atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.[1]

 Rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang ditemukan oleh dokter
dan dokter gigi dalam rangka pengobatan dan dicatat dalam rekam medis yang dimiliki pasien dan
bersifat rahasia.[2]

 Rumah sakit dapat menolak mengungkapkan segala informasi kepada publik yang berkaitan dengan
rahasia kedokteran.[3]

 Kemudian, dalam Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(“UU 29/2004”) disebutkan setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.

 Selain itu, dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban
merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia.[4]

 Sedangkan rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.[5]

 Dokumen rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan
pimpinan sarana pelayanan kesehatan.[6]

 Sehingga bisa disimpulkan, rekam medis merupakan rahasia kedokteran yang memuat identitas pasien
positif COVID-19 yang harus disimpan dan dijaga kerahasiannya oleh rumah sakit atau dokter yang
bertugas.

 
Jerat Hukum bagi Penyebar Identitas Pasien

Patut dipahami bahwa salah satu kewajiban rumah sakit adalah menghormati dan melindungi hak-hak
pasien.[7] Pelanggaran atas kewajiban rumah sakit akan dikenakan sanksi admisnistratif berupa teguran,
teguran tertulis, atau denda dan pencabutan izin rumah sakit.[8]

 Sehingga, jika rumah sakit tidak melindungi identitas pasiennya yang positif COVID-19, maka rumah
sakit dapat dikenai sanksi administratif tersebut.

 Dalam hal pelaku penyebaran identitas pasien di atas adalah dokter atau dokter gigi yang dengan
sengaja tidak memenuhi kewajiban dalam Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 51 huruf c UU 29/2004, maka
dapat dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50 juta berdasarkan Pasal 79 huruf b dan c UU
29/2004 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-V/2007 (hal. 120).

 Di samping itu, bagi badan publik yang melanggar berlaku Pasal 54 ayat (1) UU KIP:

 Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau
memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf d,
huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Orang yang dimaksud adalah orang perseorangan, kelompok orang, badan hukum, atau badan publik.[9]

 Badan publik yang dimaksud adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi
dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“APBN”) dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (“APBD”), atau organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.[10]

Anda dapat juga simak Polemik Keterbukaan Informasi Pasien Covid-19 Akibat Regulasi yang Tak
Memadai dan Hati-hati, Penyebar Data Pribadi Pasien Corona Bisa Terjerat Pidana!

 Sehingga kami berpendapat, terhadap rumah sakit yang menyebarkan identitas pasien COVID-19, dapat
dikenai sanksi pidana sebagaimana tertera di atas sepanjang memenuhi kriteria “badan publik” tersebut.

 Dalam artikel Perlindungan Hukum atas Privasi dan Data Pribadi Masyarakat, diterangkan bahwa
penyebaran data pribadi seseorang oleh orang lain, secara khusus melalui sistem elektronik, dilarang
tanpa persetujuan si pemilik data dan jika melanggar, maka penyebar data pribadi tersebut dapat
digugat secara perdata oleh pihak yang merasa dirugikan dengan penyebaran data pribadi tersebut.

Menurut hemat kami, dalam hal di mana bukan pihak rumah sakit yang menyebarkan identitas pasien
tersebut, maka penyebar identitas dapat digugat secara perdata oleh pihak pasien.

 Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan
pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan
nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai